Empat Pertanyaan di Padang Mahsyar

mengimani hari akhir atau hari Kiamat. Bahkan hal itu merupakan rukun iman yang kelima. Di dalam hadits-hadits shahih diterangkan bahwa setelah dunia ini hancur, manusia yang di dalam kubur dibangkitkan dan semua akan dikumpulkan oleh Allah di padang Mahsyar. Siapkah kita menghadapi peristiwa tersebut? Apa saja yang akan terjadi pada saat itu ?

Pada saat itu manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala tentang segala macam yang telah dilakukan selama hidup di dunia ini. Pada hari itu tidak berguna harta, anak, tidak bermanfaat apa yang dibanggakan selama di dunia ini. Pada hari itu hanya ada penguasa tunggal yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan berbagai macam nikmat kepada manusia, kemudian Dia menyuruh menggunakan nikmat tersebut sebaik-baiknya dalam rangka mengabdi kepada-Nya.

Karena Allah yang telah mengaruniakan nikmat-nikmat itu kepada manusia, maka sangatlah wajar apabila Ia menanyakan kepada manusia untuk apa nikmat-nikmat itu digunakan.

Dalam sebuah hadits, Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba (menuju batas shiratul mustaqim) sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan , hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia habiskan dan badannya untuk apa ia gunakan” (Hadits Shahih Riwayat At Tirmidzi dan Ad Darimi)


1. Umur

Umur adalah sesuatu yang tidak pernah lepas dari manusia. Bila kita berbicara tentang umur, maka berarti kita berbicara tentang waktu. Allah dalam Al Qur’an telah bersumpah dengan waktu “Demi masa” maksudnya agar manusia lebih memperhatikan waktu. Waktu yang diberikan Allah adalah 24 jam dalam sehari-semalam. Untuk apa kita gunakan waktu itu? Apakah waktu itu untuk beribadah atau untuk yang lain-lain yang sia-sia?

Diantara sebab-sebab kemunduran umat Islam ialah bahwa mereka tidak pandai menggunakan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat, sebagian besar waktunya untuk bergurau, bercanda, ngobrol tentang hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan terkadang membawa kepada perdebatan yng tidak berarti dan pertikaian. Sementara orang-orang kafir menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, sehingga mereka maju dalam berbagai bidang kehidupan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Keadaan umat Islam saat ini sangat memprihatinkan. Ada diantara mereka yang tidak mengerti ajaran agamanya dan ada yang tidak mengerti ilmu pengetahuan umum. Bahkan ada di antara mereka yang buta huruf baca tulis Al Qur’an. Bila kita mau meningkatkan iman dan amal, maka seharusnyalah kita bertanya kepada diri masing-masing; sudah berapa umur kita hari ini?, dan apa yang sudah kita ketahui tentang Islam?, apa pula yang sudah kita amalkan dari ajaran Islam ini? Janganlah kita termasuk orang yang merugi.


2. Ilmu

Yang membedakan antara muslim dan kafir adalah ilmu dan amal. Orang muslim berbeda amaliahnya dengan orang kafir dalam segala hal, dari mulai kebersihan, berpakaian, berumah tangga, bermua’malah dan lain-lain. Seorang muslim diperintahkan oleh Allah dan RasulNya agar menuntut ilmu. Allah berfirman “Apakah sama orang yang tahu (berilmu) dengan yang tidak berilmu?” (QS. Az Zumar:9)

Ayat ini kendatipun berbentuk pertanyaan tetapi mengandung perintah untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu agama hukumnya wajib atas setiap individu muslim, misalnya tentang membersihkan najis. Berwudhu yang benar, cara shalat yang benar dan hal-hal yang dilaksanakan setiap hari. Karena bila ia tidak tahu, maka amalannya akan tertolak , dan Allah akan bertanya kepadanya kenapa ia mengikuti apa yang tidak ia ketahui, seperti dalam firmanNya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya (QS. Al Isra’:36)

Ilmu yang sudah dipelajari oleh umat islam harus digunakan untuk kepentingan Islam. Ilmu yang sudah dituntut dan dipelajari wajib diamalkan menurut syari’at Islam. Ilmu tidak akan berarti apa-apa dalam hidup dan kehidupan manusia kecuali bila manusia mengamalkannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Beramallah kamu (dengan ilmu yang ada) karena tiap-tiap orang dimudahkan menurut apa-apa yang Allah ciptakan atasnya” (HR. Muslim)


3. Harta

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Bagi tiap-tiap umat itu fitnah dan sesungguhnya fitnah ummatku adalah harta” (HR. At Tirmidzi dan Hakim)

Harta pada hakikatnya adalah milik Allah. Harta adalah amanat Allah yang dilimpahkan kepada umat manusia agar dia mencari harta itu dengan halal, menggunakan harta itu pada tempat yang telah ditetapkan oleh syari’at islam. Bila kita amati keadaaan umat islam saat ini, banyak kita dapati diantara mereka yang tidak lagi peduli dengan cara mengumpulkan hartanya apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah meramalkan hal ini dengan sabdanya “Nanti akan datang satu masa; di masa itu manusia tidak perduli dari mana harta itu ia peroleh, apakah dari yang halal ataukan dari yang haram” (HR. Al Bukhari).

Setiap muslim harus hati-hati dalam mencari mata pencaharian hidupnya kerena banyak manusia yang terdesak masalah ekonomi lalu ia menjadi kalut hingga tidak perduli lagi harta itu dari mana ia peroleh. Ada yang memperoleh harta dari usaha-usaha yang batil, misalnya hutang tidak dibayar, korupsi, riba, merampok, berjudi dan lain sebagainya. Orang yang mencari usaha dari yang haram akan mendapat siksa dari Allah, seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Barangsiapa yang dagingnya tumbuh dari barang yang haram, maka Neraka itu lebih patut baginya (sebagi tempat).” (HR. Al Hakim)

Harta yang kita dapat dengan cara yang halal harus pula kita infaqkan pada jalan yang benar pula. Bila tadi disebutkan bahwa harta itu milik Allah, maka wajib pula kita gunakan harta itu dalam rangka untuk menggakkan kalimat Allah di muka bumi ini.

Di dalam Al Qur’an ada delapan golongan yang berhak mendapat zakat, yaitu para fuqara (orang fikir), masakin (orang miskin), amil (pengurus) zakat, Mua’llaf (orang yang baru masuk islam), untuk membebaskan budak, orang-orang yang berhutang, untuk perjuangan jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan. Di masa-masa sekarang ini ada beberapa kelompok yang masuk prioritas utama yang berhak mendapat infaq dan shadaqah, yaitu golongan fuqara, masakin dan orang yang di jalan Allah.

Orang fakir adalah orang yang butuh tetapi tidak mempunyai pekerjaan sedangkan hidupnya digunakan untuk membantu agama Islam. Jadi orang fikir yang dibantu adalah orang yang memang hidupnya untuk berjuang di jalan Allah bukan pemalas yang tidak mau berusaha dan tidak melaksanakan syari’at Islam. Sedangkan orang miskin adalah orang yang berusaha tetapi usahanya hanya mencukupi kebutuhan minimalnya dalam keluarganya untuk makan sehari-hari.


4. Badan

Manusia merupakan mahkuk yang paling sempurna yang diciptakan Allah dimuka bumi ini. Dengan kesempurnaan susunan tubuh serta akal fikiran yang diberikan Allah, manusia dijadikan sebagai khalifah di bumi, manusia dibebani taklif agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Jasmani manusia ini dituntut bekerja untuk melaksanakan fungsi khilafah dalam rangka mengabdi kepada Allah. Letihnya manusia dalam malaksanakan ibadah kepada Allah akan diganjar dengan pahala. Tetapi bila letihnya dalam rangka bermain-main, mengerjakan maksiat, perbuatan sia-sia, beribadah dengan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka sia-sialah letihnya itu bahkan ada yang diganjar dengan api Neraka, karena mereka termasuk orang-orang yang celaka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :”Tiap-tiap amal (pekerjaan) ada masa-masa semangat, dan tiap–tiap masa semangat ada masa lelahnya maka barangsiapa lelah letihnya karena melaksanakan sunnahku, maka ia telah mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa lelah letihnya bukan karena melaksanakan sunnahku, maka dia termasuk orang yang binasa” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi).

Demikianlah pada hari mahsyar masing-masing manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang telah dikerjakannya selama hidupnya di dunia. Sudah siapkah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan kepada kita pada saat itu? Kalau belum kapan lagi kita mempersipkan diri kalau tidak sekarang?

Segala puji bagi Allah, Penguasa sekalian alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan atas nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.

Disalin dari Pamflet Siapkah Anda Menghadapi Empat Pertanyaan di Padang Mahsyar? oleh Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas, Diterbitkan oleh Islamic Cultural Center Dammam

Kisah Nabi Nuh (ver. Wikipedia)

Nuh (bahasa Ibrani: נוֹחַ; bahasa Tiberia: נֹחַ; bahasa Arab: نوح; bahasa Inggris: Noah) adalah seorang nabi yang diceritakan dalam Al-Quran, Alkitab, Taurat.


Nuh menurut Islam

Nuh dalam arti bahasa diartikan sebagai orang yang suka meratap/menangis. Dalam agama Islam, Nuh adalah nabi keempat sesudah Adam, Shiyth, dan Idris. Beliau merupakan keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Ayahnya adalah Lamik bin Metusyalih bin Idris. Nabi Nuh menerima wahyu kenabian dari Allah dalam masa “fatrah” masa kekosongan di antara dua rasul di mana biasanya manusia secara berangsur-angsur melupakan ajaran agama yang dibawa oleh nabi yang meninggalkan mereka dan kembali bersyirik meninggalkan amal kebajikan, melakukan kemungkaran dan kemaksiatan di bawah pimpinan Iblis.

Kaum Nabi Nuh tidak luput dari proses tersebut, sehingga ketika Nabi Nuh datang di tengah-tengah mereka, mereka sedang menyembah berhala, yaitu patung-patung yang dibuat oleh tangan-tangan mereka sendiri disembahnya sebagai Tuhan yang dapat membawa kebaikan dan manfaat serta menolak segala kesengsaraan dan kemalangan. Berhala-berhala yang dipertuhankan, menurut kepercayaan mereka, mempunyai kekuatan dan kekuasaan ghaib ke atas manusia itu diberinya nama-nama yang silih berganti menurut kehendak dan selera kebodohan mereka. Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya yang sudah jauh tersesat oleh iblis itu, mengajak mereka meninggalkan syirik dan penyembahan berhala dan kembali kepada tauhid menyembah Allah, Tuhan sekalian alam.

Akan tetapi walaupun Nabi Nuh telah berusaha sekuat tenaganya berdakwah kepada kaumnya dengan segala kebijaksanaan, kecakapan dan kesabaran dan dalam setiap kesempatan, siang maupun malam dengan cara berbisik-bisik atau cara terang dan terbuka, ternyata hanya sedikit sekali dari kaumnya yang dapat menerima dakwahnya dan mengikuti ajakannya, yang menurut sementara riwayat tidak melebihi bilangan seratus orang. Mereka pun terdiri dari orang-orang yang miskin berkedudukan sosial lemah. Sedangkan orang yang kaya-raya, berkedudukan tinggi dan terpandang dalam masyarakat, yang merupakan pembesar-pembesar dan penguasa-penguasa tetap membangkang, tidak mempercayai Nabi Nuh dan mengingkari dakwahnya dan sesekali tidak merelakan melepas agama dan kepercayaan mereka terhadap berhala-berhala mereka, bahkan mereka berusaha mengadakan persekongkolan untuk melumpuhkan dan menggagalkan usaha dakwah Nabi Nuh.

Nabi Nuh berada di tengah-tengah kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun berdakwah menyampaikan risalah Tuhan, mengajak mereka meninggalkan penyembahan berhala dan kembali menyembah dan beribadah kepada Allah Yang Mahakuasa. Ia memimpin mereka keluar dari jalan yang sesat dan gelap ke jalan yang benar dan terang, mengajar mereka hukum-hukum syariat dan agama yang diwahyukan oleh Allah kepadanya. Akan tetapi dalam waktu yang cukup lama itu, Nabi Nuh tidak berhasil menyadarkan dan menarik kaumnya untuk mengikuti dan menerima dakwahnya, bertauhid dan beribadat kepada Allah, kecuali sekelompok kecil kaumnya yang tidak mencapai seratus orang. Harapan Nabi Nuh akan kesadaran kaumnya ternyata makin hari makin berkurang. Ia memohon kepada Allah agar menurunkan Azab-Nya di atas kaumnya yang berkepala batu. Doa Nabi Nuh dikalbulkan oleh Allah dan permohonannya diluluskan dan tidak perlu lagi menghiraukan dan mempersoalkan kaumnya, karena mereka itu akan menerima hukuman Allah dengan mati tenggelam.

Setelah menerima perintah Allah untuk membuat sebuah kapal, segeralah Nabi Nuh mengumpulkan para pengikutnya dan mulai mereka mengumpulkan bahan yang diperlukan untuk maksud tersebut, kemudian dengan mengambil tempat di luar dan agak jauh dari kota dan keramaiannya mereka dengan rajin dan tekun bekerja siang dan malam menyelesaikan pembuatan kapal yang diperintahkan itu. Walaupun Nabi Nuh telah menjauhi kota dan masyarakatnya, agar dapat bekerja dengan tenang tanpa gangguan bagi menyelesaikan pembuatan kapalnya namun ia tidak luput dari ejekan dan cemoohan kaumnya yang kebetulan atau sengaja melalui tempat pembuatan kapal itu.

Setelah selesai pekerjaan pembuatan kapal, Nabi Nuh menerima wahyu dari Allah, “Siap-siaplah engkau dengan kapalmu, bila tiba perintah-Ku dan terlihat tanda-tanda daripada-Ku maka segeralah angkut bersamamu di dalam kapalmu dan kerabatmu dan bawalah dua pasang dari setiap jenis makhluk yang ada di atas bumi dan belayarlah dengan izin-Ku.”

Kemudian tercurahlah dari langit dan memancur dari bumi, air yang deras dan dahsyat yang dalam sekelip mata telah menjadi banjir besar melanda seluruh kota dan desa, menggenangi daratan yang rendah maupun yang tinggi sampai mencapai puncak bukit-bukit sehingga tiada tempat berlindung dari air bah yang dahsyat itu kecuali kapal Nabi Nuh yang telah terisi penuh dengan para orang mukmin dan pasangan makhluk yang diselamatkan oleh Nabi Nuh atas perintah Allah. Dengan iringan “Bismillahi majraha wa mursaha”, belayarlah kapal Nabi Nuh dengan lajunya menyusuri lautan air, menentang angin yang kadang kala lemah lembut dan kadang kala ganas dan ribut. Di kanan kiri kapal terlihatlah orang-orang kafir bergelut melawan gelombang air yang menggunung berusaha menyelamat diri dari cengkaman maut yang sudah sedia menerkam mereka di dalam lipatan gelombang-gelombang itu.

Tatkala Nabi Nuh berada di atas geladak kapal memperhatikan cuaca dan melihat-lihat orang-orang kafir dari kaumnya sedang bergelimpangan di atas permukaan air, tiba-tiba terlihatlah olehnya tubuh putra sulungnya yang bernama Kan’aan. Pada saat itu, tanpa disadari, timbullah rasa cinta dan kasih sayang seorang ayah terhadap putra kandungnya yang berada dalam keadaan cemas menghadapi maut ditelan gelombang. Nabi Nuh secara spontan, terdorong oleh suara hati kecilnya berteriak dengan sekuat suaranya memanggil puteranya. Kan’aan, yang sudah tersesat dan telah terkena racun rayuan setan dan hasutan kaumnya yang sombong dan keras kepala itu menolak dengan keras ajakan dan panggilan ayahnya. Akhirnya Kan’aan disambar gelombang yang ganas dan lenyaplah ia dari pandangan mata ayahnya, tergelincirlah ke bawah lautan air mengikut kawan-kawannya dan pembesar-pembesar kaumnya yang durhaka itu.

Nabi Nuh bersedih hati dan berdukacita atas kematian puteranya dalam keadaan kafir tidak beriman dan belum mengenal Allah. Beliau berkeluh-kesah dan berseru kepada Allah. Kepadanya Allah berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia puteramu itu tidaklah termasuk keluargamu, karena ia telah menyimpang dari ajaranmu, melanggar perintahmu menolak dakwahmu dan mengikuti jejak orang-orang yang kafir daripada kaummu.Coretlah namanya dari daftar keluargamu.Hanya mereka yang telah menerima dakwahmu mengikuti jalan mu dan beriman kepada-Ku dapat engkau masukkan dan golongkan ke dalam barisan keluargamu yang telah Aku janjikan perlindungannya dan terjamin keselamatan jiwanya.Adapun orang-orang yang mengingkari risalah mu, mendustakan dakwahmu dan telah mengikuti hawa nafsunya dan tuntutan Iblis, pastilah mereka akan binasa menjalani hukuman yang telah Aku tentukan walau mereka berada dipuncak gunung. Maka janganlah engkau sesekali menanyakan tentang sesuatu yang engkau belum ketahui. Aku ingatkan janganlah engkau sampai tergolong ke dalam golongan orang-orang yang bodoh.”

Nabi Nuh segera sadar setelah menerima teguran dari Allah bahwa cinta kasih sayangnya kepada anaknya telah menjadikan ia lupa akan janji dan ancaman Allah terhadap orang-orang kafir termasuk putranya sendiri. Ia sadar bahwa ia tersesat pada saat ia memanggil putranya untuk menyelamatkan diri dari bencana banjir yang didorong oleh perasaan naluri darah yang menghubungkannya dengan putranya, padahal sepatutnya cinta dan taat kepada Allah harus mendahului cinta kepada keluarga dan harta-benda. Ia sangat menyesali kelalaian dan kealpaannya itu dan menghadap kepada Allah memohon ampun dan maghfirahnya.

Setelah air bah itu mencapai puncak keganasannya, habis binasalah kaum Nuh yang kafir dan zalim. Sesuai dengan kehendak dan hukum Allah, surutlah lautan air diserap bumi kemudian bertambatlah kapal Nuh di atas bukit “Judie”.


Kontroversi seputar Banjir Besar

Para arkeolog sependapat bahwa banjir besar ini benar-benar ada, hanya saja ada dua hal perbedaan yang ada hingga saat ini adalah :
Benarkah itu menenggelamkan seluruh dunia?
Apakah seluruh hewan benar-benar dibawa dalam bahtera Nabi Nuh?

Tetapi yang jelas apabila dalam kitab suci disebutkan banjir hingga tidak ada yang selamat maka, jelaslah banjir itu melanda seluruh dunia, sehingga habislah orang kafir karena mati tenggelam. Kedua Nabi Nuh adalah seorang nabi yang sangat cerdas mengerti semua jenis binatang, bagaimana membawa seluruh jenis binatang berpasang-pasangan dalam waktu lama dengan membawa makanan yang cukup adalah sesuatu yang belum dapat ditandingi oleh orang manapun hingga saat ini. Nabi Nuh bukan hanya sekedar nabi dan rosul akan tetapi juga seorang zoologist yang handal.


Perahu Nabi Nuh

Berdasarkan foto yang dihasilkan dari gunung Ararat, menunjukkan sebuah perahu yang sangat besar diperkirakan memilik luas 7.546 kaki dengan panjang 500 kaki, lebar 83 kaki dan tinggi 50 kaki dan masih ada tiga tingkat lagi diatasnya. Tingkat pertama diletakkan binatang-binatang liar dan yang sudah dijinakkan Tingkat kedua ditempatkan manusia Tingkat ketiga burung-burung


Nuh menurut Kristen

Nuh adalah anak pertamanya, Yafet, dilahirkan (Kejadian 5:32), 600 ketika banjir datang, jadi ada 100 tahun di antara kedua hal ini. Perhatikan bahwa Sem berusia 2 tahun lebih muda – ia dikaruniai Arpakhsad dua tahun setelah banjir, ketika ia berusia 100 (Kejadian 11:10). Karena itu Sem hanya berusia 98 ketika banjir datang. Ham dikatakan sebagai yang termuda (Kejadian 9:24).

Nama istri Nuh tidak disebut dalam Alkitab, menurut Kitab Yobel (termasuk dalam kanon Gereja Ortodoks Ethiopia) namanya adalah Emzara. Tulisan-tulisan Midras memberinya nama Naamah, yang juga disebutkan dalam Kitab Yasar.

Nuh digambarkan sebagai orang yang benar di antara orang-orang lain yang hidup di zamannya. Pada saat itu, manusia hidup bergelimang dosa sehingga Allah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman dengan bersabda “Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi” (Kejadian [6]:14). Akan tetapi, Allah tidak menghancurkan segala-galanya. Dia memerintahkan Nuh untuk membangun sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan sebagian makhluk ciptaan-Nya.

Setelah bahtera itu selesai, Kitab Kejadian menggambarkan bahwa air merendam bumi selama 150 hari lamanya dan setelah itu air mulai surut. Nuh menunggu hingga bumi benar-benar kering sebelum membuka pintu bahtera. Nuh kemudian keluar bersama keluarga dan semua binatang yang ada di dalam bahtera tersebut.

Setelah Nuh diselamatkan, Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh dan memberkatinya (Kejadian [9]:1-17). Inilah perjanjian yang pertama dikenal dan bersifat universal karena meliputi seluruh umat manusia. Di kemudian hari, Allah mengadakan perjanjian pula dengan Abraham, tetapi perjanjian itu dianggap bersifat lebih khusus.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Nuh