Jenggala, Sungai Brantas, Ken Dedes

Obrolan sejarah pekan ini adalah seputar Kerajaan Jenggala, Sungai Brantas, Mataram, dan Ken Dedes. Berikut kesimpulannya:

1) Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kahuripan adalah dua wilayah yang berdiri berkat kebijaksanaan Raja Airlangga yang membagi secara adil wilayah untuk 2 (dua) orang puteranya. Sebelum memutuskan pembagian ini, Raja Airlangga meminta petunjuk dari Mpu Barada, brahmana terpercaya kerajaan. Dengan kesaktiannya Mpu Barada terbang sambil memercikkan “Tirta Amerta” (air suci) untuk membagi wilayah menjadi dua. Konon Tirta Amerta tersebut setelah jatuh ke tanah berubah menjadi sungai dan selanjutnya (hingga sekarang) diberi nama Sungai Brantas.

2) Dalam perkembangannya ternyata antara Jenggala dan Kahuripan (yang disebut pula Kadiri/Kediri) mengalami nasib yang bertolak belakang. Jenggala hanya bertahan beberapa saat sebelum kemudian menjadi wilayah Kahuripan. Penyebab dari runtuhnya Jenggala ini ditengarai oleh ketidakcocokan kondisi wilayahnya yang cenderung berciri “maritim” sedangkan ciri masyarakat Jawa pada waktu itu adalah “agraris”. Alhasil Jenggala tidak mampu berkembang. Peninggalan Kerajaan Jenggala ini juga sangat terbatas — hampir tidak dikenali.

3) Asal usul nama “Mataram” dapat ditelusuri dari dua sumber. Pertama, berasal dari kata “Metarum”. Kata ini digunakan sebagai nama pohon yang sering digunakan sebagai bahan pewarna pakaian. Pohon Metarum juga sering disebut Pohon Nila. Kedua, ada kemungkinan bahwa nama “Mataram” memiliki hubungan dengan “Tarumanagara”.

4) Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanagara memerintahkan untuk membuat tanggul di Sungai Bagasasi. Daerah ini sekarang dikenal sebagai Bekasi.

5) Ken Dedes, seorang ardanareswari yang diperistri oleh Ken Arok dan yang menurunkan raja-raja Singhasari dan Majapahit, diwujudkan dalam arca bernama “Prajna Paramitha”. Kita dapat menyaksikan arca yang disebut sebagai arca terindah peninggalan Singhasari/Majapahit ini di Museum Nasional di Jakarta. Namun, arca yang terdapat di museum tersebut adalah “imitasi”, sedangkan arca “aselinya” disimpan di Museum Leiden, Belanda. Pemerintah sebenarnya juga telah berusaha untuk meminta arca tersebut namun hingga sekarang belum menemui titik kesepakatan dengan pemerintah Kerajaan Belanda.

Demikiyan obrolan sejarah kami. Seperti biyasa, kurang dan lebihnya kami mohon maaf. Masukan dari kawan-kawan yang peduli akan sejarah Nusantara sangat kami hargai karena dapat memperkaya khasanah sejarah bangsa, terutama bagi generasi penerus.

Pleburan, Semarang, 24 Juli 2011

Tiyo Widodo (seorang Juru ketik) & Adrianus Kris (Staff Pengajar SMU Nusa Putra Semarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar