Dari Hasan Al-Banna: Metode Rekrutmen dalam NII

Rekrutmen anggota di tengah kelompok Darul Islam (DI), dalam perjalanan mereka, mengalami perubahan bentuk yang signifikan pada tahun-tahun 1970-an dan 1980-an. DI, yang semula dinamakan Negara Islam Indonesia (NII) oleh S.M. Kartosoewirjo (1907 – 1962), berkembang luas secara drastis sejak mengadaptasi metode usrah dalam rekrutmen anggota dari kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Ikhwanul Muslimin dan Hasan Al-Banna

Ikhwanul Muslimin didirikan pada 1928 di Ismailiyah, Mesir, oleh Hasan Al-Banna (1906 – 1949). Pendirinya itu memaksudkan Ikhwanul Muslimin sebagai jamaah islami yang menyebarkan akhlak dan amal baik. Ia mendakwahkan sebuah bentuk Islam yang total dan aktif. Menurutnya, negara Islam adalah satu hal penting yang mesti diusahakan agar tercipta lingkungan yang islami.

Perubahan, ternyata, tak dapat dielakkan lagi. Sejak 1938, Ikhwanul Muslimin mulai menampakkan aktivitas politik dengan menyebarkan edaran yang bernama An-Nadzir. Pada saat bersamaan, pembukaan cabang-cabang baru kian gencar dilakukan. Puncaknya, pada 1947, Ikhwanul Muslimin telah memiliki anggota sebanyak 75 ribu orang.

Pertambahan jumlah anggota diiringi dengan pengembangan diri, seperti membentuk pasukan rahasia, tenaga-tenaga pengurus, mendirikan perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik, sekolah-sekolah, rumahsakit-rumahsakit. Yang terpenting dari itu semua, Ikhwanul Muslimin memasukkan anggota-anggotanya ke dalam berbagai lapisan masyarakat, seperti dalam serikat-serikat buruh atau bahkan korps militer.

Sebagai pemimpin kharismatik, Hasan Al-Banna dikenal sebagai sosok yang mampu merekrut anggota-anggota baru ke dalam Ikhwanul Muslimin. Pada 11 Februari 1949, Hasan Al-Banna ditembak oknum bersenjata dan meninggal dunia di rumah sakit beberapa jam kemudian. Penembakan itu terjadi akibat aktivitas-aktivitas radikal Ikhwanul Muslimin yang sering menyerang kepentingan politik pemerintah Mesir.

Metode Usrah sebagai Pola Rekrutmen

Pada saat bersamaan, di Indonesia muncul gerakan Darul Islam (DI) yang berusaha menegakkan negara Islam di bumi Nusantara kita. Pada 1962, pemimpin gerakan, Kartosoewirjo ditangkap dan dieksekusi-mati. Anggota-anggota gerakan pun menyerah dan mengakui kedaulatan negara Indonesia.

Akan tetapi, DI belum habis. Terlepas dari campur tangan pemerintah, sebagian pimpinan DI berusaha meneruskan kembali perjuangan Kartosoewirjo. Hanya saja, permasalahan yang menghinggapi mereka adalah regenerasi. Permasalahan itu kemudian mereka atasi dengan mengadaptasi metode usrah.

Metode yang dimaksud pertama kali diperkenalkan oleh Hasan Al-Banna di tengah-tengah Ikhwanul Muslimin. Dalam metode itu, sepuluh sampai lima belas orang dikumpulkan dalam satu kelompok untuk bersedia hidup sesuai syariat Islam.

Dalam satu kelompok, anggota-anggota kelompok tidak ubah seperti satu keluarga (usrah adalah bahasa Arab untuk keluarga). Masing-masing kelompok, setelah menjadi banyak dan bertahan, akan menjadi cikal-bakal untuk mendirikan negara Islam.

Konon, orang yang pertama kali membawa metode ini ke Indonesia adalah Toto Tasmara. Ia memperkenalkan metode ini, setelah terkesan dengan cara teman-temannya di Malaysia ketika menerapkannya di tengah mereka.

Dari Bandung ke Yogyakarta

Di Indonesia, metode usrah pertama kali dikembangkan di tengah aktivis Badan Kordinasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI) yang bemarkas di Masjid Istiqamah, Bandung. Dari masjid inilah kemudian metode usrah menyebar ke masjid-masjid lain di Bandung sampai berakar kuat di Masjid Salman, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Meski demikian, sebagai catatan, tidak setiap orang yang mengikuti kelompok-kelompok usrah di Bandung adalah anggota DI. Sebagian mereka malah menjadi aktivis-aktivis mesjid kampus dan mengembangkan gerakan sadar-Islam ke tengah-tengah mahasiswa tahun 1970-an.

Mereka dengan tegas menolak Islam sempit a la DI, meski tetap mengambil inspirasi gerakan dari gerakan-gerakan Islam di Mesir dan Iran. Masjid Salman ITB sendiri, sejak pertama kali dimasuki metode usrah, tidak memiliki keterkaitan dengan DI.

Adalah Mursalin Dahlan, seorang anggota DI di Bandung, yang kemudian memperkenalkan metode usrah ke anggota-anggota muda DI di Yogyakarta. Di antara anggota-anggota muda itu, terdapat Irfan S. Awwas, Fihiruddin atau Abu Jibril dan Muchliansyah.

Mereka bertiga yang dimaksdud adalah anak didik Abdullah Sungkar yang waktu itu dikenal sebagai seseorang dengan peran menonjol dalam struktur formal DI Jawa Tengah. Sebaliknya, anggota-anggota DI di Yogyakarta telah memiliki metode perekrutan lain yang disebut pesantren kilat, dengan rentang waktu pembelajaran singkat.

Kebangkitan DI

Menggabungkan dua metode itu, anggota-anggota DI banyak merekrut anggota baru sejak tahun-tahun akhir 1970-an sampai 1980-an. Biasanya, pesantren-pesantren kilat akan menjaring peserta-peserta yang tertarik pada Islam.

Mereka yang terjaring pesantren kilat akan diikutkan pada kelompok-kelompok usrah. Dari kelompok itulah, kemudian muncul anggota-anggota baru.

Pengakuan sebagai anggota baru ditandai dengan pembaiatan. Dengan banyaknya anggota-anggota senior DI yang dipenjara penguasa waktu itu, metode usrah dan pesantren kilat menjadi semacam suntikan beharga bagi kelangsungan DI. Dari Bandung dan Yogyakarta, metode tersebut kemudian dikembangkan ke Jakarta dan Jawa Timur.

(Rimbun Natamarga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar