Sejarah Mafia Berkeley : Broker Ekonomi Indonesia

SEJAK Soeharto berkuasa, ekonom yang tergabung dalam Organisasi Tanpa Bentuk yang bernama “Berkeley Mafia” memegang kendali ekonomi Indonesia sampai sekarang, dengan jeda sebentar selama Kyai Haji Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden. Di masa itu, pengaruhnya tidak lagi semutlak sebelumnya, namun masih tetap besar melalui Dewan Ekonomi Nasional yang diketuai oleh Prof. Emil Salim dan Dr. Sri Mulyani Indrawati sebagai sekretarisnya. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi pada Menko EKUIN yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro dengan Sri Mulyani sebagai sekretarisnya.

Tulisan Kwik Kian Gie ini pernah dimuat di Harian Rakyat Merdeka pada pertengahan 2006.
Jadi dalam periode pemerintahan Abdurrahaman Wahid, seluruh Tim Ekonomi yang bukan anggota Berkeley Mafia terus menerus dibayang-bayangi Berkeley Mafia yang mempunyai hubungan sangat dekat dan intensif dengan negara-negara dan lembaga-lembaga internasional pemberi utang kepada Indonesia.

Para anggota Berkeley Mafia tidak perlu harus lulusan dari Universitas Berkeley di California. Banyak lulusan dari Berkeley yang bukan anggota Berkeley Mafia. Sebaliknya, banyak pula para sarjana lulusan dari perguruan tinggi yang bukan Berkeley adalah anggota Berkeley Mafia.

Dalam era Presiden Soekarno yang disebut Orde Lama, pembangunan ekonomi tidak memperoleh perhatian yang cukup. Ini disebabkan karena Bung Karno dengan rekan-rekannya dihadapkan pada sekelompok besar manusia dengan sangat banyak suku yang masing-masing mempunyai latar belakang kebudayaannya sendiri-sendiri, serta menghuni sangat banyak pulau.

Dalam era Presiden Soekarno yang saya lebih suka menyebutnya era Nation and Character Building, utang luar negeri sebesar US$ 2 miliar. Sumber daya alam praktis utuh. Namun pertumbuhan ekonomi tidak ada atau tidak seberapa, kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya terbelakang. Pada akhir pemerintahan Soekarno inflasi mencapai 600%. Pada akhir pemerintahannya kondisi politik sangat tidak stabil dengan terjadinya G-30-S PKI beserta aftermath-nyoi.

Mengapa ekonomi “diterlantarkan”? Benarkah Bung Karno tidak mengerti ekonomi dan tidak mempunyai perhatian terhadap pembangunan ekonomi?
Mengapa tidak mengundang modal asing secara besar-besaran, dan mengapa tidak mempersilakan akhli-akhli asing mengendalikan Indonesia melalui nasihat-nasihat atau rekomendasi yang mengikat, karena dibiarkan menggrojok Indonesia dengan utang?

Dari berbagai pidato Bung Karno dapat dengan sangat jelas diketahui bahwa Bung Karno mengerti betul pentingnya pembangunan ekonomi. Namun ada dua faktor yang membedakan Bung Karno dengan pikiran-pikiran Berkeley Mafia. Yang pertama ialah tugas untuk menggembleng bangsa Indonesia menjadi satu nation yang diikat dengan Tunggal Eka dalam Kebhinekaannya membutuhkan waktu dan prioritas tinggi, sehingga pembangunan ekonominya tidak terlampau tertangani, mengingat akan beratnya tugas menyatukan bangsa ini, yang diganggu oleh DI/TII, RMS, PRRI/Permesta, dan belum lagi rong-rongan dari kekuatan-kekuatan geopolitik. Kedua, karena Bung Karno seorang nasionalis dalam arti positif.

Tentang mengapa Bung Karno mempunyai reserve terhadap modal asing, Ibu Megawati pernah bercerita kepada saya. Istana selalu ramai dikunjungi investor asing yang minta kepada Bung Karno supaya dibolehkan mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dan sumber daya mineral lainnya. Bung Karno selalu menolak kecuali yang minimal sekali untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Ibu Mega yang ketika itu berusia 16 tahun bertanya kepada ayahnya, mengapa menolak?

Dijawab oleh Bung Karno: “Nanti Dis, kita tunggu sampai kita mempunyai insinyur-insinyur sendiri.”

Jadi Bung Karno tidak anti asing, tetapi ingin menggarap sumber daya mineral yang ada di bumi Indonesia oleh insinyur-insinyur Indonesia sendiri yang sedang disiapkan, terutama oleh almamaternya, ITB. Lagi-lagi tidak memusuhi asing, namun lebih mencintai bangsanya tanpa merugikan orang lain. Bung Karno memimpikan bangkitnya perusahaan-perusahaan minyak Indonesia seperti Shell, Exxon Mobil, Chevron, Total dan sebagainya.

Sekarang kita mempunyai sangat banyak insinyur pertambangan, dan di antaranya banyak yang bergelar Ph.D dari universitas-universitas bereputasi tinggi di Eropa dan Amerika Serikat. Namun 92% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing. Pertamina hanya mengeksploitasi 8% saja. Formula kontrak bagi hasil mengatakan 85% untuk Indonesia dan 15% untuk perusahaan minyak asing. Namun kenyataan sampai sekarang 40% dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing dan 60% oleh bangsa Indonesia.

Mengapa asing tidak memperoleh 15% sesuai dengan kontrak? Karena di dalam kontrak itu ada ketentuan bahwa biaya eksplorasi harus dibayar terlebih dahulu sampai habis. Yang selalu menjadi pertanyaan di benak saya ialah mengapa tidak habis-habis terbayar sampai sekarang ?

Seperti kita ketahui, di tahun 2006, ketika Petronas yang awalnya belajar dari kita berjaya sebagai perusahaan transnasional yang sudah mulai membuka pompa-pompa bensin di Indonesia, blok Cepu yang konon mempunyai kandungan minyak sebesar 1 sampai 2 miliar barrel itu eksploitasinya praktis diserahkan kepada Exxon Mobil.
Hutan-hutan kita gundul, dana reboisasi dikorup, sehingga demikian kecilnya sampai tidak ada artinya sama sekali kalau maksudnya untuk melakukan reboisasi.

Sumber daya mineral kita dieksploitasi dengan kontrak-kontrak yang tidak pernah diketahui cukup jelas duduk perkaranya oleh pemiliknya, yaitu rakyat Indonesia beserta wakil-wakilnya. Pembukuan Pertamina dan pembukuan di Departemen Keuangan dalam bidang minyak tidak pernah terbuka buat rakyat beserta wakil-wakilnya. Utang luar negeri dan utang dalam negeri terakumulasi dengan pembengkakan demikian besarnya, sehingga 25% dari APBN harus dipakai untuk membayar utang.

Hakikat utang ialah ditanamkan sedemikian rupa, sehingga dapat dibayar dari nilai tambah atau value added yang diciptakan oleh utang itu. Maka dikatakan bahwa utang harus mempunyai self liquidating character. Tetapi utang pemerintah kita hanya dapat dibayar melalui membuat utang baru dan menjual asset negara. Utang dipakai untuk membangun sesuatu. Pada waktu utang harus dibayar, yang dibangun itu lenyap lagi untuk membayar utang.

Akibatnya pemerintah tidak mempunyai cukup uang untuk melakukan tugas-tugas pokok pemerintah dalam bidang ekonomi, yaitu membangung infra struktur yang cukup dari hasil pajak. Hasil pajaknya harus dipakai untuk membayar utang. Dalam kondisi seperti ini, dicanangkanlah sebuah ideologi yang mengatakan bahwa jalan raya bebas hambatan atau freeway yang di negara-negara paling kapitalis dan paling liberal disediakan dengan cuma-cuma, di Indonesia dinyatakan sebagai purely commercial goods, sehingga rakyat yang menggunakannya harus membayar tarif yang cukup tinggi untuk dapat memberi laba atau return on investment yang bersaing dengan kemungkinan investasi dalam bidang-bidang lainnya.

Ideologi lainnya ialah bahwa harga minyak yang harus dibayar oleh pemiliknya harus ditentukan oleh New York Mercantile Exchange. Tidak boleh ditentukan oleh pemiliknya sesuai dengan kepatutan atau daya beli pemiliknya. Alasan yang dikemukakan ialah ideologi mekanisme pasar yang harus dberlakukan kepada bangsa Indonesia, walaupun bangsa Indonesia tidak mempunyai mekanisme pasar untuk minyak.

Maka diambillah mekanisme pasar di New York, walaupun hanya memperdagangkan 30% dari volume minyak dunia. Bentuk pasar Indonesia yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai pasar yang monopoli dengan penugasan menjual BBM dengan harga yang tingginya ditetapkan sesuai dengan daya beli pemiliknya, harus serta merta dihapus, diganti dengan harga hasil mekanisme pasar di New York, tanpa mengubah atau membuang pasal 33 dari Konstitusinya terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar