Cerita Tentang NTT

kilas kisah di HUT Propinsi NTT ke 5



1324381691847167197

-logo propinsi ntt-



3-20 Desember 2011)

Kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara Timur (NTT) diperkirakan mulai eksis sekitar abad ke 3 Masehi. Dimasa ini terjalin hubungan dagang yang erat antara kerajaan-kerajaan di Pulau Timor dan Sumba dengan kerajaan-kerajaan di Cina. Komoditi utama yang dijual belikan dalam hubungan ini adalah kayu cendana.


Baru pada tahun 1225, kejaraan-kerajaan di NTT menjalin hubungan dagang dan politik dengan kerajaan-kerajaan di pulau Jawa. Ketika Patih Gajah Mada mencetuskan gagasan untuk menyatukan nusantara, wilayah NTT tidak luput dari perhatiannya. Satu demi satu kerajaan di pulau Timor, Flores dan Sumba ditaklukan.



Pada abad ke 16, NTT mulai berhubungan dengan Portugis. Terhitung sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511. Baru pada tahun 1561, Portugis benar-benar membangun kekuasaan kolonialnya di wilayah NTT. Pusat kekuasaannya ditetapkan di Solor dengan dibangunnya sebuah benteng pertahanan di pulau tersebut.




Karena pentingnya NTT bagi perdagangan, maka Belanda pun berusaha merebut Pulau Solor dari tangan Portugis. Serangan pun dilakukan pada tahun 1625, 1629 dan 1653. Namun pada serangan ketiga tahun 1653, VOC baru berhasil merebut benteng Portugis itu. Pada tahun yang sama pula VOC merangsek menguasai benteng Portugis di Kupang yang kemudian diberi nama Fort Concordia. Benteng ini lalu dijadikan basis pertahanan untuk menaklukkan raja-raja di Timor.



Portugis yang tersingkir oleh VOC di Timor bagian barat, melarikan diri dan bertahan di Pulau Timor bagian timur (sekarang Republica Demokratica de Timor Leste). Sejak tahun 1701, Portugis menempatkan Antonio Coelho Guerrio sebagai gubernur untuk wilayah Timor dan Solor.



Sementara itu, Timor barat berpusat di Kupang pada tahun 1756, Belanda berhasil mengikat 15 raja dalam suatu perjanjian. Namun, perjanjian tersebut tidak menghentikan perlawanan beberapa raja di pedalaman Timor, misal yang dilakukan Raja Sonbai pada tahun 1780. Sayang, perlawanan Sonbai itu dapat diredam Belanda.



Pada tahun 1856, Belanda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang dikenal dengan Traktat Timor. Isinya antara lain berupa pembagian wilayah antara kedua pemerintah kolonial. Perjanjian ini mengabaikan kekuasaan raja-raja setempat. Setelah dibuatnya Traktat Timor, kedudukan Belanda di wilayah NTT semakin kuat. Belanda mulai memusatkan perhatiannya menumpas gerakan perlawanan raja-raja.




Awal abad ke 20, Belanda sepenuhnya menguasai wilayah NTT. Era penjajahan Belanda berhenti sementara pada 19 Februari 1942 ketika Jepang mendarat di pantai selatan Timor dan berhasil menduduki Kupang. Setelah itu, NTT diatur dengan pemerintahan militer Jepang. Namun Jepang hanya berkuasa selama 3 tahun, dan NTT kembali dikuasai Belanda.



Belanda hanya mengakui kedaulatan Swapraja dibawah pimpinan Raja-raja, yang seluruhnya berjumlah 48 Swapraja. Hal tersebut diatur dalam perjanjian politik yang dikenal dengan Korte Verklaring. Dengan demikian hubungan antara raja-raja dengan Belanda berkedudukan sama.



Keresidenan Timor dipegang oleh seorang Pangreh Praja Belanda yang bergelar Residen dan dibantu oleh Asisten Residen. Keresidenan Timor lalu dibagi dalam Afdeling-Afdeling, yakni Sumbawa, Flores, Sumba, Timor. Masing-masing Afdeling dikepalai oleh seorang Asisten Residen. Dibawah Afdeling terdapat Onder Afdeling yang meliputi beberapa Swapraja yang dikepalai oleh seorang Controuler dengan dibantu oleh beberapa Bestuur Asisten Bangsa Indonesia.



Untuk melaksanakan Pemerintahan di NTT, Belanda berpegang pada Self Bestuur Regelen tahun 1903, 1919, 1927, dan 1938 yang tercantum dalam Indische Staatsblad 1916 No. 372 menetapkan terbentuknya wilayah pemerintahan “Keresidenan Timor dan teluknya” (Residentie Timor en onder Hoorig heden) dengan pusatnya di Kupang. Residentie Timor terdiri dari 3 Afdeling (Timor ibukota Kupang, Flores ibukota Ende, Sumba ibukota Bima) dan 15 Order Afdeling




Ketika 17 Agustus 1945 kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, maka semua wilayah jajahan Hindia Belanda dinyatakan bebas. Namun karena Belanda terus berupaya menguasai NTT, maka rakyat NTT bangkit dan melawan. Melalui organisasi Partai Perserikatan Kebangsaan Timor, yang kemudian merubah namanya menjadi Partai Demokrasi Indonesia di Timor, tokoh-tokoh pejuang NTT terus berjuang hingga terbentuknya pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT), Pemerintah Otonom NTT.

Pada tahun 1946 terlaksananya Konferensi Malino, dimana para pejuang NTT seperti A.H Koroh, I.H Doko dan Th Oematan menghadiri Konferensi tersebut dengan membawa tekad yang bulat yaitu “menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri sekarang juga”. Konferensi kedua dilaksanakan di Denpasar pada tanggal 20 Desember 1946 yang dihadiri oleh : I.H Doko, pastor Gabriel Manek dan Drs. A.Roti.



Dengan berpegang pada persetujuan Linggar Jati dan disetujui oleh Presiden RI dan Pemerintah RI, maka utusan-utusan dari Timor ikut membentuk NIT sebagai sarana untuk meletakan dasar pemerintahan yang berkedaulatan yang meliputi seluruh Indonesia kelak. I H Doko, Gabriel Manek, Y.S Amalo dan B. Sahetapy – Angel lalu dilantik sebagai Anggota Parlemen asal NTT. Tugas utama Anggota Parlemen adalah menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kebebasan.



Tahun 1950, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1950 dibentuklah Propinsi Administrasi Sunda Kecil yang meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor dan Kepulauannya termasuk Sawu, Rote dan Alor. Namun pada tahun 1954 dengan UU Darurat No. 9 Tahun 1954, nama Sunda Kecil diganti dengan nama Nusa Tenggara. Nama ini diberikan oleh Menteri P dan K RI Prof. Mr. Moh Yamin (alm), dan untuk pertama kali dicetuskan di Kupang pada tahun 1953.




Pada tahun 1957 setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan dengan UU No. 64 tahun 1958, Propinsi Nusa Tenggara dibagi menjadi tiga daerah Swantantra Tingkat 1, yaitu Swantantra Tingkat 1 Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT. Daerah tingkat 1 NTT meliputi Flores, Sumba, Timor dan Kepulauannya.



Jumlah pulau yang ada di NTT sebanyak 566 buah dan tersebar, namun bahasa yang dimiliki cukup banyak dan tersebar pada pulau-pulau yang ada, yaitu : Bahasa Kupang, Melayu Kupang, Dewan Amarasi, Helong, Sabu, Rote, Tetun, Bural (untuk pulau Timor, Rote, dan Sabu serta pulau-pulau kecil disekitarnya). Untuk pulau Alor dan pulau-pulau disekitarnya cukup banyak bahasa yang dimilikinya, yaitu : Bahasa Tewo Kedebang, Blagar, Lamuna, Abui, Adeng, Katola, Taangla, Pui, Kalona, Kui, Pura Kang, Samila, Kule, Aluru, Kayu, dan Kaileso. Sedangkan untuk pulau Flores terdiri Bahasa Melayu, Larantuka, Lamaholot, Kedang, Krawe, Palue, Sikka, Lio, Lio Ende, Naga Keo, Ngadha, Ramba, Ruteng, Manggarai, Bajo, dan Komodo. Pulau Sumba terdiri dari Bahasa Kambera, Wewewa, Anakalang, Lamboya, Mamboro, Wonakaka, Loli, dan Bahasa Kodi.



Hubungan kemasyarakatan di NTT masih sangat kental (kekerabatan dan nilai-nilai kehidupan) sehingga kegotong-royongan merupakan landasan pijak dalam mengembangkan pola kehidupan setiap hari.



Penduduk asli NTT terdiri dari berbagai suku yang mendiami daerah-daerah yang tersebar di seluruh wilayah NTT. Adapun suku-suku dan lokasinya di NTT sebagai berikut: Suku Bangsa Helong (Mendiami sebagian wilayah Kabupaten Kupang / Kupang Tangah dan Barat / Serta pulau Semau), Suku Bangsa Dawan (Mendiami sebagian wilayah Kabupaten Kupang / Amarasi, Amfoang, Kupang Timur dan Tengah / Kabupaten Timor, Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan sebagian Kabupaten Belu / bagian perbatasan dengan Kabupaten TTU), Suku Bangsa Tetun (Mendiami sebagian besar Kabupaten Belu dan wilayah Negara Timor Leste), Suku Bangsa Kemak (Mendiami sebagian kecil Kabupaten Belu dan wilayah Negara Timor Leste), Suku Bangsa Marae (Mendiami sebagian kecil Kabupaten Belu bagian Utara dekat perbatasan dengan Negara Timor Leste), Suku Bangsa Rote (Mendiami sebagian besar Pulau Rote dan di sepangjang pantai utara Kabupaten Kupang dan Pulau Semau), Suku Bangsa Sabu /Rae Havu (Mendiami Pulau Sabu dan Raijua serta beberapa pulau Sumba), Suku Bangsa Sumba (Mendiami Pulau Sumba), Suku Bangsa Manggarai Riung (Mendiami Pulau Flores bagian Barat, terutama Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Barat dan Ngada), Suku Bangsa Ngada (Mendiami sebagian besar daerah Kabupaten Ngada), Suku Bangsa Ende Lio (Mendiami daerah kabupaten Ende dan Sikka), Suku Bangsa Sikka - Krowe Muhang (Mendiami daerah kabupaten Sikka), Suku Bangsa Lamaholot (Mendiami daerah Kabupaten Flores Timur meliputi pulau Adonara, Solor dan sebagian Pulau Sembara), Suku Bangsa Kedang (Mendiami ujung timur Pulau Lembata), Suku Bangsa Labala (Mendiami ujung selatan Pulau Lembata), Suku Bangsa Alor Pantar (Mendiami Pulau Alor dan Pantar).


NTT didominir oleh Agama Kristen (Katholik dan Protestan) dan sebagian Agama Islam. Perkembangan Agama Katholik di sebarkan oleh Bangsa Portugis dan Agama Kristen Protestan di sebarkan oleh Bangsa Belanda. Sedangkan penyebaran Agama Islam masuk ke NTT melalui pedagang dari Ternate yang penyebarannya melalui kabupaten Alor. +++(berbagai sumber)

Sandro Wangak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar