Jibt, Thaghut, Penyembah Berhala dan Khilafah

Siapakah Al-Jibt dan Thaghut?
islam


Oleh : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin





أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا



“Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada Al-Jibt dan Thaghut, serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (QS An-Nisa’4:51-52)




Sebab Turunnya Ayat



Ibnu Jarir rahimahullahu meriwayatkan (5/133): Muhammad bin Al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi ‘Adi telah menceritakan kepada kami, dari Dawud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Ketika Ka’b bin Asyraf tiba di Makkah, orang-orang Quraisy berkata kepadanya: “Engkau adalah orang yang paling baik dari penduduk Madinah dan pemuka mereka.” Ia menjawab: “Ya (betul)!” Mereka berkata: “Maukah kamu melihat kepada seorang shanburl yang terputus dari kaumnya? Ia mengaku bahwa dirinya lebih baik dari kami. Sementara kami yang lebih memerhatikan orang-orang yang menunaikan haji, pengabdi Ka’bah, dan memberi minum (bagi orang-orang yang menunaikan ibadah haji) setiap zaman (terlebih pada musim dingin saat paceklik).” Ia berkata: “Kalian lebih baik daripada dia.”



Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Maka turunlah ayat:




إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ



“Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dia yang terputus.” (Al-Kautsar: 3)



Turun juga ayat:




أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا



“Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (QS An-Nisa 4:51)





Hadits ini juga disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tafsirnya (1/513). Beliau berkata: Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: Muhammad bin Abi ‘Adi menceritakan kepadaku…, dengan sanad seperti di atas.



Ibnu Hibban rahimahullahu juga meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, sebagaimana terdapat dalam kitab Mawarid Azh-Zham’an (hal. 428). Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu berkata: “Semua perawinya adalah para perawi shahih. Hanya saja yang rajih (kuat) bahwa (hadits ini) mursal (ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, pen.), sebagaimana yang disebutkan dalam Takhrij Tafsir Ibnu Katsir2.” (Lihat Ash-Shahih Al-Musnad min Asbabin Nuzul, Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu, hal. 77)



Penjelasan Mufradat Ayat



أَلَمْ تَرَ



“Apakah kamu tidak memerhatikan...”



Sebagian ulama ada yang memakai kalimat ini dengan makna أَلَمْ تَرَ بِقَلْبِكَ yakni أَلَمْ تَعْلَمْ. Artinya, apakah kamu tidak melihat (dengan penglihatan hati/ilmu) dengan membawa kepada makna ru’yah qalbiyah atau ilmiyah.




Ada pula yang memaknai النَّظَرُ (melihat dengan penglihatan mata) dengan membawa kepada makna ru’yah bashariyah, sehingga artinya apakah kamu tidak memerhatikan (melihat dengan mata).



Banyak para ulama tafsir yang menguatkan makna pertama, ru’yah qalbiyah atau ‘ilmiyah. Karena orang-orang Arab menempatkan kata الْعِلْمُ (pengetahuan) pada makna الرُّؤْيَةُ (penglihatan). Yakni kata ‘melihat’ dimaknakan dengan ‘mengetahui’. Demikian pula sebaliknya, mereka menempatkan kata الرُّؤْيَةُ (penglihatan) pada makna الْعِلْمُ. Yakni kata ‘mengetahui’ dimaknakan dengan ‘melihat’. Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (sebagai misal penglihatan bermakna pengetahuan).



أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ



“Apakah kamu tidak memerhatikan (dengan hati/ilmu) bagaimana Rabb-Mu telah bertindak kepada tentara gajah.” (Al-Fiil: 1)


Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (sebagai misal pengetahuan bermakna penglihatan):




وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ



“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata terlihat) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.” (QS Al-Baqarah 2:143)




Kalimat ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ bermakna إِلَّا لِنَرَى مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ, artinya: “Melainkan agar Kami bisa melihat dengan nyata siapa yang mengikuti Rasul….” (Lihat Tafsir Ath-Thabari, Al-Alusi)


Ada pula yang memaknakan الرُّؤْيَةُ dalam ayat ini adalah ru’yah bashariyah bermakna melihat, dengan dalil bahwa kalimat رَأَ ى di sini muta’addi dengan huruf إِلَى sehingga maknanya menjadi النَّظَرُ (melihat dengan mata). (Lihat Al-Jadid fi Syarhi Kitabit Tauhid, karya Asy-Syaikh Muhammad Al-Qar’awi rahimahullahu hal. 143, Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, 1/468)




Huruf hamzah istifham (pertanyaan) dalam kalimat ﮍ ﮎ ketika masuk/bergandeng bersama huruf nafi لَمْ, mengubah kalimat pertanyaan yang ada menjadi kalimat penetapan. Atau diistilahkan oleh para ulama dengan istifham lit taqrir atau lil ijab.



Kalimat أَلَمْ تَرَ dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebutkan suatu perkara yang mengherankan (mengagumkan). Seperti kekaguman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang yang bernama Mujazziz Al-Mudliji. Dalam sebuah hadits3, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku dalam keadaan wajah beliau berseri-seri sambil terheran-heran. Beliau berkata:




أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ مُجَزِّزًا الْمُدْلِجِيَّ دَخَلَ عَلَيَّ فَرَأَى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ وَزَيْدًا وَعَلَيْهِمَا قَطِيفَةٌ قَدْ غَطَّيَا رُءُوسَهُمَا وَبَدَتْ أَقْدَامُهُمَا فَقَالَ: إِنَّ هَذِهِ الْأَقْدَامَ بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ




“Apakah kamu tidak memerhatikan (dengan penglihatan hati/ilmu) Mujazziz Al-Mudliji (sambil terheran-heran)? Dia baru saja masuk rumah kemudian melihat (menyaksikan) Zaid bin Haritsah dan putranya Usamah bin Zaid sedang berbaring tidur. Kepala keduanya tertutupi oleh qathifah (kain beludru), tetapi kaki-kakinya terlihat. (Mereka berdua tidur dengan satu selimut, sementara kaki-kakinya tersingkap. Zaid berkulit putih, sedangkan Usamah berkulit hitam, pen.) Kemudian Mujazziz berkata: ‘Sesungguhnya kaki-kaki ini sebagiannya adalah dari sebagian yang lain (yakni ada hubungan kerabat’.”




إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا




“Orang-orang yang didatangkan…,”



maknanya yaitu orang-orang yang diberi dan tidak diberi seluruh Al-Kitab (sebagian saja). Mereka diharamkan (terhalangi) mendapatkan seluruh kitab karena kemaksiatan yang mereka lakukan. (Al-Qaulul Mufid, 1/468)



Mayoritas ulama ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah sekumpulan ahlul kitab dari kalangan Yahudi.



Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu berkata: “Mungkin juga mereka yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang disebut oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, seperti Huyai bin Akhthab dan Ka’b bin Al-Asyraf.”



Ibnu Katsir rahimahullahu menyebutkan riwayat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari jalan ‘Ikrimah atau Sa’id bin Jubair, maknanya bahwa mereka Huyai bin Akhthab, Salam bin Abil Haqiq, Abu Rafi’, Ar-Rabi’ bin Abil Haqiq, Abu ‘Amir, Wahwah bin ‘Amir, Burdah bin Qais. Wahwah, Abu ‘Amir, dan Burdah berasal dari Bani Wail, sedangkan yang lain semuanya dari Bani Nadhir. (Ibnu Katsir, 1/486)



نَصِيبًا




“Bagian.”



Banyak ahli tafsir memaknai kata ﯺ dalam ayat ini dengan nasib atau bagian, seperti Ath-Thabari, Al-Qurthubi, dan yang lain. Sebagian ada yang memaknai dengan makna بَعْضًا (sebagian dari), seperti Al-Alusi.



مِنَ الْكِتَابِ



“dari Al-Kitab,”



yaitu Taurat. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Al-Kitab di sini mencakup Taurat dan Injil. Kalimat ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ , Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan dengan kalimat أُوتُوا الْكِتَابِ. Karena diberi sebagiannya saja, mereka tidak memiliki ilmu yang sempurna terhadap apa yang ada dalam Al-Kitab. (Al-Qaulul Mufid 1/469)


يُؤْمِنُونَ


“Mereka percaya,”



yaitu percaya (beriman) kepada al-jibt dan thaghut, kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan mereka mengetahui bahwa beriman kepada keduanya adalah kufur, percaya kepada keduanya adalah syirik. (Tafsir Ath-Thabari)



Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menerangkan: “Maknanya adalah membenarkan, menetapkan, dan tidak mengingkarinya.”



بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ



“Kepada al-jibt dan thaghut.”



Ada beberapa pendapat ulama dalam memaknai kata al-Jibt. Di antaranya:






  1. Al-Jibt adalah sihir. Ini adalah pendapat Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, ‘Atha, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adh-Dhahak, dan As-Suddi.

  2. Al-Jibt adalah setan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, ‘Athiyyah, dan Qatadah.

  3. Al-Jibt adalah syirik. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menurut bahasa orang Habasyah.

  4. Al-Jibt adalah al-ashnam (patung-patung). Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

  5. Al-Jibt adalah al-kahin (dukun). Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, Abul Aliyah, Muhammad bin Sirin, dan Makhul.

  6. Al-Jibt adalah Huyai bin Akhthab. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

  7. Al-Jibt adalah Ka’b bin Al-Asyraf. Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid.


  8. Al-Jibt adalah suara (bisikan) setan. Pendapat ini dilontarkan oleh Al-Hasan.

  9. Abu Nashr bin Ismail bin Hammad Al-Jauhari dalam kitabnya Ash-Shihah, menyebutkan bahwa Al-Jibt adalah suatu kalimat yang dipakai untuk memaknai patung, dukun, tukang sihir, dan yang lainnya.

  10. Al-Jibt adalah tukang sihir (menurut bahasa Habasyah). Pendapat ini dinyatakan Ibnu Zaid, Sa’id bin Jubair, Abul Aliyah, Ibnu Sirin, dan Makhul.

  11. Al-Jibt adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Imam Malik bin Anas.



Tentang kata Thaghut, juga ada beberapa pendapat:





  1. Setan. Ini pendapat Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul Aliyah, Atha’, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, As-Suddi, dan ‘Ikrimah.


  2. Tandingan-tandingan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berhala-berhala dan semua yang setan menyeru (mengajak) kepadanya.

  3. Al-Kahin (dukun). Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Abul Aliyah, dan Qatadah.

  4. Ibnul Qayyim berkata: “Thaghut adalah segala sesuatu yang dengannya seorang hamba melampaui batas, baik berupa yang diibadahi, yang diikuti, atau yang ditaati.”



Ahlul ilmi mengatakan bahwa makna atau tafsir inilah yang paling menyeluruh, sedangkan penafsiran yang lain merupakan tafsir misal (bentuk konkret yang ada).



Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Pendapat yang memaknakan kata thaghut dengan setan adalah pendapat yang kuat sekali, karena mencakup seluruh kejelekan dan keburukan yang dahulu dilakukan orang-orang jahiliah. Seperti menyembah berhala, mengadukan perkara kepadanya (sebagai pemutus dan pengatur), dan meminta tolong kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/294)



Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Yang benar dari pendapat para ulama tentang makna kata al-jibt dan thaghut adalah membenarkan (memercayai) dua perkara yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyembah (beribadah kepada)nya, dan menjadikan keduanya sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena al-jibt dan thaghut adalah dua nama yang diperuntukkan bagi segala sesuatu yang dimuliakan (diagungkan) selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan melakukan peribadatan (menyembah), menaati, dan tunduk (merendahkan dan menghinakan diri) kepadanya, apapun bentuknya. Baik berupa batu, manusia, maupun setan.




Jika segala sesuatu tadi (batu dan yang selainnya) diperlakukan sedemikian rupa (disembah, ditaati, dan seterusnya) maka berhala-berhala yang dahulu disembah orang-orang jahiliah telah menjadi sesuatu yang dimuliakan (diagungkan) dengan melakukan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengannya, berhala-berhala itu telah menjadi al-jibt dan thaghut.



Demikian pula setan yang dahulu ditaati orang-orang kafir dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.




Termasuk pula tukang sihir dan dukun, yang ucapan keduanya diterima (dipercaya) oleh orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.



Sedangkan Huyai bin Akhthab dan Ka’b bin Asyraf, keduanya adalah orang yang berilmu dari kalangan orang-orang Yahudi, tetapi keduanya bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga keduanya termasuk al-jibt dan thaghut.



وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا



“Dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.”




Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Mereka mengutamakan orang-orang kafir daripada orang-orang muslim disebabkan kejahilan, sedikitnya pemahaman terhadap agama mereka, dan ingkarnya mereka terhadap Kitabullah (Taurat) yang ada pada mereka.




Misalnya seperti yang tersebut dalam asbabun nuzul di atas.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/486)



أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا



“Mereka itulah orang yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.”



Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Inilah laknat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, sekaligus berita bahwa tidak ada penolong bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Karena mereka datang kepada kaum musyrikin hanya untuk meminta pertolongan. Mereka mengatakannya kepada kaum musyrikin, agar kaum musyrikin condong kepada mereka dan kemudian mau menolong mereka. Hal itu telah dikabulkan dan dibuktikan dengan datangnya mereka bersama-sama pada Perang Ahzab, hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya membuat parit di sekitar Madinah.




Cukuplah hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menolak kejahatan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:




وَرَدَّ اللهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللهُ قَوِيًّا عَزِيزًا




“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS Al-Ahzab 33:25)




Makna dan Faedah Ayat



Asy-Syaikh Sa’di rahimahullahu, setelah menyebutkan ayat di atas, mengatakan: “Ini termasuk di antara keburukan, kejelekan, dan kedengkian orang-orang Yahudi terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin. Akhlak mereka yang rendah dan tabiat yang buruk, telah membawa mereka untuk tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menggantinya dengan beriman kepada al-jibt dan thaghut, yaitu beriman kepada segala bentuk peribadatan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau berhukum dengan selain syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk dalam hal ini adalah sihir dan perdukunan, beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, menaati (mengikuti) setan. Semua ini termasuk bagian dari al-jibt dan thaghut. Demikian pula perbuatan mereka berupa kekufuran, kedengkian dengan mengutamakan jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala –para penyembah berhala– di atas jalan yang ditempuh orang-orang beriman, dengan: mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. (Tafsir As-Sa’di hal. 182)




Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan: “Banyak orang yang mengaku Islam, berpaling dari (ajarannya) hingga membuang jauh-jauh Al-Qur’an di belakang punggung mereka serta rela mengikuti apa yang dibisikkan oleh setan. Ia tidak mengagungkan perintah Al-Qur’an dan larangan-Nya, tidak berloyalitas kepada orang yang diperintahkan Al-Qur’an untuk berloyal kepadanya, dan tidak memusuhi orang yang diperintahkan Al-Qur’an untuk memusuhinya. Bahkan dia mengagungkan orang yang mampu melakukan beberapa perkara yang luar biasa. Sebagian mereka ada yang tahu bahwa perkara luar biasa itu datangnya dari setan, tetapi tetap mengagungkannya karena dorongan hawa nafsu, hingga dia mengutamakannya di atas jalan (petunjuk) Al-Qur’an, sebagaimana orang-orang kafir (Yahudi). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka:




أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ




Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada Al-Jibt dan thaghut.” (An-Nisa’: 51) (Majmu’ Fatawa, Tafsir Surat An-Nisa’)




Ayat ini termasuk ayat yang pertama dicantumkan oleh Syaikul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dalam Kitabut Tauhid, pada bab Ma Ja’a anna Ba’dha Hadzihil Ummati Ya’budu Al-Autsan (Penjelasan adanya sebagian umat ini yang menyembah berhala).




Asy-Syaikh Muhammad Al-Qar’awi rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Jadid (hal. 143): “Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan pandangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus dan kaum muslimin secara umum, pada beberapa perbuatan orang-orang Yahudi yang menyimpang lagi mungkar. Yaitu mereka memercayai penyembahan berhala serta mengedepankan peribadatan tersebut di atas peribadatan orang-orang mukmin terhadap Rabb mereka, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berada padanya. Walaupun mereka (orang-orang Yahudi) mengetahui bahwa kitab mereka yang dahulu (Taurat) telah menerangkan, agama Islam lebih utama daripada peribadatan kepada berhala, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar adanya, serta apa yang dibawa adalah perkara yang haq; akan tetapi sifat dengki dan dendam membutakan mereka serta menghalangi untuk mengucapkan kebenaran. Mereka kemudian membuat tipu daya dengan bermuka manis di hadapan orang kafir dan perbuatan mereka (peribadatan kepada berhala). Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala enggan (dengan semua itu) kecuali untuk menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.”



Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata: “Alasan Asy-Syaikh Muhammad memberi judul dalam bab ini adalah untuk membantah orang yang mengatakan bahwa kesyirikan tidak mungkin terjadi (dilakukan) pada umat ini. Mereka mengingkari bahwa peribadatan kepada kuburan dan para wali termasuk bagian dari syirik, karena umat ini telah terjaga dari kesyirikan berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Jabir radhiyallahu ‘anhu:


إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُ


Sumber: asysyariah.com



Khilafah vs Demokrasi




Sejak keruntuhan Khilafah pada 28 Rajab 1342 H, 89 tahun lalu, bisa disebut hampir sebagian besar Dunia Islam mengadopsi sistem demokrasi. Harapannya, sistem demokrasi akan membuat Dunia Islam lebih baik, ternyata tidak. Dunia Islam tetap saja mengidap berbagai persoalan yang akut seperti kemiskinan, kebodohan, pembantaian dan konflik yang berkepanjangan.




Di sisi lain, arus besar untuk kembali ke sistem Khilafah semakin menguat. Ada pernyataan berulang: Demokrasi memang tidak sempurna, tetapi sampai saat ini merupakan sistem terbaik untuk melawan sistem totaliter. Muncul pula pertanyaan berulang: Kebaikan apa yang ditawarkan sistem Khilafah untuk menggantikan sistem demokrasi? Bisakah sistem Khilafah mewujudkan harapan-harapan manusia yang gagal diwujudkan demokrasi? Kita tentu menjawab dengan tegas: sistem Khilafah pasti mampu.




Pertama: menjamin kebenaran yang hakiki. Demokrasi telah gagal dalam hal ini. Klaim suara rakyat adalah suara Tuhan dan menganggap suara mayoritas rakyat adalah suara kebenaran tidak terbukti. Bagaimana suara mayoritas rakyat Amerika bagian utara yang melegalkan perbudakan pada abad ke-19 dianggap benar. Demikian juga, sulit diterima sebagai sebuah kebenaran ketika mayoritas wakil rakyat lewat proses demokrasi melegalkan penghinaan terhadap manusia apalagi manusia yang mulia seperti Rasululllah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, perkawinan homoseksual dan lesbian. termasuk serangan terhadap Irak, Afganistan yang telah membunuh ratusan ribu orang yang dilegalkan lewat suara mayoritas rakyat.




Adapun Islam menawarkan sebuah sistem yang sempurna karena berasal dari Zat Yang Mahasempurna, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Memang, mungkin saja terjadi penyimpangan dari pelaksaan sistem yang sempurna ini. Namun, dari segi sumbernya sistem Khilafah ini adalah yang terbaik. Sebaliknya, demokrasi sejak dasarnya saja sudah bermasalah ketika kebenaran diserahkan kepada manusia.





Kedua: memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpendapat, memilih pemimpinnya sendiri, berekspresi, mengkritik sesuatu yang keliru. Demokrasi memang mengklaim telah memenuhi seluruh harapan ini. Namun, nilai-nilai liberal kemudian menjadi pilarnya. Akibatnya, kebebasan yang ditawarkan menjadi kebablasan dan mengancam masyarakat sendiri. Bukankah atas dasar kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul, kelompok-kolompok homoseksual dan pelaku-pelaku pornografi menginginkan eksistensinya diakui? Ahmadiyah, Lia Eden, dan aliran sesat lainnya pun minta diakui dengan berdalih pada kebebasan?




Di sisi lain, kebebasan yang ditawarkan demokrasi mengidap penyakit hipokrit (standar ganda). Mengklaim kebebasan beragama tetapi melarang pemakaian cadar, jilbab, atau burqa di Eropa. Klaim menghargai pilihan rakyat, tetapi menghadang kemenangan FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina, yang sebenarnya menang secara demokratis. Boleh menghujat Nabi Muhammad sekalipun, tetapi siapa pun yang mempertanyakan kebenaran holocaust dikriminalkan. Sudah pula menjadi rahasia umum, terdapat pengekangan terhadap media baik lewat sensor internal pemilik modal media ataupun pemerintah.




Sebaliknya, sistem Islam memberikan ruang bagi masyarakat seluas-luasnya, namun tetap dalam kerangka hukum syariah yang menjadi standar acuan. Dalam sistem Khilafah, kepala negara atau Khalifah dipilih oleh rakyat dengan berdasarkan keridhaan mereka. Mengkritik penguasa yang menyimpang dalam Islam bukan hanya hak, tetapi sekaligus merupakan kewajiban. Pahala sangat besar pun diberikan kepada mereka yang syahid mengkritik penguasa dengan sebutan sebaik-baik jihad (afdhal al-jihad) dan pemimpin para syuhada.



Terdapat juga Mahkamah Mazhalim yang akan menyelesaikan persengketan antara rakyat dan penguasa, kalau rakyat menganggap kebijakan penguasa telah merugikan mereka. Mahkamah Mazhalim juga akan meluruskan keputusan-keputusan Khalifah yang bertentangan dengan hukum syariah.





Adapun Majelis Ummah, tempat tokoh-tokoh yang merupakan representasi dari masyarakat, bisa mengkritik penguasa atau memberikan masukan kepada Khalifah (musyawarah).




Perbedaan pendapat selama masih berlandaskan pada hukum syariah juga dibolehkan dalam Islam. Meskipun Khlifah bisa jadi mengadopsi salah satu pendapat Imam mazhab dalam pemerintahannya untuk diterapkan, perdebatan ilmiah tentang itu tetap saja dibiarkan. Inilah yang membuat dalam sistem Khilafah muncul berbagai mazhab, sebagai cerminan dari pengakuan perbedaan pendapat ini.




Ketiga: menjamin hak-hak mendasar manusia. Ini adalah sesuatu yang gagal dipenuhi oleh sistem demokrasi. Praktik pelanggaran HAM terbanyak dan terbesar justru dilakukan oleh negara-negara kampiun demokrasi seperti AS dan Inggris. Sebaliknya, penerapan syariah Islam akan menjaga nyawa manusia, keturunan, harta dan kehormatan. Di antaranya dengan menjatuhkan sanksi yang keras bagi pelaku pembunuhan, pencuri,pezina dll.




Keempat: menjamin kepastian hukum dan persamaan di depan hukum. Syariah Islam yang akan diterapkan oleh Khilafah menjamin hal ini bagi seluruh warga, baik Muslim maupun non-Muslim. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menolak makelar hukum yang menginginkan agar perempuan bangsawan tidak dihukum. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan tegas mengatakan kalaupun anaknya Fatimah mencuri, beliau akan memotong tangannya. Khalifah Ali bin Thalib pernah kalah ketika memperkarakan seorang Yahudi dengan tuduhan telah mencuri baju perangnya. Saat itu hakim menilai Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak memilik saksi yang bisa diterima oleh hukum.





Kelima: membuat kebijakan yang pro rakyat. Demokrasi gagal mewujudkan hal ini. Sistem demokrasi telah melahirkan hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya, muncullah kebijakan elit politik yang lebih pro kepada pemilik modal daripada rakyat. Industrialisasi politik, politik transaksional, pragmatisme politik dan suap-menyuap merupakan penyakit kronis demokrasi.




Sebaliknya, Khilafah melalui syariah Islam akan menutup pintu kejahatan ini. Dalam bidang ekonomi syariah Islam juga menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Barang tambang yang melimpah (emas, perak, minyak dll), air, hutan dan listrik merupakan milik umum yang digunakan untuk kepentingan rakyat; tidak boleh diberikan kepada swasta atau individu. Dengan cara seperti ini Khilafah akan mensejahtrakan masyarakat, yang gagal diwujudkan oleh sistem demokrasi.




Walhasil, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerima sistem Khilafah yang akan mewujudkan harapan-harapan manusia. Selain itu, karena menegakkan Khilafah adalah kewajiban agama kita. Kalau ada sistem yang sempurna, mengapa kita tidak mengambilnya? [Farid Wadjdi]


Sumber: hizbut-tahrir.or.id



Demokrasi Thaghut vs Khilafah




Bismillaahi aktubu,




Ada orang-orang yang mengaku sebagai Muslim yang ketika ditanya tentang”Apakah Demokrasi dapat diterima Allahu Tabaraka Ta’ala dan agama-Nya ?




”Mereka menjawabnya dengan jawaban yang kita bisa menyimpulkan bahwa entah mereka itu Munafiq, Kafirun, Fasiq atau mereka tidak tahu apa-apa,akan tetapi mengurus hajat hidup orang banyak. Dan kadang-kadang membawa-bawa nama suatu Universitas besar di Kairo, Mesir.




Dan bahkan mereka dengan nada ekstrim mengindikasikan bahwa Kafirun atau Hipokrit itu justru dari kaum yang suka Golput dari Pemilu.





Kita bisa bertanya, kapankah Universitas Al Azhar mengajarkan Demokrasi?.




Mengapa pemerintahan Mesir tidak sepenuhnya memakai Demokrasi?.Karena Manhaj mereka bukan dari Manhaj ”tidak bermadzhab (laamadzhabiyyah)” seperti yang dilaksanakan oleh kaum Indonesia dan sejumlah negara Muslim lainnya.




Kan lucu sekali ya, ada kaum manusia yang memilih tradisinya orang Pagan, yakni Yunani dan Romawi untuk sistem pemerintahannya, daripada yang dari agamanya sendiri yakni Islam, sekalipun jika mereka menganggap bahwa itu hanyalah tradisi belaka. Itu sebagiannya masih dipertahankan oleh banyak kaum Arab dan berasal dari masa keIslaman.




Jika ditanya, mengapa memakai tradisi Pagan, maka mereka akan membelokkan pembicaraan.





Jika dikatakan kepada mereka ”Anda adalah pemecah belah persatuan yang sebenarnya. Yakni persatuan Muslim antara kaum Muslim Melayu dengankaum Muslim Arab dengan kaum Muslim Afrika dst. Dulu negara anda ketika diajak untuk mendirikan Khilafah oleh Ibn Su’ud Rahimahullah, yang anda lakukan hanyalah bersikap pelit, arogan dan enggan menerimanya.




Anda menyebut mereka Wahhabi karena itu. Muhammad bin Abdul WahhabAt Tamimi Rahimahullah tidaklah memerintahnya, melainkan pada masa itu kerajaan Saudi Arabia itu, dalam masa kepemimpinan oleh Ibn Su’ud Rahimahullah.




”Manhajnya kaum Sekuler itu sama dengan Manhajnya kaum yang menjadi Babu-Babu kepada hawa nafsu mereka sendiri. Bagi mereka itu semata untuk kekuasaan yang memiskinkan kaum Muslim daripada untuk bernegara dengan Syari’at Islam yang sesungguhnya. Kami tidak mengurus kaum model begini yang enggan memakai Syari’at Islam. Justru selama 60 tahun ini yang menciptakan masalah-masalah terhadap kesejahteraan dan terhadap harkat serta martabat mereka adalah mereka sendiri.




Begitu juga kaum model begini senantiasa menjadikan Syari’at Islamsebagai komoditi barter, untuk ditukar dengan harta benda atau prestise yang dapat diberikan oleh kaum Musyrikin dan Yahudi maupun kaum Kafir.





Begitu juga mereka senantiasa merayu dan merayu kepada sejumlah orang yang masyarakat mengikuti mereka dan berTaklid buta kepada mereka, kemudian ketika tokoh yang ditaklidi itu menerima ajakan na’dzubillah mereka, maka mereka pun bergembira ria dan berpesta pora untuk segolongan dari mereka belaka.





  • Kami hendak menyatakan bahwa urusan mereka itu tidak berkaitandengan kami sama sekali, melainkan sesuatu yang harus pertanggung jawabkan kepada Allahu Subhaanahu wa Ta’ala dan terhadap setiap pengikut mereka.

  • Al Qur’an telah menyatakan bahwa si pengikut kaum model begini akan mengatakan kepada pemimpinnya yang menyombongkan diri:





”Allahumma berikan kepada mereka adzab 2x lipat yang akan diterimaoleh kami.”Padahal Allahu Tabaraka Ta’ala kemudian akan berfirman terhadapmereka:



”Diamlah kalian sesungguhnya kalian dan mereka sama-sama akan mendapatkan adzab 2x lipat.”




  • Kaum pengikut dari kaum yang menyombongkan diri akan berkata kepada kaum yang menyombongkan diri:




”Dulu kesalahanmulah yang menghalau dan mendatangi kami dari kiri dan kanan.”Kaum yang menyombongkan diri akan berkata kepada kaum pengikutnya:




”Tidaklah kesalahan kalian itu terjadi kecuali karena kesalahan diri sendiri. Sesungguhnya kalian saat itu tidak ingin menjadi Mukmin.



”Alhasil, sudah cukup menjadi sebagai seorang Muslim. Menurut kaum model begini, tidaklah perlu Muslim itu menjadi Mukmin. Seperti yang diindikasikan oleh An Nisa 4:115.




Oleh karena itu, saya katakan kepada mereka, ”Jangan mendirikan negara diatas negara,” seperti ”Negara tidak berhati diatas negara Sekuler,” atau”Negara Kafir diatas negara Kufur ni’mat.




”Oleh karena itu, saya katakan kepada mereka, ”Jangan egois kepada Allahu Jalla Jalaaluhu, dengan hanya semata memperhatikan penderitaan kalian sendiri. ”Jangan hanya memerhatikan Politik, hiburan dan kesenangan dunia belaka dengan mengabaikan Aqidah Islamiyyah dan Manhaj yang diturunkan oleh Allahu Jalla Jalaaluhu.





Janganlah berdalih dengan Takdir sebagai penyebab utama masalah bangsa yang padahal tidaklah kondisi tsb terjadi kecuali karena dosa. Jadi mereka adalah kaum yang tidak memiliki Imunisasi untuk mencegah bangsa mereka dari memiliki pemimpin-pemimpin tsb. Mereka pernah memiliki Presiden yang tidak bisa memimpin Shalat berjama’ah dan tidak bisa memimpin perang.2. Yang tidak bisa bersikap Rasional, membubarkan santunan untuk anak yatim, dan menyukai klenik.3. Yang suka membunuh lawan-lawan politiknya.




Tidaklah Muslim Indonesia itu mendapatkan Presiden yang suka membunuh, kecuali karena mereka sendiri dulu membunuh karakter dari Syari’at Islam walaupun mereka mayoritas sebanyak 90%. Sedangkan sekarang jumlah Muslim sudah berkurang menjadi 80%. Tidaklah Muslim Indonesia itu mendapat Presiden yang irasional dan pelit serta suka berkelit, kecuali memang karena mereka kaum yang suka terlihat saling kontradiksi antar golongan-golongan Islam di negara mereka. Tidaklah Muslim Indonesia itu mendapat Presiden yang tidak bisa memimpin Shalat ataupun perang Jihad fi sabilillaah, kecuali karena mereka memang malas membela negara Islam yang sedang kesusahan secara materiil ataupun moral dan mereka dipimpin oleh Presiden yang melarang membantu Palestina yang dilanda perang oleh teroris Yahudi. Pada faktanya, ada golongan-golongan yang berkeyakinan bahwa mereka telah dilawan dan ditelantarkan oleh golongan tertentu di negara tsb, sementara nasib bangsa itu sendiri yang seharusnya bersyari’at Islam tersebutlah yang telah dilawan dan diacuhkan. Tidaklah kaum Muslim Indonesia di abad 17 dan 18 itu berJihad untuk kemerdekaan Indonesia, kecuali dengan semboyan dan yel-yel ”Allahuakbar. ”Sampai ketika kehormatan Rasulullaah Shalallaahu ’alaihi Shalawatu wa Sallam digunjingkan dan direndahkan, yang mereka lakukan tidak lain adalah menjadi Syaithan-Syaithan yang bisu terhadap hal itu. Lagi-lagi Allahu Subhaanahu wa Ta’ala menguji mereka dengan kaum yang suka memalak tukang-tukang parkir dan suka memalak orang-orang kakilima. Ini tepat sekali dengan Hadits majazi yang disebutkan Rasulullaahu Shalallaahu ’alaihi Shalawatu wa Sallam tentang:”Kaum kejam yang suka memegang cambuk-cambuk dari ekor-ekor sapi. ”Artinya ini adalah mereka adalah gerombolan orang kejam yang suka memperbudak orang lemah atau yang terpinggirkan. Misalnya: memalak tukang-tukang parkir. Memalak pedagang kaki lima. Hanya karena memiliki kekuasaan dan senjata ataupun tenaga untuk itu.





Masih di Hadits yang sama,




”Kaum wanita yang bergoyang-goyang kepalanya seperti punuk-punuk unta.”Yakni dari kaum yang bergoyang erotis.




Inilah yang menimpa kepada bangsa Muslim. Mereka ini adalah kaum yang suka melawan dan menelantarkan kaum Salafiyyin.




Assalaamu manit taba’al huda (Semoga kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan dari segala aib bagi manusia bagi yang mengikuti petunjuk). Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh (Semoga kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan dari segala aib bagi manusia, dan kasih sayang kepada Allah dan keberkahan dari-Nya agar dicurahkan kepada kalian).



Sumber: scribd.com


Keterangan Bahwa Ada di Kalangan Umat Ini yang Menyembah Berhala



Oleh: Ahsanul Huda




أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا سَبِيلًا



"Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka beriman kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (kaum musyrikin Mekkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman." (An-Nisa'4:51)






Terdapat beberapa tafsiran dari kalangan Salaf tentang makna kata jibt, antara lain:





  • Umar bin Khathab r.a. : Makna Al-Jibt adalah sihir, sedangkan makna Ath-Thagut adalah setan.

  • Ibnu Abbas, Ikrimah, Abu Malik : Al-Jibt adalah setan (yakni dalam bahasa Habasyah /Ethopia). Ibnu Abbas berkata pula: Al-jibt artinya syirik. Dalam riwayat lain dikatakan: Al-Jibt adalah Huyai bin Akhthab. Dan dalam riwayat lainnya juga disebutkan: Al-Jibt adalah berhala.

  • Asy-Sya'by: Al-Jibt adalah tukang ramal.

  • Mujahid : Al-Jibt adalah Ka'ab bin Al-Asyraf.Al-Jauhari : Al-Jibt adalah kata-kata yang dapat digunakan untuk berhala, tukang ramal, tukang sihir dan sejenisnya. [Lihat Tafsir Al-Qur'anul Adhim, Ibnu Katsir : I/634]

  • Ibnu Jarir Ath-Thabari, dalam menafsirkan ayat ini, setelah menyebutkan beberapa tafsiran dari ulama Salaf, mengatakan: "... jibt dan thaghut ialah dua sebutan untuk setiap yang diagungkan dengan disembah selain Allah, atau ditaati, atau dipatuhi; baik yang diagungkan itu batu, manusia, ataupun syaitan."







قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ



“Katakanlah: "Apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?". mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” {QS Al Maidah 5:60}




Ibnu Abbas mengatakan bahwa kedua kaum yang dirubah rupa atau bentuknya adalah orang-orang Yahudi yang telah melanggar kehormatan hari Sabtu, para pemuda mereka dirubah menjadi kera dan kaum tua mereka dirubah menjadi babi.



Diriwayatkan dari Imam Muslim (19/2889), Ahmad (5/278,284), Abu Dawud (4202), Ibnu Majah (3959), Rasulullah Saw. bersabda:




"…Kiamat tidak akan terjadi sebelum ada suatu kaum dari umatku mengikuti orang-orang musyrik dan beberapa kelompok dari umatku yang menyembah berhala …"



Inilah kabar yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam 14 abad yang silam, dan hal ini sekarang sudah terjadi di tengah-tengah umat ini. Dan hadits ini menunjukkan bahwa jenis syirik ada dua :



1. Syirkul Luhuq (syirik karena mengikuti orang musyrik). Baik secara jasmani ataupun mengikuti undang-undang dan aturan mereka, atau kadang-kadang secara bersamaan, yaitu bergabung dengan orang-orang musyrik sekaligus mengikuti undang-undang dan peraturan mereka secara bersamaan.




Berkata Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam menafsirkan sabda beliau: (kiamat tidak akan terjadi sebelum ada suatu kaum dari umatku mengikuti orang-orang musyrik): "Artinya, mereka orang-orang muslim bersama dengan orang-orang musyrik dan mereka murtad dari Islam dengan keinginannya sendiri kemudian mengikuti orang-orang musyrik."



2. Syirku 'Ibadatil Autsan (syirik menyembah berhala). Dan ini sudah menjamur pada zaman ini. Namun karena kebodohan terhadap agama sehingga mereka tidak menganggapnya sebuah kesyirikan bahkan menganggap hal itu sebagai salah satu bentuk taqarrub kepada Allah.



Orang yang meminta kepada kuburan atau penghuninya, maka ia telah menyembahnya. Dan barang siapa yang menyembah sesuatu selain Allah, maka sesungguhnya ia telah menjadikannya sebagai berhala.



[Keterangan Bahwa Kesyirikan Dan Kemaksiatan Sudah Ada Sebelum Umat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam]




Ada beberapa contoh perbuatan orang-orang terdahulu, baik yang mengandung kesyirikan atau hanya sekedar kemaksiatan, di antaranya :




  1. Beribadah kepada kuburan orang-orang shaleh. (QS. Nuh 71:23)

  2. Beriman kepada Al-Jibt dan Ath-Thagut. (QS. An-Nisa' 4: 2)

  3. Berdo'a kepada selain Allah. (Dalilnya banyak, salah satunya adalah ayat di atas)

  4. Membangun masjid di atas kuburan. (QS. Al-Kahfi 18:21)

  5. Mensifati Allah dengan kekurangan, seperti mengatakan bahwa tangan Allah terbelenggu atau Allah itu fakir. (QS. Al-Maidah 5:64, QS Ali Imran 3:181)

  6. Memakan barang-barang haram. (QS. Al-Maidah 5:62)


  7. Menjalankan riba dan memakan harta manusia dengan bathil. (QS. An-Nisa' 4:161)

  8. Membuat makar dalam melanggar larangan Allah.

  9. Mengubah firman Allah dari tempatnya. (QS. Al-Maidah 5:13)

  10. Menjadikan rahib dan pendeta sebagai tuhan. (QS. At-Taubah 9:31)




[Keterangan Bahwa Ada Di Kalangan Umat Ini Yang Mengikuti Sunnah Orang Yahudi Dan Nashrani.]



Dari Abu Sa'id Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:





" لتتبعن سنن من كان قبلكم حذو القذة بالقذة، حتى لو دخلوا جحر ضب لدخلتموه"، قالوا : يا رسول الله، اليهود والنصارى ؟ قال :" فمن ؟ " أخرجه البخاري ومسلم.



"Sungguh kalian akan mengikuti tradisi umat-umat sebelum kalian bagaikan bulu anak panah yang serupa dengan bulu anak panah lainnya, sampai kalaupun mereka masuk ke liang biawak niscaya kamu masuk ke dalamnya pula. Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nashranikah?" Beliau menjawab: "Lalu siapa lagi?" (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)




Disini Rasulullah ingin menyatakan bahwa apapun yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka umatnya juga akan melakukan itu semua tidak satupun tersisa.



Sufyan bin Uyainah :”Jika ada ulama kita yang rusak berarti dalam dirinya terdapat kemiripan dengan orang-orang Yahudi, dan bila ada ahli ibadah kita yang rusak, berarti dalam dirinya terdapat kemiripan dengan orang-orang Nashrani”.



Rasulullah bersabda :




وإنما أخاف على أمتي الأئمة المضلين



“Dan sesungguhnya yang aku takutkan dari umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan”. {H.R Al Birqani}



Maksudnya adalah para ulama ahli bid’ah yang memberikan putusan terhadap mereka tanpa ilmu sehingga menyesatkan mereka, sebagaimana firman Allah :




وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا



“Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami Telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” {QS Al ahzab 33:67}





Mengenai hadits Sa'id Al-Khudri di atas, terjadi perbedaan pendapat antara para ahli ilmu yang disimpulkan menjadi dua bagian:





  • Hadits ini sifatnya umum dan dikhususkan dengan hadits Thaifah Manshurah: "Akan tetap ada dari umatku segolongan yang tegak membela kebenaran dan mendapat pertolongan dari Allah, mereka tidak tergoyahkan oleh orang-orang yang menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah." (Diriwayatkan oleh Imam Muslim (19/2889), Ahmad (5/278,284), Abu Dawud (4202), Ibnu Majah (3959). Kesimpulannya bahwa umat ini akan mengikuti jalan orang-orang Yahudi dan Nashrani kecuali golongan Thaifah Manshurah.

  • Pendapat kedua mengatakan bahwa makna hadits secara dzahir, yaitu bahwa umat ini mengikuti sunnah-sunnah Yahudi dan Nashrani. Karena sunnah mereka terbagi menjadi beberapa bagian, ada sebagian yang bisa mengkafirkan pelakunya, dan ada juga yang tidak, seperti makan harta haram, riba, dll. Kesimpulannya bahwa umat ini berbeda-beda dalam mengikuti sunnah orang Yahudi dan Nashrani. Ada sebagian mereka mengikuti dalam amalan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada juga yang mengikuti mereka dalam kemaksiatan yang tidak sampai pada taraf kesyirikan dan kufrun akbar. Wallahu A'lam. [Lihat Al-Qoulul Mufid 'Ala Kitabit Tauhid, Syaikh Utsaimin: I/283]





Adapun secara kenyataan, bahwa hampir tidak ada satu jenispun kesyirikan dan kemaksiatan kepada Allah pada umat ini kecuali hal itu telah terjadi pada masa lalu dan sebaliknya tidak ada kesyirikan dan kemaksiatanpun pada umat-umat terdahulu melainkan sudah terjadi pada umat ini.



Ada beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits di atas:




  • Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan adanya syirik pada umat ini karena mengikuti umat-umat sebelumnya.

  • Di dalam hadits ini terdapat tanda-tanda kenabian, di mana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengabarkan hal tersebut sebelum terjadi, dan secara kenyataan hal itu terjadi.

  • Dalam hadits tersebut terdapat peringatan dalam hal menyerupai orang-orang kafir.


Dikutip; dari Kitab Fathul Majid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar