“Tahun Baru Masehi”, Dalam Pandangan Islam dan Sejarahnya



TAK terasa waktu terus berlalu dan kita sampai di penghujung tahun. Beberapa saat lagi tahun 2011 akan menjadi kenangan dan tahun 2012 akan menyambut kita semua. Malam pergantian tahun baru masehi sangat ditunggu-tunggu oleh semua kalangan. Tidak saja dibelahan bumi lain seperti di Eropa dan Amerika, masyarakat kita juga sibuk dan sangat menanti-nantikan malam pergantian tahun tersebut.



Berbeda halnya dengan pergantian tahun baru hijriah, banyak masyarakat yang tidak merayakannya, bahkan sekadar tahu saja mereka mungkin tidak. Memang perayaan tahun baru hijriah tidak dituntut untuk merayakannya dengan menyalakan kembang api, meniup terompet, ataupun kumpul di pusat kota dengan tujuan yang tidak jelas. Tetapi lebih kepada bagaimana memaknainya.


Kita lebih dituntut untuk merefleksikan apa yang telah kita lakukan pada tahun sebelumnya, dan diharapkan lebih baik pada tahun selanjutnya. Sungguh ironis, hal tersebut terjadi di bumi Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Masyarakat lebih mengenal dan menantikan detik-detik pergantian tahun baru masehi.


Melihat fenomena tersebut, penulis merasa tergugah untuk sedikit mengupas sejarah dan pandangan Islam terhadap tahun baru masehi.


Sejarah tahun baru masehi


Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.



Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).




Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.


[Janus.jpg]Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.


Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.



Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.



Pandangan Islam


Firman Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 72, yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”


Dalam ayat tersebut terdapat kata “al-Zur” (perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah). Menurut Ulama Tafsir, maksud al-Zur adalah perayaan-perayaan orang kafir (Ibn Kasir, 6/130). Jelas dari pada ayat ini Allah melarang kaum muslimin menghadiri perayaan kaum muyrikin.


Hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim berikut ini, sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya bagi setiap kaum (agama) ada perayaannya dan hari ini (Idul adha) adalah perayaan kita”. Oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan maksud hadis tersebut bahwa dilarang melahirkan rasa gembira pada perayaan kaum musyrikin dan meniru mereka (dalam perayaan). (Fathul Bari, 3/371).


Dalam adat masyarakat Aceh yang identik dengan nilai-nilai Islam, dulu hanya merayakan peringatan hari besar Islam saja seperti perayaan maulid dan tahun baru hijriah yang malamnya dihiasi dan dihidupkan dengan dalail khairat di balee dan meunasah.


Melihat sejarah, pandangan Islam serta adat Islami dalam masyarakat Aceh, tidak ada celah sedikit pun bagi umat Islam untuk ikut merayakan atau sekadar untuk mengucapkan “happy new years”. Pada kenyataannya, pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di pusat kota menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan sebagian orang “haram” untuk dilewatkan.



Sudah sepantasnya umat Islam menghidupkan kembali syiar-syiar Islam. Jika tidak tradisi Islam akan tergerus tanpa ada yang peduli. Toh, kita semua ini manusia yang harus taat dan menjunjung tinggi aturan Allah. Tidak ada alasan untuk menafikan syiar-syiar Islam. Pantaskah kita menenggelamkan syiar Islam dan menghidupkan syiar budaya Barat?

Muftahuddin H. Lidan, Serambinews.

Aceh di Mata P.J Veth

P.J Veth 1814-1895
Yang paling mengagumkan dari semua contoh pemerintahan di nusantara adalah terdapat di Kerajaan Aceh Sumatera, suatu kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam sejarah...” (P J Veth)
Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah Safiatuddin Syah yang dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya tentang pemerintahan sultanah di Aceh dalam Prominent Woment in The Glimpse of History. Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P. J Veth, seorang profesor dalam etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.


Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie.



Veth mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara. Meskipun demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya adalah yang ada di Aceh.


Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (ratu atau sultanah) secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.


Sultanah pertama yang memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam adalah Taj al-Alam atau Tajul Alam Safiatuddin Syah. Wanita ini memerintah tahun 1641 hingga 1675 M, merupakan putri tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut N J Ryan dalam Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, terbitan Oxford University Press, 1966, Suami Sultanah Safiatuddin bernama Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra Sulthan Pahang, Semenanjung Tanah Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun 1617 sewaktu Kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Pahang.


Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, ia diangkat oleh para pembesar kerajaan menjadi sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani. Sultan ini meninggal pada 15 Februari 1641 setelah menduduki singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga hari sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri Sri Alam Permaisuri, menjadi sultanah.


Kembali ke Veth dalam tulisannya ia menjelaskan, menjelang penobatan Sultanah Safiatuddin, timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar Kerajaan Aceh. Hal ini, antara lain, karena Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan ada pula yang mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai seorang raja. Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, menurut tafsiran pihak yang kemudian tersebut, jangankan menjadi pria, menjadi imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.


Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam musyawarah itu, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf dari Singkil yang menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan pemerintahan, maka diangkatkan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh dengan gelar Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.


Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa 35 tahun itu merupakan masa yang relatif lama. Hal itu pastilah tidak akan terlaksanakan apabila tidak diikuti oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang dimilikinya. Lebih-lebih, pada periode itu Kerajaan Aceh berada dalam keadaan krisis akibat kemampuan perang yang dimilikinya sudah melemah sepeninggalan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin syah sebagai sultanah.


Sultanah yang Taat


Syeh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin mengambarkan kepemimpinan Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang sangat taat kepada agama. "…Bahwa adalah bagi Duli Hadharat tuan kita Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fil-alam itu sifat yang kepujian, dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah senantiasa dengan membaca kitab Allah dan menyuruhkan orang berbuat kebajikan-kebajikan dan melarangkan orang berbuat kejahatan…"



Pada gilirannya, bagi Ar-Raniri, kualifikasi tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan bagi bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah sebagai ratu dalam waktu yang lama. "… ialah yang sangat tawaqhurnya akan Allah SWT maka dianugerahi Allah akan dia lama menyunjung khalifahnya. Dan pada masanyalah mendapat beberapa galian emas, perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung yang tiada terkira banyaknya. Dan ialah mengeraskan shariat Nabi Muhammad Rasulullah. Maka adalah lama paduka Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah berdaulat zil Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh lima tahun delapan bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda pun kembalilah ke rahmat Allah…".


Hal yang sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Dalam buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan keagamaan, dan perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusiasme yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat.


Karena itu pula, ia mendapat dukungan dua ulama Aceh terkemuka dalam pemerintahannya yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf as Singkili. Nuruddin Ar-Raniri adalah seorang ulama asal Ranir, India yang datang ke Aceh ketika Sultan Iskandar Thani berkuasa. Selain sebagai guru Sultanah Safiatuddin, ia juga seorang ulama yang memberikan dukungan besar kepada muridnya itu ketika wanita itu dinobatkan sebagai sultanah.


Syaikh Abdul Rauf berangkat ke Mekah menimba ilmu pada saat penobatan Safiatuddin sebagai ratu Aceh. Setelah selama 19 tahun berada di Mekah, ia kembali ke Aceh dan menempatkan diri dekat dengan kalangan istana sehingga kemudian diangkat pula sebagai Kadhi Malikul Adil. Kembalinya Syaikh Abdurrauf atas panggilan Ratu Safiatuddin sendiri. Kenyataan terakhir itu membuktikan bahwa ratu tersebut juga memberikan perhatiannya terhadap persoalan pengetahuan. Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda.


Menurut T Ibrahim Alfian dalam Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Sultanah Safiatuddin Syah Meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan orangtuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain adalah dengan mendorong para ulama untuk terus-menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan mengarang berbagai kitab.


Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin Syah memerintahkan Teungku Syeh Abdurrauf mengarang sebuah kitab tentang hal itu. Kitab itu berjudul Mirat al-Tullab atau, lengkapnya, Mirat al Tullab fi Tashil Marifat ahkam al-syariyyah li al malik al wahhab yang kurang lebih berarti Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada memudahkan mengenal segala Hukum Syara Allah. Kitab ini diperkirakan ditulis pada tahun 1663 dan merupakan kitab hukum syara pertama yang ditulis dalam bahasa Jawi Melayu.



Syaikh Abdurrauf, pengarang kitab itu sendiri, mengakui bahwa penulisan kitab di atas dilakukan atas permintaan Ratu Safiatuddin sendiri. " Maka bahwasanya adalah hadarat yang maha mulia [ Paduka Seri Sultanah Taj al-Alam Syafiat al-Din Syah] itu telah bersabda kepadaku dari pada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muktaj [dibutuhkan] kepadanya orang yang menjabat jabatan Qadi pada pekerjaan hukum dari pada segala hukum syara Allah yang mutamat pada segala ulama yang dibanggakan kepada Imam Syafei Radiallahuanhu…"


Demikian pula halnya dengan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Selain sebagai ulama dan mufti istana, ia juga seorang pengarang yang produktif. Selama berada di Kerajaan Aceh, ia sekurangnya telah membuahkan 29 kitab. Karya-karya itu sebagian besar ditulis pada masa Sultanah Safiatuddin Syah. Kebanyakan isinya mempermasalahkan soal Wujudyah di samping juga soal sastra, hukum, dan ilmu pengetahuan agama.


Menurut Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia Dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar raniri, prestasi yang dicapai oleh Sultanah Safiatuddin Syah tidak hanya bersangkutan dengan soal-soal keagamaan seperti yang telah dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sultanah Safiatuddin berhasil menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam mengadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa raja sebelumnya.


Syeikh Nurruddin Ar-Raniri dalam kitab Bustanus Salatin juga menggambarkan, pada masa pemerintahan sultanah ini ditemukan galian pada sejumlah gunung dengan hasil melimpah sehingga membuat Kerajaan Aceh menjadi kaya dan makmur. Karena begitu banyak emas yang dimilikinya, Sultanah Safiatuddin Syah mengeluarkan sejumlah mata uang emas yang dinamakan dirham sebagai alat tukar utama yang berlaku di wilayah Kerajaan Aceh dan sekitarnya. Sistem keuangan yang berlaku disesuaikan dengan situasi zaman oleh sultanah itu.


Menurut Van Langen (1888: 430), di bawah pemerintahan Safiatuddin Syah dirham yang sebelumnya sudah beredar di Kerajaan Aceh dikurangi kadar emasnya. Sejumlah emas yang lazim digunakan untuk menempa satu ringgit Spanyol diperintahkannya untuk ditempa menjadi 6 dirham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih (emas ) atau 19,2 karat menurut hitungan emas Belanda.


Sultanah Safiatuddin memerintahkan pengatur keuangan kerajaan mengumpulkan semua dirham buatan para sultan sebelumnya untuk dilebur menjadi dirham baru. Kebijaksanaan yang dimikian tentu saja bermanfat bagi kepentingan ekonomi Kerajaan Aceh pada waktu itu. Hal lain yang membedakan dirham buatan masa Safiatuddin Syah dengan buatan sultan-sultan sebelumnya tulisan yang tertatah di kedua sisinya. Pada bagian muka dirham buatan zaman Ratu Aceh pertama tersebut tertera nama Paduka Seri Sultanah Ta al“Alam, sedangkan pada bagian belakangnya terdapat tulisan Safiat al-Din Syah.


F.W Stammeshaus dalam tulisannya Atjehshe Munten menulis, jumlah mata uang yang dikeluarkan di masa Safiatuddin Syah sangat banyak dibandingkan dengan jumlah mata uang yang dikeluarka oleh penguasa-penguasa sebelumnya. Hal itu, tampaknya, berkaitan erat dengan ditemukannya banyak emas di wilayah Kerajaan Aceh pada masa itu seperti yang telah dikemukakan.



Adapun gambaran kehidupan perekonomian di Kerajaan Aceh pada waktu itu, khususnya di ibu kota kerajaannya, dapat diperoleh dari tulisan Ar-Raniri (1966: 59) sebagai berikut. "… di Bandar Darussalam pada waktu itu terlalu makmur dan makanan pun sangat murah, dan segala manusia pun dalam keadaan kesentosaan dan mengikuti segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil pada segala barang hukumnya, dan tawakal pada segala barang pekarjaanya…"


Tentang kemakmuran itu juga ditulis oleh Hoesein Djajaninggrat dalam "Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh. Katanya, kemakmuran dan kekayaan Kerajaan Aceh pada masa itu adalah peristiwa pembuatan makam atau nisan persembahan Sultanah Safiatuddin Syah untuk suaminya, Sultan Iskandar Thani. Makam dan pusara itu berupa sebuah bangunan yang relatif megah, keranda jenazah dibuat dengan lapisan-lapisan emas murni. Kemegahan serupa terlihat pula pada bangunan mesjid Baiturrahman dan pada berlimpahnya perhiasan-perhiasan milik kerajaan yang menghiasi istana.


Hal yang sama juga diungkapkan Lombard yang menjelaskan, selain disebabkan oleh hasil tambang emas, kemakmuran yang dicapai Kerajaan Aceh pada waktu itu juga berkat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh Sultanah sendiri. Salah satu kebijaksanaan penting dari Sultanah adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya.


Administrasi Kerajaan


Sultanah Safiatuddin Syah juga memperlihatkan kebijaksanaan tertentu dalam pengelolaan administrasi kerajaan. Menurut sebuah naskah yang bernama Qanun Meukuta Alam, di Kerajaan Aceh terdapat beberapa lembaga yang membantu sultan dalam melaksanakan tugasnya antara lain: Balai Laksamana, yaitu semacam markas perang, dikepalai oleh seorang laksamana. Balai Fardah yang tugasnya mengatur keuangan kerajaan seperti pemungutan bea cukai dan mengeluarkan mata uang.


Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga pelaksana pemerintah (eksekutif). Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga lain sebagai tempat bermusyawarah, yaitu disebut "Balai Musyawarah" (lembaga legislatif) yang terdiri dari tiga bagian yaitu: Balairungsari sebagai institusi terdiri dari empat uleebalang besar di Aceh. Balai Gadengbalai para ulama terdiri dari 22 Ulama Besar di Aceh. Balai Majelis Mahkamah Rakyat yakni dewan rakyatyang terdiri atas 73 orang anggota yang berasal dari 73 buah mukim.



Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan di atas selama 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 atau bertepatan dengan 3 Syakban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya. Ia wafat pada tanggal tersebut. Kerajaan Aceh kemudian dipimpin oleh Sultanah Naqiatuddin yang bergelar Sri Sultan Nurul Alam Naqiatuddin Syah.

Iskandar Norman

G30S/PKI dalam Berbagai Versi

Januari 1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu kudeta mere-bak di tengah inflasi meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap di pasaran. Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrean panjang untuk menukarkan kupon pemerintah deng-an minyak goring, gula, beras, tekstil, dan kebutuhan lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilai-nya (Tobing 2001).

Begitulah setidaknya gambaran ibukota di awal-awal tahun 1965. Keadaan ekonomi negara dan rakyat semakin buruk tiap tahunnya, setidaknya sampai tahun 1968. Tahun yang membuat seluruh bangsa terperangah, sampai pada perubahan sistem politik dan rezim yang berkuasa. Mendung yang menandakan bahwa tahun itu adalah tahun yang “terkutuk”, terku-tuk karena tahun itulah terjadinya apa yang kita kenal dengan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).

Peristiwa pemberontakan G30S/PKI memang akan selalu menjadi ingatan bangsa da-lam perjalanan sejarah. Peristiwa yang merenggut setidaknya tujuh orang perwira Angkatan Darat yang selanjutnya disebut Dewan Revolusi. Bahkan pada waktu-waktu berikutnya ada 500.000 – 1.000.000 jiwa manusia yang diambil untuk membayar peristiwa tersebut. Secara politik peristiwa tersebut terpaksa menyeret Bung Karno dari tampuk kekuasaanya.

Sampai sekarangpun sesungguhnya peristiwa G30S/PKI tersebut masih menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Walaupun pemerintah pada tahun 1996 telah menerbitkan secara resmi mengenai peristiwa tersebut dalam satu buku. Tetapi hal itu tetap tidak cukup dipercaya oleh sebagian besar kalangan, karena masih terdapat banyak kejanggalan. Sehingga banyak buku-buku lain yang terbit yang menceritakan sisi lain dari peristiwa tragis tersebut.

Oleh karena itu dalam tulisan ini akan disampaikan beberapa versi yang menyangkut peristiwa G30S/PKI tersebut. Baik yang bersumber resmi dari pemerintah, maupun dari kete-rangan saksi dan pelaku yang dituduh terlibat dalam gerakan tersebut, juga dari tulisan repor-tase dari beberapa wartawan.

Versi Buku Putih

Pada tahun 1994 Sekretariat Negara (Setneg) menetbitkan satu buku yang mencerita-kan kronologi sampai pada penumpasan G30S/PKI secara sistematis. Buku itu menjadi satu-satunya sumber sejarah resmi yang diterbitkan negara menyangkut G30S, yang dikenal deng-an sebutan buku putih. Buku yang konseptor dan editor utamanya adalah presiden yang ber-kuasa saat itu Soeharto.

Awalnya menurut buku tersebut, dalam rangka mendiskreditkan TNI-AD (yang di- anggap sebagai musuh oleh PKI), PKI melancarkan isu Dewan Jenderal. Isu Dewan Jenderal diciptakan Biro Khusus PKI sebagai bahan perang urat syaraf untuk membentuk citra buruk terhadap pimpinan AD di mata masyarakat. Dikatakan bahwa “Dewan Jenderal” terdiri atas sejumlah Jenderal TNI-AD, seperti Jend. A.H. Nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, dan lima jenderal lainnya yang dianggap anti PKI.

Pada sekitar awal September 1965 dilancarkan isu bahwa Dewan Jenderal akan mere-but kekuasaan dari Presiden Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Isu ini semakin dikuatkan oleh Dokumen Gilchrist, Gilchrist sendiri merupakan Duta Besar Inggris untuk Indonesia yang bertugas 1963 – 1966.

Dokumen itu sendiri di dalamnya terdapat tulisan our local army friend, pada intinya memberikan kesan bahwa TNI-AD bekerjasama dengan Inggris, yang pada waktu itu dika- tegorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim. Oleh Dr.Soebandrio dokumen itu diberikan kepada Bung Karno (BK), sehingga pada 27 Mei 1965 BK mengumpulkan seluruh panglima angkatan di Istana Bogor utnuk tujuan klarifikasi. Klarifikasi terutama ditujukan untuk Letjen Yani sebagai Men/Pangad, dan Letjen Yani membantahnya.

Menurut buku putih tersebut sejak bulan Juli – September 1965, pelatihan pasukan su-karelawan dilakukan secara intensif dan massif dengan alasan untuk memperkuat pasukan Dwikora atas instruksi Men/Pangau Omar Dani. Penyelenggaraan pelatihan tersebut dipusat-kan di Lubang Buaya, Pondok Gede, dengan pimpinan pelatihan yaitu Mayor Udara Sujono sebagai komandan. Keterlibatan TNI-AU sangat besar dalam kegiatan ini, karena peralatan pelatihanpun diusahakan dari gudang TNI-AU.

Selanjutnya pada akhir Agustus sampai dengan akhir September 1965, Biro Khusus Central PKI secara maraton mengadakan pertemuan-pertemuan yang kesimpulannya dilapor-kan kepada Ketua CC PKI D.N.Aidit, yang saat itu juga menjabat Menteri Koordinator di da-lam Kabinet Dwikora. Pertemuan dan rapat-rapat tersebut membicarakan kesiapan gerakan pemberontakan, terutama kesiapan secara militer.

Secara struktural sesuai dengan keputusan Politbiro CC PKI bahwa pimpinan tertinggi gerakan di tingkat pusat berada di tangan D.N. Aidit, karena memang selain di Jakarta gerakan yang sama dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Sementara untuk komando di lapangan gerakan tersebut dikomandani Letkol. Untung, Untung sendiri merupakan Dan Yon Pengawal Presiden. Di lapangan gerakan tersebut terbagi dalam tiga pasukan yaitu Pasukan Gatotkaca, Pasukan Pasopati, dan Pasukan Bimasakti.

Pada tanggal 28 September 1965, Sjam selaku Kepala Biro Khusus Central PKI mela-por kepada D.N. Aidit bahwa penentuan Hari-H dan Jam-J tanggal 30 September pukul 04.00 dan disetujui. Sementara sasaran utama gerakan yaitu Jend. A.H. Nasution, Letjen. Ahmad Yani, Mayjen Haryono MT, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutojo S.

Perintah untuk gerakan ini jelas yaitu menangkap perwira-perwira di atas hidup atau mati. Di lapangan sesungguhnya gerakan ini telah gagal dengan kurangnya koordinasi yang baik, koordinasi antar pasukan ataupun koordinasi antara pasukan dan pimpinan. Walaupun secara umum sasaran gerakan tercapai kecuali Jend. Nasution, tetapi itu telah dibayar oleh nyawa putrid Nasution Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu. Pierre Tandean.

Diceriterakan betapa kejamnya aksi penculikan yang dilakukan oleh gerakan ini. Be-rapa jenderal telah ditembak mati duluan di kediamannya seperti yang dialami Letjen Yani, Mayjen Haryono, dan Brigjen Panjaitan. Sementara yang lainnya disiksa habisa-habisan da-hulu sebelum ditembak jatuh ke sumur, mereka ini yaitu Mayjen Soeprapto, Mayjen Parman, Brigjen Sutojo, dan Lettu Tandean. Seluruh korban penculikan di bawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede dan diserahkan kepada pimpinan Pasukan Gatotkaca Lettu. Dul Arief.

Pada paginya tersiarlah kabar bahwa pimpinan-pimpinan teras AD diculik oleh suatu gerakan pemberontak. Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berusaha meng-kudeta Presiden Soekarno, gerakan yang dicurigai dikendalikan oleh Partai Komunis Indone-sia (PKI). Dalam proses pencarian korban penculikan, pengendalian keamanan ibukota, sam-pai pada proses penumpasan inilah terlihat jelas betapa besar jasa Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad.

Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad mempunyai keyakinan bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan dan merebut kekuasaan dari Peme-rintah Republik Indonesia yang sah. Yang selanjutnya oleh Soeharto gerakan ini disebut se-bagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pangkostrad berhasil menguasai kembali alat-alat vital negara seperti Kantor RRI dan Telkom, yang sempat dikua-sai oleh G30S, pada tanggal 1 Oktober pukul 19.00.

Mayjen Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan sementara AD menggganti-kan Letjen Yani. Dengan kekuasaan AD yang ada di tangannya Soeharto melakukan perlawa-nan langsung terhadap G30S sampaai keesokan harinya. Sampai tanggal 2 Oktober pukul 14.00 pasukan pendukung G30S menghentikan perlawanannya dan melarikan diri ke daerah Pondok Gede. Dengan hancurnya kekuatan fisik G30S di ibukota, operasi selanjutnya dilan-jutkan untuk mencari para korban penculikan. Hingga akhirnya atas perintah Pangkostrad di-lakukan penggalian atas timbunan tanah di atas sumur tua, pada tanggal 3 Oktober pukl 17.00 yang dicurigai tempat pembuangan mayat korban penculikan, dan benar.

Versi Wartawan

Di bagian ini akan diceriterakan peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis In-donesia (G30S/PKI) oleh seorang wartawan Kompas bernama Maruli Tobing (2001), yang dimuat dalam buku Dialog Dengan Sejarah. Dalam tulisannya bahwa G30S bukanlah gerakan yang berada di bawah kendali sebagai partai seper-ti yang dikatakan Soeharto. Walaupun memang ada orang-orang PKI yang trebukti terlibat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Tobing G30S merupakan desainan Amerikan Serikat melalui lembaga CIA- nya, dan PKI dijadikan kambing hitamnya. Ditambah dengan konflik intern di dalam tubuh AD antara pihak yang anti-Soekarno seperti Jend. Nasution dan Mayjen Soeharto, dengan yang pro-Soekarno seperti Letjen Yani. Walaupun memang ketiga-tiganya membenci kehadi-ran PKI di kancah politik, tetapi untuk tingkat loyalitasnya terhadap BK tidak sama.

Sebelum tahun 1965 sebenarnya CIA telah seringkali mencoba melakukan kudeta ter-hadap BK dengan berbagai cara. Seperti memberikan bantuan dana satu juta dollar AS untuk partai yang anti-PKI dan anti-Soekarno, yang ditransfer melalui Hong Kong untuk membia-yai kampanye tahun 1995. Selain itu Peristiwa Cikini juga merupakan salah satu upaya men-jatuhkan BK dengan cara pembunuhan, yang didalangi CIA. Namun tetap tidak berhasil.

Dalam kasus G30S, Tobing menilai bahwa ada main mata antara TNI-AD dan CIA, dengan beberapa bukti membenarkan itu. Satu di antara bukti itu yaitu adanya satu telegram dari Kedubes AS di Jakarta yang masuk ke Deplu AS di Washington tanggal 21 Januari 1965. Isinya informasi pertemuan pejabat teras AD pada hari itu, dalam pertemuan itu salah satu perwira tinggi AD yang hadir bahwa adanya rencana pengambilalihan kekuasaan jika Bung Karno berhalangan.

Kapan rencana ini akan dijalankan, bergantung pada keadaan konflik yang sedang di-bangun beberapa pecan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari kemudian AD akan menyapu PKI. Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B. Johnson Library dengan nomor control 16687 itu menyebut, beberapa perwira tinggi lain yang hadir malah menghendaki agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan,

Dalam tulisannya Tobing lebih menekankan bahwa sesungguhnya persamaan persepsi antara pimpinan teras AD mengenai PKI, akhirnya berbenturan pada loyalitas tergadap Bung Karno. Yang oleh sebagian jenderal BK terlalu lunak dan selalu melindungi PKI yang dapat merusaka persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga jenderal-jenderal yang anti-Soekarno mendekati AS yang telah diketahui telah lama ingin menggulingkan Soekarno dan PKI.

Versi Saksi dan Pelaku

Versi ini merupakan hasil wawancara dan intisari dari otobiografi para saksi dan pe-laku G30S, yang terangkum dalam buku yang berjudul Saksi Dan Pelaku Gestapu (2005). Pada bagian ini para saksi dan pelaku G30S yang pernah diadili di Mahmilub dan menekan di penjara selama puluhan tahun, lebih menekankan pada pengaruh Soeharto.

Bahwa hampir se-luruh saksi dan pelaku menyatakan bahwa Pangkostrad saat itu sesungguhnya sudah menge-tahui akan adanya gerakan pemberontkan. Bahkan Pangkostrad Mayjen Soeharto disebut se-bagai konseptor gerakan tersebut. Beberapa saksi dan pelaku di dalam buku tersebut yang dimuat petikan wawancara dan kutipan otobiografinya yaitu, May-jen Soeharto, Seka Bungkus, Letkol Heru Atmodjo, Kolonel Latief, Laksdya Omar Dani, Mayjen Pranoto Reksosamodra, dan Jend. A.H. Nasution.

Seperti yang diceriterakan Kolonel Latief yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigif I Jayasakti, dan di Buku Putih disebutkan bahwa ia merupakan wakil dari pimpinan ge-rakan Letkol. Untung. Pada persidangan di Mahmilub ia divonis penjara seumur hidup, se- telah pledoinya ditolak. Setelah runtuhnya Orde Baru, Kol. Latief akhirnya dibebaskan bu- lan April 1999 dari Rutan Salemba selama 33 tahun 5 bulan dipenjara.

Bahwa dua malam berturut-turut sebelum meletusnya G30S, ia telah melapor ke Pangkostrad Mayjen Soeharto, tentang adanya rencana menghadapkan tujuh jen-deral kepada presiden.

Pada 28 September malam ia mendatangi Pak Harto di rumahnya, untuk menanyakan isu Dewan Jenderal. Dan ternyata Pak Harto telah mengetahuinya melalui anak buahnya dari Yogya, Bagio. Menurut informasi yang didapatnya bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap BK. Sementara tanggal 29 malamnya melapor ke Soeharto di RSPAD Gatot Subroto, bahwa besok aka nada tujuh orang jenderal AD yang akan dihadapkan ke presiden. Dan reaksinya Pak Harto hanya manggut-manggut, dan selesai.

Ini setidaknya menunjukkan bahwa sebenarnya Mayjen Soeharto sudah mengetahui bahwa aka nada rencana kudeta terhadap Bung Karno oleh Dewan Jenderal. Dan rencana me-nghadapkan tujuh orang jenderal AD ke BK. Tetapi Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad tidak mengambil tindakan apapun.

Mana Yang Benar?

Dari ketiga versi di atas penulis merasa versi wartawan lah yang paling dapat diperca-ya. Karena memang tidak mungkin semudah yang dibayangkan untuk menjatuhkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, sementara masih banyak rakyat yang mencintainya. Apalagi di dalam tubuh AD sendiri terdapat dua faksi yang anti dan pro terhadap Soekarno, sehingga cukup sulit jika AD melaksanakan sendirian kudeta tersebut.

Akhirnya faksi yang anti-Soekarno mau tidak mau harus mencari bantuan asing yang dirasa berkepentingan yang sama dengan AD, dan itu tidak lain Amerika Serikat. Dan kebe- tulan karena ada gerakan pemberontak dari orang-orang yang mencintai Soekarno dengan sepenuh hati yang berusaha “membuang” jenderal-jenderal AD yang tidak loyal. Ditambah mereka berasal dan dibawah kendali D.N. Aidit yang notabene merupakan Ketua Politbiro CC PKI, maka jadilah PKI sebagai kambing hitamnya.

Referensi

Lesmana, Surya, 2005, Saksi Dan Pelaku Gestapu, Media Pressindo: Yogyakarta.

Oetama, Jakob, et al, 2001, Dialog Dengan Sejarah Soekarno Seratus Tahun, Kompas Media

Nusantara: Jakarta.

1994, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Sekretariat Negara

RI: Jakarta.
Ekamara Ananami Putra

10 Film yang Paling Banyak Diunduh Tahun 2011



Meski hanya tersedia dan bisa disaksikan di bioskop, tak sedikit film-film menjadi buruan untuk diunduh alias di-download di situs web tertentu. Aktivitas pembajakan film melalui internet memang telah lama berlangsung. Akan tetapi, angka pembajakan pada tahun ini menurun jika dibandingkan tahun 2010.

Tahun lalu, film Avatar paling banyak diunduh, yaitu sebanyak 16 juta kali. Pada tahun 2011, film bajakan paling laris hanya diunduh sebanyak lebih dari 9 juta kali.

Berkurangnya jumlah pengunduhan film bajakan ini mungkin terpengaruh oleh layanan streaming yang disediakan oleh situs-situs seperti Netflix. Dengan streaming, pengguna tidak membutuhkan lagi ruang yang besar di perangkat keras mereka sehingga hanya menonton film yang mereka inginkan secara streaming melalui Netflix. Adanya tablet-tablet yang menyediakan koleksi film dan buku digital seperti iPad dan Kindle Fire juga disinyalir mengurangi angka film yang diunduh.

Berikut daftar 10 film bajakan yang paling banyak diunduh sepanjang tahun 2011 berdasarkan data dari BitTorrent:

1. Fast Five (diunduh 9.260.000 kali)
2. The Hangover II (diunduh 8.840.000 kali)
3. Thor (diunduh 8.330.000 kali)
4. Source Code (diunduh 7.910.000 kali)
5. I am Number Four (diunduh 7.670.000 kali)
6. Sucker Punch (diunduh 7.200.000 kali)
7. 127 Hours (diunduh 6.910.000 kali)
8. Rango (diunduh 6.480.000 kali)
9. The King's Speech (diunduh 6.250.000 kali)
10. Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 (diunduh 6.030.000 kali)

Belajar Jadi Selebriti yg Baik & Benar Ala Syahrini

Kami di MBDC sepakat banget kalau Syahini adalah J. S Badudu-nya dunia perselebritian. Segala tindak-tanduk dan manuver yang dilakukan Syahrini layak dijadikan panduan menjadi selebriti yang baik dan benar, untuk dibaca, dipelajari dan dihayati dalam-dalam oleh setiap orang yang bermimpi menjadi selebriti.
J.S Badudu? Aku? Sesuatu banget sih!
Perhatikan gambar Syahrini diatas, sungguh glamor bukan kehidupan dunia selebrita? Tapi emangnya gimana sih cara jadi selebriti yang baik dan benar ala Syahrini? Nggak terlalu rumit kok, selain memakai 3 lapis bulu mata palsu setiap saat, syarat lainnya ya kamu harus brilian aja kayak Syahrini. Berikut kami kasih bocorannya:

1. Tentukan “Bakat”

Untuk bisa jadi selebriti yang baik dan benar, tentunya  kamu harus punya bakat dulu dong. Jangan dengerin orang-orang yang bilang kalau untuk terkenal kamu nggak harus punya bakat. Ngawur itu. Bakat ini penting sebagai fondasi kamu masuk ke dalam dunia selebritis. Kenapa? Ya minimal pas diwawancara sama infotainment, mereka jadi tau mesti nulis apa di bawah nama kamu, Penyanyi kah? Pemain sinetron? Pokoknya harus ada yang bisa ditulis, dan harus yang berhubungan dengan “bakat” kamu. Kurang asik banget kalau di bawah nama kamu cuma ditulis “Pacarnya si Anu” atau “Tetangganya pacarnya si Anu”.
Syahrini memulai kariernya dengan menjalin hubungan dekat dengan Anang, #eh maksud kami, mengeluarkan sebuah singel berjudul Tatapan Cinta yang juga masuk ke dalam album kompilasi film Coklat Stroberi (2007). Meskipun nggak ada yang inget juga lagunya kayak gimana, fakta shahih mengenai “bakat”-nya ini adalah penanda bahwa Syahrini sudah secara sah menancapkan fondasi pertama untuk masuk ke dunia selebriti dan berakhir bisa mengelus-elus pipi pemain sepak bola kelas dunia, David Beckham. Wow. Mejik!

2. Kenali Sikon Dengan Baik

Oke, bakat udah megang, fondasi selebriti pertama juga udah dipancangkan. Tapi kok kamu masih belum ngetop ya? Ya iyalah. Untuk bisa jadi selebritis yang baik dan benar kamu harus pinter-pinter mengenali sikon. Lihat kemana angin pemberitaan media sedang berhembus dan di situlah  kamu harus bersiap-siap memancangkan fondasi berikutnya.
Buat Syahrini, sikon yang pas itu datang di akhir tahun 2009 saat ada seorang musisi duda berwajah sendu yang baru saja ditinggal selingkuh oleh istrinya. Seluruh infotainment pun tanpa henti meliput kegalauan sang duda, seakan hendak bilang “aaaaw kasihan sekali kamu ditinggal oleh Dek Yanti”. Syahrini yang brilian paham betul bahwa seluruh mata sedang tertuju ke arah sang duda maka di sanalah fondasi selebriti berikutnya layak dipancangkan.
Halo. Aku Syahrini. Mulai sekarang, kemana pun mas duda ini berada, aku ada di sampingnya!
3. Umbar Kisah Cintamu

Kisah cinta selalu menjual. Mulai jadi urusan baru jadian, tunangan, putus, cerai, selingkuh, semua itu santapan lezat buat infotainment. Jadi, jangan pernah ragu mengundang infotainment untuk curhat. Syahrini paham benar hal itu. Saat “didepak” oleh sang duda, Syahrini pun dengan sigap merebut hati pemirsa dengan menceritakan kisahnya sambil berlinang air mata. Tentunya sambil diberikan sisipan-sisipan promosi single terbaru. Menyentuh banget.

4. Sex Sells


Ini variasi lain dari mengumbar kisah cinta. Selain cinta, seks juga menjual. Sebagai selebriti, kamu bisa memastikan bahwa namamu akan menghiasi berita utama infotainment dan tabloid gosip kalau ada foto-foto seksimu yang tiba-tiba beredar. Nggak usah kuatir image-mu jadi buruk, saat diminta klarifikasi, kamu tinggal pasang tampang paling mengiba dan tegaskan bahwa kamu tidak bersalah! Sungguh ampuh merebut hati pemirsa, baik perempuan mau pun laki-laki, tentunya!

5. Ciptakan Celetukan Khas


Saat kamu sudah bisa merebut hati pemirsa, ini saatnya kamu beralih ke langkah selanjutnya. Tentunya untuk semakin mengukuhkan fondasi keselebritisan kamu. Ciptakanlah celetukan khas yang gampang diingat, dan terus gunakan minimal 10 kali dalam setiap wawancara. Kalau bisa, cari tipe celetukan yang bisa digunakan dalam berbagai kesempatan dan suasana. Seperti “Sesuatu banget” dan “Alhamdulillah ya”-nya Syahrini. Brilian.

6. Jangan Cuma Jadi Trendsetter Fashion


Syahrini memang trendsetter fashion. Kita semua masih inget betapa pas lebaran kemaren dunia kita yang tenang dan damai mendadak diserang kaftan warna-warni dari berbagai arah penjuru angin. Tapi, semua itu tentunya nggak cukup buat Syahrini. Siapa aja bisa jadi trendsetter fashion. Namun, sebagai selebriti yang baik dan benar, kamu juga harus kreatif menciptakan nama-nama andalan untuk fashion statement-mu. Sebagai contoh, orang awam mungkin merasa dirinya sudah cukup fenomenal dengan menggunakan bulu mata palsu setebal poni Chewbacca. Tapi tidak halnya dengan Syahrini. Dengan luarbiasanya ia pun menciptakan sebuah nama brilian untuk bulu mata itu: Bulu Mata Anti Badai.
Baru-baru ini Syahrini juga menciptakan nama untuk fashion-statement terbarunya yaitu Jambul Khatulistiwa. Dan saking fenomenalnya nama itu, sampai-sampai nyaris jadi trending topic di Twitter. Hebat banget. Keren.
Halo! Aku Syahrini! Jambulku ini hampir jadi trending topic di Twitter loh!
Singkat kata. Menurut MBDC, Syahrini itu keren banget. Layak banget digugu dan ditiru. Bahkan, mungkin Syahrini harus mengikuti jejak Debby Sahertian yang sempat menerbitkan buku kamus gaul. Meskipun nggak ada yang beli juga sih. Tapi kita yakin, kalau asalnya dari Syahrini, pasti semua suka deh. Alhamdulillah, sesuatu banget



Renungan Akhir Tahun

Cerita yg menarik menyambut akhir tahun :



Pernahkah kita mengevaluasi hasil kerja kita? Apakah hasilnya sesuai, melebihi, atau di bawah harapan?



Sayangnya, sedikit dari kita yang mau meluangkan waktu untuk mengevaluasinya. Mungkin kisah bocah berikut bisa membuat kita berubah.



Seorang bocah laki-laki masuk ke sebuah toko obat. Ia mengambil peti minuman dan mendorongnya ke dekat pesawat telepon koin. Lalu, ia naik ke atasnya sehingga ia bisa menekan tombol angka di telepon dengan leluasa. Ditekannya tujuh digit angka. Si pemilik toko mengamati-amati tingkah bocah ini dan menguping percakapan teleponnya.



Bocah: Ibu, bisakah saya mendapat pekerjaan memotong rumput di halaman Ibu?



Ibu (di ujung telepon sebelah sana): Saya sudah punya orang untuk mengerjakannya.



Bocah: Ibu bisa bayar saya setengah upah dari orang itu.



Ibu: Saya sudah sangat puas dengan hasil kerja orang itu.



Bocah (dengan sedikit memaksa): Saya juga akan menyapu pinggiran trotoar Ibu dan saya jamin di hari Minggu halaman rumah Ibu akan jadi yang tercantik di semua rumah dilingkungan ibu.



Ibu: Tidak, terima kasih.



Dengan senyuman di wajahnya, bocah itu menaruh kembali gagang telepon. Si pemilik toko, yang sedari tadi mendengarkan, menghampiri bocah itu.



Pemilik Toko: Nak, aku suka sikapmu, semangat positifmu, dan aku ingin menawarkanmu pekerjaan.



Bocah: Tidak. Makasih.



Pemilik Toko: Tapi tadi kedengarannya kamu sangat menginginkan pekerjaan.



Bocah: Oh, itu, Pak. Saya cuma mau mengecek apa kerjaan saya sudah bagus. Sayalah yang bekerja untuk Ibu tadi!....



Selamat mengevaluasi hidup kita di tahun 2011 dan Selamat Tahun Baru 2012..





Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Ucapan Selamat Tahun Baru dalam Berbagai Bahasa

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiER-snpUJssT_ZzbeqA88EvVYybLTCvhI_BwBYAjVIk2JtT5_P8Bn5qAfewlVkQHN1_u0z9hrq-w07lE11CKRQpxDroj3i0YD3rnFKaVHGjOuFnoE3lCO7Obet4mhoWdGZj7IxGhKBUmY/s1600/2012.jpg 

SELAMAT TAHUN BARU DALAM BERBAGAI BAHASA DUNIA
AFRIKAANS gelukkige nuwejaar
ALBANIAN Gëzuar vitin e ri
ALSATIAN e glëckliches nëies / güets nëies johr
ARABIC aam saiid / sana saiida
ARMENIAN shnorhavor nor tari
AZERI yeni iliniz mubarek
BAMBARA bonne année
BASQUE urte berri on
BELARUSIAN З новым годам (Z novym hodam)
BENGALI subho nababarsho
BERBER asgwas amegas
BETI mbembe mbu
BOBO bonne année
BOSNIAN sretna nova godina
BRETON bloavezh mat / bloavez mad
BULGARIAN честита нова година (chestita nova godina)
BURMESE hnit thit ku mingalar pa
CANTONESE kung hé fat tsoi
CATALAN bon any nou
CHINESE xin nian kuai le / xin nian hao
CORSICAN pace e salute
CROATIAN sretna nova godina
CZECH šťastný nový rok
DANISH godt nytår
DUTCH gelukkig Nieuwjaar
ESPERANTO felicxan novan jaron
feliæan novan jaron (Times SudEuro font)
ESTONIAN head uut aastat
FAROESE gott nýggjár
FINNISH onnellista uutta vuotta
FLEMISH gelukkig Nieuwjaar
FRENCH bonne année
FRISIAN lokkich neijier
FRIULAN bon an
GALICIAN feliz aninovo
GEORGIAN გილოცავთ ახალ წელს (gilocavt akhal tsels)
GERMAN ein gutes neues Jahr / prost Neujahr
GREEK kali chronia / kali xronia
eutichismenos o kainourgios chronos (we wish you a happy new year)
GUJARATI sal mubarak
GUARANÍ rogüerohory año nuévo-re
HAITIAN CREOLE bònn ané
HAWAIIAN hauoli makahiki hou
HEBREW shana tova
HINDI nav varsh ki subhkamna
HMONG nyob zoo xyoo tshiab
HUNGARIAN boldog új évet
ICELANDIC farsælt komandi ár
INDONESIAN selamat tahun baru
IRISH GAELIC ath bhliain faoi mhaise
ITALIAN felice anno nuovo, buon anno
JAVANESE sugeng warsa enggal
JAPANESE akemashite omedetô
KABYLIAN asseguèsse-ameguèsse
KANNADA hosa varshada shubhaashayagalu
KAZAKH zhana zhiliniz kutti bolsin
KHMER sur sdei chhnam thmei
KIRUNDI umwaka mwiza
KOREAN seh heh bok mani bat uh seyo
KURDE sala we ya nû pîroz be
LAO sabai di pi mai
LATIN felix sit annus novus
LATVIAN laimīgu Jauno gadu
LIGURIAN feliçe annu nœvu / feliçe anno nêuvo
LINGALA bonana / mbula ya sika elamu na tonbeli yo
LITHUANIAN laimingų Naujųjų Metų
LOW SAXON gelükkig nyjaar
LUXEMBOURGEOIS e gudd neit Joër
MACEDONIAN srekna nova godina
MALAGASY arahaba tratry ny taona
MALAY selamat tahun baru
MALTESE is-sena t-tajba
MAORI kia hari te tau hou
MARATHI navin varshaachya hardik shubbheccha
MONGOLIAN shine jiliin bayariin mend hurgeye (Шинэ жилийн баярын мэнд хvргэе)
MORÉ wênd na kô-d yuum-songo
NORWEGIAN godt nyttår
OCCITAN bon annada
PERSIAN sâle no mobârak
POLISH szczęśliwego nowego roku
PORTUGUESE feliz ano novo
ROMANCHE bun di bun onn
ROMANI bangi vasilica baxt
ROMANIAN un an nou fericit / la mulţi ani
RUSSIAN С Новым Годом (S novim godom)
SAMOAN ia manuia le tausaga fou
SANGO nzoni fini ngou
SARDINIAN bonu annu nou
SCOTTISH GAELIC bliadhna mhath ur
SERBIAN srećna nova godina
SHIMAORE mwaha mwema
SHONA goredzwa rakanaka
SINDHI nain saal joon wadhayoon
SINHALA suba aluth avuruddak vewa
SLOVAK stastlivy novy rok
SLOVENIAN srečno novo leto
SOBOTA dobir leto
SPANISH feliz año nuevo
SRANAN wan bun nyun yari
SWAHILI mwaka mzuri / heri ya mwaka mpya
SWEDISH gott nytt år
SWISS-GERMAN es guets Nöis
TAGALOG manigong bagong taon
TAHITIAN ia orana i te matahiti api
TAMIL iniya puthandu nalVazhthukkal
TATAR yaña yıl belän
TELUGU nuthana samvathsara subhakankshalu
THAI สวัสดีปีใหม่ (sawatdii pimaï)
TIBETAN tashi délek
TURKISH yeni yiliniz kutlu olsun
UDMURT Vyľ Aren
UKRAINIAN Z novym rokom
URDU naya saal mubarik
UZBEK yangi yilingiz qutlug’ bo’lsin
VIETNAMESE Chúc Mừng Nǎm Mới / Cung Chúc Tân Niên / Cung Chúc Tân Xuân
WALOON (“betchfessîs” spelling) bone annéye / bone annéye èt bone santéye
WELSH blwyddyn newydd dda
WEST INDIAN CREOLE bon lanné
WOLOF dewenati
YIDDISH a gut yohr

Tradisi Tahun Baru di Berbagai Belahan Dunia

Brazil
Masyarakat Brazil mengenal sosok, Lemanja, dewa laut dalam legenda negara ini. Setiap malam tahun baru, masyarakat Brazil menyelenggarakan ritual untuk menghormati Lemanja. Nah, di tengah malam pergantian tahun, dengan mengenakan baju putih bersih, masyarakat Brazil bakal berbondong-bondong menuju pantai. Mereka menabur bunga di laut, ngubur mangga, pepaya & semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa.

Jerman
Menurut kepercayaan orang Jerman, kalo mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year's Eve di tanggal 1 Januari, mereka nggak akan mengalami kekurangan pangan selama setahun penuh. Di Berlin, makanan klasik yang biasa disajiin di hari istimewa ini ialah ikan mas. Yang unik, duri ikan mas tersebut akan dibagiin ke para tamu untuk dibawa pulang sebagai good luck charm

Yunani
Menurut orang Yunani buah delima melambangkan kesuburan dan kesuksesan. Jadi, tiap tanggal 1 Januari, mereka menebarkan biji buah delima ke arah pintu rumah, toko & perkantoran, sebagai simbol doa agar hidup makmur sepanjang tahun baru.

Italia
Di Naples, salah satu kota di Italia ada suatu kebiasaan untuk melemparkan barang-barang yang sudah usang atau nggak kepakai lagi ke luar jendela tepat pada pukul 24:00 di tanggal 1 Januari. Jadi, kalo agan berjalan-jalan di Naples besok paginya, jangan heran menemukan banyak peralatan dapur, lemari es & barang-barang rongsokan tersebar di jalanan. Wah, pemulung panen nih

Spanyol
Tepat tengah malam di tanggal 31 Desember, orang-orang Spanyol biasanya makan anggur dan berdoa. Jumlah anggur yang dimakan cuma 12 biji, dengan maksud untuk 12 harapan pada setiap 12 bulan di tahun yang baru.

Jepang
Tiap tahun baru, orang Jepang akan menikmati makanan yang terdiri dari tiga jenis makanan awetan yaitu telur ikan, sebagai simbol kemakmuran; ikan sardin asap biasa disebut tatsukuri, yang berarti tanah yang subur; dan manisan tumbuhan laut yang merupakan simbol perayaan.

Korea
Orang Korea mempunyai sapaan akrab di setiap tahun baru "Sudahkah Anda makan Thuck-Gook?". Nah, kalo menurut kepercayaan orang Korea, kalo pada saat malam pergantian tahun menyantap kaldu daging sapi dengan potongan telur dadar dan kerupuk nasi atau thuck gook, maka mereka nggak akan bertambah tua tahun itu. Heh?! Buat yang pingin awet muda, bisa makan ini nih,,

Indonesia
Petasan / kembang api
Biar dikasih larangan sebagaimanapun, tetep aja tiap ada perayaan/hajatan, petasan / kembang api pasti ada. Emang sih bahaya gan, tapi pasti agan setuju deh kalo pesta nggak ada petasan/kembang api, berasa nggak meriah apalagi petasan/kembang api sekarang keren-keren.

Terompet
kayanya nggak afdol kalo ngerayain tahun baru tanpa terompet. Biasanya menjelang tengah malam, di sepanjang jalan, terompet rame dibunyiin dimana-mana. Bukan Cuma anak kecil yang bunyiin, yang dewasa juga mainin.. ngaku deh, pasti pernah juga suka main terompet
sekarang bentuk terompet macam-macam, unik & lucu..harganya apalagi....yah, gak ada salahnya sih, itung-itung kasih rezeki ke pedagang terompet setahun sekali
Tukar kado
Tidak tahu sejak kapan tradisi tukar kado tiap tahun baru ini dimulai. Yang pasti. Biar seru, biasanya nominal harga kado ditentuin & ditentuin syarat-syaratnya. banyak yang bisa jadi bahan pertimbangan, seperti mulai dari pocer makan siang di kantin kantor ampe celengan ayam yg isinya duit receh

Bbq-an
Ini pilihan yang paling okeh, daripada ngerayain pergantian tahun di hotel yang pasti tarif rate-nya setinggi langit atau macet-macetan di jalan, mending di rumah aja bareng keluarga & teman-teman, makan-makan & kumpul-kumpul.


source: http://bayusp.blogspot.com/2010/12/tradisi-tahun-baru-dari-berbagai-negara.html

Dibalik Kisah Panglima Polem



Panglima Polem itu bukan satu orang, seperti yang dipikirkan masyarakat selama ini. Panglima Polem I dan Panglima Polem III berjuang melawan Portugis. Sedangkan Panglima Polem IV sampai Panglima Polem X berjuang melawan Belanda...”

SAYA sudah tiga tahun menemani Panglima,” ungkap lelaki tua itu. “Itu saya lakukan atas kerelaan dan keikhlasan hati saya. Tidak ada bayaran sedikit pun yang saya terima dan saya tidak mengharapkan apa-apa,” lanjutnya.


Namanya Teungku Abdullah. Rambutnya sudah memutih. Dari kaki sampai wajahnya dipenuhi keriput. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemas pada sebidang kayu yang jadi sekat tempat penyimpanan padi. Abdullah adalah penjaga arel permakaman Panglima Polem.


“Meunoe keuh meunyoe ka tuha, meusapeu hanjeut ta peubeut le (beginilah kalau sudah tua, tidak bisa kerja apa-apa lagi),”sambung Abdullah dengan suara parau. Ia mengenakan baju putih tua lengan panjang yang dilipat sebatas siku dan celana abu-abu.



“Ka lhee beuluen Abu saket, hana geujak sahoe (sudah tiga bulan Abu sakit, beliau tidak ke mana-mana),” ujar Yusuf, sang cucu yang mendampinginya.


Usia Abdullah 90 tahun. Suaranya pelan dan parau, sehingga beberapa kali apa yang diucapkannya kurang jelas terdengar. Untuk berbicara dengannya pun harus dengan nada tinggi, karena pendengarannya juga mulai terganggu.


“Hana pah le londeungoe, beurayek bacut gata peugah hai neuk (pendengaran saya sudah tidak pas lagi, yang besar sedikit ngomongnya nak),” kata Abdullah.


Abdullah tinggal di rumah sederhana. Atap rumbia, lantai bambu. Dinding rumah terbuat dari anyaman pelepah rumbia. Rumah itu hanya terbagi dua bagian. Satu untuk dapur, satunya lagi untuk kamar tidur. Rumah Abdullah tak jauh dari areal pemakaman Panglima Polem.


SUARA jangkrik hutan terdengar nyaring di areal permakaman. Letaknya di desa Lam Sie, kecamatan Seulimum, Aceh Besar. Bukit-bukit kecil, pegunungan, dan hamparan sawah yang membentang luas dengan padi mulai menguning mengitari permakaman seluas setengah hektare ini.


Sebuah balai merah muda terlihat dipenuhi dedaun gugur. Dekat pintu masuk salah satu makam terdapat sumur dengan kedalaman sekitar 20 meter. Ilalang dan semak tumbuh di sekeliling makam, mulai dari pintu masuk, sampai ke dalam. Ini membuat tempat itu terkesan tak terawat. Nisan-nisan tua kebanyakan tak bernama.



Di depan permakaman terdapat dua pengumuman. Di beton bercat putih yang mulai mengelupas itu tertulis “Komplek Pemakaman T. Panglima Polem”, sedangkan di lempeng besi yang dipenuhi karat tertera peringatan: “Dilarang menjarah atau merusak peninggalan sejarah purba kala.”


Seingat Abdullah, makam Panglima Polem sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Sekitar tahun 1800-an. Awalnya makam itu dibangun secara sederhana, layaknya permakaman lainnya. Beberapa tahun lalu pihak keluarga mulai melakukan pembangunan kembali makam tersebut. Namun Abdullah tidak mengetahui pasti siapa yang menjaga makam itu sebelum dia.


Ketika sedang asyik bercerita, tiba-tiba Abdullah mencoba bangkit dan berdiri, meskipun kakinya sudah tidak bisa digerakkan lagi.


“Hoe keu neuk jak Abu? (mau kemana Abu),” tanya Yusuf pada kakeknya.


“Lon grah, keu neuk cok ie (saya haus, mau ambil air),” ujar Abdullah.



“Neu duek hinan mantoeng, bah lon nyang cok. (duduk di situ saja, biar saya yang ambil),” sahut Yusuf.


Baru saja Yusuf mau bergerak dari tempat duduknya, Sakdiyah keluar dari ruangan sebelah sambil membawa segelas air putih untuk Abdullah. Rupanya Sakdiyah mendengar ketika Abdullah, ayahnya, meminta air.


“Kakek saya memang seperti itu, tidak pernah mau menyusahkan orang. Semuanya mau dikerjakan sendiri. Terkadang saya iri padanya. Walaupun sudah tua dan sakit seperti ini, tapi semangat kerjanya luar biasa,” kata Yusuf dengan nada serius.


Menurut Abdullah, ia tidak pernah menerima bantuan apa pun dari pemerintah selama ia menjaga makam. Ia hanya memperoleh sedekah ala kadarnya dari para peziarah makam.


“Dari situ saya beli beras atau setumpuk ikan,” kata Abdullah.


Biasanya, hampir tiap minggu ada peziarah yang berkunjung ke makam tersebut. Di antara mereka ada yang ingin melepas nazar (janji), maupun hanya sekedar berziarah melihat-lihat tempat bersejarah.



Abdullah masih berharap akan ada bantuan dari pemerintah agar permakaman itu bisa lebih terawat. Alasannya, makam-makam tersebut adalah makam para pahlawan yang telah berjasa terhadap kemerdekaan negara ini.


DARI permakaman itu saya mengunjungi sebuah rumah di tengah kota Banda Aceh, tepatnya di Lampineung, yang tampak begitu asri. Pepohonan dan bunga-bunga memenuhi halaman.


Seorang pria bersetelan sarung kotak-kotak merah hati dan kemeja warna senada tersenyum ramah di teras rumah itu. Ia adalah Teuku Zainul Arifin Panglima Polem. Desember nanti ia akan berusia 60 tahun. Ia anak Panglima Polem X, Teuku Muhammad Ali, sekaligus cucu Panglima Polem IX, Muhammad Daud.


“Kuburan itu sudah ada sejak tahun 1800-an sejak dimakamkan Panglima Polem I yang bernama Tengku Dibatee Timoh. Nama itu diberikan setelah beliau meninggal, karena batu nisannya yang terus tumbuh. Makam beliau berdekatan dengan makam besar Muhammad Daud,” tutur Arifin kepada saya.


Menurut Arifin, makam tempat Panglima Polem Muhammad Daud disemayamkan dibangun pemerintah Indonesia sekitar tahun 1970-an sebagai tanda penghormatan. Di dekatnya juga ada makam ayah Arifin, Panglima Polem X, Muhammad Ali.


“Panglima Polem itu bukan satu orang, seperti yang dipikirkan masyarakat selama ini. Panglima Polem I dan Panglima Polem III berjuang melawan Portugis. Sedangkan Panglima Polem IV sampai Panglima Polem X berjuang melawan Belanda,” ujar Arifin.



Arifin menceritakan silsilah Panglima Polem kepada saya.


“Sultan Iskandar Muda menikah dengan tiga perempuan. Dari istri pertama beliau mempunyai dua orang anak. Si sulung bernama Meurah Pupok. Ia dihukum mati karena dituduh berzinah,” kisah Arifin.


Kisah Meurah Pupok berzinah telah lama beredar di kalangan warga Aceh, tetapi kebenarannya masih diragukan. Belum ada bukti sejarah yang otentik tentang peristiwa tersebut.


Anak kedua Sultan bernama Sultanah Safiatuddin, yang menikah dengan Sultan Iskandar Tani. Namun pernikahan Safiatuddin dengan Iskandar Tani tidak menghasilkan keturunan.


Isteri Sultan yang kedua bernama Puteri Kamaliah atau lebih dikenal Puteri Pahang atau Putroe Phang. Ia puteri dari Kerajaan Pahang. Dari isteri keduanya ini pun Sultan tidak dikaruniai keturunan. Isteri ketiga Iskandar Muda bernama Nyak Meuligoe. Ia asal Lam Sie, Seulimum, Aceh Besar.


Dari isteri ketiga ini Sultan dikaruniai seorang putera bernama Tueku Imum Itam Maharaja yang bergelar Teuku Dibatee Timoh. Ia juga dimakamkan di permakaman Panglima Polem di Lam sie.


“Sebenarnya Panglima Polem (Teuku Dibatee Timoh) dijagokan menggantikan Sultan. Tapi karena ia merasa bukan anak dari istri pertama, ia membantu adiknya, Safiatuddin untuk menjalankan pemerintahan. Karena itulah ada embel-embel Polem di belakang nama Panglima, yang berarti Abang,” jelas Arifin.



Teuku Dibatee Timoh mempunyai seorang putera yang diberi nama Teuku Panglima Polem Cut Sakti Lamcot (1675) atau Panglima Sagi XXII Mukim/Mangkubumi. Kepada Cut Sakti Lamcot inilah gelar Panglima Polem pertama kali diberikan. Setelah Cut Sakti Lamcot meninggal dunia, gelar Panglima Polem diwariskan kepada keturunan selanjutnya, yaitu Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Cut Lahat, Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Cut Kleung, Sri Muda Perkasa Panglima Polem Cut Ahmad (1845), Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Mahmud Cut Banta (1879), Sri Muda Teuku Panglima Polem Ibrahim Muda Raja Kuala (1896), dan Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Muhammad Daud (1896-1936).


Gelar Panglima Polem diberikan kepada keturunan Panglima Polem yang cakap dan cerdas. Tidak harus anak lelaki pertama.


“Seperti Panglima Polem II, yang bernama Teuku Muda Sakti, ia merupakan anak kedua Panglima Polem I. Sebenarnya, sang kakak Teuku Muda Suara yang menyandang gelar Panglima, tapi setelah dua bulan, gelar itu diberikan kepada adiknya yang dianggap lebih mampu,” lanjut Arifin.


Arifin kemudian berkisah tentang kakeknya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pada Januari 1891 ia diangkat sebagai Panglima Polem IX untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya, dia diberi gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.


Dari kesepuluh Panglima Polem tersebut, yang paling banyak dicatat sejarah adalah perjuangan dan kehidupan Muhammad Daud. Fotonya banyak dipajang di sekolah-sekolah dasar. Lelaki itu memakai meukeutop, topi khas Aceh, baju putih, dan kacamata tebal-bundar seperti milik penyanyi pop Amerika terkenal yang mati ditembak, John Lennon.


Meski begitu, kata Arifin, banyak data sejarah yang ditulis sejarawan Indonesia melenceng dari kenyataan sebenarnya.


“Seperti adanya isu bahwa Panglima Polem (Muhammad Daud) menyerah kepada Belanda. Padahal Panglima Polem tidak pernah menyerah melainkan mengatur strategi baru untuk melawan Belanda.” Arifin menjelaskan tentang perjuangan kakeknya.



Menurut Arifin, pada tahun 1930-an sang kakek membangun komitmen dengan Belanda di Lhokseumawe. Dalam pertemuan tersebut, Muhammad Daud menyatakan tidak akan berperang gerilya. Hal itu disambut Belanda dengan penuh suka cita. Sebenarnya itu merupakan taktik sang panglima yang hendak berjuang lewat jalur pendidikan. Muhammad Daud kemudian mendirikan Ma’had Iskandar Muda atau disingkat MIM.


Pada saat itu ia melihat kondisi masyarakat Aceh yang dianggapnya sudah tidak mengindahkan lagi nilai-nilai agama.


“Akhirnya beliau turun gunung berhenti bergerilya. Pada tahun 1935 ia memanggil kembali ulama Aceh yang bernama Abu Lam U dan Teuku Indrapuri yang sedang berada di Malaysia untuk membenahi kembali masyarakat Aceh yang sudah lupa daratan,” kisah Arifin dengan semangat.


“Gelar Panglima Polem bukan sembarang diberikan, itu merupakan milik sah keluarga dan keturunan Panglima Polem. Tapi setelah ayah saya, Panglima Polem Muhammad Ali, gelar Panglima Polem hanya diletakkan di belakang nama saja, karena kita bukan pahlawan hanya pewaris,” lanjutnya.


Dari pernikahan Muhammad Daud dengan Teuku Ratna lahir seorang putra yang dinamai Teuku Panglima Polem Muhammad Ali atau Panglima Sagi XXII Mukim.


Muhammad Ali mempunyai dua orang istri, yaitu Teungku Putri dan Cut Nyak Bungsu. Isterinya yang pertama berasal dari Keudah, Kuta Raja (sekarang Banda Aceh). Dari Teuku Putri, ia dikaruniai empat anak. Mereka adalah Pocut Asiah, Teuku Hasan (almarhum), Teuku Abdullah (almarhum), dan Teuku Husni.



Cut Nyak Bungsu yang berasal dari Padang Tiji, Pidie, memberinya empat anak pula, yaitu Teuku Bachtiar Panglima Polem (almarhum), Teuku Iskandar Panglima Polem, Teuku Zainul Arifin Panglima Polem dan Pocut Ernawati.


DALAM buku Sumbangsih Aceh Bagi Republik yang disunting Teuku Mohammad Isa, disebutkan bahwa Teuku Panglima Polem Muhammad Ali merupakan seorang pahlawan Aceh yang telah berjuang sejak penjajahan Belanda sampai Jepang.


Lelaki kelahiran Lam Sie tahun 1905 ini sempat ditolak pemerintah Belanda untuk menggantikan ayahandanya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, selaku Panglima Sagi (Panglima Sago) XXII Mukim. Namun, ia akhirnya sah diangkat sebagai panglima sago pada pertengahan tahun 1941.


Pada 24 Februari 1942, Muhammad Ali memimpin serangan terhadap militer Belanda di Seulimeum sebagai titik awal perlawanan untuk kemerdekaan di Aceh Besar.


Di tahun 1944 ia berhasil mengambil alih pemerintahan dari pihak Jepang. Ia menjabat Asisten Residen Aceh dan Ketua Kemakmuran Karesidenan Aceh pada Desember 1945.


Di awal Juni 1948 presiden Soekarno berkunjung ke Aceh. Rakyat Aceh menyambut kunjungan presiden pertama Indonesia itu dengan meriah. Pada tanggal 17 Juni 1948, Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) mengadakan jamuan khusus untuk Soekarno di Hotel Aceh, Kuta Raja.


Dengan nada sungguh-sungguh, Soekarno meminta rakyat Aceh membelikan dua pesawat udara untuk Republik Indonesia atau RI. Pesawat udara tersebut akan digunakan untuk menembus blokade udara total Belanda.


Tiba-tiba Haji Juned, wakil GASIDA, membisiki Muhammad Ali untuk menerima tantangan Soekarno itu.



Ia mengajukan dirinya menjadi ketua umum panitia pembelian dua pesawat terbang, yaitu Seulawah RI 01 dan Seulawah RI 02.


Minggu pagi, 20 Juni 1948, bertempat di pendopo Keresidenan Aceh, diadakan penyerahan secara simbolis dua pesawat tersebut kepada presiden Soekarno. Penyerahan dilakukan langsung oleh Muhammad Ali atas nama GASIDA sekaligus Residen Aceh dan Teuku Chiek Daudsyah, atas nama rakyat Aceh. Masing-masing menyerahkan Seulawah RI 01 dan Seulawah RI 02.


“Untuk pembelian pesawat udara Seulawah RI 01 dibeli dengan dana yang dikumpulkan dari GASIDA. Satu lagi, Seulawah RI 02, dibeli dengan dana yang dikumpulkan dari masyarakat Aceh. Setelah itu, baru diserahkan dalam bentuk mata uang untuk pembelian pesawat tersebut,” kisah Arifin.


Menurut Arifin, setelah penyerahan tersebut rakyat Aceh sedikit kecewa.


“Masyarakat Aceh menyumbang pada Soekarno untuk membeli dua pesawat. Namun yang terbeli hanya satu, sedangkan untuk satunya lagi tidak tahu. Raib entah ke mana,” kata Arifin.


Seulawah RI 01 ini, oleh Wiweko, seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia atau AURI, dengan piawainya dikomersilkannya ke luar negeri, tepatnya di Burma, selama masa agresi Belanda II. Seluruh keuntungan usaha ini digunakan untuk membiayai kegiatan diplomat Indonesia di luar negeri. Dengan berbekal Seulawah RI 01, Wiweko membangun perusahaan penerbangan nasional Garuda Indonesia Airways.


“Sangkalan sebagian orang Indonesia bahwa fakta Seulawah RI 01 dan RI 02 dan Aceh sebagai daerah modal Republik Indonesia hanya mitos, perlu dikaji ulang,” kata Arifin, tegas.



PADA 1958, Muhammad Ali merasa tak ada lagi yang bisa dilakukannya di Aceh. Ruang geraknya hanya di dalam kota, sedang kondisi di luar kota tidak aman. Pasukan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menguasai Aceh.


“Ayah memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. Untuk keamanannya, diurus Wakil Perdana Menteri II Kabinet AA (sebutan pada waktu itu), Kyai Haji Idham Khalid. Ayah saya diangkat menjadi penasehatnya dengan Surat Keputusan Nomor 62/WKPM/X/1958,” ujar Arifin.


Sementara itu Aceh sedang melakukan perdagangan dengan Penang, Malaysia. Dan berkat bantuan Wakil Perdana Menteri II Idham Khalid, dengan izin Menteri Perindustrian Ir. Inkiriwang, Muhammad Ali ditunjuk sebagai salah satu distributor semen Padang untuk Sumatera Utara.


Suatu malam di awal bulan Desember 1958, sewaktu Muhammad Ali sedang tidur nyenyak bersama Jusuf Gading di Krekot Bunder, Jakarta, tiba-tiba penginapan mereka digedor tentara. Setelah pintu dibuka, masuklah dua perwira yang menanyakan Muhammad Ali. Mereka memintanya menyiapkan pakaian untuk dibawa, karena ia akan ditahan.


Penahanan itu berdasarkan surat perintah yang ditandatangani Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat waktu itu, Jenderal Abdul Haris Nasution.


“Penangkapan tersebut merupakan suatu kekeliruan dan ayah saya sama sekali tidak merasa takut waktu itu, karena beliau merasa tidak bersalah. Beliau yakin, setelah diperiksa, akan dibebaskan dan diperlakukan dengan baik dan sopan,” tutur Arifin.



Muhammad Ali dibawa ke Mampang I. Ini Markas Team Khusus SUAD I (sebutan untuk tentara waktu itu). Tak berapa lama, kemenakannya yang bernama Tuanku Husin bergabung dengannya di tahanan militer itu. Mereka menduga hal ini terjadi atas permintaan Jenderal Nasution.


Usut punya usut, rupanya penahanan ini berkaitan dengan pertemuan Muhammad Ali dan sejumlah rekannya, termasuk Tuanku Husin, dengan menteri dalam negeri. Pertemuan itu bertujuan agar tercapai perdamaian di Aceh yang tengah dilanda pemberontakan DI/TII.. Rombongan ini juga berniat menghadap presiden Soekarno.


Setelah ditahan di Mampang I, Muhammad Ali dibawa ke penjara Cipinang dan digolongkan sebagai tahanan politik.


“Setelah ditahan setengah bulan, ayah saya dipanggil ke kantor penjara. Di sana beliau difoto, diukur tinggi badan dan dibuat sidik jari. Seperti orang yang berurusan karena perbuatan kriminal. Kemudian disuruh kembali ke tempat dan tidak dilakukan apa-apa. Padahal dalam dalam perintah yang ditandatangani Jenderal A.H. Nasution, ayah saya diperiksa dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam,” kisah Arifin.


Di akhir Agustus 1959, status Muhammad Ali menjadi tahanan rumah. Ini berdasarkan surat yang ditandatangani Jenderal Nasution dan Kapten Soedharmono.


“Sebulan setelah itu, status diubah menjadi tahanan kota. Selama tahanan kota, setiap hari Kamis, beliau harus melapor ke Mampang I. Akhir tahun 1959, ayah saya baru bebas dari semua status tahanan. Beliau ditangkap karena dicurigai terlibat dalam pemberontakan DI/TII. Namun kecurigaan tersebut tidak terbukti, karena ayah saya orang yang bersih dan ikhlas membela negara,” kata Arifin.


Setelah keluar dari penjara, saat pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Serikat Republik Indonesia atau MPRS RI tahun 1962, Muhammad Ali diangkat jadi anggota selaku utusan daerah bersama-sama dengan anggota lainnya.



“Tahun 1967, beliau diberhentikan secara hormat karena tidak terpilih lagi,” lanjut Arifin.


Namun tanggal 1 Agustus 1968, Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Rakyat, Kyai Haji Idham Khalid mengangkatnya sebagai Penasehat Bidang Khusus, dengan keputusan Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat No.32/Kpts/Kesra/VII/68.


MUHAMMAD Ali jatuh miskin ketika kembali ke Aceh. Tak lama setelah kembali ke kampung halaman, ia berusaha mengirim surat kepada menteri dalam negeri dengan perantara gubernur Aceh Sumatera untuk memohon agar dirinya diberikan tunjangan pensiun.


Ia melampirkan semua besluit (surat keputusan), kecuali satu, besluit pemberhentiannya sebagai bupati Pidie yang diperbantukan pada gubernur Sumatera Utara. Surat itu hilang. Meski salinannya tidak dilampirkan, tanggal dan nomor surat besluit tetap disebutkan.


“Dengan perantaraan temannya di Jakarta, ayah saya menyuruh untuk mencari dalam Arsip Departemen Dalam Negeri RI. Setelah ditemukan, ternyata bundel arsip ayah saya berisi satu bon dan sebagian isi bundel tersebut telah diambil oleh seorang pegawai dan pegawai tersebut telah meninggal dunia. Karena kekurangan besluit pemberhentian itu, keputusan tentang pensiunnya tidak dapat diberikan oleh menteri dalam negeri,” urai Arifin.


Menurut Arifin, pada 1962 Muhammad Ali pernah menerima sepucuk surat dari Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah yang berisi tentang penjelasan kesediaannya untuk diangkat kembali sebagai bupati Pidie. Surat tersebut ditandatangani Kepala Seksi Sumatera Nusa Tenggara, Suparko.



“Namun surat tersebut tidak diterima olah ayah saya, karena pada waktu itu beliau telah kembali ke Aceh,” ujar Arifin.


Akhirnya Muhammad Ali membalas surat itu. Setelah mengisi daftar isian yang dilampirkan dalam surat tersebut, yang masing-masing tiga rangkap. Setelah mendapat pengesahan Panglima Kodam I, waktu itu Kolonel Nyak Adam Kamil, Muhammad Ali berangkat kembali ke Jakarta untuk menjumpai Suparko dan menyampaikan sendiri surat pengangkatannya.


Pada waktu Suparko membaca daftar isian dalam kolom kedudukan terakhir saat pemberontakan DI/TII, Suparko mengajukan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Ali.


“Bekerja Aktif, menerima uang tunggu karena sakit dan turut memberontak. Pertanyaan terhadap keterlibatan ayah saya sebagai pemberontak, berkali-kali ditanyakan. Namun beliau menjawab dengan tegas dan bangga, tidak pernah memberontak terhadap Pemerintah RI,” ujar Arifin.


Tapi entah mengapa, Suparko tetap memutuskan untuk tidak menyetujui memberikan uang pensiun kepada Muhammad Ali.


“Itulah ketidakadilan, orang yang setia pada negara tidak diperhatikan, yang tidak setia diperhatikan. Hal ini sama seperti Aceh sekarang, bagi mereka yang dianggap memberontak diberikan bantuan, sedangkan masyarakat yang hidup miskin dan berjasa pada negara, tidak mendapatkan apa-apa. Sejarah selalu berulang,” kata Arifin, lagi.



Pada 6 Januari 1974 Muhammad Ali menghembuskan nafas terakhirnya tanpa pernah sepeser pun menerima uang pensiunnya.


Ironisnya, pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada Panglima Polem terakhir ini pada 2003, ketika Megawati Soekarno menjabat presiden.

Junaidi Mulieng