Sejarah, Kebohongan yang Disepakati?

Konon manusia berasal dari kera. Demikianlah bunyi Teori Darwin, sebagaimana kita pelajari dari bangku SMP hinga perguruan tinggi. Oleh karena itu dalam pelajaran sejarah, terutama ketika membahas manusia purba kita akan familiar dengan istilah “manusia kera”, “manusia peralihan kera”, atau yang semisalnya. Meskipun tak ada kesepakatan, beberapa ahli menetapkan Homo Sapiens sebagai makhluk peralihan mausia kera menuju mausia sempurna sebagaimana saat ini.


Dalam keseharian, kita sering meledek atau melontarkan hinaan dengan menyebut seseorang “monyet” atau “kera”. Barangtentu tak seorang pun menerima ejekan semacam itu. Sebetulnya, hal itu merupakan bantahan dari fitrah manusia bahwa mustahil manusia bermula dari kera sebagaimana Teori Darwin. Manusia jelas makhluk sempurna dibanding segala rupa binatang. Bila demikian, mengapa Teori Darwin tetap saja dipertahankan dari kurikulum pelajaran sejarah kita? Mungkin tak berlebihan kiranya, jika saya katakan bahwa beragam teori yang bermula dari Barat tersebut tak sekadar teori melainkan mengandung filosofis tentang pemberhalaan materi. Segala sesuatu berasal dari materi dan kembali kepada materi, tak terkecuali manusia. Seorang Charles Darwin yang tentunya seorang kristiani telah mengingkari doktrin dalam Injil tentang penciptaan Adam dan Hawa. Selanjutnya, teori yang ia ciptakan berkembang menjadi paham materialisme yang mengukur segala sesuatu berdasarkan materi. Eksistensi manusia tak lagi diukur dari agama, moral, dan etika melainkan dengan seberapa banyak harta benda yang ia miliki. Dalam tahap filosofis, penganut paham ini meyakini bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya serta menafikan peran Tuhan. Dalam praktek keseharian pikiran mereka hanya sebatas uang, uang, dan uang. Tak heran bila saat ini, masyarakat Barat lebih cenderung bersikap acuh tak acuh terhadap agama. Bagi mereka agama hanyalah sebatas ritual mingguan, atau tahunan. Tak lebih dan tak kurang. Parahnya, paham itu secara tak langsung mempengruhi pola pikir umat Islam yang amat menjunjung tinggi konsep keseimbangan dunia dan akhirat. Seimbang bukan berarti sama. Sebagaimana kosep Al Qur’an, “Beribadahlah untuk akhiratmu, tetapi jangan lupakan bagianmu di dunia”, menunjukkan bahwa akhirat mendapat porsi lebih lantaran kehidupan akhirat kekal. sedangkan kehidupan dunia hanyalah sementara. Hal ini, bukan berarti bahwa kehidupan seorang muslim hanya diisi soal ibadah ritual melulu sebagaimana dipahami kaum sufi klasik. Akan tetapi hendaknya, setiap aktivitas seorang muslim termasuk bekerja, berbisnis, menimba ilmu selalu dilandasi konsep “ingat akhirat”. Dengan demikian, setiap kali kita tergoda berbuat culas, korup, zalim hendaklah selalu sadar bahwa kelak kita bakal dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak di hadapan Rabbul ‘alamin. Yang terjadi hari ini, umat Islam yang telah dirasuki paham materialisme tak lagi berfikir halal haram, terpenting bagi mereka adalah memperkaya diri tanpa batas.

Hal di atas menunjukkan bahwa Teori Darwin tentang asal usul manusia tak sekedar terori yang dihafal. Ia bahkan telah bermutant menjadi aliran sekte pemberhalaan materi yang merusak tatanan moral dan nuilai - nilai kemanusiaan. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, seringkali sejarah diperalat untuk melanggengkan kekuasaan sebuah rezim atau mendeskreditkan agama, pemikiran, atau tokoh tertentu. Sejarah nasional telah mencatat Ki Hajar Dewantara sebagai “Bapak Pendidikan”. Bila kita telaah denga bijak, mengapa buhkan K.H. Achmad Dahlan yang menyandang gelar tersebut? K.H. Achmad Dahlan merupakan tokoh kyai pembaharu yang telah menyerukan kesejajaran antara pria dan wanita dalam dunia pendidikan tanpa meninggalkan kodratnya. Beliau telah berani mendobrak tradisi pesantren yang senantiasa menempatkan pria dan wanita dalam ruang belajar terpisah. Lewat gerakan Muhamadiyah pula, beliau telah melakukan segudang pencerahan dalam bidang agama, sosial, dan pemberdayaan umat. Saat ini hasil perjuangan beliau terlihat dari ribuan lembaga pendidikan berbasis Muhamadiyah mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi yang tersebar di seantero negeri. Termasuk pula ratusan rumah sakit, yayasan, atau majelis taklim di bawah payung Muhamadiyah. Sebalikya Ki Hajar Dewantara, tanpa mengecilkan arti perjuangan beliau hanya meninggalkan warisan segelintir lembaga pendidikan di bawah yayasan Taman Siswa di kota Gudheg. Namun, sejarah terlanjur menobatkan Ki Hajar Dewantara sebagai “Bapak Pendidikan” dengan slogan “Tut Wuri Handayani” tertera di papan nama sekolah - sekolah negeri. Sementara itu slogan Muhamadiyah “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah” tak pernah terpampang di ruang publik. Padahal, program “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunah” sudah seharusnya menjadi program nasional dalam rangka pemberantasan korupsi.

Terkait pelajaran sejarah, sangat sedikit dari kita yang mengenal Mr. Syafrudin Prawiranegara. Padahal, beliau adalah sosok penyelamat NKRI di kala pemerintah republik ini tengah di ujung taduk. Pasca agresi militer Belanda II, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta berada dalam tawanan tentara agresor. Di saat inilah Mr. Syafrudin Prawiranegara mendapat mandat untuk mengambil alih pemerintahan sementara. Jangan bayangkan beliau berkantor di istana negara. Meski berstatus “presiden”, beliau berdinas di hutan belantara bersama sejumlah pasukan gerilya demi menghindari kejaran pasukan penjajah. Di kala Yogyakarta kembali ke pangkuan republik, beliau dengan kebesaran jiwa menyerahkan kembali kekuasaan kepada Bung Karo. Hingga saat ini, sedikit dari kita yang mengenal Mr. Syafrudin. Bahkan, namanya baru diusulkan menjadi pahlawan nasioal 60 tahun pasca kemerdekaan RI.

Tak kalah menggelitik benak saya pula, mengapa kelahiran Budi Utomo ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Mengapa harus Budi Utomo? Mengapa bukan Syarekat Islam? Bila dikatakan bahwa Syariat Islam merupakan organisasi berbasis agama sehinnga tak layak dijadikan sebagai tonggak sejarah lahirnya kebangkitan nasional, maka layak kita tanyakan bukankah Budi Utomo juga lebih eksklusif mengingat anggotanya hanya para priyayi Jawa? Sedangkan Islam tak bisa disangkal merupakan unsur pemersatu bangsa. Saat ini, warisan pemikiran Syarekat Islam masih dapat dijumpai di sebuah universitas kecil di Yogya yakni Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Kini kampus tersebut kian sunyi di tengah deru kompetisi antar PTS di kota pelajar. Akankah kampus nan sunyi itu bakal berubah menjadi museum yang terlupakan sebagaimana Syarekat Islam dan penggagasnya? Namun setidaknya hal itu lebih baik ketimbang Budi Utomo yang meski namanya masih ramai disebut tetapi jejaknya tak lagi terlihat. Satu lagi, bahwa HOS Cokroaminoto salah satu penggagas Syarekat Islam merupakan mertua dan guru politik Bung Karno. Prof. Dr. Syafii Ma’arif juga merupakan mantan mahasiswa Universitas Cokroaminoto Surakarta yang kini pindah ke Yogya. Entah secara kebetulan atau tidak, Buya Syafii juga pernah memimpin Muhamadiyah.


Terakhir, penulis hendak mempertanyakan mengapa bukan Bung Hatta sasok yang bergelar penyambung lidah rakyat Indonesia? Bukankah beliau tokoh yang dengan gentle mundur dari pusaran politik di saat Sukarno cenderung berpihak pada blok timur. Bung Hatta lantas memilih hidup sedehana jauh dari intrik - intrik politik. Sebaliknya, Bung Karno terus berteriak “Revolusi” di tengah kemelaratan rakyat. Bung Karno terus saja berkoar “Lawan Neokolim” di saat gelombang inflasi mendera ekonomi rakyat. Hingga akhirnya, Bung Karno tumbang dari singgasana tahtanya. Sementara itu, Bung Hatta tetap dalam kebersahajaan hingga ajal menjemputnya. Namun, lagi - lagi sejarah lebih berpihak pada Bung Karno yang orasinya menggelegar hebat. Bukan Bung Hatta yang bersahaja. Hingga sekarang banyaklah dijumpai istilah Sukarnoime. Hattaisme? itu mungkin hanya ada di kamus saya. Sejarah pula yang lebih memilih Budi Utomo bukan Syarekat Islam, Ki Hajar bukan KH. Achmad Dahlan. Mengapa? Karena sejarah terkadang adalah kebohongan yang disepakati. Sejarah dibentuk oleh selera penguasa, kemudian dipasarkan di sekolah dan kampus. Selanjutnya dihafal berulang - ulang membentuk sebuah dogma. Kalau saja teori gila macam Teori Darwin saja masih dipakai apalah lagi yang kurang dari itu. Apapun itu, ini hanyalah goresan pena dari seorang fakir. Setajam apa jua takkan mengubah alur sejarah. Ibarat setetes embun di tengah luasnya samudera.
Muhamad Karyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar