(Tentang Papua) Apa yang Salah dengan “Bintang Kejora”?

Belakang ini, nama Bintang Kejora agak tenar di media massa. Sebetulnya sudah lama nama ini didengar. Hanya saja beberapa waktu belakangan nama ini tenar beserta dengan persoalannya. Bintang Kejora, nama bendera yang dikibarkan di beberapa daerah di Papua.

Saya tidak tahu banyak tentang Bintang Kejora dan segala permasalahannya. Mungkin media massa banyak mengulasnya namun saya kurang mencermatinya. Yang saya tangkap hayalah satu yakni pengibaran bendera itu membuat pejabat Indonesia geram. Tak jarang terjadi aksi berdarah antara aparat dan masyarakat sipil yang mengibarkan bendera ini. Data pastinya bisa dicari di internet.

Sebenarnya apa yang salah dengan pengibaran Bintang Kejora ini? Ada isu-isu bahwa pengibaran itu terkait dengan separatisme. Maksudnya, masyarakat yang mengibarkan bendera itu mau memerdekakan diri. Ini berarti mereka mau berpisah dengan NKRI. Namun, benarkah demikian? Apakah rakyat Papua mau memisahkan diri dari NKRI? Isu semacam ini bisa menjadi heboh di tengah kondisi masyarakat Papua yang jauh dari sejahtera.

Lagi-lagi kondisi ini digambarakn media. Saya belum pernah ke sana. Hanya bisa baca di koran dan media elektronik tentang masyarakat Papua yang kondisi sosial-ekonominya tidak memuaskan. Harga bahan pokok tinggi, sarana transportasi belum memadai. Ini juga terkait kondisi topografi Papua yang kebanyakan rawa-rawa sehingga sulit dijangkau angkutan darat. Perusahaan Amerika, Freeport yang mengelola tambang di Papua sama sekali belum bisa menyejahterakan rakyat Papua.

Kembali ke masalah Bintang Kejora. Bintang Kejora adalah identitas budaya. Pada zaman Presiden Gusdur (1999 - 2001), bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan. Asal, tingginya tidak melebihi kibaran bendera negara, Merah Putih. Tepatnya bendera ini dinaikkan hingga 10 sentimeter di bawah tinggi kibaran Merah Putih. Demikian benang merah bincang-bincang bersama mantan Duta Besar Indonesia untuk Kolumbia, Michael Menufandudalam acara Kaum Muda Gusdurian di The Wahid Instute, Jumat, 6/1/2012. Menurut Mikael, kibaran bendera Bintang Kejora sama sekali tidak ada kaitan dengan isu-siu separatisme, pemisahan dari NKRI. Boleh jadi istilah itu diciptakan oleh ‘Jakarta’. Maksudnya, istilah itu diciptakan oleh aparat.

Masyarakat Papua tidak menjadikan kibaran Bintang Kejora sebagai langkah awal untuk berpisah. Bendera itu adalah identitas budaya. Jika demikian, kibaran bendera itu tidak perlu diprotes. Kalau dihentikan malah melanggar hak masyarakat untuk menekspresikan identitas budayanya.

Saya kurang tahu, bagaimana peraturan pengibaran bendera dalam sebuah negara. Apakah kibaran itu hanya boleh untuk bendera negara yang berlaku secara nasional? Di mana-mana, saya lihat ada juga bendera partai politik. Di jalannan di ibu kota, bendera partai berkibar sepanjang jalan. Apakah bendera-bendera partai itu lebih layak dikibarkan ketimbang bendera Bintang Kejora? Toh, keduanya ada persamaan yakni mau mengekspresikan identitas masing-masing. Satunya identitas budaya, lainnya identitas politik.

Persoalan kibaran bendera Bintang Kejora tidak terlalu menarik ketimbang membicarakan kondisi sosial-ekonomi rakyat Papua. Lebih baik memperbaiki situasi ini daripada sibuk dengan masalah kibaran bendera. Negara boleh menuntut penurunan Bintang Kejora namun apakah yang dibuat negara ketika rakyat Paua dijajah oleh bangsa asing melalui kehadiran perusahaan tambang di sana? Apakah negara hanya mampu mengirimkan sejumlah aparat keamanan? Di manakah keberpihakan negara atas kondisi rakyatnya? Pertanyaan ini tidak untuk dijawab serentak namun perlu menjadi bahan pertimbangan bersama. Saudari/a kita di Papua menunggu partisipasi dan kerja sama seluruh rakyat negeri ini untuk mengubah situasi sosial-ekonomi mereka. Mari bersatu kitorang basudara….

CPR, 10/1/2012

Gordi Afri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar