Mengapa Buku Wanita Sebelum Kartini Dibakar Aparat?

Membaca buku karya Pramoedya Ananta Toer memang sangat mengasyikan, tapi ada sesuatu yang membuat saya penasaran terkait dengan beberapa judul buku hasil karyanya dibakar oleh aparat terkait, bukan hanya buku “ Wanita Sebelum Kartini” tapi beberapa buku yang lain terkait dengan sosok Kartini juga dibakar oleh aparat, diantaranya buku “Panggil Aku Kartini Saja Jilid I, II, III dan IV dan Kumpulan Karya Kartini, buku-buku tersebut dibakar oleh aparat pada tanggal 13 Oktober 1965.

Mengapa buku tersebut dibakar oleh aparat ? apakah ada yang salah dengan buku yang mengambil judul sosok Kartini, penulis memang tidak tahu apa isi buku tersebut tapi sekedar berasumsi saja bahwa pasti ada sesuatu yang diduga mengandung unsur terkategorikan salah sehingga tidak layak untuk terbit, karena itu buku tersebut akhirnya dibakar oleh aparat terkait. Padahal siapa rakyat Indonesia yang tidak mengenal Kartini, apalagi setiap tahunnya tanggal 21 April kita selalu memperingati hari kelahirannya yang dijadikan sebagai simbol emansipasi wanita.

Emansipasi wanita adalah sebuah pergerakan atau sebuah sikap dan pemikiran bahwa wanita mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki. Kita bisa lihat masa sekarang ini, semua wanita sudah bisa memiliki pendidikan yang tinggi, pemikiran yang maju dan mempunyai karir yang hebat dan semuanya sudah bisa disetarakan dengan kaum laki-laki. Wanita kini sudah banyak mengisi jabatan di pemerintahan, perkantoran, bahkan militer. Sosok kaum wanita yang bekerja bukan lagi dianggap sebagai pelanggaran norma dan nilai di masyarakat, inilah arti dari emansipasi tersebut.

Keinginan dalam sebuah ide dan gagasan dari sosok Kartini mengenai kemajuan kaum wanita agar perjuangan wanita dapat memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Maka dalam konteks perjuangan itulah mengapa setiap tahun kita selalu memperingati hari kelahirannya dalam rangka untuk mengenang perjuangannya terkait ide dan gagasan emansipasi kaum wanita. Pertanyaannya lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh perjuangan wanita yang lain ? pada jauh sebelum Kartini lahir ada sosok seorang wanita dari bumi Aceh yang berjuang layaknya kaum lelaki, sosok itu adalah Cut Nyak Dhien, beliau juga cerminan bahwa kaum wanita harus sekuat kaum pria.

Wanita memang lebih dikenal perasa dan cengeng. Tetapi tidak dengan beliau. Contohnya saja saat suaminya Teuku Umar meninggal tertembak peluru Belanda, ketika anak wanitanya Cut Gambang menangis, beliau justru menampar anaknya dan berkata: “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid. Cut Nyak Dhien tiada berhenti berjuang sampai akhirnya beliau tertangkap. Hingga akhirnya Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat karena Belanda ketakutan karena kehadiran sosok Cut Nyak Dhien di khawatirkan dapat menciptakan semangat perlawanan apalagi ia juga terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk pada pemerintah kolonial belanda. Hal ini membuktikan sesungguhnya Emansipasi telah lahir sebelum Kartini terlahir. Hanya saja masih dalam perjuangan menggunakan senjata, dan bukan di tanah Jawa.

Selanjutnya apakah Emansipasi itu lebih condong pada masalah pendidikan, apakah perjuangan Kartini dinilai lebih maju dan modern, apakah karena cita-citanya lebih condong ke masalah sosial dan pendidikan. padahal kalau bicara pendidikan mengapa kita tidak melihat sosok Dewi Sartika dari tanah Sunda, beliau adalah sosok wanita yang juga telah merintis pendidikan bagi kaum wanita dengan mendirikan sebuah sekolah perempuan pertama kali di tanah Hindia-Belanda yang berhasil didirikan tanggal 16 Januari 1904 dengan nama “Sakola Istri” atau Sekolah Perempuan. kemudian pada tahun kesepuluh berubah menjadi “Sakola Kautamaan Istri” dan pada usia ke 25 berdirinya sekolah tersebut dirubah menjadi “Sakola Raden Dewi”. Akhirnya sosok Dewi Sartika juga disebut sebagai tokoh permbaharuan kaum wanita.

Lalu mengapa tokoh emansipasi wanita hanya pada seorang Kartini saja ? padahal sebenarnya masih banyak beberapa pahlawan wanita lainnya selain diatas. Tetapi simbolisasi Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita seolah-olah mengaburkan tokoh-tokoh wanita yang lainnya. Kembali lagi ke masalah emansipasi wanita, Mengapa tidak jatuh ke Dewi Sartika yang memang perjuangannya hingga berdirinya sekolah bagi kaum wanita ? Kartini belum mendirikan sekolah, sedangkan Dewi Sartika justru telah mendirikan sejak tahun 1904.

Seharusnya simbolisasi emansipasi wanita jangan hanya mengacu pada satu orang saja, tetapi harus secara keseluruhan, rasanya tidak adil kalau hanya Kartini sebagai simbol emansipasi wanita ? Maaf ya, jangan salah menafsirkan tulisan saya ini, karena faktanya memang banyak wanita-wanita lain yang juga berjuang dengan gigih baik melalui senjata maupun melalui dunia pendidikan ketika negeri ini masih dijajah oleh belanda. Maka dari sinilah timbul pertanyaan saya, Mengapa Hanya Kartini ? dan timbul juga pertanyaan dari saya mengapa buku-buku mengenai sosok Kartini buah karya Pramoedya Ananta Toer dibakar oleh Aparat ? mungkinkah ada yang bisa memberi jawaban ?

Agus S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar