Nista Perang Sepanjang Sejarah

Philip Knightley bertutur nyinyir tentang perang dalam bukunya, The First Casuality. Soal perang sebutnya, selalu menyisakan tanya, siapakah korban pertamanya? Dari mulai perang Krimea pada tahun 1854-1856 sampai Perang Teluk, dia menyebut korban pertama perang adalah kebenaran. Pihak yang baku bunuh selalu mendorong alasan berada di garis kebenaran. Dan korban yang tercatat jelas, adalah ceceran luka dan darah perempuan dan anak-anak tak berdosa. Karena merekalah lapisan yang mudah dan paling lemah dikoyak senjata.

Perang tak lebih sebagai pembunuhan berskala besar atas nama kebenaran lewat nyalak senjata. Juga di dalamnya penistaan nilai kemanusiaan sampai jatuh ke titik paling nadir. Pembunuhan dan pemerkosaan di bawah todongan bedil yang merasa benar. Kisah Holocaust terhadap warga Yahudi yang dilakukan oleh Nazi Jerman selama masa perang dunia II 1933-1944 adalah satu contoh telanjang. Di bawah perintah sang Fuhrer, Hitler, warga Yahudi dibantai dalam Kamp-kamp konsentrasi yang tersebar di Polandia, Austria dan Negara-negara yang berada dalam kontrol Nazi Jerman kala itu. Diperkirakan jumlahnya mencapai kurang lebih 6 juta warga.

Saat Josep Stalin menjadi penguasa Soviet, dalam kurun waktu 1934-1937, ia membunuh sekitar 13 juta orang yang dianggap membangkang lewat Gulag-gulag Konsentrasi. Seperti yang paling terkenal, Gulag di Siberia. Di Asia, pada tahun 1937, para serdadu Jepang membantai 320 warga Nanking. Sedang di belahan Eropa, pada tahun 1941-1945, Pemerintah Katolik Roma di Kroasia menghabisi sekitar 1 juta warga Yahudi, Kristen Ortodok Serbia dan Anti Fasis Kroasia. Masuk era tahun 50-an, di Cina, tangan Mao Ze Dong, berlumuran darah saat memerintahkan pembantaian massal berlatar belakang ideologi politik. Antara kurun waktu 1958-1961 dan 1966-1969, mesin kekuasaan Mao, menghabisi nyawa 49 ribu warga Cina.

Indonesia juga punya catatan kelam. Sekitar paruh akhir tahun 60-an, republik ini digoncang pertarungan politik yang berujung pada saling baku bunuh. Diperkirakan dengan latar belakang politik, terjadi pembunuhan massal. Di Bali, pembunuhan massal yang terjadi menelan korban sekitar 80 ribu orang. Bahkan total jumlah korban, mencapai sekitar ratusan ribu. Itu pun merupakan jumlah dengan angka konservatif.

Tanah Afrika juga punya kisah yang tak kalah seram. Idi Amin di Uganda menjadi tokoh tunggal yang haus darah. Diperkirakan dia membunuh sekitar 300 ribu orang antara tahun 1969-1979. Di Kamboja, jumlah korban bahkan lebih fantastis. Khmer Merah yang berkuasa waktu itu melakukan pembunuhan massal terhadap lebih dari 1 juta warga pada tahun 1970-an.

Ternyata, soal laku nista tak kunjung lerai dari sejarah. Atas nama kebenaran yang bebal, para penguasa merasa sah untuk membantai. Di kawasan Balkan, Eropa, terjadi pembunuhan besar-besaran oleh tentara Kristen Ortodoks Serbia di Bosnia dan Herzegovina terhadap kaum muslim dalam kurun waktu 1961-1999. Termasuk pembunuhan massal sekitar 8000 orang di kawasan Srebenica pada bulan Juli 1995 di bawah Ratco Mladic. Saat konflik Balkan, malah terjadi pemerkosaan massal sebagai sebuah strategi perang terhadap para wanita muslim Bosnia.

Perilaku nista sepertinya sambung menyambung menjadi satu. Seakan nista manusia adalah hal biasa dalam perang dan konflik. Di Rwanda Suku Tutsi dan Hutu selama 1994 terbantai dalam konflik politik yang bernuansa etnis. Korban nyawa lebih dari 800 ribu orang. Sedangkan di Sudan antara tahun 2003-2006, ditengarai terjadi genosida sistematis yang dilakukan oleh kelompok Arab Janjaweed dukungan pemerintah Sudan yang membantai kurang lebih 200 ribu nyawa, kebanyakan dari warga kulit hitam di Darfur juga pemerkosaan massal.

Di Myanmar, Liga Perempuan Burma (LPB) melansir laporan bertajuk Sistem Imunitas yang salah satunya menyebut telah terjadi pemerkosaan terhadap perempuan suku minoritas oleh pihak Junta Militer Myanmar antara tahun 2003-2004. Organisasi ini memberikan bukti kesaksian 26 orang yang telah diperkosa oleh para perwira militer Myanmar. Sedangkan PBB pada tahun 2004, mengeluarkan laporan bahwa telah terjadi krisis kemanusian terburuk sepanjang tahun itu.

Dalam catatannya, Uganda menempati urutan pertama. Di Uganda, 20 ribu anak diculik dan disiksa secara seksual oleh Tentara Perlawanan Tuhan (Lord’s Resistance Army/LRA) pimpinan Joseps Kony. Selain itu, dalam laporan tersebut, dipaparkan perilaku nista tersebar di berbagai belahan bumi. Dari Afghanistan, Zimbabwe, Kongo, Uganda dan sebagian kawasan Asia Timur, Timur Tengah hingga Amerika Latin, korban zona konflik berjatuhan. Sebagian besar anak laki-laki dan perempuan belia yang dijadikan tameng dan serdadu perang. Dalam banyak kasus, bahkan dijadikan budak seks. Hingga tahun 2004-2005, PBB melaporkan sekitar 24 juta perempuan pernah mengalami tindak kekerasan. Peradaban semakin modern, tapi tak kunjung juga teratur.
Agus supriatna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar