Kemegahan Astronomi Islam Abad Renaisance

Praktik ibadah daalm agama Islam selalu membutuhkan penentuan waktu dan tempat yang tepat mengingat kewajiban ibadah merupakan terkait ruang dan waktu, termasuk prosesi ibadah shalat terkait ibadah muwaqqat yang harus terarah menghadap kiblat dan waktu yang telah ditentukan atau dalam penentuan awal bulan terkait dengan kalender Hijiriyah umat Islam dalam melakukan ritual ibadah tertentu. Sehingga ilmu astronomi jauh pada abad pertengahan sudah diterapkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam kesempurnaan ibadah. Cabang astronomi tersebut lebih dikenal dengan istilah “ilm-miqat”, sains penentu waktu yang telah dikembangkan melalui pengamatan dengan menggunakan alat-alat serta perhitungan matematis dalam rangka mencari kedudukan waktu untuk menentukan waktu-waktu tertentu kaitannya dengan prosesi ibadah.

Setelah ekspansi Islam, umat Islam mulai mengembangkan observasi secara lebih teratur dan rinci terhadap bintang-bintang langit yang dipercepat akibat kebutuhan jadwal yang tepat dalam kaitannya penyiapan kalender hijriyah, waktu dan arah shalat ataupun kebutuhan ilmu perbintangan (horoskop). Observasi-observasi tersebut terbantu kebanyakan karna dukungan dari penguasa dan kerajaannya terhadap perkembangan astronomi dan minatnya terhadap kajian astrologi. Dalam literatur sejarah, pencapaian fenomenal dari pusat-pusat tempat pengamatan ada pada abad ke-13 di Maragha, Persia dan abad ke-15 di Samarkand (Uzbekistan). Di pusat-pusat pengamatan tersebut menghasilkan literal-literal baru tentang pemetaan langit dan penggambaran konstelasi bintang yang menjadi dasar penting bagi kemajuan generasi astronomi di masa mendatang.

Pada abad renaisance perbaikan dalam pemetaan data-data pergerakan dan peredaran benda-benda langit dan keadaan geografis tempat-tempat di permukaan bumi secara akurat dan rinci diperoleh melalui sentuhan pengamatan astronom muslim, sehingga tidak mengherankan saat beberapa ilmuwan barat seperti Howard Turner yang menulis buku “Science in Medieval Islam, an Illustrated Introduction” cetakan University of Texas Press. Dalam bukunya tersebut Howar Turner panjang lebar membahas pencapaian-pencapaian fenomenal umat Islam dalam bidang sains, yaitu dalam bidang kosmologi, astronomi, astrologi, geografi, medis, kimia serta ilmu optik. Dalam pembahasan bab astronomi, Turner dengan gamblang menceritakan bagaimana astronom-astronom Islam bekerja luar biasa yang menjadi tonggak keberhasilan astronomi di masa berikutnya, sehingga tokoh-tokoh seperti al-Battani, Abu Rayhan al-Biruni, al-Khawarizmi begitu dikenal ditelingga publik. Tokoh lain adalah David King yang menulis buku “In Synchrony with The Heavens: Studies in Astronomical Timekeeping and Instrumentation in Medieval Islamic Civilization”. Dalam bukunya tersebut terbagi dua volume, pada volume I berjudul “The Call of the Muezzin”, dan Volume II berjudul “Instruments of Mass Calculation”. Pada volume I tersebut yang tebalnya sekitar 1000 halaman banyak mengupas tentang tabel waktu-waktu Islam (sholat), tabel ketinggian (altitude) dan bujur ekliptika (longitude) matahari untuk lintang geografik (latitude) tertentu, tabel ketinggian bintang (stellar), tabel azimuth matahari, tabel deklinasi (declination) matahari, tabel ketinggian pusat bola matahari, tabel untuk menghitung lama waktu di siang hari, tabel menentukan waktu twilight untuk empat musim, karya-karya astronom muslim dari berbagai belahan negeri seperti negeri Hijaz, Yaman, Andalusia, Maghribi, Iraq, Syria, Mesir, bahkan karya sundial dari tanah Jawa. Disajikan pula peran muazzin dan muwaqqit (astronom profesional pada institusi keagamaan) dalam masyarakat Islam di masa itu, sumbangan Syria dan Mesir pada berupa solusi astronomi secara universal, orientasi seni arsitektur bangunan Islam dan kota-kota abad pertengahan, peta dunia yang berpusat di Mekkah, praktek astronomi di masjid dan lain-lain. Sementara itu, volume dua yang tak kalah tebalnya, banyak menyajikan informasi tentang macam ragam alat astronomi yang digunakan astronom Islam seperti astrolabe, kuadrant, sundial, equatoria, kompas magnetik dan pendulum. Ilmuwan lain ada Edward Stewart Kennedy dan Jan P. Hogendijk (Utrecht) yang juga tertarik menelaah warisan astronomi Islam dalam literatur ilmiah modern (jurnal dan buku).

Abad Pertengahan dan Kejayaan Astronomi Islam

Di abad pertengahan tersebut memang banyak sekali nama-nama ilmuwan astronom Islam dan karya mereka dalam menyumbang peradaban pada masa itu. Di antara mereka adalah Ibn Shatir yang berhasil menerapkan gerakan-gerakan seluruh benda langit pada abad ke-14 dari model hipotesis tentang episiklis yang memasukkan kombinasi dari gerakan-gerakan yang masing-masing seragam berkaitan dengan pusatnya sendiri oleh Nasiruddin at-Tusi. Rumusan Ibn shatir tersebut semakin menyatukan astronomi observasi dan teoritis dan membangun dari hukum astronomi klasik untuk ditantang dengan teori Ptolomeus menajdi praktis, bahkan sistem planeter Ibn Shatir disinyalir menjadi inspirasi oleh Nicholas Copernicus dalam mencetuskan teori heliosentrisnya. Astronom muslim lain yang banyak melahirkan karya adalah Abu’l Hasan ‘ali ibn ‘Abd al-Rahman atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn Yunus. Ibn Yunus adalah seorang astronom muslim abad 10 M yang berasal dari Kairo yang telah banyak mewarisi tabel-tabel astronomis, Ibn Yunus juga menyusun rumus waktu = a(h, l) yaitu sebagai fungsi ketinggian (altitude) matahari h dan bujur (longitude) matahari l untuk kota Kairo (lintang/latitude sebesar 30 N). Ibn Yunus menggunakan nilai kemiringan sudut rotasi bumi terhadap bidang ekliptika sebesar 23,5 derajat. Tabel fungsi waktu tersebut disusun untuk h = 1, 2, 3, …, 83 derajat, dan l = 1, 2, …, 90 dan 181, 182, …, 270 derajat. Tabel tersebut cukup akurat, walaupun terdapat beberapa error untuk altitude yang besar. Ibn Yunus juga menyusun tabel yang disebut Kitab as-Samt berupa azimuth matahari sebagai fungsi altitude dan longitude matahari untuk kota Kairo. Selain itu, disusun pula tabel a(h) saat equinox untuk h = 1, 2, …, 60 derajat.

Tabel untuk menghitung lama siang hari (length of daylight) juga disusun oleh Ibn Yunus. Dia juga menyusun tabel untuk menentukan azimuth matahari untuk kota Kairo (latitude 30 derajat) dan Baghdad (latitude 33:25), tabel sinus untuk amplitude terbitnya matahari di Kairo dan Baghdad. Ibn Yunus juga disebut sebagai kontributor utama untuk penyusunan jadwal waktu di Kairo.

Selain mereka, abad renaisance juga memunculkan tokoh-tokoh fenomenal lain seperti Muhammad Mahmud Ibn Ahmad Ibn Musa Badr al-Din al-‘Ayni dengan pemetaan konstelasi beruang kecil, beruang besar dan naganya, Abdurrahman al-Sufi dengan Naskah suwar al-kawakib al-Thabita (Konstelasi bintang-bintang tetap), al-Khawarizmi, Tsalim Tsabit al-Dimaski, Ulugh Beik serta Al-Tanthawi (Damaskus) yang menyusun tabel waktu sebagai fungsi altitude dan longitude matahari untuk latitude tertentu. Tabel waktu sebagai fungsi altitude meridian untuk latitude tertentu dibuat oleh ‘Ali ibn Amajur (Baghdad), Al-Tusi (Maroko), dan Taqi al-Din (Istanbul). Tabel waktu untuk terbit matahari atau bintang tetap untuk seluruh latitude disusun oleh Najmuddin al-Mishri (Kairo). Tabel waktu malam sebagai fungsi right ascension bintang untuk latitude tertentu disusun oleh Syihabuddin al-Halabi (Damaskus) dan Muhammad ibn Katib Sinan (Istanbul).

Tabel-tabel penting lainnya yang menyingkap pergerakan dan altitude matahari dan bintang juga disusun oleh Abul ‘Uqul (Taiz), Ibn Dair (Yaman), al-Battani (Raqqa), Sa’id ibn Khafif (Samarkand), Ibn al-‘Adami (Baghdad), Al-Marrakushi (Kairo), Muhyiddin al-Maghribi (Maroko), Husain Qus’a (Tunisia), Najmuddin al-Mishri (Kairo), al-Salihi (Syria), al-Khalili (Syria), Abu al-Wafa (Baghdad) dan lain-lain. Jenis tabel-tabel lain yang juga disusun adalah tabel sinus deklinasi matahari oleh al-Khalili (Syria), Ridwan Efendi (Kairo) dan Taqi al-Din (Istanbul). Tabel cosinus deklinasi matahari oleh Habash (Baghdad), ‘Abdallah al-Halabi (Aleppo) dan sejumlah penyusun anonim dari Tunisia, Kairo dan Baghdad.

Pada abad pertengahan ini, sejumlah alat-alat astronomi mulai digunakan oleh ilmuwan muslim abad pertengahan diantaranya adalah astrolabe dan kuadrant. Astrolabe adalah instrumen astronomi untuk menentukan waktu dan posisi matahari, bintang, bulan dan planet. Meski astrolabe sudah dibuat orang sekitar abad ke 4, namun pengembangannya lebih maju terjadi di dunia Islam. Astrolabe tertua yang pernah dikenal orang berasal dari Baghdad pada sekitar akhir abad 9 atau 10 M. Kuadrant yang sekarang dikenal dengan nama Rubu’ Mujayyab adalah adalah alat yang digunakan untuk mengukur sudut sampai dengan 90 derajat. Menurut David King, ada empat jenis kuadrant dalam astronomi Islam, yaitu kuadrant sinus untuk menyelesaikan problem trigonometri, kuadrant universal untuk menyelesaikan problem astronomi pada sembarang lintang, horary kuadrant yang berkaitan dengan waktu dan matahari, serta astrolabe kuadrant yang bersumber dari astrolabe. fungsinya karena jaib = sinus, jaib tamam = cosinus, dhil mabshut = tangen dan dhil mankus = cotg, maka cara perhitungan dengan kuadrant atau rubu’ mujayyab dapat diformulasikan dengan rumus matematis goneometri dengan merubah nilai buruj menjadi derajat.

Bentuk kuadrant yang berupa seperempat lingkaran serta tak adak tanda positif dan negatif padanya maka untuk mengetahui nilai yang ditunjukkannya itu positif atau negatif berpedoman pada nilai ybs berada pada kuadrannya.

Bola langit, astrolabe, kuadrant dan jam matahari berkembang dengan berbagai cara, dan ketika kompas telah mencapai wilayah Islam kompas diadaptasi dalam beberapa new design. Sehingga secara khusus kotak kiblat yang merujuk arah Ka’bah telah biasa digunakan pada masa Ustmani setelah abad ke-13. Kemegahan astronomi pada abad renaisance tersebut telah sedikit banyak memberikan sumbangsih bagi kemajuan astronomi di zaman sekarang sekaligus mengingatkan bahwa para astronom muslim mampu berbuat lebih dari yang praktikkan oleh ilmuwan-ilmuwan barat.

hadi Bashori

Tidak ada komentar:

Posting Komentar