Salah satu di antara masalah-masalah paling mendesak yang dihadapi
Gerwani dan yang juga menimbulkan diskusi-diskusi hangat terutama di kalangan
pimpinan pusatnya adalah persoalan “otonomi” organisasi dalam hubungannya
dengan pimpinan PKI. Khususnya karena kejadian-kejadian dramatis sesudah
Oktober 1965, masalah ini perlu dianalisis dengan lebih cermat.
Pada awal dasawarsa 1950-an terjadi perdebatan sengit antara anggotaanggota
organisasi (ketika itu masih Gerwis) yang menginginkan organisasinya
menjadi organisasi dari orang-orang yang berkesadaran sangat tinggi mengenai
soal-soal organisasi, khususnya soal-soal yang lebih “feminis” seperti poligami,
dengan di lain pihak anggota-anggota yang menginginkan masuknya juga orangorang
yang tidak begitu sadar tentang soal-soal feminis, dan tidak begitu tertarik
pada debat-debat berat dan kegiatan-kegiatan peningkatan kesadaran. Golongan kedua ini berpendapat bahwa organisasi akan lebih efektif jika memperluas keanggotaannya di kalangan massa, yang berangsur-angsur dan dengan kerja
keras akan ditingkatkan kesadarannya.
Dalam jangka panjang khalayak yang lebih
besar akan dijangkau, meskipun soal-soal yang diangkat tidak seluruhnya dibahas
secara ideologis (baik dari sudut feminis maupun kiri) secara murni seperti yang
diinginkan. Golongan “murni” kalah dalam pertarungan ini, dan golongan yang
menghendaki Gerwis/Gerwani lebih mendekat ke PKI dengan pendekatan garis
massanya mendapatkan kemenangan. Meskipun demikian secara resmi Gerwani
tidak pernah berafiliasi dengan PKI. Pada bulan Desember 1965 rencananya akan
diselenggarakan kongres yang akan membahas masalah afiliasi ini. Mungkin
sekali gagasan afiliasi dengan PKI akan diterima kongres, tetapi peristiwa bulan
Oktober 1965 menggagalkannya.
Implikasi lain ialah bahwa organisasi sebenarnya belum pernah membahas secara terbuka masalah-masalah seperti pembagian kerja seksual tradisional,
walaupun sejumlah kader telah berjuang menentang ketidakadilan yang cukup
nyata pada tingkat perorangan. Beberapa kader dengan tegas menyebutkan usaha
mereka untuk mendidik anak-anak laki-laki agar mau mengerjakan tugas-tugas
rumah-tangga bersama-sama, dan suami juga diharapkan mengerjakan pekerjaan
rumah-tangga yang umumnya dipandang nyaris sebagai tugas wanita saja. Pada
tahun 1964 pemerintah menginstruksikan semua ormas agar mencari gandulan
masing-masing pada suatu parpol. Ketika suasana politik semakin tegang,
pimpinan Gerwani telah menyatakan posisi organisasi yang ada di dalam kubu
komunis, pernyataan yang dimaksud baru akan dirumuskan pada Kongres V. Kemerosotan ekonomi, kampanye anti-Malaysia, dan polarisasi yang
semakin runcing antara PKI dan kekuatan kanan sepanjang tahun 1962 sampai 1
Oktober 1965 mengakibatkan Gerwani (yang menempatkan diri di tengah
keluarga PKI dan sisi Soekarno) menjadi terseret di dalamnya. Dalam konfigurasi
yang kompleks ini pimpinan Gerwani berusaha mempertahankan identitasnya
sendiri. Gerwani tidak pernah menukar perjuangannya untuk hak-hak wanita
dengan partisipasi politik sepenuhnya di dalam poros Soekarno-PKI. Ideologi
resmi Gerwani selama periode ini ialah: perjuangan demi hak-hak wanita tidak
dapat dipisahkan dari perjuangan demi masyarakat sosialis, atau perjuangan
melawan imperialisme, maka dari itu Gerwani harus ambil bagian dalam
perjuangan untuk land reform dan konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini
merupakan beberapa alasan utama terciptanya stigma Gerwani sama dengan PKI. Jadi ringkasnya hubungan Gerwani dengan PKI adalah hubungan yang
mendua dan rumit.Pada umumnya Gerwani menyokong kampanye-kampanye
politik terpenting yang dilancarkan PKI, tetapi juga ada beberapa titik perselisihan
di antara keduanya. Pada awal dasa-warsa 1950-an, ketika ketegangan politik
meningkat dan masyarakat Indonesia semakin mengalami politisasi dan polarisasi,
Gerwani bergeser semakin dekat dengan PKI. Perkembangan ini terbawa oleh
mereka yang mempunyai keanggotaan rangkap, PKI dan Gerwani sekaligus.
Tetapi sampai saat terakhir Gerwani tidak pernah secara resmi menjadi bagian
wanita PKI.Pada tahun 1964, Gerwani mulai meranang program-program kerja guna
mengembangkan dirinya dalam suasana politik yang semakin memanas. Programprogram
itu meliputi: Hak-hak Wanita; Hak-hak Anak; Hak-hak Demokrasi;
Kemerdekaan Nasional yang Penuh; dan Perdamaian.
a. Hak-hak Wanita
Program kerja pertama dan utama dalam Gerwani adalah mengenai
masalah hak-hak wanita. Hak-hak wanita yang menjadi program kerja
Gerwani meliputi persamaan hak dengan laki-laki dalam politik, hak
perlindungan perkawinan, hak memilih kewarganegaraan dalam
perkawinan campuran, hak wanita jika menjadi janda, hak wanita kaum
buruh, hak wanita dalam tata pemerintahan, hak kesehatan, hak untuk turut
melaksanakan land reform. Paling tidak terdapat 22 program Gerwani
yang memperhatikan masalah hak-hak wanita
b. Hak-hak Anak
Titik perhatian kedua dalam program kerja Gerwani adalah mengenai hakhak
anak. Kehidupan anak sangat erat dalam rangkaian peran wanita dan
dalam hal ini adalah ibu. Gerwani memandang hak-hak anak tidak dapat
dilepaskan dari hak-hak wanita. Hak-hak anak dalam program Gerwani
misalnya hak anak untuk bebas dari buta huruf, hak anak untuk mendapat
pendidikan, hak anak untuk mendapatkan hiburan yang tidak bersifat cabul
dan propaganda perang.
c.Hak Demokrasi
Kemerdekaan Nasional yang Penuh; dan Perdamaian.
Gerwani memperhatikan hak-hak wanita dalam demokrasi, perdamaian,
dan kemerdekaan. Misalnya hak untuk turut serta dalam usaha
pembebasan Irian Barat.
Priya Purnama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar