Masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa dimulai pada tahun 1830. Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Tidak ada tantangan serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad 20. Pihak Belanda juga telah mampu terlibat langsung di Jawa sampai daerah pedalaman. Dominasi politik akhirnya tercapai di seluruh Jawa pada tahun 1830.[1]
Kondisi finansial Belanda pada tahun 1830 ternyata tidak semulus dengan keberhasilannya menguasai Jawa. Keuntungan yang diperoleh dari penguasaannya di Jawa habis digunakan untuk biaya militer dan administrasi. Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel.
Latar Belakang Tanam Paksa
Faktor utama diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Belgia berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden.[2]
Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der Capellen menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan yang ditempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan produk yang dapat dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini menemui kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya harga komoditi pertanian tropis di dunia.[3]
Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan-persaingan dagang internasional. Persaingan dagang tersebut diantaranya dengan pihak Inggris, dan setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819 menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Permasalahan di kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa, dimana kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.
Selama Perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai rencana untuk memperoleh keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829 Johannes Van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut culturstelsel.[4] Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis, terutama kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain. Van den Bosch menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil bumi (forced cultivation) kepada pemerintah.[5] Raja menyetuji usulan-usulan tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur Jenderal yang baru.
Ketentuan Tanam Paksa
Johannes Van den Bosch adalah pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat menjadi Gubernur Jendral pada 19 Januari 1830 dan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830.[6] Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 dan menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan di Jawa.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:
1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari pembayaran pajak tanah.
5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah.
7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.[7]
Ketentuan-ketentuan tersebut jika dicermati lebih lanjut nampaknya tidak terlalu membebani rakyat. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sering menyimpang jauh dari ketentuan sehingga merugikan rakyat dan sangat memberatkan beban rakyat.
Pelaksanaan Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan tentang tanam paksa ternyata hanya tertulis di atas kertas. Terdapat perbedaan besar antara ketentuan yang sudah ditetapkan dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Penyimpangan-penyimpangan yang muncul antara lain:
1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.
2. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk culturstelsel adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.
3. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 66 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
4. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
5. Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak.
6. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
7. Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
Sistem tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam perbaikan keuangan, ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus meskipun dalam paksaan. Surplus ini hanya digunakan untuk menopang pemerintahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya di daerah luar Jawa, dan perekonomian dalam negara Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga kerja orang Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional. Pihak Belanda berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan keuntungan-keutungan yang berarti yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil masyarakat pribumi.[8]
Dampak Tanam Paksa
Melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosch, maka pihak Belanda lah yang mendapatkan banyak keuntungan. Sejak tahun 1831 anggaran belanja kolonial Indonesia sudah seimbang, dan sesudah itu hutang-hutang lama VOC dilunaskan. Uang dalam jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri Belanda, dari tahun 1831-1877 perbendaharaan Kerajaan Belanda telah menerima 832 juta gulden. Pendapatan-pendapatan ini membuat perekonomian dalam negeri Belanda stabil: hutang-hutang dilunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan, dan jalan-jalan kereta api negara dibangun, semuanya diperoleh dari keuntungan-keuntungan yang diperas dari desa-desa Jawa.[9]
Akibat sistem tanam paksa ini bagi rakyat Indonesia ditunjukkan dengan kondisi yang berbeda dengan Belanda. Tenaga rakyat diperas dan tidak mendapakan imbalan yang setimpal. Rakyat mengalami berbagai penderitaan dan mendertita berbagai penyakit.
Segi positif bagi Indonesia yaitu rakyat Indonesia mengenal teknologi pertanian baru yaitu multicrops.[10] Selain itu juga mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
Penghapusan Tanam Paksa
Culturstelsel menghadapi berbagai masalah pada tahun 1840, tanda-tanda penderitaan di kalangan orang Jawa dan Sunda mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanaman tebu. Wabah-wabah penyakit terjangkit pada tahun 1846-1849, dan kelaparan meluas di Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Sementara itu, pemerintah menetapkan kenaikan pajak tanah dan pajak-pajak lainnya secara drastis.[11] Akibatnya rakyat menjadi semakin menderita.
Upaya menentang culturstelsel kini muncul di Negeri Belanda. Pemerintah mulai menjadi bimbang apakah sistem itu masih dapat dipertahankan lebih lama. Pada tahun 1848 untuk yang pertama kalinya konstitusi liberal memberikan parlemen Belanda (State-generaal) peranan yang berpengaruh dalam urusan-urusan penjajahan. Kepentingan-kepentingan kelas menengah Belanda menuntut diadakannya perubahan. Mereka mendesak diadakannya suatu pembaharuan “liberal”: pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastis, pembebasan terhadap pembatasan-pembatasan perusahaan swasta di Jawa, dan diakhirinya kerja paksa dan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan Sunda. Pada tahun 1860 seorang mantan pejabat kolonial, Eduard Douwes Dekker menerbitkan sebuah novel yang berjudul Max Havelaar dengan nama samaran “Multatuli”. Dampak langsung adanya buku ini masih diperdebatkan, tetapi dalam jangka panjang buku ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam menentang rezim penjajahan dari abad 19 di Jawa.[12]
Penghapusan tanam paksa secara radikal berlangsung sesudah tahun 1860-an. Tanaman paksa lada dihapus pada tahun 1862. Penghapusan tanaman-tanaman paksa indigo dan teh pada tahun 1865. Ketika Fransen van den Putte menjadi menteri jajahan (1863-1866) melakukan berbagai perbaikan. Penanaman paksa tembakau dan tanaman lainnya, selain tebu dan kopi di Jawa dihapuskan. Undang-undang lain menghapuskan rodi di hutan jati, melarang memukul dengan rotan sebagai hukuman terhadap orang yang dianggap salah. Pada tahun 1864 Staten-Generaal menerima undang-undang Comptabiliteit, tetapi baru mulai berlaku tahun 1867. Undang-undang ini menetapkan bahwa biaya tahunan untuk Indonesia harus dibuat oleh Staten-Generaal sehingga Staten-Generaal langsung mempengaruhi arah kebijaksanaan pemerintahan di Indonesia.[13]
Kopi dan gula merupakan tanaman yang paling penting untuk mendapatkan keuntungan sehingga tanam paksa pada dua tanaman ini paling akhir dihapuskan. Undang-Undang Gula tahun 1870 ditetapkan bahwa pemerintah akan menarik diri atas penanaman tebu selama 12 tahun, yang dimulai pada tahun 1878. Penghapusan penanaman kopi baru berakhir di Priangan pada awal tahun1917, dan di beberapa daerah pesisir utara Jawa pada bulan Juni 1919.[14]
[1] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011, hlm. 182.
[2] Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indnesia, Jakarta: Grasindo Kompas, 2006, hlm. 123.
[3] Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003, hlm. 4.
[4] Ricklefs, op. cit., hlm. 183.
[5] Niel, op. cit., hlm. 6.
[6] Simbolon, loc. cit.
[7] Marwati Joened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 354-355.
[8] Ricklefs, op. cit., hlm. 188.
[9] Ibid., hlm. 187.
[10] Simbolon, op.cit., hlm. 133.
[11] Ricklefs, op. cit., hlm. 188.
[12] Ibid., hlm. 189
[13] A. Daliaman, Sejarah Indonesia Abad 19-Awal Abad 20, Yogyakarta: FIS UNY, 2001, hlm. 44.
[14] Riklefs, op. cit., hlm. 190.
Andy Sulistio
Tidak ada komentar:
Posting Komentar