* Sekitar Abad ke-7 M di Ibukota Sriwijaya Telah Ada Pemukiman Muslim
Salah seorang peneliti perkembangan sejarah Sriwijaya dari segi ekonomi dan perdagangan adalah W. Wolters. Beliau seorang guru besar sejarah Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Dalam buku Early Indonesian Commerce, ia menerangkan bahwa meskipun Sriwijaya terletak di pantai yang penduduknya relatif sedikit, negeri ini mampu mengerahkan sumberdaya manusia dari pemukiman-pemukiman yang tersebar di selatan Selat Malaka. Ia mengatakan, Palembang hanyalah pusat. Tujuan ekspedisi angkatan laut Sriwijaya dengan menaklukkan Kedah dan pelabuhan-pelabuhan vital lainnya bukan sekadar meluaskan teritorial, tetapi untuk menduduki tempat-tempat strategis dalam jalur perdagangan utama. Penguasa-penguasa lokal dibiarkan terus berkuasa sebagai bawahan Sriwijaya.
Penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari sektor perdagangan, seperti komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sriwijaya. Salah seorang peneliti sejarah Sriwijaya, J.C. van Leur, merinci jenis-jenis komoditas ekspor tersebut, yakni kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading, timah, ebony (kayu hitam), kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Sedangkan ke negeri Cina, Sriwijaya mengekspor gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, kapur barus, batu karang, kapas, cula badak, wangi-wangian, bumbu masak, dan obat-obatan. Barang-barang tersebut bukan produksi dalam negeri Sriwijaya seluruhnya. Tapi, mungkin ada yang berasal dari pertukaran barang dengan negara lain yang punya hubungan dagang dengan Sriwijaya. Catatan Cina, Hsin-tang-shu (sejarah Dinasti Sung), menyebutkan bahwa Sriwijaya kala itu sudah mempunyai 14 kota dagang.
Menurut berita Cina dan berita Arab, komoditas yang diperdagangkan dan berasal dari Sriwijaya adalah cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu sapan, rempah-rempah, penyu, emas, perak, dan lada. Barang-barang ini oleh pedagang asing dibeli atau ditukar dengan porselen, kain katun, dan kain sutra.
Dari penelitian arkeologi di wilayah Palembang, ditemukan bukti-bukti yang menunjang data sumber tertulis mengenai komoditas perdagangan masa Sriwijaya seperti di atas. Temuan yang berkaitan dengan sarana perdagangan dan pelayaran berupa pecahan (fragmen) perahu dan mata uang Cina. Selain itu, juga ditemukan beberapa jenis komoditas, misalnya gerabah, keramik, manik-manik, dan damar.
F.H. van Naerssen dan R.C. de Longh, menyatakan ada dua faktor yang menyebabkan Sriwijaya mampu menjaga kelestarian dominasinya atas Selat Malaka yang strategis tersebut. Faktor pertama adalah hubungan pusat kerajaan dengan masyarakat pantai sebagai daerah bawahannya. Faktor kedua adalah hubungan penguasa Sriwijaya dengan negara-negara besar lainnya (Cina dan India).
Hubungan Sriwijaya dengan negara Cina, India, dan Arab terjalin dengan baik. Catatan Hsin-tang-shu dan Sung-shih, banyak mencatat kedatangan utusan dari Sriwijaya. Utusan Sriwijaya kali pertama datang ke negeri Cina tercatat dalam kronik Cina pada tahun 670 M. Sejak tahun 1178 M utusan Sriwijaya tidak pernah lagi datang ke negeri tirai bambu. Juga tercatat, banyak kapal Ta-shih (negeri Arab dalam penyebutan orang Cina) berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya, dan bahkan di setiap kota dagang di bawah kekuasaan Sriwijaya telah ada pemukiman pedagang-pedagang Islam.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka sangat menguntungkan kedudukan Sriwijaya. Karena itu, pada masa kekuasaan Balaputra Dewa, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu kota Ligor (Prasasti Ligor tahun 775 M). Pendirian ibukota Ligor bukan berarti meninggalkan ibukota Sriwijaya di Sumatra Selatan, melainkan hanya untuk melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra (daerah perbatasan Thailand dan Malaysia).
Ibnu Faqih dari negeri Arab yang mengunjungi Sriwijaya tahun 902 M, menyebutkan bahwa kota Sribuza (Sriwijaya) sudah dikunjungi oleh berbagai bangsa. Di pelabuhan Sribuza terdapat segala macam bahasa, yaitu bahasa Arab, Persia, Cina, India, dan Yunani, selain bahasa penduduk asli sendiri. Dalam catatan Abu Hasan Ali Al-Mas’udi (dari Arab) yang berjudul Muruju’z-Zahab Wa Ma-Adinu’l-Jauhar tahun 943 M, tercantum keterangan mengenai kerajaan sangmaharaja yang meliputi Sribuza (Sriwijaya), Qalah, dan pulau-pulau lain di Laut Cina. Tentaranya tak terhitung banyaknya. Dibutuhkan waktu dua tahun jika kita akan mengelilingi kerajaan Sribuza. Kerajaan itu banyak menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayuan yang wangi, seperti kapur barus, cendana, cengkeh, lada, dan minyak kestruri. (*)
(Dikutip dari Buku Kerajaan Sriwijaya yang disusun oleh Erwan Suryanegara bin Asnawi Jayanegara dkk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar