Titik Nadir Perlawanan Kerajaan Aceh



Daerah dataran tinggi Gayo yang merupakan benteng alam yang sangat strategis bagi pertahanan pasukan kerajaan Aceh. Dataran ini juga sempat digunakan oleh Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daudsyah (1874-1903) beserta pengawalnya maupun tokoh-tokoh penting dalam Perang Aceh yang sangat besar, sebagai benteng pertahanan terakhir saat terdesak di daerah-daerah pesisir Aceh oleh kepungan dan penerapan lini konsentrasi yang dilakukan sejak pembentukan pasukan marsose oleh kolonial Belanda pada 2 April 1890.


Di antara tokoh-tokoh penting dalam Perang Aceh yang sempat mengundurkan diri ke daerah dataran tinggi Gayo di sekitar Lut Tawar dan Linge adalah Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daudsyah sebagai kepala pemerintahan tertinggi kerajaan Islam Aceh. Beliau mengundurkan diri ke daerah Gayo Lut dan Linge pada tahun 1901, setelah benteng pertahanan Aceh di Batee Iliek di Samalanga dapat dikuasai Belanda. Selain Sultan, Panglima Polem seorang panglima yang masyhur juga mengundurkan diri ke daerah Ketol Gayo Lut sejauh 30 Km dari Takengon. Beliau mundur setelah pasukannya semakin terdesak oleh pasukan marsose Belanda di daerah kabupaten Bireuen sekarang.


Tokoh lain yang mengundurkan diri ke dataran tinggi Gayo adalah pahlawan perempuan terkenal Cut Nyak Din. Beliau mundur ke daerah Celala sejauh kurang lebih 15 Km dari Takengon di sebelah hulu Wihni Takengon (hulu Krueng Peusangan) pada tahun 1900-1901, ketika melanjutkan perlawanan terhadap Belanda dengan bergerilya setelah suaminya Teuku Umar tertembak pada 11 Februari 1889 di Suak Ribee Meulaboh.


Beliau selama hampir setahun bertahan di sana. Cut Nyak Din akhirnya meninggalkan Celala pada pertengahan tahun 1901 dan menyingkir ke daerah Beutong hingga akhirnya ditangkap Belanda pada 4 November 1905 di Babah Krueng Manggi Aceh Barat. Beliau akhirnya diasingkan ke Sumedang Jawa Barat hingga meninggal dunia di sana pada 6 November 1908.


Kedatangan Sultan, Panglima Polim dan Cut Nyak Din ke dataran tinggi Gayo disambut dengan baik oleh raja-raja, penghulu-penghulu dan rakyat Gayo. Mereka dikawal oleh para Pang yang terkenal dari Gayo untuk menjaga dan mengawal mereka dari kepungan Belanda. Kedatangan Sultan ke Tanoh Gayo, dikarenakan kepercayaan Sultan akan kesetiaan raja-raja dan rakyat Gayo sehingga tidak mungkin beliau mengundurkan diri ke sana, apabila tidak yakin terhadap kesetiaan mereka yang tinggi dalam peperangan yang sangat hebat pada saat itu.


Menurut Snouck, ketika Sultan sedang terkepung pada tahun 1900 di daerah Samalanga pemimpin dan panglima-panglima dari Gayo ikut mengawal keselamatan Sultan. Selain itu juga pengawal dari daerah Serbejadi, seperti Nyak Ara dan Panglima Sekoulun. Ketika pasukan marsose pimpinan van Heutz menyerang Benteng Batee Iliek Samalanga, Sultan dapat diselamatkan ke daerah Peudada, kemudian dipindahkan ke daerah Peusangan. Pasukan Belanda terus mengejar di manapun posisi Sultan, tetapi mereka tidak berhasil menyergapnya. Setelah posisi pejuang Aceh semakin terjepit, akhimya Sultan dan pengawal-pengawalnya mengundurkan diri ke dataran tinggi Gayo di daerah Berusah, sekitar 50 km dari Takengon.


Saat tiba di Lut Tawar, Sultan dan rombongannya disambut dengan meriah oleh Kejurun Buket, Linge, Siah Utama, Cik Bebesan, para Pengulu, Pang-Pang dan seluruh masyarakat Gayo. Para Kejurun mempersiapkan penyambutan Sultan dan memberikan pengawalan yang ekstra ketat untuk menghindari sergapan kolonial Belanda. Pada awalnya Sultan menetap di Takengon, tepatnya di pinggiran danau Lut Tawar di hulu Wihni Takengon (Krueng Peusangan).


Pada tahun 1901, Mayor van Daalen yang baru kembali ke Bireuen dari ekspedisi ke dataran tinggi Gayo, namun sebaliknya para pasukan Sultan baru tiba di Lut Tawar. Pada ekspedisi itu, disebutkan van Daalen membakar kampung Kebayakan tempat domisili Raja Bukit pada tanggal 5 Oktober 1901. Kampung Kebayakan dibumihanguskan pasukan marsose yang hanya menyisakan Mesjid dan Mersah (Mushalla) serta beberapa rumah. Namun pihak Belanda tidak mengakui telah melakukan pembumihangsusan, tetapi rakyat Gayo di sana yang menjadi saksi bahwa pasukan van Daalen yang membakar kampung itu untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Gayo.



Setelah beberapa hari berada di sekitar Lut Tawar, Sultan beranjak ke Kampung Rawe sekitar 8 Km dari Takengon. Pada saat di Kampung Rawe, datang menghadap raja-raja Gayo kepada Sultan. Di antaranya Raja Porang, Raja Gele, Raja Bukit, Kute Lintang, Rema, Tampeng, Kemala Derna, (Rempelam), Seneran (Gegarang). Mereka mengikrarkan “sumpah setia” kepada Sultan dan mendukung sepenuhnya serta siap sedia menghadapi serangan Belanda.


Selain itu dari Gayo Lues, raja-raja juga mengharapkan kedatangan Sultan ke sana. Peristiwa kedatangan raja-raja Gayo Lues ini terjadi pada Desember 1901. Di pihak Kejurun yang hadir antara lain Aman Ratus dan Aman Bidin. Di Rawe, Sultan dikawal oleh Ulubalang Ranta, Teungku M.Sabil, Raja Kader, Aman Kerkom, dan lain-lain.


Setelah beberapa lama tinggal di Rawe, Sultan pindah ke Kampung Lenang di Isak Linge. Pasukan Belanda akhirnya mengetahui persembunyian Sultan di Kampung Lenang. Pasukan Belanda di bawah Kapten Colinj menyerang posisi Sultan di Kampung Lenang. Pertempuran terjadi, pasukan pengawal Sultan pimpinan Ulubalang Ranta dan Teungku M.Sabil mempertahankan diri. Pasukan pengawal semakin terjepit dan menyebabkan syahidnya Teungku M.Sabil dengan beberapa personil pasukan lainnya.


Sultan mengundurkan diri lagi ke daerah Isak Linge, dan meneruskan pelariannya ke Kampung Lumut, tidak jauh dari Burni Intim-Intim di perbatasan Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Rencana Sultan mengunjungi Gayo Lues dengan menerobos Burni Intim-Intim tidak terlaksana dan meneruskan perjalanannya ke daerah Pamar dan selanjutnya ke Pidie.


Selama dalam perjalanan Sultan ini, Uleebalang Ranta dan Raja Kader tetap mengikuti rombongan sampai di Keumala, tetapi di daerah Peudue, pedalaman Pidie rombongan Sultan diserang Belanda sehingga Raja Kader syahid. Ulubalang Ranta dapat meloloskan diri dan dapat kembali ke Takengon. Akhirnya Sultan Aceh yang terakhir Tuanku Muhammad Daudsyah ditangkap Belanda di daerah Pidie pada tahun 1903 dan dianggap sebagai titik nadir perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Belanda yang dimulai sejak tahun 1873.

Mahakarya Hikayat Prang Sabi



Hikayat Prang Sabi adalah sebuah hikayat yang diciptakan atau dikarang oleh Tgk Chik Pante Kulu yang merupakan sebuah syair kepahlawanan yang membentuk suatu irama dan nada yang sangat heroik yang membangkitkan semangat para pejuang Aceh dari zaman penjajahan portugis sampai zaman penjajahan Belanda.


Hikayat Prang Sabi adalah salah satu inspirator besar dalam menentukan perjuangan rakyat Aceh. Memang sejak dulu bangsa Aceh sangat akrab dengan syair-syair perjuangan Islam, sajak-sajak akan sebuah hakikat keadilan. Hikayat ini selalu diperdengarkan ke setiap telinga anak-anak aceh, laki-laki, perempuan, tua muda, besar kecil dari zaman ke zaman dalam sejarah Aceh Sepanjang Abad.


Kalau kita belajar dari sejarah, maka Aceh lah negeri yang paling ditakuti oleh Portugis dan sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda sejak tahun 1873 serta Jepang. Beribu macam taktik perang yang digunakan oleh para penjajah tetapi tidak dapat menguasai Aceh yang unggul dengan taktik perang gerilyanya. Sejarah mencatat bahwa perang kolonial di Aceh adalah yang paling alot, paling lama, dan paling banyak memakan biaya perang dan korban jiwa penjajah.


Pengaruh hikayat perang sabil hasil karangannya, telah mampu membangkitkan semangat jihad siapa saja yang membaca ataupun mendengarnya untuk terjun ke medan perang melawan penjajahan Belanda ketika itu. Sehingga Zentgraf dalam bukunya “Aceh” (1983) menulis banyak pemuda yang memantapkan langkahnya ke medan perang Aceh melawan Belanda karena pengaruh buku hikayat perang sabil yang sengaja ditulis seorang ulama besar Aceh bernama Tgk. Muhammad Pante Kulu.


Menurut Zentgraf, hikayat perang sabil karangan ulama Pante Kulu telah menjadi momok yang sangat ditakuti oleh Belanda, sehingga siapa saja yang diketahui menyimpan-apalagi membaca hikayat perang sabil itu mereka akan mendapatkan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda dengan membuangnya ke Papua atau Nusa Kembangan. Sarjana Belanda ini menyimpulkan, bahwa belum pernah ada karya sastra di dunia yang mampu membakar emosional manusia untuk rela berperang dan siap mati, kecuali hikayat perang sabil karya Pante Kulu dari Aceh. Kalau pun ada karya sastrawan Perancis La Marseillaise dalam masa Revolusi Perancis, dan karya Common Sense dalam masa perang kemerdekaan Amerika, namun kedua karya sastra itu tidak sebesar pengaruh hikayat perang sabil yang dihasilkan Muhammad Pante Kulu.



Itu sebabnya, Ali Hasjmy menilai bahwa hikayat perang sabil yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu telah berhasil menjadi karya sastra puisi terbesar di dunia. Menurut Hasjmy, pengaruh syair hikayat perang sabil sama halnya dengan pengaruh syair-syair perang yang ditulis oleh Hasan bin Sabit dalam mengobarkan semangat jihad umat Islam di zaman Rasulullah. Atau paling tidak, hikayat perang sabil karya Chik Pante Kulu dapat disamakan dengan illias dan Odyssea dalam kesusastraan epos karya pujangga Homerus di zaman “Epic Era” Yunany sekitar tahun 700-900 sebelum Mesehi.


Mengapa hikayat perang sabil begitu berpengaruh dalam membangkitkan semangat jihat perang orang Aceh melawan Belanda. Menurut telaahan, hikayat perang sabil yang ditulis Chik Pente Kulu ini terdiri dari empat bagian (cerita). Pertama, mengisahkan tentang Ainul Mardhiah, sosok bidadari dari syurga yang menanti jodohnya orang-orang syahid yang berperang di jalan Allah. Kedua, mengisahkan pahala syahid bagi orang-orang yang tewas dalam perang sabil. Ketiga, mengisahkan tentang Said Salamy, seorang Habsi berkulit hitam dan buruk rupa. Keempat, menceritakan tentang kisah Muda Belia yang sangat mempengaruhi jiwa para pemuda untuk berjihat di medan perang melawan kezaliman penjajahan Belanda.


Ada dua Versi pendapat tentang Tgk. Chik Pente Kulu dalam mengarang hikayat perang sabil ini. Sebagian mengatakan, hikayat perang sabil ini dikarang Chik Pante Kulu ketika beliau dalam perjalanan pulang dari Mekkah ke Aceh. Berarti hikayat perang sabil ditulis Chik Pante Kulu di atas kapal selama dalam pelayarannya dari Arab ke Aceh. Pendapat lain mengatakan, hikayat perang sabil ini ditulis Chik Pante Kulu adalah atas suruhan Tgk. Chik Abdul Wahab Tanoh Abee yang lebih dikenal Tgk. Chik Tanoh Abee.


Karena, pada waktu Tgk. Muhammad Saman Ditiro meminta izin pada Tgk. Chik Tanoh Abee untuk berperang melawan Belanda. Maka saat itu Tgk. Chik Tanoh Abee menanyakan pada Tgk. Chik Ditiro: “Soe yang muprang dan soe yang taprang?”. Chik Ditiro menjawab: “Yang muprang Muhammad Saman, yang taprang kafe Belanda”. Menurut hikayat marga tanoh abee, sekiranya waktu itu Chik Ditiro menjawab, yang muprang ureung Islam, yang taprang Belanda. Kemungkinan Tgk. Chik Tanoh Abee tidak merestui Chik Ditiro untuk berperang, karena kalau orang Islam yang berperang, karena di kalangan orang Islam sendiri masih banyak yang harus diperangi, yaitu orang-orang yang bukan Islam sejati.


Tetapi karena jawaban Tgk. Chik Ditiro: yang muprang Muhammad Saman dan yang taprang kafe Belanda, maka Tgk. Chik Tanoh Abee merestui Tgk. Chik Ditiro menggerakkan peperangan untuk melawan Belanda. Dalam mendukung gerakan perang ini Tgk. Chik Tanoh Abee mengarang khusus hikayat perang sabil dalam bahasa Arab untuk pimpinan-pimpinan perang. Sedangkan untuk lasykar perang hikayat perang sabilnya dikarang oleh Tgk. Chik Pante Kulu dalam huruf Jawi berhasa Aceh, yang kemudian hikayat perang sabil karangan Tgk. Chik Pante Kulu ini membawa pengaruh luar biasa dalam membangkitkan semangat jihad lasykar Aceh berperang melawan Belanda.



Salah satu bagian paling penting dari Hikayat Prang Sabi adalah pendahuluan atau mukadimah. Bagian yang juga berbentuk syair ini menunjukkan secara jelas tujuan ditulisnya Hikayat Prang Sabi, dalam hubungannya dengan perang melawan Belanda. Setelah diawali dengan puji-pujian kepada Allah pencipta semesta alam, syair-syair pada mukadimah berlanjut pada seruan untuk perang Sabil. Juga disebutkan satu pahala yang dapat diperoleh bagi mereka yang berjihad dalam perang Sabil (jalan Allah-Red). Salah satu pahala yang akan diterima mereka yang mati syahid dalam perang tersebut adalah akan bertemu dengan dara-dara dari surga ( Bidadari ).


HIKAYAT PRANG SABI


Salam alaikom walaikom teungku meutuah
Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe
Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah
Syuruga indah...ya Allah pahala prang sabi....


Ureueng syahid la syahid bek ta khun matee
Beuthat beutan lee...ya Allah nyawoung lam badan
Ban saree keunueng la keunueng senjata kafee la kafee
Keunan datang...ya Allah pemuda seudang...


Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe
Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi
Gugor disinan-disinan neuba u dalam-u dalam
Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi...



Ija puteh la puteh geusampoh darah
Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki
Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan
Wat tapandang...ya Allah seunang lam hatee...


Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadoh di badan
Geuganto le tuhan...ya Allah deungan kasturi
Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang
Neubi beu mayang...ya Allah Aceh mulia...


Subhanallah wahdahu wabi hamdihi
Khalikul badri wa laili adza wa jalla
Ulon peujoe Poe sidroe Poe syukoe keu rabbi ya aini
Keu kamoe neubri beu suci Aceh mulia...


Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi
Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa
Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh
Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka...



Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teuboh
Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata
Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin
Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia...


Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang
Allah peulang dendayang budiadari
Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi...


Budiyadari meuriti di dong dji pandang
Di cut abang jak meucang dalam prang sabi
Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamong syuruga tinggi...


Tidak mengherankan, Sehingga kemudian penyair Taufik Ismail mengabadikan kehebatan hikayat perang sabil karya Tgk. Chik Pante Kulu ini dalam sebuah syair panjangnya berjudul : “Teringat Hamba Pada Syuhada Kita Dihari Kemerdekaan, Musim Haji 1406 H”. Taufik bersyair:…



Nampakkah olehmu puisi itu?
Diserahkan kepada Teungku Chik Ditiro
Di sebuah desa di dekat Sigli
Dan puisi itu berubah menjadi sejuta Rencong...


Terdengarkah olehmu?
Merdunya Al Furqan dinyanyikan
Kemudian puisi perang sabi dibacakan
Yang mendidih darah memanggang udara
Menjelang setiap pasukan terlibat pertempuran
Mengibarkan Panji fi-sabilillah…


Hamba menulis puisi juga
Tapi betapa kurus puisi hamba
Kurang sikap ikhlas hamba
Banyak ria dan ingin tepuk tangan...
Apalah artinya dibandingkan puisi Perang sabi Muhammad Pante Kulu ...



Allah, berkahi penyair abad sembilan belas ini
Beri dia firdaus seluas langit bumi…


Begitu hebatnya Tgk. Chik Pante Kulu di mata penyair Taufik Ismail. Sampai-sampai Taufik menilai puisi-puisi yang ditulisnya selama ini belum memiliki arti apa-apa dibandingkan kebesaran syair hikayat perang sabil yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu. Ulama dan pujanggawan kelahiran 1836 M di Desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kota Bakti, Pidie ini, telah lama meninggalkan kita. Namun hikayat perang sabil yang ditinggalkan tetap hidup di jiwa orang yang memang Aceh sebagai hasil karya sastra terbesar yang diakui dunia pada zamannya.

Referensi :
  • Facebook Note, From Aceh I'm In Love - Hikayat Prang Sabi

  • Harian Serambi Indonesia 15 Augt '10 - Tgk Chik Pante Kulu, Pujangga Yang Sepi

Ini Kisahku di Tanoh Indatu “Aceh”



Bila tak mengabadikan sepenggal kisah, tak lengkap rasanya meneguk kopi hari ini dan hari-hari selanjutnya di tanoh Aceh. Sebuah reportase memang wajib hadir, itu pikirku! Kembali jari-jari ini menari, sebuah tari pemecah sunyi kampung Mali. Kisah ini aku mulai ketika meninggalkan negeri penuh debu. Negeri yang jauhnya ribuan mil dari tanoh indatu. Tempat hunian para nabi dan auliya, juga ikut menjadi tempatnya Fir’aun. Negeri itu Mishra ma’rufnya.


Setelah burung besi dinaiki, setelah segupak do’a dipanjatkan, setelah lelahnya tangan melambai, ke Bahrain jua sang burung besi bertengger, mungkin sedikit melepas lelah mencari minum. Tak lupa melaksanakan kewajiban yang maha Agung, menyirami muka dengan air sejuk negeri, menyimpuh diri pada Ilahi Rabbi.


Ada rasa haru membuncah, rasa gembirapun tak segan-segan menyeruak manakala raga menyentuh tanah Malaya. Betapa kusaksi wajah-wajah Asia ramah menyejuk. Deru labi-labi, bau kuah Pliek dan kuah asam kueung seakan-akan membayang-bayangi di pelupuk mata, tak sabarlah aku untuk segera mencium tanoh indatu, Acheh! Namun tunggulah wahai hamba, satu hari lagi burung itu akan bertengger pula disini menjemputmu, membawa ragamu kembali ke tanoh indatu. Menunggulah...


Menanti waktu sehari bak permaisuri menanti calon pangerannya, betapa lama ia. Aku risau, ingin segera ku sentuh lonceng cakra donya, hadiah laksamana Cengho dari Cina. Ingin ku sujud di mesjid raya, Ingin ku pegang sebilah rencong. Ingin ku ziarahi makam tuanku Raja, ingin ku berteduh di rumoh Cut Meutia. Ingin ku petik buah jambu Cut po Fatimah, ingin ku makan boh drien yang menjadi kebanggan generasi di hadapan bangsa Arab. Betapa ingin ku berjuta.


Oh tuhan, lirik mataku ke bawah sana. Subur sekali tanoh ini, seorang petani terlihat di bawah sana, rajin betul mencari rezeki untuk anak dan istri. Sesaat kemudian, sang burung besi bertengger manis di bandara Sultan Iskandar Muda. Bukan main gembiranya hati. Namun tarian itu harus kuubah manakala tanoh indatu telah kupijaki. Tarian yang tak lagi sama karena tanah ini begitu keras dan batat.


Tak tegak-tegaklah syari’at islam, padahal dulu-dulu sekali ini negeri menjadi serambi Mekkah, tempat kaum ulama menyiram ilmunya, tempat kaum sufi meneduh hati, karena negeri ini sungguh rimbun. Namun itu dulu, dulu sekali. Sekarang, tanah ini memang masih subur. Namun tak lagi menyimpan teduhnya, juga rimbunnya. Ibarat gunung cadas di negeri penuh debu itu.



Oh tuhan ampuni kami, dosa apa yang telah kami buat. Sehingga tanoh indatu seperti ini jadinya, mana aneuk-aneuk dara yang mengenakan mukena, mengaji di bale selepas maghrib, mana teungku-teungku yang dengan ihklas hati menyiram ilmunya. Mana teungku-teungku yang apabila berbicara menyejukkan hati, membuat diri menyimpuh Rabbi. Sedikit sekali.


Banyak generasi tanoh indatu yang mengaji di warung kopi, internet, televisi, ploko. Bermalas-malaslah mereka, sungguh. Kapan maju nanggroe ini? Mesti berbenahlah, sebelum bangsa-bangsa lain mengobok-ngobok dan membodohi kita lagi. Dan sejarah kejuhudan ilmu dari ulama dulu perlu kita tulis kembali, agar jadi pengingat dan penyemangat bagi generasi.


Ah... malu kita karena tulis menulis itupun milik barat. Sejarah kitapun mereka tulis. Hanya segelintir generasi tanoh indatu yang menelusuri sejarah mulia Aceh. Ibnu Batutah hanya beberapa bulan menyinggahi Pase, namun bisa menelurkan maha karya yang selamanya menjadi maha karya agung, pengaya sejarah Aceh. Marco Polo demikian juga dengan catatan hariannya The Travel of Marco Polo, yang disalin ulang oleh Prof Adorici.


Zentgraaff dengan semangat luar biasanya menulis perang Aceh dalam maha karyanya. Oh tuhan, hanya sedikit saja maha karya ureung Aceh, dan semua kita mesti malu, malu besar pada mereka penulis barat posmodern semisal Anthoni Reid, sejarawan Aceh yang sampai sekarang masih produktif betul.


Terbangku berlanjut ke tanoh kelahiran, Mali. Tak banyak berubah, kulihat bak pisang yang dua tahun dulu kutanam sudah tumbuh besar rupanya, namun bak pisang sebelahnya tak ada lagi, kambing jua yang membunuh kehidupannya. Itu orang-orang ke Meunasah masih seperti dulu, bisa kuhafal siapa saja mereka yang rajin menginjak kaki di meunasah, bersujud padaNya. Jangan tanya yang lain, kalau aku bilang hanya menambah aib orang saja.


Namun tak apalah, apa artinya aib kalau disejajarkan dengan hukuman tuhan. Sekali lagi kukatakan bahwa meunasah mereka adalah ploko, warung kopi dan televisi. Saban waktu kesitu jua menghabiskan waktu. Satu hal yang berubah di kampungku adalah adanya penambahan ploko satu lagi tepat di depan meunasah. Mungkin untuk menyaingi meunasah. Ah...


Pergiku berlanjut kesana kemari, menyusuri bumi Acheh yang subur, bumi yang menjadi lirikan barat masa lalu. Belandapun dengan mudahnya melabrak traktat London, dan akhirnya tahun 1873 menjadi mula perang Aceh-Belanda. Sungguh Belanda harus mengakui kehebatan indatu masa lalu, ketika ketaatan dan ideologi prang sabil masih bersemi kuat. Tgk Chiek di Tiro termasuk salah seorang ulama yang menghembusnya.


Oh...Bicara aku sudah masuk ke masalah prang sabil. Maklum sajalah, aura prang sabil begitu kentara manakala kumasuki rumoh bersejarah Cut Nyak Dhien. Betapa tempat ini merasuk pikiran ku, membayangkan kumis tebal Kohler, van der Heiden, Snouck Hugronje dan lain sebagainya.


Walau rumoh itu cuma replika namun tak menghilang kesakralannya. Bagiku rumoh itu seakan-akan berbicara selalu pada generasi siapa yang menjenguknya. “tataplah aku, tempat perjuangan Cut Nyak, jadilah kamu pemberani seperti Cut Nyak, kuat agamanya, kuat pendiriannya...” Mungkin begitu kira-kira lantunnya.



Awalnya Cut Nyak memang berumahkan disitu. Belanda yang mengetahui keberadaan Cut Nyak, kemudian membakar rumoh itu setelah lebih dulu Cut Nyak dan pengawalnya menyingkir. Satu-satunya peninggalan otentik yang masih bertahan adalah sumur tua yang digunakan Cut Nyak kala itu. Tempatnya tepat di ujung dapur.


Seorang keturunan Belanda menjadi pemandu untuk berkeliling. Belakangan saya tahu kalau ia adalah ketua yayasan dana peutjut Belanda. Ia fasih menceritakan semua seluk beluk sejarah di rumah ini. Namanya Nix, “I am from Pidie...” kataku memperkenalkan diri. “I from Pidie too, I was born in Geumpang...” balas Nix sambil tersenyum. Aku mengangguk penuh semangat. Kami sempat foto bersama.


Semangatku adalah untuk mewawancarai Nix lebih banyak lagi, karena kemungkinan besar ia termasuk anak dari tentara Belanda masa lalu yang lahir di Geumpang. Ia tahu sejarah Aceh, ia tahu kampungku Lamlo, juga Tangse dan Keumala. Untuk kunjuganku yang kedua, pasti akan ku wawancarainya lagi.


Sepertinya kisah ini harus kucukupkan dulu, beberapa orang yang sedari tadi bercengkrama di warung sudah keluar. Tinggal aku seorang diri menari jari di atas keyboard. Pastinya semangat meneguk kopi kembali bangkit, walau kopi ini tak lagi hangat, namun aromanya masih menusuk tajam. Aroma kopi Samalanga, duh... siapa tak tergoda!

Penulis Azmi Abubakar Adalah Mahasiswa Aceh di Mesir, Mantan Pemred Buletin el-Asyi KMA Mesir. Aktivis World Achehnese Association (WAA),

Prasasti Kohler, Bukti Yahudi Perangi Aceh

Ada dunia lain di Kebon Jahe, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tepatnya di Kerkhof Laan atau Tempat Pemakaman Umum Kebon Jahe Kober. Sekarang resmi dinamakan Museum Taman Prasasti. Letaknya persis diapit Kantor Walikota Jakarta Pusat di sebelah selatan dan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat di sebelah utaranya. Berbeda dengan museum lainnya, Museum Taman Prasasti ini menyajikan The Dark Tourism, Wisata Kematian.


Kedengarannya menakutkan, namun hal ini diyakini malah akan menyedot banyak pengunjung seperti halnya wisata kuburan di New Orleans, AS, yang karena kepiawaiannya menjual wisata taman makam kota akhirnya mendapat julukan “The City of The Dead”. Pemerintah Daerah DKI Jakarta berniat menjadikan tempat ini sebagai salah satu tujuan wisata, satu paket dengan revitalisasi Kota Tua yang sekarang sedang dikerjakan.


Tak banyak orang tahu jika Museum Prasasti yang dulunya dibangun pemerintah Batavia pada 28 September 1795, merupakan salah satu taman pemakaman umum modern tertua di dunia. Lebih tua dari Fort Canning Park (1926) di Singapura, Gore Hill Cemetery (1868) di Sidney, La Chaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge-Massachusstes yang mengklaim sebagai taman makam modern pertama di dunia, atau Arlington National Cemetery (1864) di Washington DC.


Banyak nama beken dikubur di sana. Di antaranya Olivia Marianne Raffles (1814), isteri Gubernur Jenderal Inggris dan juga pendiri Singapura, Sir Thomas Stamford Raffles; lalu Dr. H. F. Roll (1935), pendiri Sekolah Kedokteran Stovia; Dr. J. L. A. Brandes (1905), pakar sejahar purbakala Hndu Jawa di Indonesia; Soe Hoek Gie, aktivis mahasiswa di tahun 1960-an yang terkenal dengan catatan hariannya; dan juga Mayor Jenderal J. H. R. Kohler, komandan tentara kolonial Belanda yang ditembak mati oleh sniper Aceh berusia belia di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Konon, sniper Aceh itu juga ditembak sniper Belanda sesaat setelah menewaskan Kohler. Mungkin inilah perang antara sniper pertama yang terjadi dalam sejarah Nusantara.


Perang menundukkan Aceh merupakan perang terlama, lebih dari tigapuluh lima tahun, dan perang termahal yang harus dilakukan Belanda untuk bisa menundukkan Serambi Mekkah ini. Ceritanya, tak sampai tiga pekan setelah mendarat di pantai Aceh pada tanggal 8 April 1873 itu, serdadu Belanda sudah tidak kuat menghadapi gempuran gerilyawan Mujahidin Aceh yang dibantu pasukan leit dari Turki Utsmaniyah dan beberapa negeri Islam sahabat. Para serdadu Belanda kembali lagi naik kapal setelah menghadapi perlawanan paling sengit yang pernah dialami militer Belanda di Timur.



Jenderal Kohler, panglima Belanda, yang sedang berada di halaman depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, tiba-tiba rubuh bemandikan darah. Dadanya bolong ditembus peluru sniper Aceh. Hari itu tanggal 14 April 1873. Kohler adalah komandan serdadu Belanda yang memimpin penyerangan ke Banda Aceh.





Dalam serangan dua hari yang sia-sia itu di dalam kota Banda Aceh, Belanda menderita kerugian yang luar biasa besar. Setelah Indonesia merdeka, tempat ambruknya Jenderal Kohler di halaman depan Masjid Raya Baiturrahman itu dibuat sebuah monumen. Hari ini monumen itu masih tegak berdiri, selamat dari sapuan tsunami. Salah satu diorama di Museum TNI Satria Mandala Jakarta juga telah melukiskan peristiwa bersejarah ini. Mayor Jenderal J. H. R. Kohler dimakamkan di Kerkhof Laan di Batavia.


Kohler Perwira Yahudi-Kabbalah


Sampai sekarang, nisan makam Kohler masih bisa kita saksikan di Museum Taman Prasasti. Kondisinya cukup baik walau ada beberapa bagian kecil yang sudah tidak lengkap. Idak teralu sulit mencarinya. Setelah masuk pintu gerbang utama museum, kita berjalan ke arah kanan dan akan dengan mudah menemukan prasasti makam Kohler yang agak tinggi dan besar.


Bagi mata awam mungkin kita akan terkagum-kagum dengan prasasti makam yang berbentuk kotak dengan tinggi sekitar dua meteran yang dipahat dengan aneka simbol. Namun bagi mereka yang sedikit banyak mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat di prasasti makam tersebut, maka simbol-simbol itu bisa berbicara banyak tentang sosok yang dikubur di dalamnya.


Di atas prasasti Kohler terdapat simbol Hexagram atau Bintang David di tiap sisinya, di tiap-tiap rusuk prasasti secara vertkal terdapat obor yang terbalik di mana apinya yang menyala terletak di bawah, lalu di tiap sisi terdapat simbol-simbol dan tulisan yang berbeda, di antaranya simbol The Iron Cross atau juga dikenal sebagai Salib Templar, dan simbol ular melingkar dengan mulut yang menggigit ujung ekornya, atau dalam dunia simbol disebut sebagai Ouroboros Symbol (A Snake Bitting is Tail) .


Hanya orang Yahudi yang dimakamkan dengan Simbol Bintang David di prasastinya. Dengan demikian jelas, penyerangan Belanda atas Banda Aceh dipimpin oleh seorang perwira Yahudi-Belanda. Dan tentang simbol Salib Templar, hal ini memperkuat jika Kohler bukanlah ‘Yahudi biasa” melainkan seorang Yahudi yang sedikit banyak bersinggungan dengan kelompok-kelompok rahasia Luciferian seperti halnya Templar, Freemasonry (Vrijmetselarij), Rosikrusian, dan sebagainya. Apalagi dengan adanya simbol Ular, Ouroboros.



Dalam kamus simbol dunia, Ouroboros yang termasuk ke dalam ‘Satanic Symbols’ ini memiliki arti sebagai keabadian, kesemestaan, yang juga mewakili kekuatan Lucifer itu sendiri. Dalam dunia modern, sejumlah perusahaan dunia juga menggunakan simbol Ouroboros sebagai logo perusahaannya, semisal Vodafone, Lucient Technologies (Lucifer Teknologi), Order Trust, Philly.com, termasuk kelompok rasis kulit putih Ku Klux Kan (KKK). Simbol ini sesungguhnya berasal dari kelompok persaudaraan ular, Brotherhood of the Snake.


Jika seorang Yahudi Kabbalah juga menggunakan simbol Ouroboros di makamnya, maka itu kian memperjelas dan membuktikan jika seorang Mayor Jenderal Kohler bukan seorang Yahudi biasa. Dengan logika sederhana, kita bisa menarik lebih jauh lagi jika atasan Kohler tentu lebih istimewa kedudukannya. Dan secara keseluruhan, hal ini membuktikan jika VOC memang bukan sekadar sebuah maskapai perdagangan biasa, namun sesungguhnya sebuah ‘perahu besar kelompok Yahudi Luciferian’.


Selain makam Kohler, terdapat banyak lagi makam-makam pejabat Belanda dan orang terkenal lainnya di Museum Taman Prasasti. Jika ada waktu, ada baiknya sesekali berlibur ke sana menikmati ratusan simbol yang ada.

Bintik Misterius di Planet Uranus



Uranus
Kebanyakan orang berpikir bahwa Uranus adalah planet yang tidak menarik. Planet yang memiliki kandungan air, metana, dan amonia dalam bentuk es dan sering disebut sebagai "es raksasa" ini kalah populer dibanding Mars, Jupiter, atau bahkan Pluto yang sudah mantan planet.

Namun, penemuan ahli keplanetan Larry Sromovsky membuat banyak orang bertanya-tanya. Sromovsky dengan teleskop Gemini 8,1 meter menemukan adanya bintik aneh di Uranus. Bercak serupa awan itu diduga merupakan erupsi es metana yang membumbung ke atmosfer Uranus.

Heidi B Hammel, pakar ilmu keplanetan lain yang juga terlibat penelitian, menggunakan Facebook untuk mengumumkan hasil penemuannya. Ia mengajak orang, termasuk astronom amatir, untuk mengobservasi bintik itu lebih lanjut. Jika informasi telah cukup, maka pengamatan dengan teleksop Hubble akan dilakukan.

Hammel menjelaskan, "Alasan kita peduli pada 'awan' di planet Uranus ialah sebab sepertinya fenomena itu bersifat musiman."

Ia menjelaskan, Uranus berputar miring pada sisinya sehingga memberi perubahan cahaya matahari ekstrem ketika musim berubah. Perubahan yang terjadi bahkan lebih dramatis daripada yang ada di planet lain.

"Uranus memberi kita wawasan tentang keseimbangan energi di atmosfer suatu planet," tambah Hammel seperti dikutip Discovery, Jumat (28/10/2011).

Ektremnya perubahan musim terbukti dari lamanya tiap-tiap area Uranus mendapat sinar Matahari. Selama 84 tahun revolusi (berdasarkan waktu Bumi), belahan utara Uranus menerima cahaya secara terus-menerus, sementara selama 42 tahun juga, belahan selatan Uranus gelap total.

Tidak tahu apakah para astronom amatir bisa memecahkan misteri ini karena keterbatasan peralatan. Namun yang jelas, Uranus kini juga bisa menjadi salah satu obyek yang bisa diteliti.

DISCOVERY

“Pidie” Terpanjang di Asia Tenggara

Img : serambinews


Beragam maksud dapat disimpulkan dari sebuah ujaran seorang tokoh politik yang dalam kesehariannya sudah terbiasa mengekspresikan hati dan pikirannya melalui puisi.


Nurdin Abdurrahman (almarhum) sebagai mantan Bupati Pidie dua periode era 1980-an adalah seorang sastrawan yang sejumlah puisinya terangkum dalam sejumlah antologi (periode 1970-1990-an) bersama penyair Aceh lainnya seperti Hasyim KS, Maskirbi, Hasbi Burman, Doel CP Allisyah, Ridwan Amran, Rosni Idham, Isnu Kembara dan lain-lain.


Agaknya daya bayang saya sontak meluncur kembali ke sebuah statemen Pak Nurdin, panggilan akrab Nurdin Abdurrahman di kalangan amtenar (pegawai negeri) dan kawula Kabupaten Pidie, baik semasih duduk sebagai bupati atau setelahnya, yang terdengar sangat bersahaja, spontan dan apa adanya, adalah dipicu oleh sebuah pesan singkat di rubrik SMS Pembaca Harian Aceh edisi Jumat (21/10).


Isi pesan pembaca yang diberi judul “Larangan Melepaskan Ternak” tersebut berbunyi, “Masyarakat resah dengan ternak yang mengganggu lingkungan. Bupati menghimbau penertiban ternak, DPR membahas. Masalah ternak yang mengganggu lingkungan melalui koran kurang berhasil.”



Pada umumnya para pemilik ternak tidak membaca koran, kan tidak tahu himbauan? Coba melalui camat dan kepala desa buat selebaran himbauan di seluruh desa, Insya Allah dapat dipahami para peternak. Citizen Journalism itu dikirim dari nomor +628527591xxxx.


Di situ sang pengirim tidak menuliskan alamat domisilinya. Berarti himbauannya berlaku luas ke semua daerah di Aceh. Saya sebagai orang Kabupaten Pidie mencerap pesan pembaca itu ditujukan lebih kepada kami sebagai kabupaten surplus beras; dengan pertanian sebagai background kehidupan; dan beternak hewan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia pertanian tradisional.


Karena, di Kabupaten Pidie, masalah lembu yang bersiliweran di jalan umum adalah suatu gejala yang sudah diterima sebagai sebuah kelumrahan namun di balik itu semua warga sadar, di samping sumber pengotoran lingkungan dengan ampas buangan, ternak yang lepas-bebas juga acap mengancam pengguna jalan.





Mungkin kami memang tak pernah “merasa” bahwa lembu kami yang tidur di jalan umum telah mengakibatkan pengendara Pulan terkapar dan lecet-lecet di aspal jalan kemarin malam.


Soalnya si Pulan yang terkena kecelakaan itu juga memelihara sejumlah lembu di desanya yang juga dilepaskan begitu saja dan tidur di jalanan seraya menyebabkan satu-dua kecelakaan lalulintas bagi si pengendara lain lagi. Pidie memang unik dari sisi ini.



Rasanya tak percaya, di Pidie, meski tidak tertulis, berlaku suatu kearifan di mana kalau ada kawanan lembu yang sedang tiduran di atas badan jalan di lintasan sebuah perkampungan, itu bukan lembunya yang harus dihalau. Tetapi pengguna jalannya yang harus hati-hati.


Fenomena itu jika layak diterjemahkan ke dalam sebuah peringatan, maka himbauan itu akan berbunyi, “Hati-hati membawa kendaraan. Lembu kami sedang tidur.”


Lantas, mungkin karena saking entah bagaimana, apa kata Pak Nurdin (dan kata-kata itu dikenang orang hingga hari ini), Pidie adalah kandang lembu terpanjang di Asia Tenggara

musmarwan abdullah

Makna Filosofi Sebilah Rencong



Meski tidak ditemukan catatan sejarah yang mengisahkan asal usul Rencong, namun asal mula Rencong terekam dalam sebuah legenda Aceh. Dalam sebuah cerita rakyat dikisahkan. "Zaman dahulu di daratan Aceh hidup seekor burung raksasa sejenis Rajawali, orang Aceh menyebutnya "Geureuda". Keberadaan burung raksasa tersebut sangat menggangu kehidupan rakyat. semua jenis tanaman, buah-buahan dan ternak rakyat dilahapnya.


Semua jenis perangkap dan senjata yag digunakan untuk membunuhnya tidak mapan, malah makin lama "Geureuda" tersebut makin beringas melahap tanaman rakyat, mungkin dari legenda itulah sampai sekarang orang Aceh menyebutkan "Geureuda" kepada orang – orang yang Serakah/Congok.


Oleh raja yang berkuasa ketika itu, menyuruh seorang pandai besi yang juga ulama untuk menciptakan sebuah senjata ampuh yang mampu membunuh Geureuda tersebut. Oleh pandai besi yang mempunyai ilmu maqfirat besi, setelah melakukan puasa, sembahyang sunat dan berdoa baru menempa besi pilihan dengan campuran beberapa unsur logam menjadi Rencong.


Menyebut senjata Rakyat Aceh, selain meriam dan senjata api, yang paling terkenal adalah Rencong. Bahkan, salah satu gelar tanah Aceh disebut juga sebagai “Tanah Rencong”. Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong Aceh memiliki bentuk seperti huruf [ L ] atau lebih tepat seperti tulisan kaligrafi " Bismillah ". Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau atau pedang).


Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.


Menurut sejarahnya, rencong memiliki tingkatan. Pertama, rencong yang digunakan oleh raja atau sultan. Rencong ini biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas murni (bagian belatinya). Kedua, rencong-rencong yang sarungnya biasa terbuat dari tanduk kerbau atau kayu, sedangkan belatinya dari kuningan atau besi putih.



Bentuk rencong berbentuk kalimat bismillah, gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada sikunya merupakan aksara Arab "Ba", bujuran gagangnya merupaka aksara "Sin", bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat dengan gagangnya merupakan aksara "Mim", lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara "Lam", ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit keatas merupakan aksara "Ha".




Rangkain dari aksara Ba, Sin, Lam, dan Ha itulah yang mewujudkan kalimat Bismillah. Jadi pandai besi yang pertama kali membuat rencong, selain pandai maqrifat besi juga memiliki ilmu kaligrafi yang tinggi. Oleh karena itu , rencong tidak digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak penting, apalagi untuk berbuat keji, tetapi rencong hanya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan berperang dijalan Allah.


Secara umum, ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh.
  • Rencong Meucugek (Meucungkek), Disebut meucugek karena pada gagang rencong terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek. Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh.

  • Rencong Meupucok, Rencong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil, yakni pada pegangan bagian bawah. Namun, semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masaalah adat dan kesenian.

  • Rencong Pudoi, Rencong jenis ini gagangnya lebih pendek dan berbentuk lurus, tidak seperti rencong umumnya. Terkesan, rencong ini belum sempurna sehingga dikatakan pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang diangap masih kekurangan atau masih ada yang belum sempurna.

  • Rencong Meukuree, Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada matanya. Mata rencong jenis ini diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga, dan sebagainya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan beragam macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama, pada mulanya akan terbentuk sejenis aritan atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong, semakin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong tersebut. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis.

Rencong yang ampuh biasanya dibuat dari besi-besi pilihan, yang di padu dengan logam emas, perak, tembaga, timah dan zat-zat racun yang berbisa agar bila dalam pertempuran lawan yang dihadapi adalah orang kebal terhadap besi, orang tersebut akan mampu ditembusi rencong. Gagang rencong ada yang berbentuk lurus dan ada pula yang melengkung keatas. Rencong yang gagangnya melengkung ke atas disebut Reuncong Meucungkek, biasanya gagang tersebut terbuat dari gading dan tanduk pilihan.


Pembuat "Reuncong" (img: Serambinews.com)



Bentuk meucungkek dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan yang berlebihan sesama manusia, karena kehormatan yang hakiki hanya milik Allah semata. Maksudnya, bila rencong meucungkek disisipkan dibagian pinggang atau dibagian pusat, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan badannya untuk memberi hormat kepada orang lain karena perutnya akan tertekan dengan gagang meucungkek tersebut.


Gagang meucungkek itu juga dimaksudkan agar, pada saat-saat genting dengan mudah dapat ditarik dari sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman. Satu hal yang membedakan rencong dengan senjata tradisional lainnya adalah rencong tidak pernah diasah karena hanya ujungnya yang runcing saja yang digunakan.

Perang Aceh, Dalam Ingatan Bangsa Belanda (3-Selesai)

Perang Aceh


Ini sebagian dari puisi kepahlawanan Aceh yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda: (21)

Daarom, teungkoes, weest niet nalatig.

Volbrengt de godsdienstplichten, o broeders.

O, vrienden, er is geen enkele goede daad,

Die het oorlogvoeren overtreft.

De Heilige Oorlog is u als plicht opgelegd,

Begrijpt dat goed, o broeders!


Eerst komt de geloofsbelijdenis, dan de sembahjang

(dagelijks 5x bidden-Red),

Ten derde het oorlogvoeren tegen de Hollanders.
Oleh sebab itu, tengku, jangan tidak peduli

Kerjakanlah kewajiban beragama, o saudaraku

Oh, kawan, tidak ada satu pun kebaikan,

Yang melebihi perjuangan dalam peperangan

Perang jihad adalah kewajibanmu

Pahamilah hal itu, o saudaraku!


Pertama membaca syahadat, kemudian shalat,

Ketiga berperang melawan Belanda.


Sementara Teuku Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda, sang istri, Cut Nya Dien, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi mereka: (22)


Hé, mijn kleine jongen, mijn beminde zoon, je bent een man,
Je vader, je grootvader zijn ook mannen, toon je manlijkheid,De Christenhonden willen ons land bezetten,Zij willen onze godsdienst inruilen coor hun godsdienst, De godsdienst van de christenhonden.Verdedig de rechten van ons Atjenees volk,Verdedig onze godsdienst, de Islamitische godsdienst. O, mijn zoon, volg de voetsporen van je vader,Teuku Ibarhim Lamnga, nu hij niet thuis is.Denk maar niet dat je vader met z’n vrienden op stap isOm de komst van de Christenhonden te vieren,Hij is op weg om hen te verjagen uit het land Atjeh.
Hai, anak lelakiku, anak lelaki kesayanganku, kau seorang lelaki,
Ayahmu, kakekmu juga laki-laki, tunjukkan keperkasaanmu,Anjing-anjing Kristen ingin menguasai negara kita,Mereka ingin menukar agama kita dengan agama mereka,Agama para anjing Kristen.Belalah hak rakyat Aceh,Belalah agama kita, agama Islam.O, anak lelakiku, ikutilah jejak ayahmu,Teuku Ibrahim Lamnga, yang sekarang tidak di rumah,Jangan kira ayahmu sedang bersenang-senang dengan temannya,Untuk merayakan kedatangan para anjing Kristen, Beliau pergi untuk mengusir mereka dari tanah Aceh.



Sampai sekarang hikayat masih tetap aktif dihidupkan. Pada tahun 2007 terbit versi kartun kisah hikayat untuk anak-anak sekolah di Aceh. Sampai sekarang para ibu juga masih menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi-bayi mereka. Lagu-lagu dodaidi mengajarkan pada anak-anak Aceh agar kelak harus membantu para pejuang Aceh. Ini salah satu lagu dodaidi: (23)


Tiada Tuhan selain Allah

Rasul telah berpulang

Kembali ke pangkuan Allah

Beliau meninggalkan Al Qur’an untuk kita

Do idi ku doda idang

Tali layang-layang di udara telah putus

Jadilah anak yang kuat, oh Banta Seudang


Ikutlah bertempur dalam peperangan, selamatkan Aceh.


Apakah Perang Aceh yang di Aceh disebut sebagai Perang Penjajahan Belanda masih diingat? Mehmet Ozay membantu saya pada Januari 2010 mewawancarai lebih dari 25 murid sekolah, mahasiswa dan dosen di Banda Aceh (24). Bagaimana mereka mengenang Perang Aceh?


”Jakarta” tidak pernah mempunyai perhatian terhadap sejarah daerah, tetapi memusatkan perhatian hanya pada sejarah Jawa dan hanya mengakui pahlawan-pahlawan nasional yang di dalamnya termasuk Teuku Umar dan Cut Nya Dien. Bagi ”Jakarta”, Aceh merupakan hal yang peka. Generasi muda Aceh tidak diperkenankan untuk menjadi patriot Aceh.


Oleh sebab itu seberapa jauh pelajaran tentang Perang Penjajahan Belanda diberikan di sekolah di Aceh sangat bergantung pada pengajarnya. Sejak penandatanganan Kesepakatan Helsinki antara Aceh dan ’Jakarta’ tahun 2005 maka ketertarikan secara terbuka di Aceh terhadap Perang Penjajahan Belanda semakin meningkat. Para kakek tanpa rasa takut dapat menceritakan kembali kisah perjuangan mereka kepada cucu-cucu. Para pengajar sekolah dasar dan sekolah menengah menceritakan dalam pelajaran sejarah bagaimana rakyat Aceh dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hanya dengan bersenjatakan bambu, rencong dan klewang.


Di sekolah menengah atas, tugas mata pelajaran Imperialisme dan Kolonialisme di Indonesia merujuk pada perang tersebut. Di tingkat universitas di jurusan sejarah diperbandingkan visi para sejarawan Aceh dengan visi para sejarawan Belanda. Bagaimana Jendral Belanda Köhler pada Perang Aceh Pertama tahun 1873 dibunuh oleh rakyat Aceh di bawah pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja sangat populer untuk dibahas.



Dan bagaimana Teuku Umar mengelabui Belanda juga dengan sendirinya berada dalam urutan teratas pembahasan. Mereka selalu memandang ahli Islam asal Belanda bernama Snouck Hurgronje dengan pengetahuannya tentang Aceh sebagai pengkhianat. Sebagaimana Belanda mengenal Van Heutsz, para murid dan mahasiswa Aceh juga mengenal para pahlawan mereka.


Mereka telah melihat pameran foto tentang Perang Belanda di Museum Aceh dan mereka juga mengenal Hikayat Perang Sabil. Dan dengan wisata sekolah ke Makam Belanda Kerkhof di Banda Aceh, makam militer Belanda terbesar di Aceh tempat bersemayam sekitar 2.200 militer KNIL, mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Perang Belanda di Aceh bagi Belanda sendiri bukan hal yang ringan.


Di makam ini mereka juga melihat nama-nama asal Ambon, Menado dan Jawa yang menjadi bukti betapa kreatifnya Belanda untuk saling mengadu domba orang Indonesia antara satu dengan lainnya. Sementara Jawa sudah beberapa ratus tahun menjadi jajahan Belanda, maka Aceh setelah 70 tahun berperang sebenarnya belum benar-benar berhasil dikuasai oleh Belanda.


Hal ini sampai sekarang masih diceritakan oleh orang Aceh dengan penuh kebanggaan. Pastilah bukan tanpa sebab bahwa orang Aceh masih mengingat Perang Penjajahan Belanda yang terjadi antara 70 hingga 140 tahun yang lalu di samping tragedi tsunami tahun 2004. Kursus tambahan bagi para pengajar tentang perang tersebut akan dilakukan di masa depan dan sebuah pameran foto besar-besaran pada tahun 2011 tentang perang tersebut juga sedang dalam tahap persiapan.


***


Perang Dunia Kedua dan pembunuhan Yahudi oleh Nazi memang sudah selayaknya mendapat tempat dalam pendidikan sekolah kita di Belanda. Kedua subyek sejarah tersebut beruntung mendapat tempat yang dominan dalam otak generasi muda kita. Tetapi hal itu juga sayangnya menimbulkan beberapa dampak negatif. Kapasitas otak relatif kecil dan kita khawatir tidak ada tempat lagi untuk subyek sejarah yang penting seperti Perang Aceh yang berlangsung selama 30, 40 atau bahkan 70 tahun. Juga terlalu sedikit, sangat sedikit perhatian yang diberikan para dosen untuk episode yang sangat berarti ini dalam sejarah kita.


Akibatnya adalah ingatan yang semakin terpinggirkan tentang perang ini. Hal ini diperburuk oleh banyaknya monumen kenangan dan peringatan di negara kita tentang Perang Dunia Kedua namun sangat sedikit sekali tentang Perang Aceh. Monumen dan tempat-tempat bersejarah di Aceh buat kita jauh letaknya dan dengan demikian juga tidak mudah untuk dikunjungi secara massal dari negara kita.


Begitu banyak monumen bertema Perang Dunia Kedua namun monumen Perang Aceh sampai sekarang nyaris tidak mendapat perhatian. Tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa kecintaan kita pada kemerdekaan hanya berlaku untuk diri kita sendiri. Orang lain selalu salah dan harus merasa malu jika mereka mengancam dan merebut kemerdekaan kita, tetapi jika kita merampas kemerdekaan orang lain (misalnya rakyat Aceh), maka kita dengan sendirinya segera menerapkan standar keadilan yang berbeda atau kita mengalihkan perhatian ke arah lain.



Untungnya hal itu akan segera berakhir karena sejak tahun ini perubahan akan terjadi. Sekarang Komite 4 & 5 Mei (Komite di Belanda untuk memperingati Hari Kemerdekaan Belanda dari Pendudukan Jerman) bukan hanya memikirkan tentang kemerdekaan kita tetapi juga kemerdekaan semua orang di seluruh dunia. Juga rakyat Aceh sekarang (dan juga pada masa lalu jika boleh saya tambahkan).


Bicara tentang monumen, kita pernah memiliki monumen Van Heutsz di Amsterdam. Tetapi karena Van Heutsz merupakan simbol perdebatan (Peter van Zonneveld telah merumuskannya dengan baik) (25), maka nama monumen tersebut diganti menjadi Monumen Indïe-Nederland (Indonesia-Belanda) dan berubah maknanya menjadi kenang-kenangan tentang hubungan antara Belanda dan Indonesia pada masa kolonial.


Tetapi monumen itu tidak terfokus pada Perang Aceh. Juga ketika monumen itu masih bernama Monumen Van Heutsz, nyaris tidak seorang pun yang tahu bahwa itu adalah monumen Aceh milik kita. Van Heutsz adalah komandan militer di Aceh dan Gubernur Aceh antara tahun 1890-1904. Perang Aceh dimulai tahun 1873 dan berlangsung hingga 1942 (ada berbagai pendapat tentang hal ini).


Jadi ada Perang Aceh sebelum dan sesudah Van Heutsz. Sekitar empat atau lima Perang Aceh seluruhnya, setiap kali dengan komandan militer yang berbeda. Sudah saatnya dibangun sebuah monumen yang khusus untuk memperingati Perang Aceh, yang dimulai sejak invasi di Aceh tahun 1873 dan berakhir dengan perlawanan seluruh rakyat Aceh hingga keluarnya Belanda dari Aceh tahun 1942. Sebuah monumen tentang agresi dan pendudukan Belanda serta pembebasan Aceh.


Sebuah monumen yang menggambarkan sisi kemanusiaan dan kebiadaban Belanda dan Aceh yang terjadi selama masa itu. Kisah-kisah dalam buku sejarah juga harus lebih kaya, lebih menarik, lebih menghanyutkan, lebih komunikatif. Tentang Aceh dan Perang Aceh harus disediakan bukan lagi dana melainkan kreativitas yang informatif. Harus ada film atau serial televisi yang menarik tentang Perang Aceh yang sungguh-sungguh menggambarkan daerah dan rakyatnya, yang menggambarkan Aceh seratus tahun yang lalu sebagaimana aslinya.



Otentik. Menampilkan bukan hanya orang Belanda tetapi juga para serdadu KNIL asal Ambon, Menado dan Jawa, para pejuang Aceh serta wanita dan anak-anak. Jadi bukan semacam tokoh karikatur pemberani yang diromantisasi ala Filipina sebagaimana film NCRV tahun 1996. Aceh dan Perang Aceh harus dihidupkan kembali. Untungnya pada tahun 2009 het Indisch Herinneringscentrum (Lembaga untuk memperingati sejarah tentang Indonesia) atau disebut juga IHCB di Bronbeek dibuka. Pertengahan Agustus 2010 akan diselenggarakan pameran berjudul Het verhaal van Indië (Kisah tentang Indonesia) di Bronbeek.





Artinya setelah esai ini selesai ditulis. Apakah IHCB menampilkan kisah Perang Aceh dengan baik dan pameran tersebut berhasil, saya tidak dapat menjawabnya saat ini, tetapi saya harap akan demikian. Maka cukup banyak hal besar yang masih bisa dilakukan. Salah satunya tentu saja masih harus kita tunggu bagaimana seorang ilmuwan NIOD (Lembaga Dokumentasi Perang Belanda) bernama Elly Touwen-Nouwsma (26) yang mencintai ’kebaikan KNIL’ (dan para pahlawannya) (27) menyebut monumen KNIL, sebuah patung dada Van Heutsz dari perunggu, sebuah bangku dengan plakat bertuliskan Jendral van der Heijden (atau Kareltje Eénoog) dan patung tentang Perang Aceh di Taman Bronbeek untuk menggambarkan ’bagaimana seorang Aceh diancam akan dibunuh oleh seorang prajurit KNIL (yang heroik-Red)’.



Jika Elly-Touwen-Bouwsma merasa gelisah, maka saya ingin menenangkan beliau. Patung yang sebaliknya juga ada. Patung penembak kanon Belanda yang gagah berani namun tidak terkenal yang pada peperangan di Mesjid Raya di Kutaraja digorok lehernya (oleh seorang pejuang Aceh) hingga jatuh dari tangga dan tewas di tangan teman-temannya (28). Tidak ada yang menentang sanjungan setinggi langit terhadap para jendral Belanda dan para serdadu mereka yang heroik dan berusaha menciptakan ketentraman dan kedamaian, juga tidak ada yang menentang Monumen Van Heutsz yang bombastis di Amsterdam, yang diresmikan dengan penuh keartistikan.


Jika saja di seberang bekas Monumen Van Heutsz ke arah Amsterdams Lyceum (Sekolah Menengah Amsterdam) di Valeriusplein sebuah tempat disediakan untuk sebuah monumen yang mencerminkan harapan, misalnya patung seorang anak lelaki Aceh yang duduk di bawah kerindangan bambu sebagai satu-satunya orang yang selamat ketika pembantaian terjadi di kampungnya di Kuto Rèh tahun 1904.


Disebelahnya patung seorang serdadu KNIL yang besar dan tinggi sebagai latar belakang, mendongak, yaitu komandan KNIL Van Daalen yang memandang rendah pribumi. Terinspirasi oleh foto saat itu yang terkenal (29). Amsterdam, masyarakat Amsterdam, Belanda, niatkanlah bahwa patung tentang harapan itu akan dibangun. Siapa yang menyelamatkan seorang anak lelaki Aceh, maka menyelamatkan juga seluruh Aceh (30).




Kita juga seharusnya bersikap jelas dan tidak terlambat menyadari bahwa kita masih bisa belajar banyak dari Perang Aceh. Belajar untuk tidak tergesa-gesa dan melakukan persiapan yang baik sebelum memulai perang. Belajar untuk memeriksa kebenaran dari berita yang kita terima (Irak hingga Aceh!) Ancaman yang muncul tidak harus selalu diselesaikan melalui perang (Aceh yang di seberang lautan hingga bajak laut Somalia).



Bahwa orang lain juga mempunyai hak kemerdekaan yang sama dengan kita. Bahwa kita, orang Belanda, menggunakan standar keadilan ganda dalam usaha untuk menguasai dan menjajah bangsa lain sebagaimana halnya musuh dan lawan-lawan kita (Belanda melawan Aceh tahun 1873 hingga Nazi-Jerman melawan Belanda tahun 1940)-(31). Dan sejak serangan Belanda ke Aceh tahun 1873, terutama sejak tahun 1890-an ketika Snouck Hurgronje dan muridnya yang militer yaitu Van Heutsz terlibat maka semakin jelas bagi pihak Belanda bahwa bertempur dan meraih kemenangan di Aceh adalah sesuatu yang khusus, lebih daripada menyerang musuh di lapangan terbuka.


Usaha lebih diarahkan untuk bagaimana caranya mendapat dukungan dari masyarakat lokal, pegawai pemerintah dan para pemimpin spiritual. Untuk mempersempit ruang gerak para pejuang Aceh. Untuk diakui bahwa mereka telah melindungi masyarakat setempat. Untuk membantu tugas-tugas kepemerintahan. Untuk membangun jembatan dan jalan-jalan, untuk memperbaiki kampung-kampung, untuk membantu para petani, membangun mesjid dan ruang-ruang pertemuan masyarakat.


Setelah Irak dan Afghanistan kini Departemen Pertahanan Belanda mengeluarkan buku panduan doktrin baru yang diterbitkan dengan penuh kebanggaan, padahal pelajaran berharga yang sama sudah lama ada. Pengalaman 70 tahun Perang Aceh tidak berarti apa-apa bagi Departemen Pertahanan.


Sekarang akhir ’Periode Pemerintahan Beatrix’ semakin mendekat, maka saya ingin menyerukan hal ini pada Sang Ratu: Ratu, akan sangat indah sekali jika kita bisa berbaik kembali dengan rakyat Aceh, yang sudah berperang dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada tahun 1873 kita mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi perdamaian dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam. Ingatan akan Perang Aceh sama sekali belum mati.