Nah, oposisi ternyata juga tidak ada hubungannya dengan kemakmuran atau keberhasilan sebuah program suatu rejim karena jamak kita jumpai bahwa di negara-negara makmur pun politik oposisi tumbuh dengan subur. Alasan klasiknya tentu saja supaya terjadi keseimbangan opini dan kekuasaan sehingga pandangan, opini ataupun citra seluruh rakyat tidak bisa digiring pada satu sisi saja, yaitu politik pencitraan rejim pemerintaannya. Tapi entah, apakah alasan sebenarnya yang jujur hanyalah itu atau ditunggangi pula oleh kepentingan sempit lainnya.
Pada tahun 686 Masehi, penguasa Kerajaan Sriwijaya yaitu Dapunta Hyang mengeluarkan sebuah prasasti di Kota Kapur, di sebelah utara Sungai Menduk di Pulau Bangka. Prasasti dengan isi relatif sama juga ditemukan di Karang Brahi, hulu Sungai Merangin di cabang Sungai Batanghari dan Sungai Tembesi. Ada juga prasasti lainnya yang mirip, kelak dikenal sebagai Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Bukit Siguntang.
Pertanyaannya adalah apakah kemiripan ketiga prasasti tersebut? Kemiripannya adalah bahwa ketiga prasasti tersebut berisikan kata-kata sumpah dan kutukan kepada kaum oposisi. Harap maklum, tahun 683M Dapunta Hyang sudah berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu. Sejak saat itu Kerajaan atau Kedatuan Sriwijaya sudah berdiri dengan megahnya membawahi beberapa kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar sampai di semenanjung Malaka. Sebagai konsekuensi dari pendudukan itu, tentu saja Dapunta Hyang harus selalu waspada terhadap bangkitnya para kaum oposan yang berniat memisahkan diri.
Nah, dalam konteks itulah prasasti persumpahan itu dibuat. Dapunta Hyang ingin mengingatkan rakyatnya, terutama di daerah-daerah pendudukan Sriwijaya, bahwa barangsiapa berani melawan kekuasaan Dapunta Hyang, atau barangsiapa berani melakukan pemberontakan atau berkomplot dengan pemberontak maka mereka akan dicap sebagai durhaka, pengkhianat yang hukumannya adalah operasi penumpasan.
Harap maklum, prasasti ini dibuat pada tahun 686M, ketika Dapunta Hyang akan memberangkatkan bala tentaranya untuk menundukkan Bhumi Jawa. Tentu saja karena operasi militer ini maka bala tentara di Kedatuan Sriwijaya sendiri akan jauh berkurang maka untuk mengantisipasi adanya pemberontakan selama operasi militer ke Jawa inilah prasasti persumpahan itu dibuat.
Untuk menunjukkan keseriusan ancaman Dapunta Hyang kepada kaum oposan maka penguasa Sriwijaya mengingatkan sebuah cerita tentang Kandra Kayet. Kandra Kayet adalah seorang perwira pilihan Sriwijaya. Entah mengapa, beberapa lama sebelum prasasti persumpahan itu dibuat, Kandra Kayet memberontak terhadap kekuasaan Sriwijaya. Dia kemudian dicap pengkhianat oleh Dapunta Hyang.
Dapunta Hyang kemudian mengirimkan operasi militernya untuk memadamkan pemberontakan itu dipimpin oleh senopati perang unggulan bernama Tandrun Luah. Sayang, Kandra Kayet ternyata sangat sakti dan mumpuni. Panglima perang Tandrun Luah berhasil dibunuhnya dalam peperangan yang sengit. Tentu saja Dapunta Hyang semakin marah mendengar kematian panglima perangnya itu. Tampaknya dia kemudian memimpin sendiri operasi militer Sriwijaya dan kemudian berhasil menumpas pemberontakan sekaligus membunuh Kandra kayet.
Tampaknya penumpasan Kandra Kayet itu sangat seru dan menjadi buah bibir bagi seluruh rakyat Sriwijaya, terutama di wilayah-wilayah pendudukan. Dan karena itulah Dapunta Hyang perlu mengeluarkan prasasti kutukan sebelum memberangkatkan bala tentaranya ke Bhumi Jawa, untuk mengingatkan siapapun untuk tidak berani macam-macam dengan dia.
Sejarah pun berulang. Masih ingat ketika Pak Harto pernah bicara “tak gebuk” (saya pukul) untuk mengancam para oposisi di jaman Orde Baru dulu? Masih ingat ketika Dipo Alam di awal tahun ini mengancam untuk memboikot media-media yang dinilai selalu menyudutkan pemerintah? Masih ingat pula ketika pimpinan tertinggi kita barusan menyebut tidak waras kepada para pengkritiknya yang menyebut-nyebut kasus century ketika dia bertemu dengan Sri Mulyani? Bukankah yang mereka lakukan adalah perulangan dari yang pernah dilakukan oleh Dapunta Hyang 1400-an tahun silam?
Demikianlah kisah tentang Kandra Kayet yang kalah itu. Omong-omong, nanti malam kita akan melihat deklarasi kemenangan kita di Sea Games kali ini. Tempatnya di Gelora Sriwijaya, wilayah kekuasaan Dapunta Hyang tempo dulu. Tapi saya kira tidak perlulah ancam-mengancam itu sekarang, toh kita sudah menjadi juara umum setelah tenggelam selama 14 tahun. Selamat.
Sumber kepustakaan:
(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 22 November 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar