Kebanyakan umat Islam akan menjawab: “Ya! sama persis”.
Sayangnya jawaban tersebut salah.
Qur’an yang sampai ditangan kita sekarang adalah hasil beberapa ikhtiar standarisasi yang telah dilakukan umat Islam dalam sejarah. Berikut ini apa yang bisa kita dapatkan dari sejarah Qur’an.
Era Nabi: Beragam Mushaf Yang Terserak
Pada saat Nabi hidup, bentuk Qur’an yang utuh seperti yang kita kenal sekarang belum ada. Segera setiap kali wahyu turun, Nabi menyampaikannya pada para sahabat. Para sahabat menghafalkannya, dan beberapa mencatatnya.
Nabi sendiri menunjuk beberapa sahabat untuk mencatat wahyu-wahyu itu. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka’ab,Zayd bin Tsabit, dan Abdullah bin Mas’ud adalah nama-nama yang biasa disebut sebagai pencatat wahyu. Tetapi disamping empat orang itu, banyak juga para sahabat yang mencatat wahyu-wahyu itu untuk keperluan pribadi mereka sendiri.
Koleksi catatan wahyu ini (mushaf), bervariasi antara para sahabat. Hal ini karena mereka mencatat apa yang mereka dengar dari Nabi, dan tidak semuanya para sahabat itu hadir ketika suatu wahyu diturunkan.
Apa yang disebut mushaf pada saat Nabi masih hidup, bukanlah Qur’an dalam versinya yang utuh. Mushaf saat itu merupakan fragmen-fragmen dari Qur’an.
Era Abu Bakar dan Umar: Pengumpulan Mushaf
Setelah Nabi wafat, usaha pengumpulan mushaf Qur’an dimulai oleh khalifah Abu Bakar atas usulan dari Umar bin Khattab.
Pada mulanya usul Umar ini ditolak oleh Abu Bakar karena alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan Nabi. Itu Bid’ah. Tapi setelah diyakinkan Umar atas manfaatnya bagi umat Islam, Abu Bakar setuju.
Pengumpulan mushaf pada saat Abu Bakar dan dilanjutkan oleh Umar saat menjadi khalifah, belum merupakan usaha kodifikasi yang serius. Mereka hanya mengumpulkan fragmen-fragmen Qur’an yang berserakan dari para sahabat, tetapi belum menyusunnya ulang dalam satu bentuk mushaf Qur’an yang utuh.
Era Usman: Penyusunan Mushaf Yang Utuh
Kodifikasi Qur’an secara serius baru dilakukan saat khalifah ketiga, Usman bin Affan. Tim penyusun yang dibentuk Usman mengumpulkan semua fragmen-fragmen Qur’an yang ada serta memanggil semua penghafal Qur’an yang ada untuk menyusun suatu mushaf yang utuh.
Ayat-ayat dalam mushaf disusun tidak berdasarkan urutan kronologi ayat-ayat tersebut diturunkan, akan tetapi berdasarkan petunjuk penempatan dari Nabi yang diingat oleh para sahabat.
Dari proses ini, dihasilkan mushaf Qur’an dalam bentuk yang utuh. Mushaf ini dikenal sebagai “Mushaf Usmani”. Mushaf ini terdiri dari 114 surah yang dimulai dari Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Ini yang menjadi cikal bakal semua Qur’an yang beredar didunia.
Mushaf Qur’an Versi Lain
Apakah ada mushaf versi lainnya? Ada.
Sebelum pengumpulan mushaf ini dilakukan oleh negara, secara pribadi beberapa sahabat ada yang sudah melakukan pengumpulan ayat-ayat yang terserak dalam satu mushaf utuh.
Beberapa mushaf yang sempat terekam dalam sejarah adalah mushaf milik Ubay bin Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, dan Hafsah istri Nabi.
Mushaf-mushaf itu memiliki jumlah dan susunan ayat yang berbeda. Sebagai misal Mushaf Ubay memiliki 115 surah, Mushaf Ibn Mas’ud memiliki 108 surah, Mushaf Ibn Abbas 116 surah.
Perbedaan ini terekam dari komplain Aisyah istri Nabi yang dikutip Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan sebagai berikut: “pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].”
Pada Mushaf Ibn Abbas juga ada dua surah yang yang tidak disertakan dalam Mushaf Usmani yaitu al-Khal dan al-Hafd.
Nasib Mushaf Qur’an Versi Lain
Setelah khalifah Usman meresmikan Mushaf Usmani, dia memerintahkan membakar semua mushaf lain yang ada. Sebagian besar mushaf-mushaf itu berhasil dimusnahkan, akan tetapi ada beberapa mushaf yang selamat. Salah satunya adalah Mushaf Hafsah, Mushaf ini baru dimusnahkan pada era Khalifah Marwan ibn Hakam (65 H)
Secara fisik mushaf-mushaf yang lain tersebut berhasil dimusnahkan, akan tetapi beberapa mushaf itu masih hidup dalam bentuk hafalan para sahabat. Karena sebenarnya pada masa itu Qur’an lebih banyak dihafal daripada dibaca.
Para penulis Islam pada masa belakangan, menyayangkan bila hafalan para sahabat itu musnah. Mereka berusaha mengumpulkan lagi hafalan para sahabat tersebut dalam tulisan mereka.
Sejarah penulisan Alqur’an mencatat nama-nama Ibn Amir (118 H), al-Kisai (189 H), al-Baghdadi (207 H); Ibn Hisyam (229H), Abi Hatim (248 H), al-Asfahani (253 H) dan Ibn Abi Daud (316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberi judul kitab al-masahif atau ikhtilaf almasahif).
Sebagai misal: Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi’in) sahabat Nabi. Mushaf-mushaf yang lain ini saat ini hanya terdapat dalam beberapa perpustakaan Islam yang tua.
Variasi Mushaf Usmani
Mushaf Usmani dituliskan pada saat aksara arab masih dalam bentuk awal. Huruf arab belum mengenal tanda baca dan tanda titik.
Tanda baca dalam huruf arab baru ditemukan pada pertengahan abad 7. Sistem tanda baca huruf arab diperkenalkan oleh Abu al-Aswad al-Dua’ali, seorang sarjana pada masa Dinasti Umayyah.
Absennya tanda baca ini menyulitkan umat Islam yang bukan penutur bahasa arab asli. Hal ini juga dikarenakan Qur’an juga mulai disebarkan lewat tulisan bukan hanya hafalan.
Akibatnya banyak sekali variasi cara pembacaan Qur’an, walaupun mereka menggunakan mushaf yang sama. Para penyalin Qur’an menambahkan berbagai tanda baca untuk memudahkan mereka untuk membaca Qur’an. Akibatnya muncul berbagai versi bacaan Qur’an.
Pada era Dinasti Abbasiyah, khalifah pada tahun 324H memerintahkan Ibn Mujahid untuk menyeragamkan bacaan Qur’an yang ada. Dari puluhan versi bacaan Qur’an, dipilih tujuh versi bacaan yang direstui.
Ke tujuh versi bacaan Qur’an inilah yang kemudian digandakan dan disebarkan ke seluruh pelosok negara Islam.
Penyeragaman Qur’an Oleh Mesin Cetak
Pada abad ke 20 dari tujuh versi penulisan Qur’an, hanya tinggal tiga yang masih beredar yaitu versi Nafi, versi Abu Amr dan versi Asim.
Pada tahun 1924, Qur’an versi Asim pertama kali dicetak di Mesir, versi ini kemudian populer dengan sebutan “Edisi Mesir”. Kerajaan Arab Saudi kemudian menjadikan “Edisi Mesir” sebagai standar kerajaan dan mencetak secara besar-besaran.
Dalam rangka dakwah Islam, Kerajaan Arab Saudi kemudian mencetak dalam jutaan salinan dan menyebarkan keseluruh umat Islam di seluruh dunia.
Tindakan Kerajaan Arab Saudi, yang menyebarkan secara murah bahkan gratis salinan versi Asim menyebabkan tersisihnya dua varian Qur’an lain yang masih tersisa yaitu versi Nafi dan versi Abu Amr. Dua versi Qur’an ini masih bisa ditemui walau langka di wilayah Maroko dan sekitarnya.
Alhasil, versi Qur’an yang ada ditangan kita dan tersebar ke seluruh dunia adalah hasil standarisasi akhir dari Kerajaan Arab Saudi.
wallahualam bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar