Pohon geulumpang atau kelumpang (sterculia foetida) masih tumbuh di dekat gerbang kiri Masjid Raya sebagai penanda tempat Kohler tertembak. Orang Belanda menyebut pohon itu Kohlerboom atau pohon Kohler.
Kohler adalah pemimpin ekspedisi pertama penyerangan Belanda terhadap Aceh. Tepatnya 6 April 1873, pasukan Kohler memasuki Aceh melalui pantai Ceureumen,Ulee Lheue.
Kini makam Kohler berada di bagian depan Peutjut Kerkhoff atau Permakaman Peutjut atau lebih dikenal dengan sebutan Kerkhof.
Kini makam Kohler berada di bagian depan Peutjut Kerkhoff atau Permakaman Peutjut atau lebih dikenal dengan sebutan Kerkhof.
Empat bintang emas menghiasi setiap sisi nisan Kohler. Pada nisan itu tercetak kalimat “herbegraven op (dikuburkan kembali pada) 19 Mei 1978”. Lambang seekor ular menggigit ekornya terpahat di bawah nisan.
“Itu artinya bunuh diri,” kata Amri, penjaga permakaman ini. “Coba pikir, kalau menggigit ekor sendiri kan namanya bunuh diri,” lanjutnya, seraya tertawa.
Amri menerjemahkan lambang tersebut sebagai sikap Kohler yang tak mempedulikan informasi tentang akan adanya serangan saat ia dan pasukannya tiba di Masjid Raya.
“Sudah dibilang jangan pergi, eh pergi juga. Ya, mati ditembak dia,” kata Amri, “Itu kan namanya mati konyol!”
Namun belum ada teks sejarah yang menjelaskan arti gambar ular tersebut.
Setelah Kohler gugur, jasadnya dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta) melalui Ulee Lheue. Ia dikuburkan di daerah Tanah Abang. Rencana pengembangan kota oleh pemerintah kota Jakarta membuat kuburannya tergusur. Pada 19 Mei 1978, abu dan nisannya dipindahkan ke Kerkhof atas permintaan gubernur Aceh saat itu, A. Muzakir Walad. Setelah berselang 105 tahun dari waktu kematiannya, Kohler pun kembali lagi ke Aceh.
Setahun kemudian seorang prajurit terkenal dari Order of Dutch Lion (Kesatuan Singa Belanda) juga dikuburkan kembali di Kerkhof. Letnan kolonel JJ Roeps namanya. Ia terbunuh di pantai dekat perbatasan Aceh, tepatnya di Barus.
Kerkhof, dalam bahasa Indonesia berarti permakamanan. Kata ini dalam bahasa aslinya: kerkhoff, dengan huruf ‘f’ ganda. Kalau dipecah atas dua suku kata, maka ‘kerk’ diartikan sebagai gereja dan ‘hoff’ adalah halaman. Karena kebiasaan orang Belanda yang mayoritas Kristen menguburkan keluarganya di samping gereja, lambat-laun kata “kerkhoff” menjadi sebutan untuk kuburan atau permakaman.
Dengan mengenakan kemeja putih lengan pendek dan celana selutut, Amri mengajak saya mengelilingi sebagian area Kerkhof.
“Saya sudah 18 tahun jadi penjaga kuburan ini,” katanya, bangga.
Ia bersama istri dan empat anaknya tinggal di sebuah rumah yang berada di samping gerbang masuk. Ia tak bekerja sendirian. Ada seorang lagi penjaga kuburan yang bekerja di sini. Amri memperoleh gaji Rp.800.000 tiap bulan. Di samping itu ia juga punya penghasilan tambahan dengan memanfaatkan lahan di muka gerbang itu untuk berjualan bunga.
Amri menyenangi bunga-bunga. Tak heran taman Kerkhof dipenuhi bermacam bunga. Dari berbagai jenis Cemara, Jeumpa, Seulanga, Bougenvil, Asoka merah dan kuning, Melati, bunga Tasbih hingga Bayam Merah. Sehingga Kerhof lebih meyerupai taman daripada kuburan.
Bagi Amri, Kerkhof sudah seperti rumahnya sendiri.
“Jika kita anggap rumah sendiri, maka kita kerjanya lebih ikhlas,” katanya.
“Rumah gubernur, saya yang dekor kalau lagi ada acara,” katanya, lagi, “Saya orangnya tidak gengsi, kalau tidak mana mungkin saya bisa dapat dua mobil itu,” lanjutnya, sambil menunjuk mobil Kijang Avanza dan mobil pikap bermerek Chevrolet miliknya yang terparkir di samping rumah.
“Kemari,” ajaknya, “Nah, ini nama-nama pasukan Belanda selama peperangan Aceh.”
Amri menunjukkan deretan nama yang ditoreh di dinding gerbang masuk. Dalam bahasa Belanda gerbang ini dinamai De Erepoort atau Gerbang Kehormatan.
“Ini tandanya dia orang Belanda,” kata Amri. Ia menunjuk huruf E di belakang nama C.VAN DE BOR, E. MAR. “MAR artinya dia Marinir, angkatan laut,” katanya, lagi.
Setiap nama memiliki identitas. E adalah singkatan dari Europeesch, yang ditujukan untuk prajurit Eropa atau Belanda, I merujuk pada kata “Inlander” yang ditujukan untuk anak negeri. AMB menyatakan bahwa prajurit tersebut dari Ambon. M ch menandakan bahwa si prajurit bergabung dengan korps Marechausse atau oleh lidah Melayu disebut Marsose. F atau Fuselir adalah tanda kepangkatan.
Jika sudah menggunakan AMB maka tidak digunakan lagi I di belakang namanya, cukup F saja atau pangkat lainnya. I dipakai untuk orang Indonesia secara umum.
“TAMB ini artinya dia pemain musik, pemegang tamborin,” kata Amri menunjuk sebuah nama I.H.F HANSCHEN, E. TAMB. MAR. “Dia pemain musik dari Angkatan MAR.”
Ribuan nama prajurit Belanda yang tewas di masa menaklukkan Aceh tertera di dinding marmer tersebut. Masing-masing dikelompokkan sesuai dengan tempat dan tahun kematiannya: Missisigit Raya 1873-1874, Aroen 1875, Kandang 1871, Kota Toeankoe 1889. Tempat-tempat dan tahun-tahun ini menjadi saksi pertempuran-pertempuran sengit di Aceh. Nama-nama yang tercantum di situ bertahun 1873 sampai 1935.
Tulisan “Aan Onze Kameraden Gevallen Op Het Veld Eer” (Untuk Sahabat Kita yang Gugur di Medan Perang) menyambut peziarah di muka gerbang. Kalimat yang sama juga ditulis dalam bahasa Arab dan aksara Jawa.
Namun, ketika saya menanyakan sejarah permakaman ini lebih jauh, Amri menganjurkan saya menjumpai Ridwan Azwad. Ia dianggap paling mengerti sejarah Kerkhof. Ia menjabat sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, juga asisten perwakilan De Stichting Peutjut-Fonds atau Yayasan Dana Peutjut di Indonesia.
SEJAK kecil Ridwan terbiasa dengan buku-buku sejarah. Maklum, kakek dan ayahnya juga berkerja di bidang yang sama. Ayahnya pernah menjabat direktur harian Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Ketika itu ayah Ridwan banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda ke bahasa Indonesia guna memperkaya referensi sejarah Aceh. Kemahiran berbahasa Belanda juga dikuasai Ridwan.
“Ah, saya tidak semahir ayah saya,” jawabnya, merendah.
Menurut Ridwan, prajurit Belanda tak hanya orang-orang Belanda tapi juga orang Ambon, Maluku, Menado, dan Jawa. Mereka tergabung dalam korps Marsose.
Korps ini merupakan pasukan khusus dalam jajaran tentara Belanda untuk menghadapi gerilyawan Aceh. Dalam Buku Perang Kolonial Belanda di Aceh yang disunting Ibrahim Alfian disebutkan bahwa perekrutan anggota Marsose dilakukan secara ketat. Mereka yang dipilih adalah yang memiliki keberanian tempur prima. Mereka diberi latihan khusus serta dilengkapi senapan, rencong atau klewang yang sama dengan senjata orang Aceh.
“Belanda kehilangan akal bagaimana melawan orang Aceh maka dibentuklah pasukan tersebut dengan meniru cara perang orang Aceh,” tutur Ridwan.
Ketika Belanda menguasai Batavia, banyak penduduk setempat yang direkrut jadi militer Belanda.
“Ya, mereka kan bekerja untuk pemerintah saat itu, walaupun yang diperangi teman mereka sendiri,” kata Ridwan, merujuk orang Aceh dengan kata ‘teman’.
“Yang pasti tidak ada Marsose Islam di situ,” lanjutnya, kembali ke pembicaraan tentang siapa saja yang dimakamkan di Kerkhof.
Gubernur Aceh Mr A. Ph.van Aken juga dimakamkan di Kerkhof. Ia memerintah Aceh dari tahun 1932 hingga 1936. Van Aken orang sipil dan meninggal sebagai penasehat Belanda di Jakarta. Ia berjasa terhadap perluasan Masjid Raya Baiturrahman. Setidaknya dua kubah masjid kebanggaan Aceh tersebut bertambah atas perintahnya.
Tak jauh dari kuburannya Van Aken, tepatnya di sebelah belakang area Kerkhof terdapat sejumlah kuburan orang Yahudi. Menurut buku Panduan Kuburan Militer Peutjut, kuburan ini merupakan kuburan Yahudi yang paling luas di benua Asia. Setidaknya 24 nisan masih bertahan setelah tsunami menerjang permakaman ini.
Salah satu yang dikuburkan di situ adalah Deborah Bolchover. Zaman dulu keluarga Bolchover adalah pemilik tanah dengan usaha perumahan dan berbagai usaha lain. Tanah itu berdampingan dengan Kerkhof.
“Tanah itu diberikan Belanda untuk digunakan, pendeknya seperti Hak Guna Tanah,” tutur Ridwan.
Menurut Ridwan, orang Aceh sulit menyebut nama Bolchover, sehingga lambat-laun berubah menjadi Blower, nama sebuah kampung di Banda Aceh sekarang.
Diperkirakan 2200 kuburan berada di Kerkhof dulu, namun saat ini hanya bersisa 1984 unit. Kerusakan terjadi akibat “dimakan zaman” dan gelombang tsunami pada 24 Desember 2004. Banyak kuburan yang hancur akibat gelombang itu. Apalagi rata-rata kuburan prajurit cuma ditandai dengan tiang dan nomor.
Air tsunami mencapai dua meter di Kerkhof, dengan berbagai sampah bahkan mayat di dalamnya.
“Untung kayu-kayu besar tersangkut di gerbang. Kalau tidak, habis semua nisan di sini,” ujar Amri kepada saya, di waktu yang terpisah.
Tsunami membuat pagar yang mengelilingi permakaman roboh. Taman dan rumah penjaga kuburan ikut hancur berantakan.
Kerkhof kemudian diperbaiki. Pagar didirikan dan permakaman itu dibersihkan dari lumpur setebal 30 sentimeter. Setelah itu rumah, taman, dan pondok tamu istimewa yang berlokasi di kiri dan kanan gerbang pun dibangun.
Menurut Amri, tak kurang dari Rp 100 juta telah dikeluarkan Yayasan Dana Peutjut untuk proyek pembuatan pagar dan taman.
Selanjutnya Amri tidak tahu-menahu. “Saya kan cuma pekerja saja di sini,” ujarnya menjawab pertanyaan berapa total dana rekonstruksi Kerkhof.
Ia pernah menyarankan R. J Nix, ketua Yayasan Dana Peutjut Belanda, agar merenovasi semua nisan Kerkhof saat pria itu berkunjung ke Aceh pada 9 November 2007 lalu.
“Tidak ada biaya, kumpul-kumpul dulu,” kata Amri, menirukan tanggapan Nix, sambil tertawa.
Yayasan Dana Peutjut adalah yayasan yang bergerak mengumpulkan dana untuk permakaman Kerkhof. Dewan pengurus yang mengumpulkan dana terdiri dari keluarga tentara Belanda yang dimakamkan di situ dan para donatur. Dana tersebut digunakan untuk perbaikan dan perawatan Kerkhof. Yayasan ini didirikan pada tanggal 29 Januari 1976 atas prakarsa Kolonel (pensiunan) J.H.J Brendgen yang prihatin dengan kondisi Kerkhof dan kuburan militer lainnya, yang tak terurus.
BENTUK nisan atau bangunan kuburan di Kerkhof bergaya Eropa. Namun, bukan keheningan yang kita dapatkan di sini, melainkan kebisingan. Maklum, ia terletak tepat di tengah kota Banda Aceh. Terkadang bukan tidak mungkin alunan lagu-lagu pop terdengar dari sini, karena letaknya juga berdekatan dengan Taman Budaya Aceh, tempat berbagai kegiatan seni diselenggarakan.
Bentuk nisan dan kuburan serta ukurannya bervariasi. Ada yang berbentuk ujung pena, salib batu, kubus, pilar patah, atau balok beratap. Besarnya Nisan tidak ditentukan oleh tingginya pangkat seseorang. Terkadang nisan prajurit lebih besar dari kuburan seorang perwira.
“Itu karena bukan resmi dibuat pemerintah bentuk nisannya, tapi berdasarkan sumbangan kawan-kawan (almarhum). Jadi menurut kemampuan ekonomi masing-masing,” kata Ridwan kepada saya.
Di tiap nisan tercatat penyebab meninggalnya seseorang. Overleden berarti meninggal, bisa karena sakit atau akibat lainnya. Kemudian gesneuveld yang artinya gugur di medan pertempuran. Bahkan dronken yang artinya tenggelam, tertoreh di salah satu nisan. Melalui buku Panduan Kuburan Militer Peutjut, saya mengetahui nama prajurit yang meninggal tenggelam itu. Ia adalah P.J.F de Wolf, anggota Batalyon Infantri ke-14, kompi pertama yang tenggelam di Sungai Aceh.
Setiap nisan memendam cerita, mencatat nasib mereka yang terkubur di bawahnya. Seperti kisah di balik nisan W.B J.A Scheepens, misalnya. Ia dibunuh oleh tusukan rencong Teuku Bintara Titeu. Scheepens ketika itu bertugas sebagai pemimpin sidang pengadilan. Rupanya Titeu tak puas pada keputusan Scheepens.
“Ada satu kisah yang sangat menyedihkan dari sisi kemanusiaan,” kata Ridwan, yang saat saya menemuinya sore itu mengenakan kemeja putih dan celana putih selutut. Uban mulai mendominasi rambutnya.
Seorang letnan satu bernama H.P de Bruijn gugur sehari sebelum hari pernikahannya.
“Saat itu dia diperintahkan ke Seunagan (di Pantai Barat),” kisah Ridwan.
Namun, belum lagi tuntas bercerita, Ridwan berusaha bangkit dari bangku. Dengan meringis menahan sakit, ia berkata, “Saya akan ambil buku untuk memastikan tahun kematiannya.”
Ia tetap bersemangat, meski asam urat dan rematik membuat kakinya sulit digerakkan. Kesehatannya baru saja pulih. Hampir sebulan ia terbaring tak berdaya.
“19 Juli 1902,” ucapnya, sambil memperlihatkan buku Panduan Kuburan Militer Peutjuet.
Bruijn mati tragis. Lima belas tebasan klewang (sejenis pedang Aceh) dan satu tusukan tombak berbekas di tubuhnya.
“Katakan kepada Ibu bahwa saya sudah melakukan yang terbaik,” begitu kata-katanya yang dikutip dalam buku tersebut. Di tengah sakaratul maut, ia lupa menyinggung calon pengantinnya. Sungguh sedih.
Tak semua kuburan berisi jasad. Contohnya makam Hageman. Ia gugur di benteng kota Toeanku yang letaknya dekat dengan Pohamat (sekarang dikenal sebagai Podiamat), berjarak enam kilometer dari Banda Aceh.
Karena itu di kuburan Hageman tidak tertulis “Di sini terbaring” tapi “Untuk (Aan) (yang terbaring)”. Kuburan ini hanya semacam monumen peringatan.
DI tengah area permakaman terdapat tiga nisan bergaya Aceh kuno. Ketiganya terpancang di atas undakan semen setinggi setengah meter berbentuk persegi empat. Sebuah pohon besar meneduhi nisan-nisan tersebut. Di palang selebar 1,5 meter dan tinggi satu meter tertera tulisan: Makam Meurah Pupok.
Menurut sejarah, Meurah Pupok adalah putera Sultan Iskandar Muda, raja Aceh yang berkuasa di abad ke-17. Karena ia melakukan suatu “kesalahan”, maka Sultan menghukum sendiri putranya ini.
“Kuburan tersebut tidak dipindahkan karena titah Sultan Iskandar Muda yang tidak ingin anaknya yang berzinah dikuburkan berdekatan dengannya,” kata Fahrizal, petugas pembersih kuburan Meurah Pupok tersebut. “Karena dia sudah melakukan perbuatan tercela maka pantaslah dia dikuburkan dengan orang kafir,” lanjutnya.
Fahrizal bekerja di Balai Pemeliharaan Peninggalan Purbakala atau disingkat BP3. Membersihkan makam hanya kerja sampingannya. Pekerjaan itu dilakoninya hampir setahun. Tiap tahun, secara bergilir, para pegawai BP3 kebagian membersihkan makam. Penggiliran tersebut bukan kewajiban, namun pilihan.
“Honornya sedikit, sudah itu suka ditahan-tahan lagi,” katanya. Ia kemudian menghembuskan napasnya, “Phuhhh….”
”Honor delapan bulan yang lalu baru saja dikasih kemarin, bulan kemaren dan bulan ini belum cair,” ujarnya, seraya tertawa getir.
Siang itu Fahrial bekerja dengan masih mengenakan pakaian kantor, seragam pegawai negeri sipil. Tangannya dengan luwes mencabuti batang-batang rumput liar yang tumbuh di sekitar makam.
Di samping kuburan Meurah Pupok ada kuburan kecil. Sepertinya kuburan tersebut milik bocah balita. Dan di sisi kirinya terdapat kuburan orang dewasa.
“Itu sepertinya kuburan istrinya,” kata Fahrizal.
“Maksud bapak, kuburan selingkuhannya?” tukas saya, bergurau.
“Jangan panggil saya bapak dong, saya kan masih muda,” protesnya. “Setahu saya dia selingkuh sama orang Belanda.”
“Dia (Meurah pupok) dulunya menguasai ilmu hitam makanya dia jahat kayak gitu,” celotehnya.
Banyak desas-desus yang beredar tentang kematian putra kesayangan Sultan Iskandar Muda tersebut. Ada yang mengatakan saat itu ia dihukum karena mengganggu istri orang lain. Ada juga yang menyebut ia berzinah dengan wanita Belanda. Bahkan ada yang mengatakan ia hanya korban fitnah belaka.
Kebenarannya tidak diketahui hingga kini.
“Hipotesa saya, dia itu difitnah!” kata Ridwan, tegas.
Iskandar Muda yang memerintah sejak tahun 1607 sampai 1636 itu memiliki empat istri. Salah satunya Putroe Phang yang berasal dari Pahang, Malaysia. Dari empat istrinya itu ia hanya memiliki seorang anak laki-laki, yakni Meurah Pupok. Namun, anak ini bukan dari hasil perkawinannya dengan Ratu Pahang atau Putroe Phang.
“Nah saat itu ada pepatah terkenal Aceh yang menyebut-nyebut nama Putroe Phang. Bisa dibilang Putroe Phang itu gerak-geriknya lebih agresif dari pada istri sultan lainnya,” kata Ridwan.
“Tahu tidak pengganti Iskandar Muda siapa?” tanya Ridwan, tiba-tiba.
“Putrinya, Safiatuddin kan!” jawab saya.
“Eee… bukan,” Ridwan menggoyangkan jari telunjuknya.
“Iskandar Tsani,” sahut saya, lagi.
“Iya, benar. Dia kan keponakan Putroe Phang juga menantu lelaki Sultan Iskandar Muda.”
Iskandar Tani adalah suami putri Sultan, Safiatuddin.
“Ingat, Sultan (Iskandar Muda) kan meninggal selang beberapa minggu sesudah menghukum anaknya. Bisa saja kematian Sultan karena shock mengetahui penyebab kematian anaknya yang direkayasa. Yang namanya bangku kekuasaan itu kan banyak yang bermain,” katanya lagi.
Kata-kata Ridwan menyiratkan dugaannya bahwa hukuman atas Meurah Pupok tak lepas dari intrik dalam istana.
“Ini hanya hipotesa saya lho,” katanya, tertawa. “Ya… kan permainan putri made in luar lebih jago daripada produk lokal,” seketika tawanya pecah.
“Memang saat itu Iskandar Muda punya seorang anak laki-laki lainnya dengan gelar Panglima Polem Muda Seutia Peurekasa. Tapi anak tersebut tidak dilahirkan dan dibesarkan di istana. Saya kurang mengerti juga tujuannya itu apa,” ujarnya lagi.
“Menurut saya dia lebih tua dari Ratu Safiatuddin,” katanya, merujuk pada kata “polem” yang berarti “abang”.
“Lihat ini!” Ia menunjuk ke halaman 14 sebuah buku yang berjudul Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan karya K.H.F. Van Langen.
“Diriwayatkan bahwa putra Sultan Iskandar Muda dilahirkan oleh seorang budak wanita Hasby di Daerah XXII Mukim. Ketika Hamil, ibunya dibawa ke sana dan setelah lahir sang putra diangkat menjadi panglima sagi tersebut dengan gelar Panglima Polem Muda Seutia Peurekasa,” katanya, membacakan kalimat dalam buku itu.
Meurah Pupok memiliki nama panggilan sayang, Photeu Tjoet (Pocut). Photeu artinya ‘raja’, sedangkan Tjoet artinya ‘kecil’.
“Perlu kamu tahu, Peutjut itu nama kompleks kuburan bukan nama anak Iskandar Muda,” tegas Ridwan, membantah desas-desus yang menghubungkan nama Permakaman Peutjut atau Kerkhof dengan panggilan kesayangan untuk Meurah Pupok.
“Jika kita lihat di area tersebut terdapat banyak kuburan kuno Aceh. Dahulu area Pemakaman Peutjut merupakan bagian lingkungan istana Aceh. Tahun 1873, saat Belanda melakukan ekspedisi militer pertama, tanah tersebut “dibelah”,” katanya.
Dulu orang Aceh menguburkan keluarganya di sekitar rumah, begitu juga dengan keluarga Sultan Aceh.
“Terasingnya kuburan Merah Pupok jangan dikait-kaitkan dengan perbuatannya. Apalagi mengatakan dia dikuburkan di Peutjut bersama bangsa Belanda karena perbuatannya yang kaphe (kafir),” ujar Ridwan, lagi-lagi ia membantah gosip seputar perzinahan sang putra mahkota dengan perempuan Belanda.
Kaphe, sebutan untuk penjajah non Islam saat itu, atau sering digunakan untuk mengumpamakan perbuatan yang melanggar ajaran Islam.
“Sultan Iskandar Muda kan berkuasa tahun 1607 sampai 1636, meninggal di tahun yang sama dengan anaknya. Jadi Meurah Pupok itu meninggalnya tahun 1636, belum masuk (tentara) Belanda (ke Aceh) kan,” katanya “Lihat saja jaraknya sekitar dua abad. Kan ndak ada urusan (tidak ada hubungannya),” lanjutnya, mengoreksi kembali gosip itu.
Pada 1874 kerajaan Aceh berhasil dikuasai Belanda. Bersamaan dengan itu pula Kerkhof mulai digunakan sebagai area kuburan Belanda.
Perwira yang pertama dikuburkan di sini adalah J.J.P Weijerman yang tewas pada tanggal 20 Oktober 1883 di dekat Masjid Siem Krueng Kale, kecamatan Darussalam.
Atap kuburan di Kerkhof awalnya banyak memakai seng atau logam, tetapi karena tak adanya pengawasan dan pemeliharaan banyak kuburan yang dirusak.
“Apalagi ketika masa invasi jepang, ya dicurilah, dirusaki,” tutur Ridwan.
Di masa Jepang, menurut buku Panduan Kuburan Militer Peutjut, segala sesuatu yang terbuat dari logam atau yang cocok untuk meningkatkan kesiapan perang melawan Jepang dipindahkan dan diangkut ke tempat lain.
Sesungguhnya area permakaman ini tidak hanya diperuntukkan untuk militer Belanda. Warga setempat yang beragama Kristen juga ada yang dikuburkan di situ. Tindakan ini dimulai di masa Republik Indonesia, apalagi lahan kuburan untuk non muslim jarang terdapat di Aceh. Di sini kita juga akan menemukan makam orang-orang Tionghoa.
Secara umum ada dua kelompok kuburan di situ. Pertama, yang ada sebelum Belanda meninggalkan Aceh dan kedua semasa Republik Indonesia.
“Namun di tahun 1970 area kuburan tersebut dilarang kembali dipakai oleh umum untuk menjaga keeksklusifannya. Tapi jumlah keseluruhan NG sedikit,” kata Ridwan.
NG adalah singkatan dari New Grave atau Kuburan Baru. Ini kode kuburan yang dibuat saat pendataan kembali nisan-nisan di Kerkhof pascatsunami. Kuburan yang dibuat setelah tahun 1942 dikategorikan NG.
Pemeliharaan kembali Kerkhof telah dimulai padai tahun 1970. Enam tahun setelah itu terjadi pemugaran dan berdirinya Yayasan Dana Peutjut. Penggagasnya, J.H.J Brendgen, pernah bekerja di Aceh Barat dan mahir bahasa Aceh.
“Dulu perhatian pemerintah sangat kecil terhadap Peutjut Kerkhof,” kata Ridwan.
Bisa dikatakan pemeliharaan permakaman itu dimulai di masa pemerintahan gubernur Aceh A. Muzakir Walad, tepatnya tahun 1978.
“Tapi apapun itu, bisa dikatakan semua biaya perawatannya dari orang Belanda,” lanjut Ridwan.
“Pemakaman Peutjut ini harus dijaga agar menjadi bukti bahwa ada perjuangan berdarah dalam mempertahankan wilayah Aceh,” katanya, lagi.
Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya, yang tak lain dari istri Ridwan mengingatkan waktu sholat Ashar. Ridwan menyahut, “Sebentar lagi,” karena begitu asyiknya ia menjelaskan segala sesuatu kepada saya. Ia begitu bersemangat dan berucap, “Bagaimanapun kuburan itu harus dijaga, itu salah satu bukti. Ingat bukan satu-satunya bukti tapi salah satu dari sekian banyak bukti.”
Ridwan bangkit dari tempat duduknya dan berjalan dengan menahan nyeri di lututnya menuju kamarnya. Selang beberapa menit ia sudah kembali lagi
“Lihat ini,” ujarnya, memperlihatkan halaman lima sebuah buku tua berbahasa Belanda kepada saya.
“Daarom zal de Atjeh-Orrrlog steeds een leerschool blyven voor ons leger.” Ia membaca kalimat di halaman tersebut dengan fasih. “Ini artinya, karena peperangan, Aceh senantiasa menjadi suatu tempat belajar untuk tentara kita.”
Petikan kata tersebut berasal dari buku De Krijgsgeschiedenis van Nederlandsch Indië van 1811 tot 1894 (Perang Di Hindia Belanda dari Tahun 1811 hingga 1894). Ini jilid ketiga dan terbit tahun 1987. Buku ini ditulis pensiunan Letnan Kolonel Infantri G.B Hooyer.
“Lihat saja ini sediri, jangan bilang saya mengada-ngada,” katanya sambil menyerahkan buku itu kepada saya.
“Jadi, lihat saja bagaimana mereka (orang Belanda) menghargai perang dengan bangsa Aceh. Perkataan tersebut keluar dari seorang kolonel bukan orang sipil,” ucapnya, serius
“Ada bermacam model perang di Aceh. Buah kesulitan perang tersebut makanya terbentuk Marsose,” kata Ridwan.
“Orang Belanda saja mengakui kehebatan kita,” katanya bangga.
“Kerkhof itu harus dirawat dan dijaga sebagai bukti perlawanan hebat bangsa Aceh,” tekannya lagi. “Sekarang masalahnya bukan mempertahankan kuburan kaphe tapi mempertahankan bukti sejarah hebat bangsa Aceh melawan penjajahan Belanda. Tak ada penjajah yang mengakui kehebatan lawannya seperti Belanda mengakui kita. Sejarah membuktikan itu,” tekannya.
Kekhawatiran Ridwan tak berlebihan. Sejak pemerintahan Aceh dipimpin gubernur Irwandi Yusuf dan perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ditandatangani pada Agustus 2005 lalu, keran investasi terbuka lebar di Aceh. Bukan tak mungkin Kerkhof dibongkar atau digusur untuk perluasan kota atau bangunan usaha.
“Dalam sejarah ada istilah No Document, No History,” cetus Ridwan. Jika tidak ada dokumen atau bukti sejarah, maka kita tidak akan pernah tahu apa yang telah terjadi di masa lampau.
DI penghujung jalan utama yang membelah area Kerkhof terdapat sebuah kuburan besar. Menurut pengamatan saya, kuburan itulah yang terbesar dan termegah di antara seluruh makam di Kerkhof. Sebuah lukisan lelaki berjenggot serta berambut hitam terpampang di puncak nisan.
Di depan nisannya yang menjulang tinggi terdapat peti batu dengan ukiran menyerupai umbaian kain. Ada sekitar empat anak tangga untuk menuju peti tersebut.
“Aan Johannes Ludovicus Jacobus Hubertus Pel.” Itulah tulisan yang tertera di makamnya. Ia adalah jenderal Belanda keempat yang dikuburkan di sini. Ia punya julukan yang terkenal, yaitu Mayor Jenderal Pel.
Pel mati mendadak karena stroke di perkemahan Krueng Tjoet, tepatnya di Lamnyong. Namun, desas-desus yang beredar menyebutkan ia mati tertembak.
Jika kita bepergian ke Darussalam, tepatnya ke sebelah kiri bantaran sungai Lamnyong, kita dapat melihat monumen kematian Pel.
“Itu kuburan Jenderal Kohler, Dek,” sapa seorang pria kepada saya. Ia menunjuk kuburan Mayor Jenderal Pel.
“Bukan, ini kuburan Pel, Kohler kan di depan,” sahut saya.
“Ini kuburan Kohler, Dek.” Ia bersikeras pada pendapatnya.
“Katanya Kohler sesudah tertembak dikuburkan di Batavia yah, kemudian dikuburkan kembali di sini kan?” tukas saya.
“Enggak! Ini kuburan Kohler, dari dulu memang di sini dia dimakamkan,” bantah lelaki ini.
“Saya tinggal dekat sini, Dek, Sudah lama sejak lahir. Turun-temurun,” ucapnya. Umurnya sekitar 26 tahun.
Ia sangka dengan menekankan kata “sejak lahir” dan “turun-temurun”, maka ia bisa membuat saya percaya pada penjelasannya.
“Dek, tadi ada ke kuburan itu tidak?” Ia menunjuk ke kuburan Meurah Pupok. “Hati-hati di situ seram,” lanjutnya, serius.
Saya hanya tersenyum mengingat sudah hampir satu jam saya habiskan untuk duduk sendirian di kuburan anak Sultan Iskandar Muda itu. Sama sekali tak ada aura seram seperti yang dikatakannya. Saya teringat kembali kata-kata Ridwan bahwa sejarah harus dirawat dan cerita harus ditulis. Lelaki di hadapan saya ini, yang lahir dan besar di dekat kuburan ini, ternyata begitu kacau pengetahuannya tentang Kerkhof dan menyesatkan.***
Oleh Novia Liza, Kontributor Aceh Feature,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar