Penelitian Ilmiah dan Martabat Manusia

research 300x225 Penelitian Ilmiah dan Martabat Manusia

Reza A.A Wattimena

Yang kita perlukan sekarang ini adalah jiwa peneliti militan. Bagi mereka penelitian adalah hidup itu sendiri. Penelitian itu nikmat dan berharga pada dirinya sendiri. Entah ada dana atau tidak, ada hibah atau tidak, ada yang memesan atau tidak, ada poin atau tidak, mereka tetap meneliti.. meneliti… meneliti.. tanpa henti.

Bangsa Indonesia merindukan lahirnya generasi baru peneliti bangsa ini yang mempunyai habitus (kebiasaan yang tertanam di dalam gugus berpikir dan tindakan) baru, di mana mereka (para peneliti dan akademisi) tidak lagi meneliti untuk mengejar proyek (pemburu hibah dan peneliti pesanan) atau mengumpulkan angka semata (guna cepat meraih gelar guru besar/professor), melainkan untuk mencari kebenaran (truth seeking) sesuai dengan bidangnya masing-masing, dan, dengan demikian, mengangkat harkat dan martabat manusia (human dignity) Indonesia ke tempat yang luhur.trans Penelitian Ilmiah dan Martabat Manusia

Namun sayangnya rasa rindu ini tidak kunjung jadi kenyataan. Peneliti di Indonesia kurang memiliki kesadaran kritis (critical consciousness) untuk mengamati dan menilai situasi sekitar dengan tajam dan jernih. Kemampuan untuk menulis jernih dan sistematis pun nyaris tak ada. Jika peneliti tak memiliki kesadaran kritis untuk mengamati situasi, dan tak memiliki kemampuan menulis yang memadai, lalu apa yang tersisa di dunia penelitian di Indonesia, selain mentalitas pemburu proyek dangkal (pemburu hibah), dan budak kapitalisme global (peneliti pesanan) yang seringkali sepak terjangnya tak memperhatikan hati nurani dan martabat manusia?

Salah satu sebabnya adalah budaya lisan (berbicara) yang tertanam kuat di dalam masyarakat kita. Bangsa kita lebih senang berbicara, daripada duduk diam, berpikir, berefleksi, dan mulai menulis. Budaya untuk mengambil jarak dari dunia sehari-hari, berpikir, berefleksi, dan mulai menulis mulai tumbuh, namun dengan gerak yang amat perlahan. Tak heran kepekaan dan solidaritas sosial tak tumbuh, karena pikiran dan hati nurani dikepung oleh suara-suara dan pembicaraan yang seringkali tak dalam dan mengaburkan pikiran.

Kultur yang sifatnya amat komunal juga seringkali mengaburkan kejernihan berpikir (clarity). Orang takut untuk berpikir sendiri, namun menyandarkan diri pada apa kata kelompok (masyarakat) dan tradisi. Orang tak biasa untuk duduk berpikir dan berkarya, namun lebih sering terlibat duduk-duduk di dalam pembicaraan yang dangkal dan sia-sia. Kultur komunal memang memiliki kebaikannya tersendiri. Namun kultur semacam itu jelas tidak banyak mendukung lahirnya generasi baru peneliti yang kreatif dan punya motivasi untuk mengembangkan martabat manusia di Indonesia.

Mungkin juga salah satu sebabnya adalah bangsa Indonesia terlalu lama terhisap dan sibuk dengan revolusi kemerdekaan, pemasungan berpikir selama Orde Baru, dan reformasi politik, sehingga tak memiliki kesempatan cukup luas untuk melakukan refleksi kritis, dan belajar untuk berkarya demi martabat manusia. Pikiran dan tenaga bangsa kita terhisap untuk bertarung dengan Belanda-Sekutu pada pada masa Revolusi Kemerdekaan, dipasung pikirannya atas nama stabilitas nasional yang semu, susah payah menggulingkan tiran pemerintahan Orde Baru yang otoriter, dan jatuh bangun memerangi korupsi politik pasca reformasi ’98 sampai sekarang ini. Di dalam semua kesibukan politik itu, para peneliti sejati tak mendapatkan tempat yang semestinya.

Kritis dan Reflektif

Ketika kultur peneliti yang kritis, reflektif, dan kreatif belum terbentuk, bangsa Indonesia kembali diserang oleh televisi yang memberikan tayangan visual tanpa imajinasi, dan kultur ngerumpi dangkal tanpa refleksi. Di sisi lain perkembangan teknologi menghasilkan alat-alat canggih yang justru menjauhkan generasi muda dari sikap reflektif-kritis, dan mendekatkannya pada budaya ngerumpi virtual (media sosial yang digunakan secara dangkal) yang menumpulkan pikiran. Tak heran banyak guru dan dosen mengeluh, karena apa yang mereka berikan di kelas sebagai bahan ajar ternyata kalah bersaing dengan iklan dan sinetron televisi yang lebih menghibur di satu sisi, namun memperbodoh di sisi lain.

Gejalanya terlihat jelas. Mahasiswa –dan bahkan dosen- sekarang ini mengalami kesulitan besar, ketika diminta untuk menghasilkan karya tulis yang “arsitekturnya” jernih dan mencerahkan. Banyak karya tulis ilmiah maupun populer dirumuskan dengan sembarangan, sehingga amat sulit untuk dibaca, apalagi dipahami. Dengan situasi semacam ini, kita bisa mengerti, mengapa generasi baru peneliti yang kritis, kreatif, dan peka pada kemanusiaan tak tumbuh di Indonesia.

Salah satu latihan yang cukup mendasar untuk menumbuhkan sikap kritis dan kreatif adalah dengan menulis buku harian. Sejak kecil anak diminta untuk membiasakan diri menulis buku harian dengan fokus pada beberapa hal berikut; apa yang menarik bagi mereka, apa yang penting bagi mereka, serta apa yang berguna untuk diri mereka sendiri, dan, terutama, orang lain. Dengan menulis buku harian, anak, sejak kecil, akan terbiasa untuk mengamati situasi sekitarnya, berpikir, refleksi, dan menuliskan pemikirannya. Jika itu terjadi maka lahirnya generasi baru peneliti Indonesia yang kritis, kreatif, dan berpihak pada peningkatan martabat manusia di bidangnya bukan lagi mimpi belaka.

Ironisnya di Indonesia selain tidak ada budaya untuk menulis buku harian, peserta didik, terutama anak-anak dan generasi muda, justru dibombardir dengan proses ujian berbentuk pilihan ganda. Ujian berbentuk pilihan ganda menghasilkan pemahaman yang amat salah, bahwa hanya ada satu jawaban yang benar untuk setiap pertanyaan. Pilihan ganda mematikan kemampuan berpikir eksploratif, dan membunuh pencarian alternatif yang paling baik untuk menjawab satu pertanyaan. Tak heran generasi muda peserta didik bangsa Indonesia menjadi pasif di kelas, malas berpikir, dan belaja sekedarnya demi untuk mendapatkan nilai belaka.

Mental pasif, malas berpikir, dan bekerja seadanya itu pun dibawa sampai dewasa. Dengan pola pendidikan yang miskin kesadaran kritis dan refleksi, tak heran para peneliti di Indonesia pun hanya bekerja seadanya, tanpa ada pembaruan penelitian, ataupun sikap kritis pada situasi. Jadi penyebab utama lemahnya dunia penelitian di Indonesia bersifat sistemik, mulai dari pola asuh orang tua di rumah, sampai dengan kesalahan didik di tingkat SD, SMP, dan SMA/K. Penelitian yang ideal yakni yang menggunakan pola berpikir berjarak (bersikap kritis analitis), namun terlibat pada permasalahan masyarakat, pun nyaris tak ada.

Padahal dana untuk pendidikan di Indonesia sudah mencapai dua puluh persen dari total APBN. Namun dana itu tak juga memajukan penelitian ilmiah di Indonesia, dan hampir tak berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Kemiskinan terjadi tidak hanya secara ekonomi, tetapi justru lebih dalam lagi, yakni kemiskinan cara berpikir dan kemiskinan moral yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, mulai dari politik, ekonomi-bisnis, sampai dengan lembaga-lembaga agama. Ketika para peneliti sibuk mengejar hibah, meneliti pesanaan perusahaan, dan mengejar karyanya dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional, bangsa kita, dan institusi-institusi yang menopangnya, terpuruk di dalam jurang kemiskinan ekonomi, kemiskinan cara berpikir, dan, terutama, kemiskinan moral.

Peneliti dan Peradaban

Juga perlu diingat pada peran peneliti amat besar untuk mengembangkan dan melestarikan peradaban manusia. Para penelitilah yang berhasil mematahkan pandangan-pandangan lama yang membelenggu dan menindas martabat manusia, mulai dari kesalahan berpikir tentang perbudakan, rasisme, model tata pemerintahan otoriter-feodal, sampai menyembuhkan penyakit yang dulunya dengan mudah melenyapkan kehidupan. Mereka mengoreksi kesalahan-kesalahan berpikir yang tersebar di masyarakat melalui penelitian mereka yang memang termotivasi untuk menemukan kebenaran di berbagai bidang. Merekalah pemegang obor peradaban.

Namun motivasi untuk mencari kebenaran dan melenyapkan kesalahan berpikir masyarakat kini telah luntur. Para peneliti di Indonesia berubah menjadi “budak” dari hibah dan bisnis-industri yang seringkali justru membelenggu dan menindas kemanusiaan. Motivasi penelitian mereka tidak lagi murni berpijak pada rasa ingin tahu dan upaya memperbaiki kehidupan bersama. Mereka bukan lagi agen perubahan paradigma, tetapi semata alat untuk membenarkan paradigma yang sudah salah di masyarakat.

Padahal jika dipikir lebih dalam, bangsa Indonesia adalah masyarakat yang justru amat potensial untuk diteliti. Bangsa Indonesia adalah surga bagi para peneliti, baik peneliti ilmu-ilmu sosial maupun ilmu alam. Dengan masyarakatnya yang beragam dan demokratis, serta keadaan alam yang amat beragam dan unik, para ilmuwan asing ramai-ramai melakukan penelitian disini. Namun para peneliti Indonesia tampak lesu, karena mereka memang tak memiliki budaya meneliti yang unggul dan mendalam, serta tak punya rasa ingin tahu maupun idealisme yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian bermutu.

Kolaborasi dan Investasi Intelektual

Kerja sama dalam melakukan penelitian di Indonesia pun jarang terjadi. Para peneliti dan ilmuwan terjebak pada tembok-tembok displinnya masing-masing, dan menjadi arogan di dalam kesempitan berpikirnya. Spesialisasi didewakan sementara kerja sama justru terabaikan. Padahal dunia kehidupan manusia tidak terkotak-kotak ke dalam displin ilmu, melainkan saling terkait tanpa pernah terpisahkan. Penelitian multidispliner nyaris tak terdengar, karena sistem dan budaya berpikir para peneliti di Indonesia belum menyadari arti pentingnya.

Ketika di satu sisi, runtuhnya tembok Berlin bermuara pada tutupnya sekolah-sekolah di Jawa Tengah. Ketika konferensi OPEC nun jauh di luar negeri sana mempengaruhi harga cabai di Pasar Ciputat. Sementara di sisi lain, para peneliti tetap berkubang secara sempit pada bidang ilmunya. Jangan heran kalau penelitian di Indonesia justru semakin jauh dari dunia kehidupan masyarakat yang berkelindan. Jangan heran kalau penelitian di Indonesia gagal menangkap kerumitan realitas kehidupan masyarakat Indonesia (dan dunia) yang amat kaya dan rumit.

Yang perlu ditegaskan adalah bahwa penelitian ilmiah adalah suatu investasi yang berharga untuk masa depan umat manusia, sejauh itu dilakukan dengan niat dan mutu penelitian yang tinggi. Penelitian ilmiah dilakukan untuk menciptakan dan mengembangakn kapital intelektual (intellectual capital) bangsa, yang sebenarnya jauh lebih penting daripada uang maupun sumber daya alam. Hasil dari penelitian ilmiah adalah kapital intelektual yang menjadi mesin pendorong kemajuan umat manusia. Pokok argumen ini tidak pernah boleh dilupakan.

Rumah bagi penelitian ilmiah adalah institusi pendidikan. Dan rumah pendidikan adalah sekolah dan universitas. Maka sekolah dan universitas tidak boleh kehilangan orientasi. Lembaga-lembaga pendidikan tidak boleh berubah menjadi bisnis pengeruk keuntungan finansial semata, dan lupa perannya untuk memberi pencerahan dan panduan untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang lebih baik untuk semua. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa penelitian ilmiah, jika dilakukan dengan motivasi yang murni dan teknik penelitian yang baik, adalah investasi intelektual untuk mengembangkan bangsa dan peradaban manusia secara keseluruhan.

Namun sayangnya di dalam rapat-rapat yayasan pendidikan, pertanyaan yang muncul bukanlah “Anda sedang meneliti apa?”, melainkan “Berapa mahasiswa yang telah anda dapatkan?” Pertanyaan ini menunjukkan prioritas lembaga-lembaga pendidikan kita, yakni untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin, seperti pada praktek bisnis dan industri. Tak heran para peneliti, guru, dan dosen tercekik untuk mengejar target jumlah siswa, sementara tugas utama mereka, yakni mendidik dan melakukan penelitian yang bermutu, terbengkalai. Tak heran juga mutu pendidikan dan penelitian kita amat rendah, dan menghasilkan sumber daya manusia yang rendah pula; dalam arti tidak kritis pada situasi, tidak kreatif, dan bermental opurtunis (raup keuntungan asal ada kesempatan, tak peduli sah atau tidak).

Langkah-langkah Strategis Pengembangan

Jelaslah penelitian ilmiah di Indonesia harus dikembangkan. Langkah pertama adalah dengan membentuk komunitas-komunitas diskusi para peneliti dan ilmuwan, yang sebisa mungkin bersifat multidisipliner, untuk membahas satu atau beberapa masalah tertentu yang ada di masyarakat. Dari diskusi rutin semacam ini, para peneliti akan menemukan satu tema penelitian bersama yang penting, mengumpulkan dan mengolah data bersama, serta bersama-sama membuat kesimpulan dan masalah lebih jauh secara lebih baik. Hasil penelitian bisa dipublikasikan dalam bentuk jurnal ataupun buku yang, sedapat mungkin, bisa dibaca oleh masyarakat luas.

Langkah kedua adalah dengan memperbanyak jumlah penulis jurnal, ataupun buku, yang merupakan hasil dari penelitian ilmiah. Polanya begini masyarakat Indonesia tidak boleh hanya pasif menjadi pengguna hasil penelitian, tetapi juga menjadi peneliti yang hasil penelitiannya bisa dibaca dan mencerahkan orang lain. Perubahan mentalitas dari pengguna menjadi pencipta inilah yang kiranya perlu lebih banyak terjadi di Indonesia.

Di sisi lain percuma juga menghasilkan karya penelitian yang bermutu, tetapi masyarakat tidak terbiasa untuk membacanya. Maka yang perlu juga dikembangkan oleh sistem pendidikan kita, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, adalah kebudayaan untuk membaca jurnal maupun karya-karya ilmiah yang bisa membuka pikiran mereka. Budaya ini perlu terlebih dahulu diperkenalkan ke para guru dan dosen. Setelah mereka memahami dan menjalankannya, barulah budaya ini bisa dikembangkan di kalangan siswa dan mahasiswa secara bertahap, namun berkelanjutan.

Di dalam proses diskusi, penulisan, dan penyuntingan karya jurnal maupun buku ilmiah, peran mitra bebestari amatlah penting. Mereka adalah simbol terjadinya diskusi ilmiah antar peneliti di dalam satu konteks penelitian. Mereka juga hadir sebagai simbol dari adanya keberlanjutan penelitian ilmiah dari peneliti yang lebih senior, dan peneliti yang baru memasuki bidang penelitiannya. Namun sayangnya di Indonesia, mitra bebestari seringkali hanya nama besar yang dibarengi dengan gelar mentereng, namun tak memiliki kompetensi yang mendalam di bidangnya.

Jika dilihat sejarahnya tujuan awal dari adanya jurnal maupun buku ilmiah adalah mendaftar, menyebarkan, dan menyimpan berbagai informasi yang berkembang di dalam dunia ilmu pengetahuan. Tiga tujuan ini amatlah luhur, karena mengabdi sekaligus pada dua tujuan yang lebih besar, yakni memberikan pengakuan yang seharusnya pada para peneliti yang telah berjasa, dan menciptakan daftar informasi yang lengkap tentang berbagai penelitian yang telah dilakukan, sehingga para ilmuwan dan para peneliti masa depan tidak harus mulai dari nol lagi. Idealnya memang hasil penelitian bisa dirumuskan menjadi semacam buku ajar bagi siswa dan mahasiswa, sehingga mereka memperoleh informasi dan refleksi kritis (critical reflection) terbaru tentang bidang ilmu yang mereka tekuni sedini mungkin.

Semua ini amat baik. Namun sulit untuk menjadi kenyataan, karena kultur akademik (academic culture) ilmiah di Indonesia belum terbentuk dengan baik. Para ilmuwan senior seringkali bangga mempertontonkan gelar, namun tak punya karya yang bermakna. Padahal mereka adalah teladan bagi para peneliti yang baru mulai menekuni dunia penelitian ilmiah. Krisis keteladanan ini berbuntut panjang, yakni semakin lunturnya kultur akademik, dan, bersama dengan itu, semakin rendahnya mutu penelitian ilmiah di Indonesia.

Maka jelaslah bahwa penelitian ilmiah, bersama dengan komunitas peneliti yang menjadi latar belakangnya, haruslah ada, dan menjadi aktivitas yang nyata di berbagai institusi pendidikan, terutama perguruan tinggi. Dengan meningkatkan aktivitas diskusi di dalam berbagai komunitas peneliti, serta mendorong para peneliti untuk berkarya, maka Indonesia bisa melakukan internasionalisasi penelitian, yakni dengan menerbitkan berbagai karya penelitian di berbagai jurnal internasional. Namun perlu diingat bahwa publikasi jurnal internasional bukanlah sebuah tujuan utama, melainkan cerminan dan konsekuensi logis dari kualitas diskusi maupun aktivitas penelitian ilmiah yang nyata dilakukan di perguruan tinggi, maupun institusi pendidikan lainnya.

Kerja Sama

Semua ini bisa terjadi, jika ada kerja sama yang baik antara berbagai pusat penelitian di berbagai perguruan tinggi, baik dalam maupun luar negeri. Kerja sama dimulai dengan penciptaan komunitas diskusi, lalu bermuara pada adanya penelitian bersama. Hasil penelitian lalu dipublikasikan dalam bentuk buku ataupun jurnal ilmiah. Buku atau jurnal ilmiah itu lalu menjadi bahan diskusi lebih jauh, supaya diskusi dan penelitian di dalam komunitas peneliti bisa terus berlangsung.

Di sisi lain berbagai institut penelitian maupun pendidikan juga memerlukan Rencana Induk Penelitian. Di dalam rencana tersebut terdapat tema penelitian unggulan yang ingin diangkat oleh institut terkait. Semua ini harus dibuat terencana, terukur, dan cukup realistik, sehingga bisa dijalankan seutuhnya. Rencana detilnya dibuat oleh pimpinan institusi dalam diskusi dengan seluruh elemen sivitas akademika, dan hasil diskusi tersebut kemudian disebarkan kepada seluruh pihak yang berkepentingan, baik pengguna hasil penelitian, maupun peneliti yang terkait.

Pemerintah pun harus turun serta di dalam semua proses ini. Selain memberikan hibah bagi penelitian, pemerintah juga bisa mewajibkan seluruh organisasi di masyarakat, tak hanya perguruan tinggi ataupun lembaga pendidikan, untuk memiliki divisi penelitian dan pengembangan (research and development department). Perusahaan-perusahaan yang ada perlu mengalokasikan setidaknya 10 persen dari anggaran mereka untuk mendanai penelitian dan pengembangan. Hanya dengan kerja sama semacam ini, antara lembaga pendidikan-penelitian, pemerintah, dan pelbagai organisasi bisnis yang ada, dunia penelitian ilmiah di Indonesia bisa berkembang.

Lepas dari itu semua, kunci perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia adalah para peneliti dan ilmuwan. Mereka adalah ujung tombak perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Maka motivasi mereka di dalam meneliti haruslah dimurnikan. Mereka harus meneliti dengan sikap kritis pada situasi yang ada, serta upaya tanpa henti untuk meningkatkan martabat manusia yang terkait dengan bidang penelitian mereka. Mereka tidak boleh menjadi pemburu hibah yang pemikirannya dangkal, atau menjadi peneliti pesanan perusahaan-perusahaan bisnis global yang seringkali, tanpa disadari, justru menjadi biang keladi terjadinya penindasan hak-hak asasi manusia, terutama kelas pekerja.

Dimensi Teknis

Hasil utama dari penelitian adalah artikel ilmiah dan produk. Artikel tersebut tidak boleh dilepas begitu saja, melainkan harus terdokumentasi. Institusi pendidikan dan penelitian yang ada haruslah menciptakan semacam bank naskah-naskah ilmiah. Dari bank naskah tersebut, peneliti di masa depan dan para mahasiswa/siswa bisa mendapatkan informasi yang berharga untuk melanjutkan penelitian.

Tentang karya ilmiah pada level yang lebih teknis, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah gaya penulisan yang harus komunikatif dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan. Yang kedua adalah kaidah penelitian yang ketat dan sesuai dengan standar metode penelitian ilmiah yang berlaku internasional, sesuai dengan bidang penelitiannya masing-masing. Di Indonesia para peneliti masih melupakan dua hal dasar ini, sehingga naskah hasil penelitian mereka kurang berkualitas.

Yang ketiga adalah para pengelola jurnal haruslah mulai berani mendaftarkan jurnal-jurnal mereka di situs-situs resmi jurnal, supaya dapat diperoleh oleh siapapun yang membutuhkan, termasuk para peneliti di luar negeri. Seperti kata pepatah lama, the devil is in the details. Artinya kita boleh punya semangat besar untuk meneliti dan menerbitkan naskah penelitian. Namun tanpa perhatian besar pada hal-hal teknis yang terkesan remeh, seperti tiga hal ini, dunia penelitian di Indonesia pun tidak akan berkembang.

Peneliti Militan

Yang kita perlukan sekarang ini adalah jiwa peneliti militan (militant researcher). Bagi mereka penelitian adalah hidup itu sendiri. Penelitian itu nikmat dan berharga pada dirinya sendiri. Entah ada dana atau tidak, ada hibah atau tidak, ada yang memesan atau tidak, ada poin atau tidak, mereka tetap meneliti.. meneliti… meneliti.. tanpa henti.

Prinsip penelitian yang berlaku di negara-negara maju, yakni publish or perish, tidak hanya kata untuk para peneliti militan ini, melainkan menjadi pendoman hidup yang berlaku sehari-hari. Mereka merasa “gatal” jika tidak meneliti dan mempublikasikan karya pemikiran mereka, baik dalam bentuk ilmiah ataupun populer. Hidup mereka terasa hampa, jika tidak meneliti dan menyebarkan karya penelitiannya. Sikap mental semacam inilah yang harus menjadi bagian hidup dari para peneliti dan pendidik di Indonesia.

Untuk para peneliti dan pengajar di perguruan tinggi, penelitian tidak pernah dilepaskan dari pengajaran dan pengabdian pada masyarakat. Dengan kata lain ada hubungan yang tegas dan jelas antara penelitian yang mereka lakukan, pengajaran yang mereka berikan pada mahasiswa, dan pengabdian yang mereka berikan untuk mengembangkan hidup bermasyarakat. Apa yang mereka teliti itulah yang mereka ajarkan di kelas, dan kemudian dibagikan untuk memberi pencerahan kepada masyarakat luas. Inilah yang seharusnya menjadi panggilan hidup para peneliti dan pengajar di perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Di balik semua ini, peran pemerintah amatlah penting. Pemerintah perlu untuk merumuskan berbagai dokumen maupun kebijakan tentang pendidikan dan penelitian yang sesuai dengan filsafat pendidikan yang sejati, dan bukan semata untuk menyesuaikan dengan standar internasional yang seringkali tak ada hubungannya dengan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya di Indonesia hal ini belum terjadi. Banyak kebijakan dan dokumen pemerintah dikeluarkan demi untuk meningkatkan citra Indonesia semata, dan belum menyentuh substansi penelitian dan pendidikan yang sebenarnya, yakni meningkatkan martabat manusia seutuhnya melalui berbagai bidang ilmu yang ada.

Di dalam negara dengan pemerintah semacam itu, para peneliti militan akan terus mengalami kesulitan, karena ia akan selalu merasa berseberangan dengan otoritas pemerintahan yang resmi. Jumlah mereka pun semakin sedikit. Akibatnya dunia penelitian di Indonesia hanya diisi oleh para peneliti pesanan perusahaan dan pemburu hibah. Penelitian pun makin jauh dari upaya untuk meningkatkan martabat manusia seutuhnya.

Padahal komponen penting di dalam jiwa peneliti militan adalah sikap untuk memberi dan membantu dengan cuma-cuma. Dengan kata lain esensi dari jiwa peneliti militan adalah jiwa kerelawanan. Mereka siap berbagi apa yang mereka punya, tanpa biaya, untuk semua orang yang memerlukan. Mereka siap hidup sederhana, supaya banyak orang bisa semakin diberdayakan melalui penelitian yang mereka lakukan. Panggilan luhur semacam inilah yang sekarang amat jarang ditemukan di Indonesia.

Guru dan Pendidikan Nasional

Dunia penelitian ilmiah di Indonesia selalu ada dalam konteks yang lebih luas, yakni konteks pendidikan. Semua krisis yang terjadi di bangsa ini bisa dirunut kembali pada jeleknya model pendidikan yang diterapkan. Namun sebaliknya juga benar, semua upaya untuk mengatasi krisis, dan untuk mewujudkan cita-cita kebaikan bersama, juga selalu dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan sistem dan paradigma pendidikan yang lebih baik. Dan komponen terpenting dalam pendidikan, tidak lain tidak bukan, adalah guru itu sendiri.

Maka kualitas guru haruslah amat diperhatikan. Seleksi guru harus diperketat, sehingga hanya orang yang sungguh-sungguh mencintai pendidikan, memahami filsafat pendidikan, serta memahami cara mengajar dan mendidik yang meningkatkan martabat manusialah yang nantinya bisa menjadi guru. Kesejahteraan hidup mereka pun harus diperhatikan, sehingga mereka bisa hidup layak sebagai manusia yang bermartabat.

Kunci kemajuan dan kehancuran suatu bangsa adalah pendidikan, dan kunci dari pendidikan adalah guru. Maka profesi tersebut harus ditempatkan sebagai profesi yang paling mulia, beserta dengan tuntutan dan hak yang layak diperolehnya. Tuntutan utama seorang guru adalah mencintai murid-muridnya. Tuntutan berikutnya adalah turunan dari rasa cinta itu yang dikawinkan dengan kemampuan mendidik, seperti kreatif mencari bahan untuk membuat siswa/i tertarik untuk mendalami ilmu lebih jauh, dan mampu menilai hasil pembelajaran siswa/i secara bijak, sesuai dengan proses yang berjalan secara manusiawi dalam interaksi antar guru dan siswa/i.

Di Indonesia banyak guru tidak sungguh mencintai dunia pendidikan. Banyak juga guru tidak sungguh mencintai murid-muridnya. Mereka hanya mencari pekerjaan yang waktunya fleksibel, guna mendapatkan uang tambahan per bulannya. Mereka malas mengembangkan bahan ajar, dan menilai proses pembelajaran siswa/i dengan serampangan. Mereka adalah musuh-musuh pendidikan.

Di tangan guru-guru semacam itu, perkembangan pola berpikir siswa/i akan terhambat. Mereka akan melihat belajar sebagai proses yang membosankan, bahkan menyakitkan hati. Rasa penasaran yang alami pada diri manusia lenyap ditindas oleh sikap otoriter guru-guru bodoh dan jahat. Tak heran ketika mereka besar nanti, mereka akan menjadi pejabat yang korup secara moral dan cara berpikir, pelaku bisnis yang rakus dan tak punya kesadaran etis, serta peneliti serta pendidik yang tak punya cinta pada dunia ilmu pengetahuan. Mereka akan melanjutkan “lingkaran setan kejahatan guru” ke generasi berikutnya.

Di dalam pendidikan selalu ada tiga elemen yang selalu terkait, yakni keluarga di rumah, sekolah, dan masyarakat sekitar. Kerja sama yang baik, yang didasarkan pada nilai-nilai pendidikan yang sejati, antara ketiga komponen itulah yang nantinya menghasilkan anak-anak bangsa yang cemerlang dan bijak. Dan sebaliknya ketika kerja sama ketiga elemen itu tidak berjalan baik, maka anak akan menderita, dan situasi itu bisa bermuara ke beragam hal negatif di dalam kehidupan.

Integritas Akademik

Seorang peneliti dan pendidik haruslah memiliki integritas akademik. Dalam arti ini integritas akademik adalah kekuatan diri untuk tahu apa yang penting di dalam dunia pendidikan, dan kemudian melakukannya secara konsisten, lepas dari berbagai perubahan situasi yang terjadi di luar dirinya. Ia tetap akan menjadi peneliti yang militan dan guru yang mencerahkan, walaupun situasi menekan dirinya, dan godaan uang serta kekuasaan mengepungnya.

Namun integritas akademik tidak tumbuh di Indonesia, karena atmosfir penelitian dan pendidikan belum pas. Banyak kebijakan pemerintah terkait pendidikan dan penelitian dibuat tanpa konsep. Banyak guru dan peneliti yang pola kerjanya tidak berkualitas. Proses penilaian pembelajaran siswa maupun mahasiswa pun dibuat tanpa pertimbangan yang bijak.

Salah satu kebijakan yang, menurut saya, perlu dipertimbangkan adalah kebijakan pemberian gelar professor, atau guru besar. Di Indonesia gelar tersebut diberikan, setelah seorang dosen atau peneliti mencapai angka tertentu di dalam karir akademiknya. Biasanya itu terjadi setelah seorang dosen atau peneliti telah mencapai usia yang cukup tua.

Dapat dikatakan bahwa seorang peneliti mencapai gelar professor, setelah ia melewati masa-masa produktifnya sebagai seorang peneliti. Di sisi lain banyak pula dosen dan peneliti muda yang akhirnya meneliti dan mengajar dengan motivasi yang salah, yakni untuk mendapatkan poin tinggi supaya cepat jadi professor, dan lupa akan tujuan utama profesi hidupnya, yakni menjadi pendidik yang mencerahkan, menghasilkan karya-karya penelitian yang bermutu, dan membagikan semuanya itu kepada masyarakat luas. Dimana logika dari kebijakan itu?

Yang seharusnya terjadi adalah gelar professor diberikan, ketika seorang peneliti dan dosen masih berusia muda, punya idealisme, dan amat bersemangat mengerjakan penelitiannya. Dengan gelar professor itu, dosen dan peneliti memiliki kewajiban untuk membentuk komunitas peneliti, memiliki hak untuk mengajukan dan mendapatkan dana penelitian, dan menerima mahasiswa doktoral untuk mengembangkan penelitiannya. Saya rasa jika kebijakan semacam ini diterapkan di Indonesia, penelitian ilmiah akan berkembang, dan hasil-hasil penelitian ilmiah bisa digunakan sungguh untuk membuat kebijakan yang mendorong terciptanya kebaikan bersama di masyarakat.

Esensi Penelitian

Dalam konteks yang lebih luas, pada hemat saya, ada dua esensi penelitian yang tidak pernah boleh terlupakan. Yang pertama penelitian ilmiah harus berangkat dari keprihatinan pada situasi sosial masyarakat. Penelitian ilmiah harus berangkat dari rasa ingin tahu dan motivasi murni untuk memberikan pencerahan bagi kehidupan bersama. Jika ini tak ada, penelitian hanya menjadi formalitas dangkal semata, atau justru melayani kepentingan bisnis-industri yang tak selalu sejalan dengan upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia.

Yang kedua adalah unsur kebaruan dari penelitian tersebut. Artinya penelitian yang dilakukan juga berfokus untuk mempertanyakan atau justru menggoyang anggapan-anggapan lama yang salah, yang sebelumnya ada di dalam bidang keilmuannya. Dalam bahasa Karl Popper, seorang filsuf ilmu pengetahuan, penelitian bertujuan untuk membuktikan salah penelitian sebelumnya, dan, berbarengan dengan itu, berusaha mencari apa yang baru, yang lebih dekat dengan kebenaran. Sekali lagi tanpa dimensi kebaruan di dalam penelitian ilmiah, penelitian hanya menjadi formalitas dangkal semata, dan sama sekali tidak akan meningkatkan martabat manusia, atau malah justru menjerumuskannya.

Untuk itu para peneliti dan ilmuwan harus memiliki jiwa peneliti militan yang siap meneliti untuk memuaskan rasa ingin tahu, membongkar anggapan-anggapan lama yang salah, dan mencoba memberikan pencerahan untuk kehidupan bersama di Indonesia. Di dalam jiwa peneliti militan itu terdapat motivasi luhur untuk berbagi ilmu dan pencerahan, terdapat jiwa kerelawanan yang siap untuk membagi dirinya untuk orang lain secara cuma-cuma. Dan ingatlah bahwa para peneliti dan ilmuwan adalah pilar peradaban yang punya tanggung jawab moral dan kemanusiaan untuk meneruskan kebijaksanaan ke generasi manusia berikutnya. Dan itu –tentunya- adalah tanggung jawab yang amat luhur, namun juga amat berat.***

Tulisan ini diinspirasikan dari diskusi dan pemikiran saya sendiri terkait dengan diadakannya Integritas Summit 2011 pada 3 November 2011 di Prasetiya Mulya Business School, Jakarta, dengan tema “MEMBANGUN HABITUS BARU PENDIDIKAN Memperjuangkan Kualitas Jurnal Ilmiah, Melahirkan Generasi Peneliti Inovatif”. Secara khusus saya berterima kasih pada Komaruddin Hidayat, Doni Koesoma, dan Terry Mart yang pemikiran-pemikirannya memberikan pencerahan pada saya pada seminar tersebut.

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar