Kerajaan Linge (suatu tempat di tengah-tengah Provinsi Aceh) pertama kali dipimpin oleh Adi Genali alias Kik Betol dan memerintah di era Kerajaan Peureulak yang dipimpin oleh Sultan Machdoem Djohan Berdaulat Mahmudsyah (1012-1058 M). Kedua kerajaan ini saling bersahabat. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Peureulak menghadiahkan dua buah pusaka untuk Kik Betol berupa cincin dan sebilah pedang.
Dalam memimpin dan membangun Kerajaan Linge (Buntul Linge) seperti ditulis M.Junus Djamil dalam buku Gajah Putih (1957), Kik Betol selaku Reje Linge I, didampingi seorang Puteri Malaka, seorang perdana menteri bernama Sjech Siradjuddin (chik serule), 14 orang pengasuh dan 16 orang penginang.
Hebatnya, penyelenggaraan roda pemerintahan di Kerajaan Lingga didasarkan pada undang-undang yang dirumuskan pada tahun 1115 M oleh ulama dan pemimpin masyarakat setempat di Istana Reje Linge Umah Pitu Ruang. Undang-undang Kerajaan Linge tersebut terdiri dari 45 pasal menggunakan bahasa Gayo yang ditulis dalam huruf jawi (arab). Selanjutnya, undang-undang itu bernama “45 Pasal Adat Nenggeri Linge” yang butir-butir dan falsafahnya masih digunakan masyarakat dalam kehidupan adat istiadat di Tanoh Gayo sampai kini.
Menurut Mahmud Ibrahim (2003) naskah 45 pasal adat Nenggeri Linge tersebut disimpan oleh Reje Asa yang bergelar Reje Kul (saudara sebapak dengan Raja Lingga XVIII). Naskah tersebut telah disahkan sebagai aturan adat oleh Residen Aceh dan Asisten Residen Aceh Utara tanggal 19 Agustus 1940 –waktu itu, sesuai Keputusan Pemerintah Aceh (pendudukan Belanda) Nomor 47 Tahun 1916, tanggal 8 Januari 1916 bahwa Tanoh Gayo termasuk dalam Afdeling Aceh Utara–.
Undang-undang Kerajaan Linge tersebut penuh dengan kata-kata bijak, misalnya dapat dilihat dalam kata pendahuluan Edet Nenggeri Linge:
“i susun 45 pasal Edet Nenggeri Linge, munatur murip si bueten Sarak Opat, kin penguet ni akhlak munegah buet, menyoki belide remet, melumpeti junger, mubantah hakim, menumpang bele, munyugang edet i engon ku bekase. Abun ni edet, peri berabun, remalan betungket, hakiket berules, seri’et besebu, ukum mungenal, edet mubeda, wajib atas tempat, warus barangkapat. Hakiket turah bertaso, kin tiwangen timangan beret, juel murege, i awah tengku guru ni edet, resie kal wan tape, resie wan ate, ilmu wan ni dede. Oleh empuni edet i Nenggeri Linge ari jemen dahulu kala sawah besilo, tetapi akui urang Gayo.”
Kemudian, dalam pasal 3 Edet Nenggeri Linge mengatur tentang syarat seorang raja yang bunyinya:
Sipetni reje mudasar ku hakim (raja harus bersifat cerdik dan bijaksana)
Adil, kasih, benar urum suci (adil, kasih sayang, benar dan suci)
Murip ikanung edet, mate ikanung bumi (hidup tidak lepas dari nilai dan norma adat sbgmana mati tidak lepas dari tanah)
Murip enggih mumapah, mate gere mupenangisen (ketika hidup tidak merampas, ketika sudah mati tidak disesali)
Murip turah benar, mate suci (hidup harus selalu dalam kebenaran, agar mati suci)
Munyuket enggih rancung munimang gere engik (menakar tidak miring, menimbang tidak berat sebelah)
Seneta due jengkal ike senare opat kal (karena satu hasta pasti dua jengkal, karena sebambu pasti empat patok)
Naskah atau salinan selengkapnya yang mengatur tata kehidupan masyarakat di Tanoh Gayo dapat dibaca dalam buku Syariat dan Adat Istiadat yang ditulis Mahmud Ibrahim (2003). Dengan demikian jelas bahwa Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan modern yang mempunyai aturan hukum. Persoalannya, masih sangat sedikit orang yang berminat menggali bukti-bukti sejarah Kerajaan Linge…..mengapa?
Syukri Muhammad Syukri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar