The Father of Our Founding Fathers, Tan Malaka, pernah mengatakan bahwa Minangkabau adalah masyarakat komunis yang tidak mengenal penjara. Pendapat ini bukan sekedar sindiran Tan Malaka terhadap kaum Bolsevhik Soviet yang pasca revolusi gandrung sekali memenjarakan orang. Suatu hal yang menjadi paradoks dari tujuan komunisme untuk membebaskan masyarakat dari penindasan dan keterasingan. Ucapan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu berangkat dari sebuah pemahaman mendalam tentang sistem sosial di tengah-tengah masyarakat Minangkabau yang peradabannya telah berlangsung dan berkembang selama beberapa abad. Ini bukanlah tesis baru tentang masyarakat Minangkabau karena sejarah telah membuktikan bagaimana surau pernah menjadi tempat pembibitan komunis sebelum kita menakar komunisme dalam tafsir tunggal anti Tuhan. Surau Jembatan Besi yang menjadi episentrum pendidikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang adalah salah satu tempat yang paling aktif sebelum penindasan komunis oleh pemerintah kolonial 1926. Tetapi apakah sejarah komunis di Minangkabau hanya sebatas gelora masa-masa bergerak sebelum exorbinte rechten memberi kebebasan pada pemerintah kolonial untuk membuang setiap kata “tidak” ke neraka Boven Digoel? Ternyata tidak, komunisme di Minangkabau telah tumbuh dan berkembang bahkan sebelum teori itu dicetuskan.
Lewat metodogi materialisme sejarah, Karl Marx menyatakan bahwa yang menentukan perkembangan masyarakat bukanlah kesadaran masyarakat, atau apa yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya. Tetapi keadaan riil masyarakat itu sendiri yang mencerminkan kondisi dan situasi hidup masyarakat. Sejarah terbentuk dari fakta-fakta yang nyata bukan gagasan abstrak yang pada akhirnya menggiring pada kesadaran palsu dimana kelas tertentu dalam masyarakat menggunakannya sebagai dalih untuk menguasai kelas lainnya. Cikal bakal monarki absolut seringkali muncul dari keyakinan palsu bahwa seorang raja adalah perwujudan Sang Pencipta dalam raga manusia. Masyarakat menerima takdirnya sebagai hamba dari penguasa yang ditentukan oleh garis keturunan. Dengan kesadaran yang demikian maka keluarga raja memiliki hak ekslusif untuk menguasai alat-alat produksi yang memberikan keleluasaan kepada mereka untuk terus mengendalikan masyarakat. Ketika kekuasaan semakin bertumbuh muncullah golongan bangsawan dimana para raja mendelegasikan kekuasaan atas alat-alat produksi dan wilayah kepada mereka. Elitisme ini memunculkan budaya feodal.
Sebagaimana kebanyakan kesadaran awal manusia tentang kekuasaan, masyarakat Minangkabau pada awalnya tumbuh dan berkembang dalam budaya monarki yang berakar pada interaksi sosial yang bersifat paternalistik. Dalam tambo adat alam minangkabau dijelaskan, kekuasaan di Minangkabau bersumber dari raja-raja yang diturunkan oleh Sri Maharajo Dirajo. Pada masa itu, raja menjadi sumber kebenaran. Hukum yang tertuang dalam ketentuan simumbang jauah, sigamak-gamak dan silamo-lamo memberikan gambaran kepatuhan kolektif masyarakat kepada penguasa. Pada saat kekuasaan diwariskan kepada Suri Dirajo, Hukum Tarik Baleh berlaku dimana keadilan ditegakkan dengan cara memberikan balasan setimpal untuk setiap tindakan yang dilakukan. Ini juga memberikan gambaran betapa begitu berkuasanya raja yang menyebabkan rakyat menjadi terasing dan tertekan.
Rezim monarki ini kemudian diteruskan oleh putra Suri Dirajo, Datuak Sri Maharajo. Raja ini kemudian menikah dengan putri Indahjaliah dan dikarunia dua orang anak, Sutan Maharajo Basa dan Putri Jamilan. Sayangnya, Datuak Maharajo Basa tidak berumur panjang sehingga sepeninggalnya Putri Indahjaliah menikah lagi dengan Cati Bilang Pandai dan dikarunia seorang anak yang diberi nama Sutan Balun. Lebih dari enam abad sebelum Marx dan Friedrich Engels mencetuskan manifesto komunis Sutan Balun meretas takdirnya sebagai tokoh yang akan melakukan revolusi komunisme di alam Minangkabau. Tentu kita bisa berdebat, apakah dalam tempo sebelum kelahiran manifesto komunis itu semuanya hanya bisa dilabeli dengan sebutan komunisme primitif dan utopis atau jangan-jangan justru inilah komunisme ilmiah yang lahir jauh sebelum komunisme itu menjadi teori reaksi terhadap kapitalisme.
Engels menegaskan bahwa sejarah peradaban manusia adalah sejarah pertentangan kelas di antara kelas-kelas yang berkuasa dalam berbagai tahap perkembangan sosial. Pertentangan kelas hanya mungkin terjadi, menurut Marx, jika didahului oleh kesadaran kelas yang didorong oleh identifikasi diri yang sama dan solidaritas. Marx juga menjelaskan bahwa sumber pertentangan kelas adalah masalah ekonomi. Tetapi Max Weber, walaupun setuju dengan Marx, memberi sedikit koreksi bahwa pertentangan kelas juga bisa bersumber pada prestise dan kekuasaan. Dalam kasus Sutan Balun, ketika dia beranjak dewasa, muncul kesadaran dalam dirinya bahwa sebagai saudara satu ibu sang raja yang sama sekali tidak berkuasa terhadap mahkota raja, posisinya tidak jauh berbeda dengan rakyat kebanyakan. Dia mulai merasakan betapa keputusan-keputusan yang menjadikan raja sebagai daulat kebenaran tidak semuanya memberikan maslahat kepada rakyat. Walaupun terlahir dari rahim yang sama, di atas dunia Sutan Balun menyadari bahwa dia berada dalam kelas yang berbeda dengan sang raja. Untuk beberapa tahun dia membuang diri jauh dari Minangkabau, menjadi eksil untuk menghindari pertentangan.
Konon ketika Sutan Balun kembali, terjadi sebuah peristiwa unik. Anjing miliknya menggigit seorang dubalang raja. Sutan Balun didakwa di depan raja. Tetapi dalam hukum tarik baleh tercantum ketentuan, untuk setiap tindakan kejahatan harus dibalas dengan cara yang sama. Artinya dubalang raja harus balik menggigit anjing tersebut. Sutan Balun punya kesempatan menggugat kebenaran ala Sutan Maharajo Basa dan seolah-olah mengatakan bahwa raja yang senantiasa memutuskan seorang diri tidak bisa selamanya menjadi sumber kebajikan. Sutan Balun mendesakkan sebuah perubahan, ini menimbulkan kesadaran kelas di kalangan rakyat banyak dengan sebuah keyakinan bahwa karena hukum dipakai oleh rakyat banyak maka ketentuan hukum haruslah juga sesuai dengan aspirasi masyarakat banyak. Bibit-bibit demokrasi mulai tumbuh, mereka yang berhimpun dengan Sutan Balun membentuk Partai Bodi Caniago dan oleh pengikutnya diberi gelar, Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Konon dari asal katanya Bodi Caniago berarti, Budi yang curiga suatu sikap skeptis yang senantiasa mencurigai kekuasaan. Sedangkan para pengikut Sutan Maharajo Basa membentuk partai Koto Piliang yang menurut asal katanya berarti Kata Pilihan, suatu frasa yang menggambarkan sikap aristokrat yang penuh kehati-hatian. Oleh kelompok partisannya, Sutan Maharajo Basa diberi gelar Datuak Katumanggungan.
Dalam teori-teori komunisme klasik, -sebelum apa yang disebut komunisme itu muncul lewat sosok monster negara yang menakutkan-, demokrasi menjadi prasyarat penting menuju tahapan masyarakat komunisme yang bebas dari keterasingan, tekanan dan kelangkaan. Demokrasi memberi ruang kepada setiap anggota masyarakat untuk menentukan keputusan ekonomi dan politik. Datuak Parpatiah Nan Sabatang menyadari untuk membebaskan setiap individu dari ketakutan dan ketaatan buta terhadap raja dia harus mampu mendorong identifikasi diri masyarakat dan sikap solidaritas yang bermuara pada kesadaran kelas Bodi Caniago. Dalam pertarungan dialektika antara dua kelompok ini kemudian terbukti Datuak Parpatiah dan Bodi Caniago mampu menyeret Datuak Katumanggungan dan Koto Piliang dalam gelombang perubahan.
Di Balai Sari Nan Tujuah Baleh Ruang, demokrasi lahir di alam Minangkabau yang mungkin tempo waktunya tidak berjarak jauh dengan kelahiran Magna Charta di Inggris. Tujuh belas ruang di balai itu dibagi tiga, Balai Nan Saruang atau satu ruang digunakan sebagai tempat merumuskan undang-undang. Delapan ruang sebelah kanan digunakan sebagai tempat perundingan. Sedangkan delapan ruang sebelah kiri digunakan sebagai tempat rakyat menyampaikan suara mereka. Datuak Parpatiah ditunjuk sebagai ketua formatur perumus undang-undang untuk menggantikan hukum raja yang sebelumnya menjadi daulat kebenaran. Dari permufakatan itu muncullah undang-undang yang didasari oleh semangat partisipasi, emansipasi dan aspirasi bernama Tuah Sakato. Pada hakekatnya Tuah Sakato adalah sebuah revolusi konstitusional yang berhasil diinisiasi oleh Partai Bodi Caniago yang mereduksi kekuasaan aristokrat Koto Piliang. Tuah Sakato menandaskan satu hal penting bahwa hukum tidak lagi bisa ditetapkan oleh raja tetapi oleh orang banyak sebab orang banyak pula lah yang akan memakai hukum itu. Maka Tarik Baleh berganti dengan Alur dan Patut.
Tuah Sakato mengubah Minangkabau dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Partai Bodi Caniago dan Koto Piliang disebut dengan istilah Lareh Nan Duo yang hidup di Luhak Nan Tigo. Dalam Tuah Sakato juga dirumuskan apa yang disebut dengan Adat Nan Dibuhua Mati dan Adat Nan Dibuhua Sintak. Adat nan Dibuhua Mati adalah ketentuan adat yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, sedangkan Adat Nan Dibuhua Sintak adalah ketentuan yang menyesuaikan dengan tempat dan waktu. Ini memberi ruang kepada Datuak Parpatiah bergerak lebih jauh memaksa Datuak Katumanggungan untuk memberikan otonomi seluas-seluasnya kepada setiap Nagari yang ada di Minangkabau. Dalam tambo adat alam minangkabau kita bisa mempelajari, semenjak otonomi yang diberikan itu maka nagari tidak lagi be-raja kepada daulat tetapi be-raja kepada mufakat. Negeri-negeri pada akhirnya tidak lebih dari federasi-federasi yang sekedar mengikatkan diri secara simbolik kepada raja. Revolusi secara singkat menurut Mikhail Bakunin memiliki tujuan; kebebasan bagi semua, untuk individu maupun badan-badan kolektif, asosiasi, komune, propinsi, wilayah dan negara, dan adanya jaminan bersama terhadap kebebasan ini oleh federasi Sehingga Negara, lanjut Bakunin, haruslah tidak lebih dari sebuah federasi propinsi-propinsi yang otonom.
Secara singkat memang Datuak Parpatiah telah berhasil sejauh itu tetapi angan-angannya tentang sebuah masyarakat tanpa kelas dimana negara pada akhirnya tidak lagi diperlukan belumlah tercapai. Syarat mutlak penghapusan kelas, -dan juga negara- adalah penghapusan hak milik pribadi yang sepanjang sejarah peradaban manusia senantiasa membelah masyarakat dalam kelas-kelas dimana satu kelas menguasai kelas lainnya. Kepemilikan individu, sebagaimana kepemilikan manusia primitif terhadap beberapa benda untuk berburu dan meramu, tetap diakui tetapi kepemilikan terhadap sumber-sumber ekonomi penting seperti tanah haruslah dikuasai secara bersama-sama. Marx menegaskan, untuk mencapai penghapusan kepemilikan pribadi itu maka diperlukan sebuah revolusi proletariat. Dimana Marx yakin, revolusi itu akan dimenangkan oleh golongan proletariat. Dalam fase antara kemenangan revolusi dan terbentuknya masyarakat komunis maka diperlukan diktator proletariat yang bersifat sementara untuk secepatnya melakukan perubahan kepemilikan individu terhadap faktor-faktor ekonomi (dan juga politik) menjadi kepemilikan bersama. Sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat komunis idaman Marx, tanpa kelas dan tanpa negara.
Datuak Parpatiah tentu saja menyadari bahwa penguasaan aristokrat Koto Piliang terhadap tanah dan sumber-sumber ekonomi tetap saja menciptakan kelas dalam masyarakat. Bodi Caniago yang kekuatannya telah berhasil mereduksi kekuasaan Datuak Katumanggungan dan aristokrat Koto Piliang seharusnya bisa menggalang sebuah revolusi proletariat (dan hampir pasti mereka menangkan). Tetapi Datuak Parpatiah tidak hidup di dunia Eropa dimana kejahatan tampak begitu nyata disertai wajah bengis manusia Eropa yang menakutkan. Dia hidup dalam alam Minangkabau dimana pertentangan seringkali tersimpan dalam bentuk sindiran. Lagipula semua yang dia cita-citakan telah melewati fase-fasenya secara damai dan demokratis. Datuak Parpatiah tidak mungkin mengobarkan revolusi yang berujung pada pertikaian fisik apalagi pertumpahan darah. Konon di dalam tambo, selama masa eksilnya Datuak Parpatiah merantau hingga negeri Cina. Mungkin disana dia belajar fillosofi politik ala Confusius yang mengatakan bahwa negara tidak lebih dari pengejawantahan kehidupan keluarga, struktur kekuasaan negara hanyalah perluasan bentuk struktur keluarga. Confusius mengatakan bahwa anak adalah subordinat dari orang tua, begitu juga adik kepada kakak, istri kepada suami hingga kedaulatan berada di tangan seorang ayah. Dalam konteks negara istilah ini muncul dengan sebutan bapak bangsa. Budaya aristokrat dalam banyak peradaban dunia berakar dari langgam paternalisme yang mengagungkan kekuasaan laki-laki. Laki-laki lah yang menjadi sumber konflik kelas.
Datuak Parpatiah percaya bahwa keluarga adalah model dasar dari sebuah negara dengan laki-laki sebagai subjek utamanya. Dia berpikir sebaliknya, bagaimana jika perempuan yang menjadi subjek utamanya. Bagaimana jika dalam sebuah keluarga, perempuan menempati posisi tertinggi, mungkinkah konflik kelas bisa diatasi dan kepemilikan individu bisa dihapuskan. Engels mengatakan bahwa rumah tangga komunis (primitif) dicirikan oleh supremasi perempuan di dalam rumah. Hak eksklusif perempuan ini muncul karena sangat sulit bagi anak untuk mengenali orang tua laki-lakinya. Kegagalan semua revolusi komunis di dunia ini bersumber pada pemahaman bahwa yang diubah adalah kekuasaan bukan struktur masyarakat yang berasal dari keluarga. Revolusi komunis tampak seperti komedi berdarah-darah dari badut-badut Eropa yang tidak mengerti bahwa kepemilikan laki-laki terhadap kekuasaanlah yang menjadi sumber konflik sepanjang zaman. Datuak Parpatiah percaya aristokrasi bisa dihancurkan dengan mengembalikan supremasi rumah tangga kepada perempuan. Tetapi untuk melakukan semua rencana itu, dia tetap saja butuh seorang diktator proletariat.
Momentum itu muncul menjelang pertengahan abad ke-14. Adityawarman salah seorang petinggi kerajaan Majapahit yang sempat menjadi perdana menteri, dua kali menjadi utusan ke Cina serta memimpin penyerbuan ke Bali datang dengan balatentaranya. Adityawarman sebenarnya bukan orang yang asing, dia adalah sepupu jauh aristokrat Minangkabau dimana ibunya Dara Jingga berasal dari Darmasraya. Kegaduhan terjadi, tetapi Datuak Parpatiah melihatnya sebagai sebuah peluang untuk revolusi. Sebagai negara tanpa polisi (apalagi tentara) Minangkabau tidak mungkin bisa menggalang milisi untuk menghadapi Majapahit. Maka Datuak Parpatiah mencari jalan tengah yang menguntungkan Adityawarman, juga tidak merugikan Datuak Katumanggungan tetapi yang lebih penting lagi memberi jalan untuk sebuah revolusi. Dia menawarkan Adityawarman mahkota kekuasaan dengan syarat Adityawarman menikahi Putri Jamilan, adik kandung Datuak Katumanggungan sekaligus adik satu ibunya. Bagi Adityawarman yang dibesarkan oleh budaya Jawa, kekuasaan tampak seperti wangsit yang nyata, dia menerimanya. Untuk tidak juga menimbulkan kekecawaan pada Datuak Katumanggungan yang kehilangan mahkota, Datuak Parpatiah menginisiasi revolusi terbesar dalam adat Minangkabau yang disebut dengan Adat Batali Bacambua, “Nan dikatokan adat nan batali cambua, iyolah hubungan mamak dengan bapak, dalam susunan rumah tanggo, sarato dalam korong kampuang. Dek Datuak Parpatiah nan sabatang, didirikan duo kakuasaan, balaku diateh rumah tanggo, iyolah tungganai jo rajonyo, nan korong kampuang barajo mamak, rumah tanggo barajo kali, dirumah gadang batungganai.. Dicambua tali malakek”
Adat Batali Bacambua menegaskan terdapatnya dua kekuasaan di rumah tangga yaitu bapak dan mamak (saudara laki-laki ibu). Dimana bapak tidak lagi mewariskan kekuasaan kepada anak tetapi kepada kemenakan (anak saudara perempuan). Sedangkan suku tidak lagi diwariskan oleh bapak kepada anak tetapi dari ibu kepada anak. Secara politik ini memberikan implikasi Adityawarman tidak lebih dari diktator ploretariat sementara sebelum nantinya digantikan anaknya dengan putri Jamilan (yang notabene kemenakan dari Datuak Katumanggungan). Sehingga seolah-olah si anak nantinya menerima warisan ini bukan dari bapaknya tetapi dari mamaknya Datuak Katumanggungan. Dalam hal kekuasaan, Adat Batali Bacambua, menegaskan Adityawarman tidak pernah menjadi raja Minangkabau. Dia ibarat “abu di atas tunggul” setiap saat bisa ditiup karena sumber kekuasaan sekarang berada di tangan putri Jamilan.
Implikasi lebih luas dari adat batali bacambua adalah supremasi perempuan di atas kekuasaan bapak dan mamak. Perubahan dari patrilineal yang senantiasa menjadi sumber pertentangan kelas sepanjang zaman ke matrilineal. Kepemilikan harta keluarga berada di tangan perempuan dan kemudian dikelola secara bersama-sama. Karena fitrahnya perempuan tidak mampu mengelola harta terutama dalam bentuk tanah sendirian maka kepemilikan individu terhapuskan menjadi kepemilikan kaum, suku atau paruik. Keputusan-keputusan terkait dengan harta bersama yang disebut harato pusako itu ditentukan oleh musyawarah para mamak. Kepemilikan atas nama perempuan dengan keputusan dan pengelolaan secara kolektif ini akan menjamin tidak seorang pun dari anggota masyarakat akan mengalami keterasingan, tekanan dan kelangkaan. Harta pusaka diwariskan kepada anak perempuan untuk kemudian kembali dikelola secara bersama-sama oleh para laki-laki di dalam rumah gadang. Perlahan-lahan kelas sosial terhapuskan dalam masyarakat Minangkabau sehingga feodalisme nyaris tidak dikenal dalam kebudayaan Minangkabau. Peran negara pun semakin surut bahkan nyaris tinggal sebagai mitos yang tidak menimbulkan ketakutan. Sebab pada saat kolektifisme telah menghapuskan kepemilikan individu maka kesetaraan antar manusia terciptakan. Mereka hidup di dalam Nagari-Nagari yang juga otonom dan tidak be-raja kepada daulat manapun kecuali kepada mufakat atau demokrasi. Sebelum pengaruh Aceh dan Belanda kemudian masuk, komunisme di Minangkabau bukanlah sebuah utopia. Dalam pemahaman sempit saya tentang teori-teori komunisme, revolusi komunisme Datuak Parpatiah Nan Sabatang mungkin satu-satunya revolusi komunis di dunia ini yang berhasil menghapuskan kelas dan negara. Kuncinya bukan pada gegap gempita revolusi berdarah ala badut-badut Eropa tetapi mengembalikan supremasi rumah tangga kepada kaum perempuan.
Saya tidak sedang mengagung-agungkan sebuah kebudayaan yang memang sudah terlanjur agung. Tulisan ini hanya refleksi saya terhadap sebuah suku bangsa yang tengah kehilangan identitas, Minangkabau. Yang terjadi di Minangkabau adalah kebalikan dari tesis Marx yang menyatakan komunisme akan mengalahkan kapitalisme. Di Minangkabau saat ini, komunisme (dalam batas-batas pemahaman ilmiah dan primitif yang mungkin sering juga diartikan sebagai komunalisme) terkapar oleh kekuatan kapitalisme. Masyarakat Minangkabau ciut oleh zaman yang tidak siap mereka hadapi. Supremasi perempuan di rumah tangga tergerus oleh peran bapak yang dominan karena semuanya sekarang diukur dengan materi. Para mamak seringkali menjadi pecundang di antara kemenakannya. Tunganai seringkali “bertinju” dengan Rang Sumando untuk harato pusako. Rang Rantau pulang jadi “Pamanggak” dan bukan jadi suri tauladan. Dalam banyak keluarga yang berantakan itu, masa depan Minangkabau tampaknya semakin suram saja. Bila Tan Malaka sekarang masih hidup, tentu suaranya tidak akan lagi nyaring menyatakan bahwa Minangkabau adalah masyarakat komunis tanpa penjara. Minangkabau tengah sekarat.
Rico Hermawan
Tulisan ini berasal dari novelis E.S Ito.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar