Biasanya setiap ke perpustakaan, saya memang sudah menentukan buku apa yang hendak dicari, tapi kali kemarin, saya benar-benar hanya ingin berwisata pikiran. Ketika sabtu kemarin (28/1) membuang kesuntukan dengan mengacak-acak buku di perpustakaan pusat UGM, saya menemukan buku sejarah mengenai Lampung. Dari sekian kali saya membaca mengenai hal ini, baru kali ini saya takjub, karena ternyata Kotaagung, kota kelahiran saya ini merupakan tempat pertama kali sang merah putih dikibarkan di bumi Lampung oleh penjajahan Jepang pada tanggal 24 Agustus 1945.
Sejarah Lampung memang masih penuh misteri karena keterbatasan data dan sumber sejarah yang akurat serta minimnya penggalian sejarah yang dilakukan para ahli sejarah. Ahli sejarah yang minat dan concern dengan Lampung kebanyakan dari luar, karena studi atau jurusan sejarah murni atau arkeologi di Lampung tidak ada, yang ada hanya FKIP sejarah yang outputnya menjadi guru.
Sejarah kuno daerah Lampung terbatas dalam sumber tradisional setempat dan sumber luar berupa babad. Dalam sumber tradisional diceritakan bahwa Lampung pada sekitar 200 tahun sebelum masehi sampai abad ke-4 masehi telah terdapat sebuah kerajaan bernama kerajaan Tumi. Rakyat kerajaan Tumi memeluk agama Budha. Selain kerajaan Tumi, di daerah ini berdiri pula kerajaan Tulangbawang, sebuah kerajaan besar yang daerah kekuasaannya meliputi daera Lampung dan Sumatera Selatan.
Pada abad selanjutnya, kerajaan yang ada di Lampung mengalami kehancuran karena diserang oleh kerajaan Chandra Gupta dari India. Rakyat dan para bangsawan kerajaan banyak yang melarikan diri dengan berlayar melalui sungai Komering dan mendirikan kerajaan baru di Siguntang Mahameru, yaitu Kerajaan Sriwijaya (Raja yang Jaya). Inilah cikal bakal dari kerajaan Sriwijaya yang mendunia, dimana letak kerajaan tersebut tercatat di Sumatera Selatan, namun mereka adalah orang Lampung yang melarikan diri.
Sementara itu, rakyat yang tetap di Lampung dan rakyat yang mengungsi ke Selatan kemudian bersatu mendirikan kerajaan baru. Pada saat itu dikenal adanya 3 orang raja yang taat memeluk agama Budha, yakni Prabu Kekuk Suik yang berkuasa di Lampung bagian Barat, Prabu Sida Sakti yang berkuasa di Lampung bagian Tengah dengan pusatnya di Gunung Rajabasa.
Berita mengenai keberadaan daerah Lampung telah disebutkan dalam babad pakuan atau babad pajajaran, yaitu yang terdapat pada syair ke-1978, 1620-1621 dan 1704. Dalam syair tersebut, diceritakan mengenai pemimpin Nusa Lampung Kidul yang gagah perkasa dan berbadan kebal senjata, yaitu Gajah Manglawu Maspanji Walungan Sari.
Pada saat itu, daerah Lampung merupakan daerah pengaruh agama Budha yang kuat, terbukti dengan diketemukannya 4 buah prasasti yaitu Prasasti Hara Kuning, Prasasti Palas Pasemah, Prasasti Batu Bedil dan prasasti Ulu Belu.
Pada masa penyebaran agama Islam di Indonesia, daerah Lampung masuk dalam pengaruh agama Islam yang disebarkan oleh Syarif Hidayatullah. Masuknya agama islam ke Lampung tidak banyak membawa ketegangan dan permusuhan karena dilakukan dengan cara damai, yaitu melalui persahabatan dan hubungan darah. Syarif Hidayatullah, seorang penyebar agama islam di Cirebon mempunyai 2 orang saudara yang menjadi penguasa di Lampung yaitu Ratu Saksi atau Ratu Daerah Putih dan Ratu Simaringgai.
Hubungan baik antara Lampung dengan Cirebon terus berlanjut pada saat penaklukan daerah Banten. Pada saat itu, Maulana Hasanuddin, putera Syarif Hidayatullah meminta bantuan Ratu Daerah Putih dalam mengislamkan daerah Banten bagian barat dan menaklukkan Raja Banten, Pucuk Umum. Setelah berhasil menaklukkan Banten, sebagian pasukan Lampung ada yang menetap di Lampung. Mereka diberi tanah di daerah Anyer Selatan (Anyer Kidul) yang sekarang dikenal sebagai sebuah enclave suku bangsa Lampung di Banten, yaitu Lampung Cikoneng atau desa Cikoneng.
Peninggalan dari masa Islam di daerah Lampung relative cukup banyak diantaranya beberapa kitab Alquran tulisan tangan dan juz amma yang ditulis pada kulit kayu serta naskah kuno aksara arab dan berbahasa melayu kuno yang masih disimpan oleh beberapa kepala adat di Krui. Di Sukan Lampung Utara dan Bojong Lampung tengah diketemukan naskah Undang-undang pangeran Banten yang berisi tentang hijratun Nabi Muhammad SAW.
Lampung, Tempat Pertama Kali Belanda Mendarat?
Pada masa kejayaan kesultanan Banten, daerah Lampung menjadi kekuasaan Banten yang potensial sebagai penghasil lada dan rempah-rempah lainnya yang diincar Belanda. Pada tanggal 29 Agustus 1602 armada VOC mendarat di Tanjung Tirom (Lampung) tetapi mendapat perlawanan sengit dari rakyat Lampung, sehingga terjadi pertempuran di Brunai, Keteguhan dan Teluk Betung Lampung.
Perlawanan rakyat Lampung melawan VOC Belanda terus berlanjut. Pada tahun 1825, pasukan Belanda dipimpin Lavevre menyerang Lampung untuk menangkap Raden Intan. Usaha ini mengalami kegagalan bahkan Levevre sendiri terbunuh. Perlawanan ini berlangsung dalam tiga periode, yaitu Raden Intan, Raden Imba Kesuma, dan Raden Intan II. Raden Imba Kesuma akhirnya harus menyingkir ke Linggai tapi tertangkap dan diasingkan ke Pulau Timor. Raden Intan II yang menggantikan Raden Imba Kesuma melanjutkan perlawanan hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal karena penghianatan.
Pada waktu yang sama, di bagian Barat Lampung terjadi pula perlawanan terhadap Belanda yang dipimpin oleh Batin Mangunan dari Teluk Semangka Kotaagung (1825-1826). Perlawanan terjadi pula di Lampung Utara yang dipimpin pangeran Indera Kesuma yang akhirnya menyingkir ke Bengkulu yang dikuasai Inggris.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Lampung tidak membuahkan hasil. Akan tetapi, sedikit banyak keberadan Belanda di Lampung tidak pernah bisa tenang karena rakyat Lampung terus melakukan perlawanan secara sporadis. Oleh karena itu, kedudukan residen Belanda berpindah-pindah antara lain di Menggala, Gunung Sugih, dan akhirnya di Teluk Betung.
Pemerintah Belanda di Teluk Betung dipimpin oleh Residen J. Walland, seorang Asisten Residen Bengkulu. J. Walland dipilih sebagai Residen Lampung karena telah berhasil mempelajari hukum adat Sumatera Selatan dan melakukan kodifikasi hukum adat Bengkulu, yaitu Simboer Tjataya Bengkulu.
Pemerintah Belanda di Lampung berakhir dengan datangnya tentara pendudukan Jepang pada tahun 1942. Akhirnya pada 24 Agustus 1945 tentara pendudukan Jepang harus menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah RI yang baru merdeka dengan ditandai upacara penurunan bendera Jepang diganti oleh Sang Merah Putih di Kotaagung.
Demikian sekelumit hasil bacaan saya mengenai sejarah Lampung dari penelitian tentang kebudayaan masyarakat Lampung yang diteliti oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Proyek pemanfaatan Kebudayaan Daerah Jawa Barat tahun 2003 yang ternyata buku ini memang tidak diperjualbelikan dan terbatas pada kalangan tertentu. Semoga bermanfaat.
Yogyakarta, 30-1-2012.
Selvi Diana Meilinda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar