Ada Suku Komodo di Balik Komodo

“Kami bukan orang Manggarai, kami adalah Suku Komodo”. ujar Muchdar, pemuda berumur kisaran seperempat abad, menegaskan hal tersebut di Pulau Komodo ketika ditanya mengenai Suku Komodo. Ia menegaskan perbedaan sukunya dengan suku-suku yang mendiami Flores, Nusa Tenggara Timur, entah itu Manggarai, Flores, Bugis, atau Bima.





Secara fisik, masyarakat Suku Komodo memang berkulit lebih cerah ketimbang masyarakat Flores yang berkulit lebih gelap. Bahasa yang mereka gunakan pun berbeda, baik secara logat hingga perbendaharaan kata. Padahal, secara teritorial, mereka berada dalam satu daerah administrasi yang sama.


Di Desa Komodo, masyarakat Suku Komodo merupakan mayoritas, sedang sisanya adalah peranakan Bugis atau Bima. Penduduk di sini rata-rata berprofesi sebagai nelayan. Sebagian kecil bekerja sebagai pembuat dan penjual suvenir khas pulau Komodo. Ada pula beberapa anak muda yang bekerja di restoran di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.


Hal ihwal mengenai Suku Komodo yang memiliki populasi sekitar dua ribu orang memang luput dari perhatian masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Meskipun belakangan ada hajatan seperti “New 7 Wonders of Nature” yang memasukkan binatang purba komodo (varanus komodoensis) yang ada di sana sebagai nominator, nasib dan kehidupan komunitas tradisi yang mendiami kawasan tersebut jarang terbahaskan.


Asal usul nama Suku Komodo sendiri sebetulnya merujuk pada seorang perempuan. Syahdan, dalam sebuah cerita rakyat (folklore)suku Komodo, ada seorang putri dari dunia mistis yang tinggal di Pulau Komodo. Putri tersebut dipanggil dengan sebutan Putri Naga. Putri itu menikah dengan seorang manusia bernama Majo. Dari pasangan itu, lahirlah sepasang bayi kembar, lelaki dan perempuan.


Bayi lelaki yang berwujud manusia diberi nama Gerong, dan dibesarkan diantara manusia lain. Sedangkan bayi perempuan yang berbentuk komodo diberi nama Orah. Orah dilepaskan dan tumbuh besar di hutan.


Tapi, kedua anak itu sama-sama tak tahu kalau mereka memiliki saudara.



Suatu hari, Gerong sedang berburu rusa di hutan. Ketika akan mengambil rusa buruannya, seekor kadal besar muncul dari semak-semak dan menyantap rusa hasil buruan Gerong. Gerong yang terkejut segera mengambil tombaknya dengan maksud membunuh kadal besar itu.


Tiba-tiba saja sang ibu muncul.


“Jangan membunuh binatang itu. Dia adalah Orah, saudara perempuanmu. Aku melahirkan kalian bersamaan. Anggaplah dia sebagai sesamamu, karena aku melahirkan kalian” kata sang Putri Naga.


Sejak saat itu, manusia Suku Komodo keturunan Gerong hidup rukun dengan para komodo keturunan Orah. Karena itu pula, para penjaga hutan di Taman Nasional Pulau Komodo adalah masyarakat Suku Komodo. Suku Komodo dipercaya bisa berkomunikasi dengan komodo.


Saat ini, cerita rakyat mengenai asal usul Suku Komodo seperti menguap. Kisah-kisahnya seperti berada di titik nadir dalam ingatan masyarakat. “Sampai saat ini masih belum ada yang mendokumentasikan kebudayaan Suku Komodo” ujar Muchdar.


Menurut pria muda ini, kisah-kisah mengenai Suku Komodo sudah hampir punah. Jarang ada yang ingat dengan cerita asal usul tersebut. Untuk mengantisipasi kepunahan, ia pernah mencatat dengan tulisan tangan hampir seluruh cerita rakyat Suku Komodo. Sayangnya, catatan di buku tulis itu sudah hilang dan ia tak pernah menuliskannya lagi.


Ancaman kepunahan kisah mengenai Suku Komodo juga dibenarkan oleh Kasim salah seorang penghuni di Pulau Komodo. Pria berkumis tebal bersuara berat yang tampak bijaksana ini mengatakan bahwa tak ada orang Indonesia yang pernah mendokumentasikan tentang kehidupan dan kebudayaan masyarakat Suku Komodo. Alih-alih orang Indonesia, yang melakukan pendokumentasian tersebut justru beberapa turis dari Amerika Serikat dan Jepang.


Nasib kebudayaan Suku Komodo yang dahulu bagian dari teritori Kerajaan Bima ini juga semakin terbayang ketika anak-anak kecil Suku Komodo sudah mulai jarang menggunakan bahasa ibunya.|


Tidak ada komentar:

Posting Komentar