Apakah Para Ulama Pasti Benar?

Syaikh Ali Hasan ditanya:
Apakah para ulama ma'shum (terjaga dari kesalahan) dalam masalah-masalah besar? Dan bagaimana cara memuliakan para ulama? Kemudian apakah mengikuti ucapan ulama dengan alasan mereka tidak berbuat salah pada masalah besar termasuk taqlid? atau perkaranya kembali kepada dalil dan hujjah, bukan kepada diri ulama itu sendiri?

Jawaban:
Adapun apakah ulama itu ma'shum (terpelihara dari dosa)? Maka ulama tidaklah ma'shum, demikian juga orang yang bodoh...(hadirin tertawa). Sebab saya khawatir si penanya atau mungkin dia bukan menanya, tetapi kemasukan syubhat dari ahli bid'ah. Tapi saya berbaik sangka bahwa dia mengira bahwa bila ulama saja tidak ma'shum, maka selain mereka yang dia taqlidi adalah ma'shum.


Disana (misalnya -red) terdapat sebuah permasalahan yang tidak dibangun berdasarkan nash yang rinci, tetapi dengan nash yang global. Dan dibangun diatas kaidah kemaslahatan dan kerusakan atau kaidah saddudz dzari'ah (berhati-hati terhadap yang dilarang), atau kaidah memilih salah satu dari 2 perkara yang baik dan menghilangkan suatu kejelekan yang paling besar dari 2 kejelekan ummat ini pada permasalah tersebut. Dan pada masalah itu bagi seorang alim -saya tidak mengatakan: Dari ulama yang besar- ada sebuah pendapat. Dan bagi alim yang lain yang tingkatannya berada di bawah tingkatan alim besar tadi juga ada sebuah pendapat yang menentangnya. Maka yang lebih selamat bagi agamamu, lebih bertaqwa kepada Rabbmu dan lebih baik bagi akhir hayatmu adalah: Kamu mengikuti ulama besar yang terbebas dari hawa nafsu dan semangat menggebu-gebu, dari pada engkau mengikuti ucapan yang selainnya yang mungkin karena umurnya yang masih muda yang hal itu terkadang menyebabkan menyimpang dari jalan yang lurus.

Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan Sesungguhnya waktu kosong dan umur yang muda serta perdebatan, memberikan kerusakan yang bahaya sekali bagi seseorang.

Maka ulama besar yang sunnah telah menyatu dengan darah dagingnya, bukanlah seperti yang lainnya yang berada dibawahnya. Jika dia melihat, dia melihat dengan teliti. Jika berfatwa, dia akan memberikan fatwa dengan hati-hati. Jika berbicara, dia berbicara dengan kesabaran dan bila dia memberi, dia akan memberi dengan kepercayaan. Apakah yang lainnya sama dengannya?

Kami tidak mengatakan bahwa ulama besar kita terpelihara dari kesalahan (ma'shum), tetapi kita mengatakan: Kenyataan (realita) yang menyakitkan menunjukkan kepada kita bahwa orang yang berada dibawah tingkatan mereka -saya tidak mengatakan mereka ma'shum- sering terjatuh dalam kesalahan ini dan itu.

Jika demikian perbandingannya, akan kemana kita pergi dan kemana aku dan engkau akan pergi? Tidak diragukan bahwa memilih ucapan ulama yang besar dan mulia, seperti yang saya katakan bahwa sunnah telah menyatu dengan darah daging mereka, lebih baik beribu kali lipat dari pada mengikuti ucapan yang lainnya, yang belum diuji dengan berbagai ujian, belum berumur dan belum menerapkan syariat menurut Al-Qur'an dan Sunnah dengan penerapan yang sempurna, apa lagi memahami dengan pemahaman yang benar dan kokoh.

Adapun memuliakan ulama, sebagaimana yang ditanyakan tadi, tidak dengan sekedar ucapan saja, tetapi memuliakan mereka adalah dengan menghormati mereka yang dibangun dengan mengikuti ucapan atau pendapat mereka.

Adapun jika engkau mengatakan: Demi Allah, saya menghormati dan memuliakan ulama. Saya kemarin bertanya kepada Syaikh bin Bazz tentang wanita yang kedatangan haidh demikian dan demikian. Saya juga bertanya kepada Syaikh Al-Bany tentang hadits Jika engkau melihat seseorang terbiasa datang ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia beriman Lalu beliau mengatakan: hadits ini lemah. Dan saya bertanya kepada Syaikh 'Utsaimin mengenai huruf hatta dan yang berkaitan dengannya. Masya Allah laa haula wa laa quwwata illa billah.

Adapun masalah pengkafiran, jihad, hizbiyyah, dan pemikiran yang wajib ditumbuhkan di kalangan ummat, maka dalam masalah ini saya memiliki ulama yang saya hanya bertanya kepada mereka dan tidak mengambil dari yang lain.

Apakah ini dinamakan memuliakan ulama dan menghormati ulama? Ini adalah merendahkan yang itu tidak dirasakan oleh pelakunya. Dan jika dia merasakannya, maka dia akan membantah dirinya sendiri. Dan dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia menghormati mereka. Padahal dia tidak memuliakan dan menghormati mereka sedikit ataupun banyak.

Sesungguhnya memuliakan yang benar harus dibarengi sikap mengikuti mereka dengan jujur. Adapun berlagak menghormati, tetapi meninggalkan dan mengira telah menghormati, padahal sombong, maka ini bukan sikap menghormati sama sekali.

Tadi dikatakan: Apakah mungkin mengikuti ucapan ulama dengan alasan bahwa mereka tidak mungkin salah dalam masalah-masalah besar disebut taqlid? Kita tidak mengatakan: Mereka tidak mengkin salah, bahkan kita mengatakan mereka mungkin salah. Akan tetapi, selain mereka lebih mungkin lagi berbuat salah atau tidak?

Adapun jika engkau mengikuti ucapan ulama besar, tidak disebut taqlid karena padanya ada kemantapan yang sempurna, karena mereka memiliki ketelitian yang dalam dan fikiran yang cerdas, maka bila mereka berfatwa untukmu, tidak dengan sembarangan.

Adapun selain mereka yang engkau ikuti, maka engkau ketika itu disebut muqallid kepada mereka. Sangat disesalkan engkau ternyata mengikuti ahlut taqlid.

Tadi dikatakan: Atau apakah permasalahannya kembali kepada dalil itu sendiri atau kepada diri pribadi ulama?

Saya katakan: Ini jika ungkapan seperti ini bisa diterima, menurut ilmu mantiq -dan kita bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut- disebut dengan al-mughalathah (saling bertentangan). Apakah perkaranya kembali kepada dalil dan hujjah atau kepada diri-diri pribadi ulama itu?

Yakni kita mengatakan: Kita mengikuti Syaikh Al-Bany karena beratnya 90 kg? dan kita mengikuti Syaikh bin Bazz karena tingginya 175 cm ? dan kita mengikuti ucapan Syaikh Utsaimin karena warna kulitnya kekuning-kuningan, dan jenggotnya putih? Apakah ada seseorang mengatakannya? Jadi... inilah yang disebut dengan mughalathah.

Penanya mengetahui -saya tidak mengatakan penanya, mungkin pemilik syubhat ini-. Pemilik syubhat mengetahui bahwa permasalahannya bukan kembali berdasarkan pribadi ulama, tetapi kembali kapada pemahaman terhadap dalil. Dan pemahaman tentang dalil ini, siapa yang paling berhak melakukannya? Apakah sang alim ini, yang jiwanya selamat dari hawa nafsu, hatinya jauh dari keterikatan dunia, dia tidak mengharapkan kepemimpinan, tidak gila jabatan dan tidak kompromi dengan kelompok yang mengelilinginya, menyanjungnya, mempopulerkannya, dan yang menjadikannya berwibawa. Sedangkan yang lainnya, apa yang mereka lakukan? Selain mereka tidak suka bila engkau berbicara dengan mereka dengan mudah karena mereka menganggap waktunya denganmu adalah sia-sia. Mereka itu adalah para pengamat dan 'penolong' ummat yang hanya mengandalkan pena. Ummat hanya disuruh menunggu tanda tangan di waktu petang. Mereka adalah para pengamat, ahli debat, harakiyyun, para penguasa dan pembesar. Mereka tidak sempat menuntut ilmu, maka bagaimana engkau bisa mengikuti mereka tanpa ilmu?! (sekali lagi) mereka tidak sempat menuntut ilmu, bahkan mereka mencela para ulama, karena mereka kosong dari ilmu. Mereka berkata: Para ulama itu menutup dirinya di dalam perpustakaannya dan tidak tahu apa yang terjadi. Subhanallah. Apakah ini celaan? Para ulama mengatakan Hukum terhadap sesuatu adalah cabang dari gambarannya. Maka mengapa kalian menghukumi demikian? Apakah kaidah yang jelas ini merupakan kaidah para ulama luput dari pandangan para ulama?! Kemudian mereka mengeluarkan hukum dan fatwa dalam keadaan tidak jelas gambarannya?! Jika sampai hal ini (memberi fatwa tanpa tahu keadaanya-red) sampai terjadi, itu dari kalian bukan dari para ulama. Dan ini telah terjadi.

Jika kalian memperhatikan perkara yang paling besar ... Dengarkan dan perhatikan !! (Syaikh berkata sambil mengetuk-ngetuk meja -red) Dengarkan dan perhatikan dengan baik !! Bila kalian memperhatikan perkara yang paling besar yang menimpa umat Islam di beberapa tahun akhir ini, tentu kalian akan melihat bahwa kebenaran berada bersama para ulama yang besar dan menjauh dari selain mereka yang hina, saya tidak mengatakan ulama kecil. Perhatikan !! Akhir sepuluh tahunan apa yang terjadi padanya berupa perkara besar yang menimpa umat. Semua kalian yang mengoreksi pemikirannya dan memperhatikannya dengan pandangannya akan mendapati bahwa kebenaran pada masalah-masalah ini ada bersama para ulama besar.

Adapun selain mereka yang rendah, tidak ada bersama mereka kecuali hanya:
- suara
- perpecahan
- mengumpulkan orang
- memperbanyak jumlah
- mencela
- perkiraan
- ejekan
- dan hinaan

[Diambil dari Dialog dengan Syaikh Ali Hasan di Yogyakarta, Buletin Al-Manhaj, edisi 8/1420 H/1999 M, terbitan Lajnah Khidmatus Sunnah wa Muhaarabatul Bid'ah, Ponpes Ihyaus Sunnah-Degolan-Yogyakarta]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar