Datuk Paduka Berhala dan Turki, Sebuah Mitos

Hingga kini belum ada bukti konkret berdasarkan catatan atau penelitian sejarah yang relevan, yang menyatakan genealogi Datuk Paduka Berhala, suami Putri Selaras Pinang Masak, penguasa Negeri Melayu Jambi, berasal dari Turki, apalagi sebagai anak raja negeri yang besar itu. Tidak ada satu silsilah yang mengurutkan dengan tepat dan dapat dipercaya secara keilmuan (nasab) tentang hirarki Sang Datuk, baik dari garis keturunan ayahnya maupun ibunya dengan raja-raja Islam penguasa daratan Eropa itu. Maka itu, cerita yang menyebutkan Datuk Paduka Berhala berasal dari Turki hanyalah sebuah mitos.



Jika merujuk abad eksistensi Sang Datuk di Nusantara, maka kerajaan Turki abad 15 yang dimaksud dalam mitos asal-usul itu tentulah Turki Usmani. Satu kerajaan besar yang terletak di persilangan dua benua; Asia Kecil dan Eropa. Turki Usmani atau Turki Ottoman pada masa kekuasaan Sultan Sulaiman Al-Qanuni pada abad ke 15 itu acap membuat ciut nyali raja-raja lain di berbagai belahan dunia.



Bagaimana tidak, kerajaan besar itu memiliki punggawa militer darat dan laut yang tangguh, dan disebut-sebut sebagai pasukan yang terbaik di zamannya. Wilayah kekuasaannya membentang mulai dari Asia, Afrika hingga ke Eropa—Armenia, Irak Syria, Hejaz, Yaman, Mesir, Libya, Tunis, Aljazair, Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania—sebelum empirium itu runtuh pada 1923 akibat api revolusi yang dipercikkan Mustafa Kemal ke tubuh aristokrasi Ottoman itu, dan berkeping, hingga menjadi negara republik seperti hari ini.



Sejauh ini, keterangan yang ada dan berhembus kencang di seantero Jambi tentang asal-usul Datuk Paduka Berhala hanya bersumber dari lisan atau foklor yang berkelindan dengan hayal, dan kemudian menjadi mitos. Laiknya mitos, kabar-kabur itu kemudian dipercaya seolah fakta oleh masyarakat luas, dan terus diyakini hingga saat ini. Ironisnya, mitos asal-usul itu pun tetap dipercaya dan diakui, tidak saja oleh masyarakat biasa, tapi juga pemerintah, budayawan, bahkan akademisi dan sejarawan sekalipun di Jambi.



Secara literer, mitos tentang asal-usul itu terdapat pada catatan “Silsilah Raja-Raja Jambi, Undang-undang dan Cerita Rakyat Jambi” yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu oleh Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Rajo Sari Pembesar Kerajaan Yang Dua Belas Bangsa Keturunan Orang Kayo Pingai bin Datuk Paduka Berhala.




Catatan itu kemudian dialihaksarakan oleh tim dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi pada 2006. Namun dalam catatan itu tidak disebutkan siapa nama bapak dan ibu Sang Datuk. Di sana hanya dituliskan bahwa beliau adalah anak raja Turki berasal dari Setambul—Setambul yang dimaksud kemungkinan besar adalah Istambul, salah satu kota terbesar di Turki sekarang. Begitu juga dalam nasab raja-raja Jambi yang dituliskan dalam bab “Pasal Sila-Sila Keturunan Dari Sebelah Turki” yang ditulis oleh Ngebi itu. Di situ hanya disebutkan, “Datuk Paduka Berhala anak Istambul“ (hal: 27). Walau tidak merujuk langsung pada asal-usul Sang Datuk, namun dalam salah satu tulisannya, Dr Maizar Karim menyebutkan bahwa kemungkinan besar sebagian cerita dalam Silsilah Raja-Raja Jambi itu memang berisi hayal dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.



Lantas kemudian, bagaimana mitos itu dipercaya berabad tahun lamanya dan seperti tidak terusik oleh kemapanan ilmu pengetahuan, logika dan tradisi ilmiah yang berkembang pesat seperti hari ini? Dan apa yang dapat dipetik dari mitos yang diciptakan itu?



Nanti dulu. Kita bahas lebih dahulu berbagai versi yang berkembang dalam masyarakat. Sedikitnya terdapat dua versi lagi tentang Sang Datuk. Selain ‘versi Turki’, ada versi yang menyebutkan bahwa Sang Datuk adalah Adityawarman, raja Melayu yang berkuasa di Pagarayung Minangkabau sekitar abad ke 13 M.



Dalam tulisannya, “Siapa Datuk Paduka Berhalo?” di blog //auliatasman.blogspot.com, Profesor Aulia Tasman, Ph. D, Pembantu Rektor IV Universitas Jambi itu menuliskan kesimpulan A. Jaffar pada 1989. Ia menyatakan bahwa Datuk Paduka Berhala adalah Adityawarman. Menurutnya, sebagai seorang Maharajadiraja, patung Adityawarman banyak disembah dan “dipertuhankan” oleh rakyat yang saat itu mayoritas beragama Budha. Oleh kalangan Islam setelahnya, patung Sang Datuk kemudian dianggap sebagai berhala. Nama itu kemudian lekat kepada Adityawarman dan mengalami pergeseran menjadi Datuk Paduka Berhala. Setidaknya begitulah asumsi Profesor Aulia Tasman yang mengiyakan penelitian dan kesimpulan A. Jaffar tersebut.



Versi ini meski menarik dan menawarkan cara pandang yang lain, namun sesungguhnya tidak masuk akal dan jauh sekali panggang dari api. Dalam “Kitab Undang Undang Tanjung Tanah, Naskah Melayu yang Tertua,” 2006, Profesor Uli Kozok Ph. D, menuliskan bahwa Adityawarman wafat sekira tahun 1375-1377. Dan berdasarkan Prasasti Batusangkar yang bertarikh 1375, disebutkan Adityawarman kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Ananggawarman. Kedudukan terakhir kerajaaan Pagaruyung yang dikuasai Adityawarman itu terletak di pedalaman Minangkabau—bagian Barat Pulau Sumatera—dan dia dimakamkan di sekitar wilayah itu.




Secara geografis, letak tersebut cukup jauh dari tanah Jambi. Maka aneh saja rasanya jika kemudian orang-orang Jambi menyebut-nyebut Adityawarman sebagai Datuk Paduka Berhala, sementara dalam prasasti atau cerita rakyat di Minangkabau sendiri tidak dikenal siapa itu Sang Datuk. Apalagi menghubung-hubungkannya sebagai orang yang sama dengan Adityawarman. Dan jika benar Datuk Paduka Berhala adalah Adityawarman, lantas siapa itu Putri Selaras Pinang Masak, dan siapa ayah biologis empat saudara Orang Kayo Hitam, yang disebut-sebut sebagai pendiri Kesultanan Melayu Jambi pada abad ke 15 itu? Dan makam siapa yang terletak di puncak bukit di Pulau Berhala yang dipercaya sebagai makam Sang Datuk oleh masyarakat Jambi itu?

Versi Datuk Paduka Berhala sebagai Adityawarman ini sungguh membingungkan dan sangat jauh dari apa yang kemudian berkembang dalam cerita rakyat di Jambi. Selain tarikh atau tahun yang sangat berjarak—Kesultanan Melayu Jambi muncul sekira abad 15, sementara eksistensi Adityawarman hadir pada abad 13 M—kemungkinan salahkaprah juga sangat besar. Sebab pada saat Adityawarman berkuasa, ia diduga masih memeluk Budha, sementara Islam di pedalaman Sumatera hanyalah agama baru yang tidak begitu populer. Padahal dalam tuturan klasik tentang Melayu Jambi disebutkan, kemungkinan besar Datuk Paduka Berhala-lah yang meng-islamkan masyarakat di tanah Jambi. Dan dalam wikipedia disebutkan, perkembangan kerajaan Melayu di Minangkabau yang bermetamorfosa menjadi Pagaruyung pada abad ke 14 hingga 15, tidak diketahui dengan pasti.



Versi lain tentang Datuk Paduka Berhala saya jumpai di blog http//perubahan7puteri.blogspot.com. Dalam blog pribadi itu si penulis yang memiliki akun blog dengan nama Amir Al Hasani menyebutkan, Datuk Paduka Berhala adalah anak Syeikh Sultan Ariffin Saiyd Ismail bin Sayid Abdul Qodir Al Hasani Al Jilani yang berasal dari Baghdad, Irak. Syeikh Sultan Arifin Saiyid Ismail kemudian kawin dengan anak seorang ulama di Malaka bernama Syarifah Siti Maimunah binti Maulana Ishaq. Dari perkawinan itu lahirlah Sayid Ahmad Tajuddin alias Datuk Paduka Berhala. Beliau sendiri disebutkan lahir di Pasai, Aceh pada tahun 1465. Setelah dewasa dan berumur 20 tahun, Sayid Ahmad Tajjudin dan sepupunya berdakwah ke negeri di Selatan Sumatera.



Sebagaimana diketahui pada 1511 Masehi, Malaka telah dikuasai oleh Portugis melalui peperangan laut. Bola-bola api yang terlontar dari meriam milik Peranggi itu tak mampu diredam oleh pasukan Malaka. Sehingga banyak ulama yang semula menetap di Malaka harus menyingkir ke daerah-daerah lain yang lebih aman. Dalam peperangan tersebut, Sayid Ahmad Tajjudin berperan sebagai seorang panglima dalam pasukan kerajaan Malaka. Beliau bergelar Panglima Alang Daik Hitam. Oleh karena Malaka kalah, Sayid Ahmad Tajjudin juga ikut tersingkir. Bersama seorang sepupunya ia harus eksodus ke suatu daerah di Selat Berhala pada 1513. Dari tempat itu, Sayid Ahmad Tajjudin menyiarkan agama Islam ke pesisir hingga pedalaman, dan kawin dengan Putri Selaras Pinang Masak.



Pada 1521 Masehi, Sultan Demak dengan kekuatan 375 kapal perang kembali menyerang Malaka. Disebutkan, Sayid Ahmad Tajjudin pada saat itu ikut bergabung dengan armada Demak. Ia membawa serta pasukan kerajaan Jambi. Usai berperang, Sayid Ahmad Tajjudin pulang ke Jambi. Saat itu lahirlah anaknya yang diberi nama Sayid Ahmad Khamil atau Orang Kayo Hitam. Dari beberapa kali perkawinan Orang Kayo Hitam, maka lahirlah generasi sultan-sultan Kerajaan Jambi yang berkuasa hingga 1904. Sultan terakhir yang memerintah Kesultanan Jambi adalah Thaha Saifuddin. Beliau akhirnya tumpas oleh taktik licik Belanda, setelah 40 tahun berperang tak kenal damai.



Bagian II




Versi ini, walau tidak dapat dipercaya sepenuhnya, namun cukup menarik dikaji, sebab silsilah dan keterangan yang ditulis oleh Amir Al Hasani itu setidaknya mendekati logika sejarah, dan memiliki korelasi serta keterikatan tahun dan peristiwa yang terjadi di Semenanjung Malaka, termasuk situasi perniagaan yang tengah berubah di kawasan Asia Tenggara pada abad itu.



Dalam berbagai literatur sastra termasuk dalam Novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer, disebutkan dalam serangan pertama dan kedua pasukan gabungan Demak terhadap Malaka yang telah dikuasai Portugis, pasukan Jambi ikut bergabung dalam armada itu. Tidak disebutkan siapa yang memimpin pasukan itu. Namun diduga, pasukan tersebut bergerak di bawah kepemimpinan Datuk Paduka Berhala. Sebab beliaulah yang memiliki ikatan emosional dengan Malaka, dan mempunyai kepentingan terhadap urusan itu, baik dalam soal agama Islam (dakwah) maupun dalam soal kekuasaan.



Atau kalau pun tidak memimpin langsung, namun keterlibatan Jambi dalam perang laut melawan Portugis itu atas prakarsa Sang Datuk. Sebab dalam Islam, sesuai dengan ajaran yang dibawa Datuk Paduka Berhala, berperang menghadapi kaum kafir (Portugis), sama dengan jihad fisabililah. Sementara Sang Putri Pinang Masak sendiri hanya berperan sebagai simbol dan mengatur urusan dalam negeri Kerajaan Jambi saja.



Meski telah melakukan perlawanan, namun pasukan gabungan Demak, Jambi, Aceh, Tuban, Palembang, dan lainnya tidak berhasil mengalahkan dan mengusir Peranggi dari Malaka. Kekalahan ini membuat situasi di Semenanjung dan Pesisir Timur Sumatera tidak aman bagi para prajurit dan orang-orang yang telah melakukan perlawanan kepada Portugis. Demikian juga dengan Kerajaan Jambi dan pasukannya, termasuk Sayid Ahmad Tajjudin. Dalam situasi itu disebutkan, Sayid Ahmad Tajjudin kemudian mengganti identitasnya (namanya) menjadi Datuk Paduka Berhala.



Nama itu sengaja diberikan agar identitas keislaman Sang Datuk tersamar dan agar ia luput dari kejaran para Peranggi maupun telik sandi antek-antek musuh—oleh Sultan Malaka, Islam pada saat itu dijadikan alat ‘pemersatu’ untuk memerangi musuh. Dan Islam merupakan musuh utama bagi orang-orang Portugis yang mengibarkan panji-panji salib di setiap daerah taklukkannya—Alhasil, dalam sejarah yang dituturkan dari mulut ke telinga dan kembali dituturkan dalam cerita rakyat di Jambi, Sang Datuk kemudian selamat dan tak pernah tertangkap oleh musuh, bahkan kemudian disebutkan ia meninggal dunia di Jambi dalam keadaan tua dan sakit. Ia kemudian dimakamkan di sebuah pulau yang kemudian dinamakan Pulau Berhala—pulau yang saat ini menjadi bagian dari Provinsi Jambi di bawah administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur, setelah melewati polemik panjang atas kepemilikan pulau itu dengan Provinsi Kepulauan Riau. (bravo )




Dengan demikian, versi mana yang mengandung kebenaran atas asal-usul itu harus dikaji lebih mendalam lagi. Sejauh ini ketiga versi tersebut telah saya paparkan berdasar uraian tekstual dan kedekatannya dengan logika-logika peristiwa se zaman. Namun kini pertanyaannya, mengapa silsilah Datuk Paduka Berhala dikait-kaitkan dengan Turki Usmani? Apa korelasi dan pengaruh yang diharapkan dari penyebaran mitos itu bagi masyarakat dan raja-raja Jambi?



Beginilah kiranya. Mitos Sang Datuk yang dihembuskan mula sekali oleh entah siapa itu sengaja diciptakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, baik bagi Sang Datuk maupun bagi kerajaan Jambi pada masa itu. Dalam pemahaman umum, mitos raja-raja pada masanya sengaja diciptakan untuk memberikan kesan kepada masyarakat bahwa sang raja adalah keturunan dewa-dewa, misalnya. Seseorang yang memiliki kesaktian dan bukan dari golongan manusia biasa. Katakanlah, raja-raja itu disetarakan dengan dewa-dewa, manusia adikuasa. Hal itu dilakukan untuk melegitimasi kekuasaan raja-raja atas rakyatnya, terlebih kepada musuh-musuhnya.



Dan Turki, sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar pada abad tersebut merupakan kekuatan utama yang mungkin dianggap akan mampu membendung dan mengalahkan Portugis serta musuh-musuh lainnya. Dinasti Ottoman memiliki peralatan dan teknologi milter yang termaju di zamannya. Pada abad 14 Turki telah memiliki teknologi meriam, senjata yang paling ditakuti di perairan maupun di darat—sementara orang-orang Majapahit pada abad yang sama baru mampu membuat cetbang, sejenis meriam yang lebih kecil dengan teknologi sederhana. Mereka menyebut meriam sebagai sihir api. Maka, berlindung di balik nama besar Turki adalah sebuah keniscayaan bagi Jambi pada saat itu.



Berlindung di balik nama besar Turki. Demikianlah kesimpulan dari penciptaan mitos tentang Datuk Paduka Berhala ini. Politik mitos ini boleh dianggap berhasil, sebab dalam berbagai literatur perang di Nusantara tidak sekalipun Jambi diserang atau diganggu oleh Portugis. Namun keterangan ini bisa juga mengarah pada asumsi bahwa Jambi hanyalah kerajaan kecil yang karenanya dianggap tidak akan berpengaruh terhadap kekuasaan Portugis. Selain itu, pada masa yang sama. Peranggi tengah sibuk menghadapi laskar-laskar kerajaan Aceh. Anthony Reid dalam bukunya “Menuju Sejarah Sumatera, Antara Indonesia dan Dunia,” 2010 menyebutkan, selain Aceh, tidak ada satupun kerajaan lain di Sumatera yang berani mengusungkan dan menepuk dada di hadapan Portugis.



Tidak adanya hubungan Datuk Paduka Berhala (Jambi) dengan Turki diperkuat oleh catatan sejarah perlawanan rakyat Jambi terhadap kolonial Belanda. Meski berulang kali Sultan Thaha Syaifudin pada abad 18 menyeru kepada Sultan Turki, namun tidak sekalipun juga orang-orang Turki datang memberikan pertolongan untuk menghadapi Belanda. Alih-alih memberi bantuan senjata ke rakyat Jambi, Turki yang dimitoskan memiliki hubungan kekerabatan dengan sultan-sultan Jambi, malah membantu Aceh dalam perjuangannya menetang kolonial.



Pusaka Kesultanan Jambi yang berbentuk Bintang Turki, yang kini berada di Museum Negeri Jambi hanya merupakan pertanda, bahwa Turki mengakui Kesultanan Jambi sebagai kerajaan Islam, bukan sebagai kerabat atau memiliki hubungan kesetaraan derajat. Benda itu pun tidak pernah sampai langsung ke tangan Sultan Jambi, tapi melalui perantara yang kemudian menjadi hibah Datuk Haji Muhammad bin Haji Abdul Azis yang menetap di Johor Baharu, Malaysia, pada Mei 2002 kepada Jambi.


Demikianlah, legenda asal-usul Datuk Paduka Berhala itu adalah sebuah mitos yang berkelindan dengan peristiwa sejarah. Maka itu sudah saatnya kini sejarah dan mitos itu direkonstruksi ulang. Dipilah dan dipilih. Jangan sampai mitos itu menyesatkan dan menjerumuskan kebenaran pada tubir nihilisme. Tugas sejarawan adalah memilah mana yang menjadi fakta sejarah, sementara budayawan menating kisah rekaan itu menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran bagi masyarakat Jambi ke depannya, utamanya bagi kaum muda. Kaum yang akan menentukan hitam putihnya bangsa dan kebudayaan negeri ini. Kaum yang seharusnya rasional dan progresif. Insyaallah.

Nurul Fahmy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar