Historiografi Sirah Nabawiyah

AHMAD SAHIDIN

PENULISAN sejarah hidup Nabi Muhammad saw yang ditulis sejarawan Muslim kalau dilihat secara teologis terbagi dalam dua: versi Syiah dan versi Sunni.

Apabila kita membaca “Sejarah Hidup Muhammad” karya Muhammad Husein Haekal, “Sirah Nabawiyah” karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury, dan “Muhammad: Nabi untuk Semua” karya Maulana Wahiduddin Khan yang diterbitkan Alvabet Jakarta, biasanya Rasulullah saw digambarkan pernah keliru dan tidak mengetahui bahwa dirinya seorang Nabi.

Begitu pula dengan peristiwa mendapatkan wahyu ditulis bahwa Nabi ketakutan dan lari kemudian berlindung kepada istrinya, Khadijah. Kemudian untuk menegaskan bahwa suaminya itu “waras”, Khadijah mendatangi tokoh agama non Islam. Dari pertemuan itu diketahui bahwa suaminya itu Nabi.

Pada buku sejarah lainnya juga terdapat peristiwa Nabi Muhammad saw ditegur Allah karena tidak menghiraukan orang buta, soal penyerbukan kurma yang malah merugikan petani, atau Nabi berniat menceraikan Aisyah karena kedapatan berduaan dengan Shafwan dalam perjalanan yang tertinggal, Nabi wafat dalam pelukan Aisyah, dan lainnya.

Berbeda dengan buku Sirah Nabawiyah dari kalangan sejarawan Syiah atau Ahlul Bait. Sebut saja nama Ja`far Subhani dengan karyanya “The Message” (terbitan Foreign Departement of Be`that Foundation, 1984) dan Ja`far Murtadha Amili dengan karyanya “Al-Shahih Min Sirat Al-Nabiy Al-A`Zham Saw”.

Dalam kedua buku tersebut, hampir tidak ada peristiwa sejarah yang membuat Nabi Muhammad saw linglung, ketakutan, atau tidak mengetahui kenabiannya. Dalam buku tersebut ditulis bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia bersih dari kesalahan dan sempurna dalam perilaku serta pendapatnya berdasarkan wahyu. Jadi, setiap ucapan dan kehidupannya benar-benar teladan untuk umat Islam.

Lainnya, yang jarang dikemukakan sejarawan Ahlu Sunnah adalah tentang peristiwa pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib setelah pemimpin setelah Rasulullah saw di Ghadir Khum. Ghadir Khum dan kisah pembangkangan sahabat dekat dalam Perang Uhud menjadi kupasan pada buku-buku sejarah versi Syiah. Begitu juga peristiwa wafat Nabi disebutkan bahwa Muhammad saw bersandar pada dada Imam Ali bin Abi Thalib dan sebelumnya Rasulullah saw meminta pena dan kertas untuk sebuah wasiat. Namun, seorang sahabat menyebut Nabi sedang meracau sehingga tidak dipenuhi.

Babak sejarah Islam

Dalam pembabakan sejarah pun berbeda. Dalam pembabakan sejarah Islam versi Sunni modern biasanya yang disusun sejarah Islam dimulai dari Nabi Muhammad kemudian periode khulafa rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Imam Ali bin Abi Thalib), daulah-daulah Islamiyah beserta kemajuan umat Islam dalam peradaban dan kebudayaan Islam, dan gerakan pembaruan yang dipelopori tokoh Islam modern seperti Muhammad Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Jinnah, Muhammad Iqbal, dan perubahan-perubahan yang terjadi di negeri mayoritas umat Islam seperti Turki, Indonesia, Iran, Mesir, Arab Saudi, Pakistan, dan lainnya. Singkatnya, babak sejarah yang disusun versi sejarawan Sunni meliputi masa klasik, pertengahan, dan modern. Kalau dilacak lagi pembabakan ini lebih mirip bangunan sejarah yang dibangun oleh sejarawan-sejarawan Barat, misalnya Marshal GS Hodgson.

Sementara dalam versi Syiah, setelah Nabi Muhammad saw dilanjutkan para Imam Ahlul Bait dimulai dari Imam Ali kemudian Imam Hasan dan Imam Husain terus sampai periode gaibnya Imam Mahdi Al-Muntazhar pada 230 H./875 M, yang sezaman dengan masa berkuasanya Daulah Abbasiyah. Kemudian periode marjaiyah, yaitu masa wewenang agama dipegang para ulama terpilih yang berlangsung hingga muncul Imam Mahdi. Babak sejarah versi Syiah ini saya kira lebih bernuansa teologis karena disesuaikan dengan hadis yang menyebutkan khalifah yang melanjutkan risalah dan syiar Islam dari keturunan Rasulullah saw.

Ahmad Sahidin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar