Peran Umat Kristen dan Umat Islam pada Pembentukan Negara Kesatuan di Indonesia

13264983251029865172


Kristen dan Islam merupakan agama pendatang; keduanya berasal dari wilayah yang agak13267188351272300513berdekatan di Timur Tengah, kemudian, mereka meluas sampai di Asia Tenggara. Catatan Sejarah menunjukan bahwa kedua agama itu dibawa ke Asia Tenggara (termasuk Nusantara), amat berlainan, meskipun masa sejarah hampir bersamaan. (Lucunya, para sejarahwan kedua agama tersebut, saling mengklaim bahwa salah satu dari mereka yang lebih dulu masuk dari yang lain -ajp-).

Agama Kristen mula-mula diperkenalkan di Nusantara, (jauh sebelum diperkenalkan oleh orang Nestorian pada abad ke-10) sejak abad IV di Pancur - Pantai Barat Sumatera Utara, namun tidak begitu berkembang. Kemudian, melalui para pastor Katolik, yang tentu tidak dapat berbaur dengan masyarakat melalui pernikahan. Kemudian orang Portugis muncul di wilayah Asia Tenggara dengan merebut kota dan pelabuhan Malaka (1511), mengusir sultan Mahmud dari situ dan menetap dengan para bangsawan pribumi. Mereka pun tidak berbaur dengan masyarakat setempat sambil mendirikan kerajaan pribumi (campuran), melainkan mereka tetap menganggap diri sebagai utusan dan wakil raja mereka yang tinggal jauh di seberang laut, di tanah air mereka. Pola pemerintahan yang mirip diikuti orang Spanyol yang datang melalui samudera Pasifik ke Filipina. Sedangkan para utusan kongsi perdagangan Protestan, seperti orang Inggris dan Belanda, mula-mula menghadirkan diri melalui perjanjian-perjanjian dengan penguasa setempat. Mereka sama sekali tidak mau berhubungan langsung dengan rakyat dan menganggap dirinya sebagai bawahan setia raja-raja mereka.


Harus diakui bahwa, ketika Kristen (Katolik) masuk ke Nusantara, pada era setelah kejatuhan Malaka, khususnya di Jawa, Islam telah berkembang dan berbaur dengan masyarakat. Di Jawa telah ada kerajaan-kerajaan Islam (ini hanya sebutan karena Raja dan rakyatanya beragama Islam), bukan dalam arti model Kerajaan Islam seperti Turki (pada masa lalu) apalagi kerajaan Islam model khilafah mini; sangat berbeda jauh.



Baik di kalangan orang Portugis, di mana para pengajar agama Kristen merupakan pastor atau imam yang tidak boleh menikah, di kalangan manapun di mana para pemimpin kongsi perdagangan melarang kaum pendeta untuk mendekati rakyat pribumi setempat, hampir sama sekali tidak terjadi pembauran dengan pribumi. Mereka menganggap diri sebagai orang asing, dan raja yang mereka akui adalah rajanya di Barat, dan bukan raja yang duduk di istana kesultanan atau kerajaan setempat. Bagi mereka, orang pribumi yang memeluk agama Kristen malah dianggap sebagai bawahan raja Barat.


13264984571240974730Keadaaan tersebut sering menimbulkan konflik loyalitas (kesetiaan) dalam hati orang Kristen. Sebab, seseorang yang memeluk agama Islam, ia diterima sebagai rakyat baru. Sedangkan orang Kristen malah terisolasi. Oleh orang Barat, mereka tidak diterima sepenuhnya sebagai saudara seiman, dan malah dinyatakan sebagai rakyat dari seorang raja yang mereka tidak kenal, yang hanya berkuasa melalui prajurit dan pedagang yang sewaktu-waktu dapat diusir oleh sultan atau raja setempat. Dalam keadaan ini, orang Kristen pribumi sering dipandang sebagai simpatisan dari musuh penguasa pribumi. Dengan sendirinya sultan (yang Islam) mengambil sikap yang berbeda terhadap bawahannya yang beragama Kristen, dan sering kesetiaan mereka selalu dicurigai.


Kecurigaan inilah yang menandai awal sejarah kekristenan di beberapa tempat di Nusantara. Peristiwa yang paling gawat terjadi di Halmahera setelah orang Portugis membunuh sultan Ternate tahun 1570, dan anaknya melancarkan serangan balasan terhadap orang Portugis dan orang Kristen di wilayah kekuasaannya.


Pengalaman ini, dari permulaan sejarah dua agama itu di Nusantara, rasanya belum bisa dilepaskan dari ingatan dan kesadaran. Tetap dirasakan, bahwa agama Islam jauh lebih mudah dapat diterima sebagai suatu agama yang lebih dekat pada kesadaran orang Asia Tenggara daripada agama Kristen.


Jika umat Islam berhasil membentuk beberapa bangsa pribumi di bawah seorang sultan pribumi pula, maka orang Kristen cukup lama tidak berhasil untuk bertanding dengan orang Islam dalam soal pemribumian seperti disinggung tadi. Mereka sangat sulit mengakui sultan Islam setempat sebagai atasan mereka yang utama, sedangkan penguasa kolonial di kemudian hari, khususnya pada abad ke-19, juga tidak sepenuhnya dapat diakui seperti dinyatakan oleh Pattimura di Ambon dan beberapa pimpinan rakyat Kristen yang lain.


Di kalangan suku Batak umpamanya, raja Sisingamangaradja tidak mau tampil sebagai seorang raja Kristen, paling sedikit tidak secara resmi, karena alasan-alasan tertentu, meskipun ia tidak mau mengaku diri sebagai orang Islam. Pendek kata, merupakan masalah yang cukup rumit bagi orang Kristen, bahwa sepanjang sejarah kolonial, hampir tidak muncul raja-raja Kristen yang bisa mengoreksi gambaran yang umum, atau bisa menambahkan suatu aspek yang lain, di mana seorang penguasa Kristen pribumi memperjuangkan kepentingan-kepentingan orang pribumi terhadap penjajah yang rajanya bertakhta di seberang laut, di mana ia pun mempunyai bangsanya.


Konflik antara sultan-sultan Islam pribumi dan penguasa penjajah asing memang sering terjadi. Konflik antar dua pola kekuasaan itu tidak bisa dilihat lepas dari dampak agama, seolah-olah Islam mewakili kepentingan pribumi, dan Kristen berpihak pada kepentingan asing, atau mereka paling-paling tinggal terjepit di antara dua barisan itu.



Kesan ini tetap bertahan ketika beberapa di antara sultan tradisional ditantang oleh kaum elit Islam baru yang mulai berkembang di kalangan bangsawan rendah atau pedagang/ulama. Bahwa beberapa dari sultan itu mencari perlindungan pada penguasa kolonial telah mengalami jalan keruntuhan kekuasaan mereka, (bandingkan umpamanya dengan sejarah “Perang Paderi” di Sumatra Barat abad yang lalu, masalah di Kraton Yogyakarta, dan lain-lain). Pertentangan terhadap kaum penjajah semakin dikalimatkan sebagai pertentangan terhadap agama yang dipeluk penjajah, yakni agama Kristen.


Namun, pada awal abad ini terjadi suatu perubahan. Jika melihat situasi di Malaya13263798661529244861pada waktu itu, maka gerakan kemerdekaan yang masih lemah dipelopori oleh keluarga raja-raja, yakni bangsawan yang pernah memperoleh pendidikan Barat. Dengan demikian, suatu gerakan kebangsaan semua orang Melayu tak dapat berkembang, karena masing-masing tetap mempertahankan paham kebangsaannya yang tradisional, yang melihat bangsa dalam persatuannya dengan sultannya; mengingat bahwa di Semenanjung tetap ada sembilan kerajaan (kesultanan).



Di Indonesia, dengan sudah dilemahkannya kedudukan para sultan dan raja (Islam), maka paham bangsa telah siap untuk diberikan arti yang baru. Para pelopor gerakan kebangsaan mulai melepaskan diri dari konotasi feodal; sehingga sebagai gerakan dari bawah melawan yang di atas.


Hal itu sebenarnya sudah menjadi nampak -paling sedikit jika dilihat dari belakang, meskipun pada masanya sendiri mungkin belum jelas- sekitar pendirian Serikat Dagang Islam (SDI, 1905), pelopor dari (Partai) Serikat Islam (Indonesia) yang kemudian menjadi gerakan nasionalisme Indonesia yang paling giat (sejak 1912); , SDI tidak hanya menentang pedagang Batik Cina di Solo, melainkan juga Sri Susuhunan yang mendukung pedagang Cina.


H.O.S Tjokroaminoto sendiri, ketua SI yang cukup lama (1912-1934) senantiasa menolak pengharapan bahwa gerakan nasional akan menghasilkan seorang “ratu adil”; yang diserukannya adalah pendirian “ratuning adil” yang dibentuk oleh rakyat.


Dalam Serikat Islam, “Islam” memang muncul sebagai lambang; tidak muncul semata-mata sebagai lambang agama Islam, melainkan sebagai lambang perlawanan pribumi yang bertentangan dengan kebelandaan. SI pada permulaannya tidak hanya menerima anggota yang beragama Islam, tetapi juga dari golongan-golongan yang mempunyai orientasi ideologis yang lain. Dengan demikian, gerakan nasional (kebangsaan) mulai dari bawah, dari rakyat. Mereka berkumpul di bawah bendera Islam, namun terbuka juga bagi para nasionalis (yang anti-Belanda) yang lain. Baru setelah Partai Serikat Islam menjadi lebih sempit, sesudah 1921, organisasi kebangsaan yang lain mulai muncul sendirian.



Namun dengan titik tolak itu, gerakan kebangsaan pada akhirnya dapat berpuncak dalam Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928, di mana, dengan “Sumpah Pemuda”, semboyan gerakan nasional dapat dicetuskan: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.


Dalam Sumpah Pemuda soal agama tidak disebut. Yang ditonjolkan adalah hal-hal yang menyatukan bangsa itu, lepas dari soal hubungan salah satu bangsa dengan penguasa lokal atau regional. Karena ada satu penguasa yang mengatasi semua (yaitu penguasa kolonial), maka bangsa dibawahnya harus juga melihat diri sebagai suatu kesatuan, sebagai satu bangsa.


Namun, bangsa ini sekarang tidak lagi bersatu dalam kesetiaannya terhadap penguasa, melainkan ia telah bertekad dengan menggantikannya dan mengambil kekuasaannya dalam tangannya sendiri. Jadi logislah, bahwa bentuk negara merdeka yang dicitakan itu mengambil bentuk republik, bukan kerajaan.


Paham kesatuan bangsa ini kemudian mengalami gerakan nasional sebagai dasarnya, dan ia muncul kembali dalam Mukadimah UUD 45, yang pada waktu itu dipahami sebagai UUD sementara, di mana pengalaman masa lampau dirumuskan menjadi dasar untuk menentukan masa depan. Yang ditegaskan di situ adalah, bahwa bukan pemimpin-pemimpin Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya, tetapi bangsa itu sendiri. Menurut Olaf Schumann, pengungkapan itu sangat mendalam artinya yang senantiasa harus digali kembali. Sebab, perkataan itu tidak saja tertuju terhadap pemimpin-pemimpin kekuasaan, sultan-sultan dan sebagainya, melainkan juga terhadap pemimpin-pemimpin keagamaan.


Jadi, ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, mereka memproklamirkannya bersama-sama, dengan tidak melihat keterikatan keagamaan, ras atau kedudukan sosial. Orang Cina yang ikut aktif dalam gerakan kebangsaan Indonesia dimasukkan. Titik yang membedakan ialah apakah seseorang ikut dan mendukung dalam tujuan kebangsaan itu atau tidak.


Semua bangsa yang mendukungnya telah bersatu dalam kemerdekaan itu, sehingga persatuan itu sebenarnya tidak perlu diwujudkan, melainkan tinggal menghayatinya. Inilah yang tertuang dalam Pancasila, yang menjadi pegangan untuk Negara yang kemudian hendak dibangun atas dasar itu ialah hal-hal yang dipegang bersama, bukan hal-hal yang tidak dipegang bersama.


Fungsi Pancasila ialah membimbing dan mengarahkan bangsa yang diproklamirkan kemerdekaannya dalam usaha bersama membangun negara merdeka yang mereka perjuangkan bersama, dan tiap-tiap sila turut memikul program kerja itu.



Proklamator kemerdekaan, Bung Karno, keadilan sosial merupakan suatu tugas yang utama, meskipun teramat besar yang menuntut suatu penyelsaian. Oleh sebab itu, menurut Bung Karno, penanggulangan masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah ukuran apakah suatu politik di Indonesia merupakan politik Indonesia atau tidak. Sila yang mula-mula ditempatkan sebagai sila yang pertama, yaitu kesatuan bangsa, yang dijiwai dan diisi oleh sila keadilan sosial. Sila itu hanya dapat diwujudkan sebagai kenyataan yang mantap bilamana keadilan sosial sudah menjadi kenyataan pula.


Mewujudkan keadilan sosial bukan hanya merupakan tugas tidak golongan agama-agama atau golongan tertentu saja. Tidak ada keadilan sosial yang khusus bagi kaum Muslimin, dan pula tidak ada yang khusus untuk kaum Kristen Protestan dan Katolik, Hindu atau Budhis. Keadilan sosial adalah masalah semua dan berlaku untuk semua bersama.


Jika ada yang lapar atau tertindas, maka tidak ada perasaan lapar Islam, Kristen atau lainnya. Perasaan semua orang yang terkena adalah sama. Pada waktu itu, di mana perwujudan keadilan sosial merupakan masalah yang amat rumit, maka ia sering dilihat sebagai langkah pertama yang harus dibereskan setelah kemerdekaan akan tercapai, sebagai tugas utama bersama.








Abbah Jappy Pellokila, Tulisan di atas merupakan ringkasan serta refleksi terhadap pemikiran (guru sekaligus pembimbing Study Islam ku) Prof. Dr. Olaf Schumann. Lahir 1938. Studi Teologi dan Islamologi di Kiel, Tübingen, Basel dan Kairo. 1966-68 Guru Bahasa Jerman untuk DAAD di Universitas Assiut (Mesir); 1970-1981 Balitbang PGI, Jakarta. 1981-2005 Profesor di Universitas Hamburg. 1989-1992 Dosen STT Jakarta. Dosen tamu di berbagai Universitas dan STT di Indonesia dan di Sabah Theological Seminary di Kota Kinabalu, Malaysia



Abbah Jappy Pellokila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar