Meutia, “Perlawanan Hingga Tetesan Darah Penghabisan”



Ada sebuah Pameo yang mengatakan bahwa,"Wanita sebagai insan lemah dan harus selalu dilindungi" tidak selamanya benar. Itu dibuktikan oleh Cut Nyak Meutia, Pahlawan wanita Aceh ini, terus berjuang melawan Belanda hingga tetes darah penghabisan diterjang tiga peluru bersarang di tubuhnya.


Perjuangan wanita dan kancah peperangan telah memberi warna tersendiri dalam sejarah perjuangan Aceh. Sederetan nama muncul seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren dan pejuang wanita lainya. Peran mereka sangat besar, tak pernah ada rasa takut gentar mendampingi suami ke medan perang, meskipun melintasi hutan yang penuh marabahaya di dalam hutan belantara terkadang mereka harus menahan lapar dan dahaga namun semangat mereka tidak pernah sirna dalam membela tanah air dan agama.
...Wanita Aceh gagah berani adalah penjelmaan rasa dendam terhadap Kolonial Belanda yang tak ada taranya sertatidak mengenal damai. Jika ia turut bertempur maka tugas itu dilaksanakandengan suatu energi yang tak kenal maut dan mengalahkan prianya... (H.C.Zentgraaff, 1983: 78).
Tulisan tentang perjuangan Cut Meutia disajikan secara lengkap perjuangannya agar para generasi muda khususnya dan masyarakat umum untuk membacanya. Sikap patriotis yang dimiliki Cut Meutia patut diteladani serta terus menerus ditumbuhkan dalam diri generasi muda dan masyarakat sehingga sikap bela bangsa dan negara dapat terbina dalam rangka untuk mengisi pembangunan yang sedang terlaksana.



Latar Belakang Kehidupan Meutia


Cut Meutia di lahirkan pada tahun 1870, anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikaruniai 5 oranganak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim, Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe.



Pemberian nama yang indah pada dirinya dengan Meutia (berarti mutiara) bukan saja karena paras wajahnya yang cantik, tetapi bentuk tubuh yang indah menyertainya. Pengakuan keindahan rupa dan tubuhnya tidak luput dari perhatian seorang penulis Belanda yang mengungkapkan :
"...Cut Meutia bukan saja amat cantik tetapi iapun memiliki tubuh yang Semampai dan menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan siluewue (celana) sutera berwarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut)dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar benar seorang bidadari ." (H.C. Zentgraaff, 1983: 151).
Sebagaimana kebiasaan rakyat Aceh, maka sejak kecil Meutia telah diberikan pendidikan agama Islam, terutama pendidkan yang mengajarkan tentang kebesaran Islam yaitu sikap benci terhadap kemungkaran dan penindasan dan tidak merasa senang terhadap siapa saja yang mengganggu agama Islam dan bangsanya. Bagi mereka mati membela agama syahid hukumnya yang pahalanya adalah mendapat syurga di akhirat kelak.


Sampai dengan masa dewasanya, ia ditunangkan dan dikawinkan oleh orangtuanya dengan Teuku Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku Chik Bintara, namunla mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Pertentangan-Pertentangan pendirian yang semakin hari semakin terasa membuat Cut Meutia merasa tidak layak lagi hidup berdampingan dengan Teuku Chik Bintara.



Akhirnya perkawinan mereka tidak bertahan lama ia bercerai dan kemudian menikah dengan adik Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Ialah sesungguhnya pria yang sangat dicintainya.


Perjuangan Cut Meutia bersama Teuku Chik Tunong


Awal pergerakannya di mulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang) di bawah komando perang Teuku Chik Muhammad atau Teuku Chik Tunong (suaminya sendiri), Cut Meutia berjuang bahu-membahu dengan suami dan para pejuang lainnya. Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai pengatur strategi pertempuran sehingga taktiknya tersebut dapat memporak-porandakan pertahanan pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan merampas senjata serta amunisi mereka yang akan digunakan untuk memperkuat persenjataan pejuang muslimin.



Taktik Spionase dilakukan oleh para spion dari pasukan pejuang yang menyama sebagai penduduk (ureung gampong) disebarluaskan di pelosok-pelosok negeri, dengan keluguannya para spion selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah serta lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera diketahui. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1901-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.


Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.


Sudah banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.


Pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan muslimin untuk mencegat pasukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang mengintai dan sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslimin dapat merebut 42 pucuk senapan.



Gerakan sabotase-sabotase dijalan yang dilalui kereta api, penghancuran hubungan telepon sehingga jalur perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda antara bivak-bivak seperti di Lhoksukon dengan pertahanan di Kota Lhokseumawe menjadi sering terputus dan terganggu.


Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia adalah sebagai akibat dariperistiwa di Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon (tepatnya tanggal 26 Januari1905). Peristiwa tersebut diawali dengan terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah Meurandeh Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang sangat besar dan berat bagi pemerintah Belanda. Didalam penyelidikannya serta berdasarkan informasi yang diterima dan mata-mata Belanda bahwa Teuku Chik Tunong turut terlibat hal ini merupakan fitnah semata oleh karena itu pemerintah Belanda menangkapnya dan di dalam peradilan Militer di Lhokseumawe di putuskan Teuku Chik Tunong Mendapat hukuman gantung dan akhirnya berubah menjadi hukuman tembak mati.


Pelaksanaan hukuman tembak mati dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe dan dimakamkan di Masjid Mon Geudong, tidak jauh dan kota Lhokseumawe. Sebelum hukuman tembak dilaksanakan ia dapat bertemu dengan salah seorang staf setia dalam perjuangan, yaitu Pang Nanggroe. Seorang panglima muslimin yang juga teman yang paling dekat dan dipercaya, kata terakhir yang diucapkan kepada Pang Nanggroe adalah ;
"...Sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau dan teruskanlah perjuangan." (lsmailYakub, 1979: 49).



Perjuangan Cut Meutia bersama Pang Nanggroe


Berselang beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah dengan Pang Nanggroe, pria yang ditunjuk dan diamanahkan suaminya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang Nanggroe adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong. Bersama suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Belanda.


Penyerangan yang dilakukan oleh Pang Nanggroe - Cut Meutia dimulai dan hulu Krueng Jambo Aye suatu tempat pertahanan yang sangat strategis karena daerahtersebut merupakan daerah hutan liar yang banyak tempat tempat persembunyian pasukan Pang Nanggroe - Cut Meutia sering melakukan penyerangan ke tangsi-tangsi danbivak pasukan Belanda dimana banyak terdapat para pejuang muslimin yang ditahan sekaligus membebaskan mereka dengan demikian penyerangan-penyerangan itumembuat pasukan Belanda marah dan gusar.



Pada tanggal 6 Mei 1907 pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia melakukan penyerbuan secara gerak cepat terhadap bivak-bivak yang mengawal para pekerja keretaapi. Dan hasil beberapa orang serdadu Belanda tewas dan luka-luka bersama itu pula dapat direbut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru serta amunisi (H.C. Zentgraaff,1983:160); Muhammad Said; 1983:269.


Pada tanggal 15 Juni 1907 pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia menggempurkembali sebuah bivak di Keude Bawang (Idi), pasukan Belanda mengalami kekalahan dengan tewasnya seorang anggota pasukan 8 orang luka-luka dan kehilangan 1 pucuk senjata (H.C. Zentgraaff, 1983: 160).


Pertengahan 1910 di rawa-rawa Jambo Aye, terjadi lagi bentrokan danpertempuran senjata yang sengit, pasukan muslimin melakukan taktik serang dan mundur. Pasukan terus bepindah-pindah sampai ke daerah Peutoe, menyebabkan pasukan Belanda sulit untuk melacak posisi pasukan muslimin. Penyerangan pasukan yang sedang penasaran terus dilakukan dan pada tanggal 30 Juli 1910 terjadi bentrokan senjata di daerah Bukit Hague dan Paya Surien.



Selanjutnya pada bulan Agustus 1910 terjadi lagi penyerbuan pasukan Belanda di Matang Raya, dalam bentrokan senjata ini, banyak pejuang muslim teman setia Pang Nanggroe-Cut Meutia dan seorang ulama syahid, sedangkan Pang Nanggroe-Cut Meutia, anaknya Teuku Raja Sabi, dan beberapa pejuang muslimin selamat dan dapat menghindari diri dari kepungan Pasukan Belanda.


Hari kelabu akhirnya datang juga bagi Pang Nanggroe, yaitu pada tanggal 25 September 1910 di daerah Rawa dekat Paya Cicem, tepatnya di Buket Hague terjadi penyergapan dan pertempuran dahsyat, pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia mengalami pukulan hebat atas penyerangan yang dilakukan dengan gencar oleh pihak Belanda. Pada pertempuran inilah Pang Nanggroe syahid karena terkena tembakan peluru Belanda sedangkan Cut Meutia dan beberapa pejuang muslimin dapat melepaskan diri dari kepungan serta anaknya Teuku Raja Sabi juga dapat diselamatkan. Jenazah Pang Nanggroe dimakamkan di samping Masjid Lhoksukon. Sebelum meninggal dalam keadaan berlumuran darah Pang Nanggroe memanggil Teuku Raja Sabi yang berada disampingnya seraya berkata ;
"Ambillah rencong yang berada di pinggangku serta pengikat kepalaku larilah cepat-cepat mencari ibumu (Cut Meutia), sampaikanlah salam perjuanganku dan teruskanlah perang Sabil, semoga kita akan bertemu nanti di akhirat. (Ismail Yakub; 1979:62).



Cut Meutia Memimpin Pergerakan


Kematian Pang Nanggroe membuat beberapa orang teman Pang Nanggroe akhirnya menyerahkan diri. Sedangkan Meutia walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba Pasai, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabi, yang masih berumur sebelas tahun untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda.


Walaupun Pang Nanggroe suaminya sekaligus pemimpin perlawanan telah syahid menghadap Ilahi Cut Meutia tetap melanjutkan perjuangan dan perlawanan bersenjata. Untuk melaksanakan perjuangan yang berlanjut tersebut diperlukan seorang pemimpin yang tangguh dipercayai, serta disegani oleh lawan maupun kawan oleh karena itu, atas kesepakatan dan saran pejuang muslim pimpinan pergerakan diserahkan kepada Cut Meutia. Jiwa semangat pejuang dan kearifannya muncul tatkala ia diminta untuk memimpin pergerakan dengan rasa haru dan senyum, Cut Meutia memberikan tanggapannya sebagai berikut :
"...Kalau demikian maka sekarang aku terangkan pada saudara sekalian dan Teungku-Teungku yang hadir pada hari ini dan kepada anakku Raja Sabi, bahwa, penyerahan pimpinan itu aku terima dengan penuh tanggung jawab pada agama dan negara kita, akan tetapi bila pimpinanku kurang sempurna supaya cepat ditegur, sehingga segala urusan dapat berjalan lancar dan baik dan supaya kita semua seiya sekata, bersatu hati dan tidak terpecah belah.
Janganlah dipandang kepadaku dan anakku yang masih kecil ini akan tetapi pandanglah kepada ayahnya Teuku Chik Tunong dan kepada pang Nanggroe yang baru saja gugur meninggalkan kita sekalian. Sekali lagi aku jelaskan bahwa aku seorang wanita yang kurang daya dan tenaga. Bila anakku ini telah dewasa dan sudah dapat memimpin perang, maka akan kuserahkan pipimpinan perang Sabil kepadanya dari itu peliharalah, didiklah, dan jagalah dia dengan baik-baik, semoga lekas besarlah dia untuk memimpin perang melawan kaphe Belanda pada masa mendatang." (Ismail Yakub, 1979: 68/69).
Pada tanggal 22 Oktober 1910 pasukan Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang diperkirakan berada di daerah Lhokreuhat. Besoknya (tanggal 23 Oktober 1910) pengejaran diteruskan kembali, mereka mengejar cepat pasukan Cut Meutia yang berada dipengkolan Krueng Peutoe menuju arah Bukit Paya. Perjuangan Cut Meutia besertamuslim lainnya semakin sulit, basis perjuangan terus berpindah-pindah dari daerah kedaerah yang bergunung dan hutan belantara.



Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi. Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.


Tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1910 pasukan Belanda bergerak ke arah Krueng Peutoe yang airnya dangkal terjadilah bentrokan dahsyat. Pasukan Cut Meutia tidak mungkin mundur lagi dengan semangat jihad Fisabilillah mereka maju menentang pasukan Belanda dengan keyakinan yang satu lebih baik mati syahid dari pada menyerah kaphe Belanda penjajah. Oleh karena itu posisi Cut Muetia yang tidak menguntungkan dengan sikap gagah berani dia tampil ke depan dengan rencong terhunus maju bertempur di sertai dengan semangat dan jiwa kesatria. Sebagai srikandi Aceh ia maju seperti banteng terluka dengan pekikan Allahu Akbar beliau iringi penyerangan.


Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut. Hanya dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Cut Meutia Syahid setelah sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya, bersama-sama dengan beberapa pejuang muslimin lainnya serta para ulama seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh.



Menjelang ajalnya Cut Meutia sempat membisikan kepada sahabat dekatnya yang bernama Teungku Syech Buwah ;
"...Jangan bertempur lagi, strategi kalian saat ini adalah mundur dan mengatur siasat perjuangan selanjutnya karena posisi kita terlalu sulit jangan korbankan perjuangan ini, tetapi hari esok masih panjang dan berguna untuk perjuangan. "...selamatkan anakku Raja Sabi. Carilah anakku dimana sekarang, tolong pelihara dia baik-baik, mungkin ajalku akan datang di tempat ini, ....Aku titipkan anakku dalam tanganmu semoga Tuhan menyelamatkannya." (lsmail Yakub,1979: 70).
Demikian sejarah kehidupan srikandi Aceh Cut Meutia catatan sejarah kehidupannya ini hanya sebahagian kecil diungkapkan karena sebenarnya riwayat hidupnya sangatlah panjang. Sebagai pelopor pergerakan untuk menghancurkan penjajahan Belanda di tanah rencong, ia diakui oleh kawan dan lawan dia bukan saja sebagai pengatur siasat dan strategi yang paling jitu ia juga mampu tampil sendiri sebagai pimpinan perang.


Sebagai ibu rumah tangga iapun merupakan seorang wanita jujur bertanggungjawab besar kepada pendidikan dan kemajuan walaupun dia bergerilya di hutan belantara ia tetap menanamkan ajaran ketauhidan di dalam perjuangan menghancurkan kaphe Belanda sehingga kelak anaknya akan mampu juga mewarisi nilaiperjuangan orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar