Apa beda Salafiyah dengan Ahlus Sunnah?
Secara umum umat Islam awam mengartikan Ahlus Sunnah sebagai :
1. Golongan mayoritas
2. Golongan yang selamat, dalam artian bukan salah satu dari 72 golongan yang terancam api neraka sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis terkenal tentang perpecahan umat.
3. Lawan dari Syiah. Dewasa ini media kerap mengartikan Ahlus Sunah (pengikutnya disebut Sunni) sebagai semua lawan dari kaum syiah yang masih termasuk kaum muslimin. Padahal, kalau kita cermati pihak - pihak yang berlawanan dengan Syiah sangat banyak dengan aqidah yang berbeda - beda pula.
4. Paham yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hasan al Asy’ary(Asy’ariah) dan Abu Mansur al Maturidi (Maturidiah). Definisi keempat ini banyak tertulis di pelbagai buku Pendidikan Agama Islam SMA dan Perguruan Tinggi. Salah satu buku terkenal yang menyatakan demikian adalah “Teologi Islam” karya Dr. Harun Nasution.
Dari beberapa definisi di atas, hanya poin nomor 3 yang benar. Adapun poin 4 yang banyak diamini oleh kalangan akademisi jelas salah 100%. Paham Asy’ariah yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai Ahlus Sunnah, justru berasal dari pemikiran Imam Abu Hasan al Asy’ari ketika beliau mengalami pergolakan batin dalam mencari kebenaran. Akhirnya Imam Abu Hasan al Asy’ari bertobat dan kembali kepada ajaran Islam sebagaimana dipahami generasi salafus shalih. ajaran paham Asy’ariah yang terkenal adalah :
1. membatasi sifat Allah dengan 20 sifat wajib sebagaimana kita kenal seperti wujud, qidam. baqa’, mukhalafatu lil khawaditsi, dst. Penetapan yang demikian tidak pernah dilakukan oleh kalangan Sahabat Nabi yang paling memahami ajaran Islam.
2. mentakwilkan beberapa sifat Allah, seperti “tangan ” Allah ditakwilkan menjadi kekuasaan Allah, “wajah” Allah ditakwilkan sebagai Ilmu Allah, dan sebagainya. Pentakwilkan semacam ini tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat Nabi yang telah ditetapkan Rasulullah sebagai generasi terbaik. Para Sahabat Nabi mengimani semua sifat - sifat Allah tanpa mentakwilkan, meniadakan, menanyakan bagaimana, serta menyerupakan dengan makhluk. Dengan kata lain mereka meyakini, benar bahwa Allah memiliki tangan, wajah sebagaimana telah dinyatakan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, namun tangan Allah, wajah Allah tidak sama dengan makhluk. Mahasuci Allah dari hal yang demikian.
Terminologi Ahlus Sunnah baru populer setelah abad III Hijriah, untuk membedakannya dengan berbagai sekte menyimpang semisal Khawarij, Syiah, Muktazilah, Jabariyah, dan Qadariyah. Dengan kata lain terminologi Ahlus Sunnah digunakan sebagai penegasan tentang ajaran Islam murni sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para Sahabat.
Seiring perjalanan waktu kian banyak berbagi pergerakan Islam, partai, organisasi yang mengklaim berazaskan Ahlus Sunnah. Namun faktanya, tak sedikit dari berbagai kelompok tersebut yang dalam aqidahnya, metodologinya, atau tujuan dakwahnya melenceng dari ajaran Ahlus Sunnah yang sesungguhnya. Sebuah ormas besar yang mengklaim sebagai penggerak dakwah Ahlus Sunnah, nyatanya ormas tersebut lebih banyak melestarikan berbagai ajaran syirik, bid’ah, dan pengkultusan terhadap kyai yang amat bertentangan dengan ajaran Ahlus Sunnah itu sendiri. Oleh karena itu, untuk membedakan Ahlus Sunnah yang sungguhan dengan Ahlus Sunnah yang hanya sebatas lebel digunakanlah istilah Salafiyah. Jadi, salafiyah hakekatnya merupakan sebutan lain dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah untuk membedakannya dari Ahlul Bid’ah Wal Jamaah.
Apa beda Salafi dengan Wahabi?
Istilah wahabi dinisbatkan kepada Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab at Tamimi, seorang ulama besar dari Hijaz yang berjuang menegakkan tauhid memberantas kesyrikan di semenanjung Arabia. Dilihat dari penyebutannya saja istilah ini sudah rancu, lantaran kata wahabiyah justru mengacu pada ayah Syaikh Muhamad at Tamimi sebagai penggerak dakwah yang bernama Abdul Wahab. Jika mau fair, harusnya dakwah beliau disebut Muhamadiyah sesuai dengan nama tokohnya. Akan tetapi jika nama itu yang digunakan, maka tujuan pemunculan istilah tersebut sebagai alat penggiring opini negatif terhadap dakwah beliau takkan pernah terwujud.
Dapat dipastikan istilah wahabiyah sengaja dimunculkan oleh pihak - pihak yang tak menyenangi dakwah beliau baik dari kalangan kafir maupun dari kalangan kaum muslimin itu sendiri. Tak cukup dengan sekedar penciptaan opini, musuh - musuh dakwah tauhid bahkan menciptakan sejarah palsu tentang dakwah beliau . Wahabi selalu diidentikkan dengan kekerasan, kebrutalan, dan jejak berdarah. Saat ini pun, ketika terjadi teror yang mengguncang tanah air sebagian orang langsung menuduh wahabi sebagai biang keroknya. Apalagi bila pelakunya memiliki identitas jenggot, jidat hitam, celana ngatung, dan istrinya bercadar. Tuduhan itu sungguh tak berdasar.Pasalnya, dalam berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama yang dicap wahabi, justru menyerukan kepada kaum muslimin untuk mentaati pemerintahnya. Tak main - main. Taat terhadap penguasa merupakan salah satu pilar aqidah. Bahkan, Saudi Arabia yang dicap sebagai tempat tumbuh berkembangnya wahabiyah justru sering menjadi sasaran teror Al Qaida.
Sebetulnya penyebutan istilah wahabi dengan konotasi negatif bukan barang baru di tanah air. Dulu, di masa pemerintahan Hindia Belanda, istilah tersebut juga dimunculkan untuk memberi stigma negatif para da’i yang menolak taklid terhadap mazhab dan menolak pelestarian adat istiadat yang berbau kesyrikan. Para da’i yang acapkali diberi stigma wahabi kala itu adalah mereka yang tergabung dalam organisasi Muhamadiyah, Persis, dan Al Irsyad.
Jadi, apa beda salafi dengan wahabi? Perbedaannya adalah pada asal muasal pemunculan istilah tersebut. Istilah Salafi dimunculkan sebagai identitas atas sebuah dakwah tauhid yang menyeru kepada umat untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih. Sedangkan, istilah wahabi dimunculkan oleh musuh - musuh dakwah tauhid baik dari golongan kafir maupun kaum muslimin sendiri yang kian resah lantaran dakwah ini semakin berkembang dari hari ke hari. Siapakah golongan umat Islam yang tak menghendaki dakwah tauhid ini berkembang pesat menyinari hati para insan?
1. Kaum liberalis yang memang selalu mengeluarkan fatwa - fatwa super nyeleneh seperti bolehnya seorang muslimah menikahi pria di luar Islam, bolehnya menghadiri perayaan Natal (ingat 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus, melainkan kelahiran Dewa Matahari dalam mitologi romawi. Saking kentalnya pengaruh kultur Romsawi dalam ajaran Kristen, sampai - sampai hari sabat yang harusnya jatuh hari sabtu diganti dengan hari minggu yang merupakan hari kelahiran Dewa Matahari. Sun=matahari, day=hari, Sunday=hari matahari), dsb
2. kalangan penyembah kubur, pengkultus kyai, dan semacamnya. Bila dakwah tauhid berkembang, para kyai(Tidak semua kyai, namun memang ada kyai jenis ini) akan kehilangan kedudukannya, penghasilannya, dan kewibawaannya. Mengapa? Kyai (ada yang merangkap dukun) tak lagi mendapat amplop dari orang - orang yang meminta doanya dalam berbagai acara bid’ah, dan orang - orang yang yang meminta jimat darinya dengan bayaran mahal. Praktek para kyai ini tak ubahnya seperti kelakuan para pendeta yang menjual surat pengampunan dosa sebelum terjadinya Reformasi Protestan.
Demikianlah sedikit tentang perbedaan latar belakang lahirnya terminologi salafi dan wahabi, yang banyak orang keliru dalam menyikapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar