Dalam buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Putri Padang Panjang (1978) disebutkan, Zainuddin Labay mula-mula ingin belajar agama ke Sungai Batang Maninjau dengan ulama terkenal Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka). Namun karena Maninjau dianggap jauh ketika itu, ibunya keberatan melepaskannya. Akhirnya ia memilih mengaji ke Padang Japang, Payakumbuh. Di sana ia belajar dengan seorang ulama terkenal bernama Haji Abbas selama dua tahun (1911-1913).
Ketika belajar di Padang Japang ini, Zainuddin pernah berselisih paham dengan gurunya. Ia termasuk anak yang tercerdas, sehingga diangkat pula menjadi guru bantu di sana. Kebiasaannya dalam memanggil murid belajar ialah dengan pluit. Terjadinya perselisihan dengan gurunya ialah, karena ia berani mengajar ilmu agama yang belum pernah diajarkan kepadanya.
Ketika Haji Abdul Karim Amrullah (Inyiak DR, ayah Hamka) menetap di Padang Panjang untuk menyiarkan agama Islam yang berbasis di Surau Jembatan Besi, Zainuddin tertarik untuk belajar kepada guru itu. Ia pun pulang ke Padang Panjang untuk menuntut ilmu. Ia termasuk seorang murid yang cerdas. Ia lebih banyak belajar sendiri. Oleh gurunya telah tampak bakat mengarangnya sejak remaja. Bahasa tulisnya bagus dan tajam. Ia banyak membaca buku-buku karangan Mustafa Kamil, dan sering melakukan surat menyurat (korespondensi) dengan tokoh kebangsaan Mesir ini, walaupun keduanya tidak pernah bertemu muka. Zainuddin Labay dikagumi oleh guru dan kawan-kawannya.
Setelah belajar langsung dari Inyiak DR di Surau Jembatan Besi, Zainuddin kemudian berinisiatif menambah ilmunya dengan menuntut ke Kota Padang, karena ia mendengar di kota ini terdapat seorang ulama modern bernama Dr. Haji Abdullah Ahmad. Oleh ibunya ia diberi uang bekal sebesar 20 gulden. Tapi selang seminggu kemudian ia telah muncul kembali di rumah ibunya. Semua uang yang diberikan ibunya dulu, dibelinya buku-buku dan koran atau majalah berbahasa Inggris. Di Padang banyak dijual orang majalah atau koran dalam bahasa asing. Untuk apa koran, majalah dan buku-buku yang banyak itu orang lain tidak tahu dan tidak ada yang berani menegurnya.
Selain kesenangannya membaca surat kabar dan buku-buku, ia juga menguasai beberapa bahasa asing, selain Bahasa arab, yaitu Inggris, Prancis dan Belanda. Semua itu ia pelajari tanpa guru. Pada masa itu pernah turis asing datang ke Padang Panjang, dialah yang diajak untuk menjadi juru bahasa.
Pada tahun 1914 ia telah mulai membantu menulis dalam majalah “Al Munir” yang diterbitkan di Padang di bawah pimpinan Haji Abdullah Ahmad (terbit 1911). Menurut Buya Hamka, pena Zainuddin ini tajam. Akhirnya ia dijadikan pembantu tetap dalam Majalah “Al Munir” tersebut.
Rupanya ia merasa tidak puas menjadi pembantu di Majalah “Al Munir” Padang ini, maka ia kemudian melakukan pendekatan ke Sumatera Thawalib di Padang Panjang untuk menerbitkan sebuah majalah Islam yang lain isinya untuk kemajuan umat. Setelah Majalah “Al Munir” Padang tidak terbit lagi karena percetakannya terbakar, terbitlah majalah yang sama namanya yaitu “Al Munir El Manar”, tetapi berbeda dalam metode pengupasan dan cara penyajiannya. Di majalah ini, pengupasan masalah agama Islam tidak hanya dari sudut pandang mazhab Imam Syafi’i saja, tetapi juga mazhab-mazhab lain. Dengan terbitnya majalah “Al Munir” versi Padang Panjang yang didirikan Zainuddin Labay ini, mulailah pengkajian ajaran agama Islam secara mendalam.
Buya Hamka dalam catatannya menulis; “1924, suasana ketika itu masih diliputi kesedihan, karena orang besar yang dikenal di rumah gadang itu baru saja meninggal dunia, yaitu Allahummaghfirlahu Zainuddin Labay El Yunusy. Tetapi meskipun muram suram karena kesedihan, namun rumah itu tetap diliputi suasana agama. Ummi Rafi’ah, orang tua dari semua tetap berwajah tenang dan bersikap lemah lembut. Demikian juga anak-anak perempuan beliau, Mariah, Rahmah, dan Upik. Kepada saya diperlihatkan surat kabar “Al Akhbar” yang dipimpin Tuan Labay sebelum mengeluarkan sendiri surat kabar “Al Munir” di Padang Panjang.
Hampir seabad tokoh agama yang juga wartawan ini meninggalkan tanah Padang Panjang. Selama usia itu pula, belum terbetik kabar ada majalah lain yang dipimpin tokoh-tokoh sekaliber Zainuddin Labay di Padang Panjang. Dan, tentu saja kita rindu hadirnya “Zainuddin Labay-Zainuddin Labay” yang baru, yang tidak saja berdakwah secara lisan namun juga melalui tulisan-tulisannya yang tajam di media-media dakwah yang dimpimpinnya sendiri. (*)
Muhammad Subhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar