Marufin Sudibyo
Penampang lintang sebuah piramida di Mesir.
Klaim bahwa Gunung Sadahurip sejatinya merupakan piramida belakangan menjadi
perdebatan hangat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tim Katastrofik Purba, Piramida Sadahurip lebih tua dari Piramida Giza di Mesir. Piramida Sadahurip juga dihubungkan dengan peradaban Atlantis, benua yang hilang yang berdasarkan buku Arysio Santos mencakup wilayah Indonesia.
Beragam pendapat muncul. Kalangan arkeolog dan geolog membantah penemuan tersebut. Kalangan geolog mengatakan bahwa Gunung Sadahurip sejatinya merupakan gunung berapi yang kini sudah mati. Sementara kalangan arkeolog menyatakan bahwa keberadaan piramida tidak mungkin jika tak ditemukan jejak pemukiman di sekitarnya. Di lain pihak, tim penemu tetap yakin bahwa klaimnya adalah benar.
Memberikan analisis dari sudut pandang astronomi, astronom Ma'rufin Sudibyo mengatakan bahwa pembangunan piramida akan selalu menghadap ke titik-titik istimewa di langit. Prinsip ini tidak hanya dianut oleh piramida di Mesir, tetapi juga bangunan mirip piramida yang ada di Indonesia, seperti Candi Borobudur, candi utama di Prambanan hingga candi-candi di Jawa Timur.
"Hal ini tak bisa dilepaskan dari kepercayaan dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut, yang menganggap dewa-dewa mereka senantiasa berada di langit mengawasi setiap saat dalam rupa bintik-bintik cahaya yang gemerlap. Selain itu posisi piramida atau bangunan menyerupai piramida selalu menuju keempat penjuru mata angin dengan presisi demikian tinggi," kata Ma'rufin di catatan akun Facebook miliknya.
Ma'rufin mencontohkan, bangunan Piramida Giza selalu menuju ke arah utara, selatan, timur dan barat dengan presisi tinggi. Presisi itu diupayakan agar sisi utara Giza selalu menghadap ke bintang Thuban atau Alpha Draconis, bintang utara kutub utara langit pada 4500 tahun lalu. Bintang tersebut akan tampak dengan magnitud +3,7, cukup redup sebenarnya.
"Sebagai bintang kutub, posisi bintang Thuban selalu berada di titik yang sama tanpa pernah beringsut sepanjang waktu. Kekhasan posisi bintang Thuban rupanya sejalan dengan konsep keabadian dalam Mesir kuno, sehingga sebuah lorong kecil dibangun dari ruang Firaun (di dalam piramid) menuju sisi utara, yang memungkinkan cahaya bintang Thuban tepat menyinari kepala jasad Firaun," jelas Ma'rufin.
Di dekat bintang Thuban, terdapat bintang Kochab atau beta Ursa Minor. Bintang ini selalu tampak di langit utara seakan-akan berputar mengelilingi Thuban, seolah-olah pasangan setia Thuban. Lorong pun dibangun untuk memungkinkan cahaya bintang Kochab menyinari ruang Permaisuri, yang diletakkan tepat di atas ruang Firaun, khususnya saat bintang berkulminasi atas.
Ma'rufin juga menambahkan bahwa bangsa Mesir Kuno juga sangat terpesona pada rasi Waluku atau Orion yang dianggap sebagai wujud Osiris. Sebuah lorong pun dibangun agar cahaya dari bintang di rasi Waluku bisa menyinari jasa Firaun. Bintang Sirius, salah satu bintang paling terang, juga dianggap sebagai wujud Isis. Lorong juga dibangun agar cahaya bintang ini menyinari jasad permaisuri.
Jika dilihat bangunan mirip piramida di tanah air, seluruhnya pun menghadap ke arah mata angin. "Candi Borobudur misalnya, juga menghadap ke mata angin utama dengan presisi mengagumkan. Pun demikian halnya candi-candi utama dalam kompleks percandian Prambanan," kata Ma'rufin.
Di candi Borobudur, presisi diupayakan sebab selain sebagai bangunan religius, candi juga diupayakan sebagai petunjuk pisisi Matahari dan siklus musim. Hal yang sama juga mungkin berlaku di Prambanan. "Sehingga, dalam perspektif astronomi, piramida ataupun bangunan menyerupai piramida merupakan observatorium kuno tempat kaum cendekia (khususnya pendeta) mengamati langit," tutur Ma'rufin.
Prinsip-prinsip astronomis itulah yang tidak ditemukan di Piramida Sadahurip. Berdasarkan analisis citra Google Earth, Gunung Sadahurip memiliki bentuk dasar segilima tak simetris. Adanya piramida bentuk segilima memang mungkin walaupun belum pernah ditemukan. Meski demikian, segilima yang menjadi dasar bentuk seharusnya juga simetris.
"Akibat ketidaksimetrisan dasarnya, maka arah hadap sisi-sisi gunung Sadahurip pun tidak simetris. Diawali dari utara, masing-masing sisi menghadap ke arah 68, arah 143, arah 220, arah 284 dan arah 344. Tak satupun yang berimpit dengan sumbu mataangin utama (utara-selatan timur-barat) atau sumbu mataangin sekunder. Dengan demikian selisih sudut antar sumbu tiap sisi bervariasi dari yang terkecil 60 derajat hingga yang terbesar 77 derajat," papar Ma'rufin.
Dalam astronomi, arah mata angin dikuantifikasi dalam sudut berjumlah 360 derajat atau lingkaran. Arah utara adalah atau 360 derajat, timur 90 derajat, selatan 180 derajat dan barat 270 derajat. Sadahurip sama sekali tidak menghadap ke sudut itu. Selain itu, akibat tak simetris, selisih antar sudut juga tak sesuai. Jika bentuk dasar segilima, selisih antar sudut seharusnya 72 derajat.
"Sisi yang menghadap ke arah 68 memang hampir sejajar dengan posisi Matahari terbit saat paling utara (summer solstice). Namun terbenamnya Matahari pada titik itu, yakni pada arah 294, ternyata berselisih besar dengan arah hadap 284. Demikian pula terbit dan terbenamnya Matahari pada saat paling selatan (winter solstice), masing-masing di arah 114 dan 245, ternyata tak berhadapan dengan satu sisi gunung Sadahurip sekalipun," papar Ma'rufin.
Ma'rufin menegaskan, jika Piramida Sadahurip benar, maka ada dua kemungkinan. "Pertama, para pembangun piramida Sadahurip tak paham geometri. Sehingga tak bisa merancang dasar piramida yang simetris. Ini bertolak-belakang dengan bangsa Mesir kuno dan Jawa kuno yang telah mengenal dan menerapkan geometri dalam pembangunan piramida dan candinya. Dan yang kedua, para pembangun piramida Sadahurip tak paham astronomi. Sehingga piramidanya tak bisa menjadi penanda peristiwa-peristiwa langit yang penting bagi kebudayaan bangsa-bangsa kuno."
Secara tegas, Ma'rufin mengatakan bahwa Gunung Sadahurip bukan piramida atau bangunan mirip piramida.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar