SAYA pernah membaca buku ‘Dahulukan Akhlak di Atas Fikih’ karya guru saya: Ustadz Jalaluddin Rakhmat. Dalam buku ini, terdapat sebuah kisah dari Khalifah Umar bin Khaththab yang berkaitan dengan fikih.
Dikisahkan seorang laki-laki datang menemui Umar bin Khaththab dan berkata, “Saya dalam keadaan junub dan tidak ada air.”
Umar menjawab, “Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air.”
Ammar bin Yasir yang berada di sekitar Umar bin Khaththab berkata kepada Umar bin Khaththab, “Tidakkah Anda ingat. Dulu–engkau dan aku–pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan kejadian ini kepada Rasulullah saw. Nabi berkata, cukuplah bagi kamu berbuat demikian.”
Langsung saja Umar membentak Ammar, “Ya Ammar, takutlah kepada Allah.”
“Ya Amir al-Mukminin, jika engkau inginkan aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau hidup,” ujar Ammar.
Dalam buku tersebut, disebutkan semua sahabat Nabi menolak pendapat Umar kecuali Abdullah bin Mas’ud. Salah satunya Abu Musa al-Asyari yang beralasan dengan ayat: ‘jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum dengan tanah yang baik’ (QS Al-Maidah: 6).
Pertanyaannya: mengapa tidak ada yang berani menentang Umar? Padahal jelas dalam surah Al-Maidah ayat 6 jelas bahwa kalau tidak ada air dapat menggunakan tanah sebagai penggantinya. Jawabannya: mungkin karena Umar saat itu sedang menjadi penguasa dan terkenal gampang menggunakan cambuk atau pedang dalam menyelesaikan setiap masalah sehingga orang-orang yang mengetahui hadis dan Quran memilih diam, termasuk Ammar.
Kemudian dalam sejarah disebutkan Umar bin Khaththab pernah memperi ancaman kepada keluarga Khalifah Abu Bakar yang menangisi kematian Abu Bakar. Mereka semua berhenti karena Umar dikenal sahaok kadua gaplok. Sampai sekarang ini, ada segelintir umat Islam yang mengampanyekan fikih Umar tentang tidak boleh menangis saat berduka, khususnya ditinggal wafat. Bahkan mereka mengecam peringatan duka atas wafatnya Imam Husain di Karbala yang diselenggarakan setiap 10 Muharam.
Berbeda dengan yang dilakukan Sang Nabi (Muhammad Rasulullah saw) yang justru mencontohkan sekaligus menganjurkan untuk menangis saat Hamzah bin Abdul Muthalib wafat dalam Perang Uhud. Kemudian Sang Nabi juga menangisi kematian Sayid Ibrahim bin Muhammad Rasulullah saw yang wafat saat masih kecil, menangisi kematian Jafar bin Abu Thalib, dan lainnya.
Jadi, fikih ala Umar bin Khaththab didasarkan pada apa? Saya kira didasarkan pada kebijakan kekuasaan. Kalau benar Umar begitu, saya jadi teringat pada filsuf Perancis yang bernama Michael Foucalt bahwa penguasa selalu menentukan kebenaran. Penguasa kadang dengan “tangan besi” yang dipegangnya bertindak sesuai dengan ‘kebenaran’ versinya sendiri. Meski tidak sesuai dengan rujukan yang utama, penguasa kadang bersikukuh dengan pendapatnya sendiri. Ah, Umar… Umar…
Ahmad Sahidin, pembaca buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar