Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada : Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Hujung Medini (Semenanjung),samana ingsun amukti palapa.[2]
-Gadjah Mada
1. a. Muqodimah
Gugusan Nusantara di pangkuan Ibu Pertiwi telah rapuh. Kesadaran untuk tetap berseudara dalam naungan atap kebhinekaan telah tercerabut oleh dangkalnya pemaknaan terhadap rangkaian huruf yang berbunyi I-n-d-o-n-e-s-i-a. Sehingga Indonesia seperti rumah bagi satu golongan saja. Golongan mayoritas yang mendominasi berbagai macam kelas dengan beragam sekatnya. entah sekat agama, suku, ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) demikian sabda putera bangsa yang bernama Soekarno. Namun, jargon itu sampai hari ini hanya hidup dalam alam idealisme tanpa ada upaya untuk menghadirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jasmerah hanya menjadi bunga rampai yang selalu kita kutip dalam setiap orasi dan narasi ilmiah kita. Sehingga kenyataan hidup untuk selalu belajar dari sejarah masih jauh panggang dari api.
Tujuh ratus tahun yang lalu bangsa besar ini pernah jaya. Masyarakat hidup makmur, guyub rukun, ayem tentrem, rame ing gawe sepi ing pamrih. Tidak pernah bangsa ini sebelumnya bergejolak kecuali dalam rangka menuju masyarakat yang satu. Menuju suatu masyarakat yang baldatun toyibatun waraghbun ghafur. Satu contoh adanya Candi Kalasan, betapa artefak tersebut sangat syarat akan akulturasi Hindu dengan Budha. Ini membuktikan bahwa saat itu keberbedaan adalah sebuah kewajaran tanpa harus dipertentangkan satu sama lain.
Singhasari, adalah salah satu referensi yang hari ini patut kita jadikan refleksi. Banyak intisari yang bisa diperah dari Singhasari untuk kemudian dijadikan saripati. Dari Singhasari kita bisa belajar kedaulatan kepada Kertanegara. Dari Singhasari kita bisa berteladan tentang persamaan hak kepada Arok. Dari Singhasari kita bisa melacak rahim Nusantara melalui ekspedisi Pamalayu. Singhasari adalah cermin agar negeri yang konon gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem karta raharja ini bisa bangkit dari segala keterpurukannya.
Maka sangat penting kiranya untuk membaca kembali bagaimana sejarah berdirinya Singhasari. Bagaimana kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan agamanya. Serta melacak kembali kaitan Singhasari sebagai rahim munculnya kesadaran bernusantara.
Jales viva jaya mahe!!!
1. b. Fashlun al awwal; Historisitas Singhasari
Kerajaan Singhasari adalah sebuah kerajaan di tanah Jawa yang berdiri pada tahun 1222. Pendiri Kerajaan ini adalah seorang yang berasal dari kasta Sudra bernama Ken Arok.[3] Lokasi kerajaan Singhasari diperkirakan berada di daerah Malang, Jawa Timur.
Nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama,[4] ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja. Pada tahun 1254, Kertanagara mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari.
Dalam kitab Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Tumapel dipimpin seorang akuwu (pejabat setingkat camat) bernama Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh oleh Ken Arok yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Setelah menjadi akuwu Ken Arok berhasil melepaskan Tumapel dari Kadiri. Pada tahun 1222 Ken Arok berhasil merebut kekuasaan Kerajaan Kadiri yang saat itu dipimpin oleh Kertajaya lalu berdirilah Kerajaan Tumapel dengan Ken Arok sebagao raja pertama bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Dalam kitab Pararaton disebutkan Kisah suksesi raja-raja Tumapel diwarnai pertumpahan darah yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai. Sementara itu versi Nagarakretagama tidak menyebutkan adanya pembunuhan antara raja pengganti terhadap raja sebelumnya. Berikut adalah silsilah raja Singhasari dalam Kitab Pararaton;
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1247)
2. Anusapati (1247 - 1249)
3. Tohjaya (1249 - 1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 - 1272)
5. Kertanagara (1272 - 1292) [5]
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua negara.
Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.
1. c. Fashlun al tsani; Realitas Sosial- Ekonomi, Politik, Ekonomi, dan Agama
Sosial-Ekonomi
Dalam sistem sosial masyarakat Hindu kita mengenal adanya kasta. Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang, atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu, semestinya harus dibedakan dari warna atau Catur Warna (Hindu), karena memang pengertian di antara kedua istilah ini tidak sama. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu:
1. Warna Brahmana, para pekerja di bidang spiritual ; sulinggih, pandita dan rohaniawan.
2. Warna Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan.
3. Warna Waisya, para pekerja di bidang ekonomi
4. Warna Sudra, para pekerja yang mempunyai tugas melayani/membantu ketiga warna di atas.
Sedangkan di luar sistem Catur Warna tersebut, ada pula istilah :
1. Kaum Paria, Golongan orang terbuang yang dianggap hina karena telah melakukan suatu kesalahan besar
2. Kaum Candala, Golongan orang yang berasal dari Perkawinan Antar Warna
Singhasari adalah negeri maritime dan agraris. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Singhasari bekerja sebagai pengolah sawah (petani), nelayan, dan pedagang. Sistem perdagangan saat itu adalah barter, meskipun di beberapa dermaga sudah menggunakan alat transaksi.
Dari proses perdagangan inilah masyarakat Singhasari berinteraksi dan bersinggungan dengan budaya luar negeri. Maka sejarah kota-kota besar di nusantara berawal dari tempat-tempat yang memiliki pelabuhan. Salah satu faktor yang mempengaruhi eksistensi singhasari adalah mereka mampu menguasai laut. Ukuran besar kecilnya suatu kerajaan saat itu bisa dilihat dari seberapa besar dermaga atau pelabuhan yang mereka miliki.
Politik
Masa berdiri kerajaan Singhasari adalah tahun 1222-1292 (sekitar 70 tahun). Dengan bentuk pemerintahan Monarki. Kekuasaan secara turun temurun menjadi hak trah keluarga kerajaan. Namun yang menarik dari Singhasari adalah bagaimana proses dinamika politik yang terjadi. Sebagaimana yang termaktub dalam kitab Pararaton disebutkan Kisah suksesi raja-raja Singhasari (Tumapel) diwarnai pertumpahan darah yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai.
Pertumpahan darah yang berawal dari Konflik Arok-Ametung tersebut bisa terhenti karena pada masa Ranggawuni alias Wisnuwardhana ada upaya rekonsiliasi antara kedua pihak (anak turun Arok dan Ametung). Kitab Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara Ranggawuni alias Wisnuwardhana dan Narasingamurti alias Mahisa Cempaka.
Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing. Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.
Hal terpenting yang perlu dicatat dari realitas politik Kerajaan Singhasari adalah pada masa Kerajaan Singhasari inilah muncul kesadaran bernusantara, yaitu pada masa Kertanegara (1272 - 1292). Kertanegara adalah raja pertama yang memiliki visi ber-nusantara. Spirit nagari kesatuan itulah yang kemudian menjadi pemantik bagi Raden Wijaya ketika mendirikan Majapahit.[6]
Untuk mewujudkan ambisinya, dilaksanakanlah ekspedisi Pamalayu (Pamalayu bermakna perang Malayu) yang bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatra sehingga dapat memperkuat pengaruhnya di selat Malaka yang merupakan jalur ekonomi dan politik penting. Ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia.
Pengiriman pasukan ke Sumatera dilakukan pada tahun 1275 di bawah pimpinan Kebo Anabrang. Pada tahun 1286 Bhumi Malayu dapat ditundukkan. Kemudian Kertanagara mengirim kembali utusan yang dipimpin oleh rakryān mahā-mantri dyah adwayabrahma membawa arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Dharmasraya yang saat itu rajanya bernama śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa.
Pada tahun 1284 Kertanagara juga berhasil menaklukkan Bali, dan membawa rajanya sebagai tawanan menghadap ke Singhasari. Pada tahun 1289 datang utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Khi, meminta agar Kertanagara tunduk kepada kekuasaan Mongol dan menyerahkan upeti setiap tahunnya. Kertanagara menolak permintaan itu, bahkan melukai wajah Meng Khi. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Kertanegara bahkan sampai memotong salah-satu telinga Meng Khi.
Untuk membalas hal itu, beberapa tahun kemudian Kubilai Khan mengirim pasukan yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Singhasari. Pasukan tersebut mendarat di Jawa tahun 1293 di mana saat itu Kertanagara telah lebih dulu meninggal akibat pemberontakan Jayakatwang.[7] Wilayah kekuasaan Singhasari di luar jawa meliputi Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
Kebiajakan politik yang dijalankan Kertanegara adalah:
1. Kebijakan dalam negeri
- Pergantian pejabat kerajaan demi pemerintahan yang kompak
- Memelihara keamanan dan melakukan politik perkawinan
1. Kebijakan Luar negeri
- Menggalang persatuan nusantara
- Menggalang kerjasama dengan kerajaan lain (Campa)
Agama
Manusia Nusantara adalah makhluk sinkretis. Mereka mampu memadukan dua hal yang berbeda tanpa menghilangkan substansi satu sama lain. Termasuk dalam hal beragama (berkepercayaan) hadirnya agama baru tidak menghilangkan agama yang sebelumnya ada. Sebelum Hindu masuk ke Nusantara, masyarakat nusantara memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan pada roh nenek moyang dan kekuatan pada benda-benda keramat. Lalu Hindu datang dan tidak menghapus kepercayaan masyarakat awal. Setelah itu Budha datang meskipun terdapat beberapa hal yang berbeda dalam Hindu dan Budha. Msyarakat kita tidak pernah mengkonfrontasikan kepercayaan lokal, Hindu, dan Budha. Inilah kearifan lokal nusantara yang hari ini kita sebut toleransi.
Dalam bidang agama, Singhasari masa Kertanagara memperkenalkan penyatuan agama Hindu aliran Syiwa dengan agama Buddha aliran Tantrayana. Oleh karena itu dalam Pararaton. Kertanagara sering juga disebut Bhatara Siwa Buda. Menurut Nagarakretagama, Kertanagara telah menguasai semua ajaran agama Hindu dan Buddha, Itu sebabnya Kertanagara dikisahkan pula dalam naskah-naskah kidung sebagai seorang yang bebas dari segala dosa. Bahkan, salah satu ritual agamanya adalah berpesta minuman keras.
Gelar keagamaan Kertanagara dalam Nagarakretagama adalah Sri Jnanabajreswara, sedangkan dalam prasasti Tumpang ia bergelar Sri Jnaneswarabajra. Kertanagara diwujudkan dalam sebuah patung Jina Mahakshobhya (Buddha) yang kini terdapat di Taman Apsari, Surabaya. Patung tersebut merupakan simbol penyatuan Syiwa-Buddha. Dalam tradisi kepercayaan masyarakat nusantara saat itu dikenal konsep “agama raja adalah agama rakyatnya”. Pada masa singhasari rakyat diberikan kebebesan untuk memeluk agamanya. Kerajaan tidak terlampau jauh masuk kedalam persoalan beragama.
1. d. Tammat
Dalam pandangan subjektif penulis, Singhasari adalah pondasi awal dimana sendi-sendi kesadaran bernusantara diletakkan. Kesadaran akan pentingnya bersatu dalam satu atap, satu naungan, dan satu kekuatan dalam menghadapi dominasi kekuatan dari utara. Singhasari merupakan induk ke-bhinekatunggalika-an bagaimana menjadi bersama dalam keberbedaan.
Ken Arok adalah bapak perlawanan kita. Kudetanya terhadap akuwu Tunggul Ametung bukanlah hanya persoalan perempuan. Bukanlah hanya persoalan betis Ken Dedes menarik rasa kelelakiannya, tapi lebih jauh dari itu. Ia ingin mendobrak sekat-sekat kelas. Sistem kasta baginya tidak adil, karena kebesaran perjuangan seseoranglah yang menentukan besar kecilnya pangkat, drajad, dan status sosial manusia, bukan faktor kerahiman dan kelahiran. Sehingga dari rahim seorang Sudra bisa saja melahirkan ksatria, pun sebaliknya.
Melalui Wisnuwardhana kita bisa belajar bagaimana cara menyelasaikan konflik. Bukan saling culik satu sama lain, juga bukan saling tikam, dan saling jegal satu sama lain. Wisnuwardhana dengan jiwa kenegaraannya rela memerintah bersama Narasingamurti. Itulah bentuk rekonsiliasi 750an tahun yang lalu. Tentunya kita yang hidup hari ini harus lebih dari sekedar itu.
Kertanegara adalah Bapak Nusantara. Dia raja pertama yang memiliki wawasan nusantara. Melalui beberapa ekspedisi pada masa kepemimpinannya beberapa daerah di luar jawa telah berhasil ia satukan dalam satu naungan, Singhasari. Melalui Kertanegara kita juga bisa belajar tentang kedaulatan. Dengan tegas ia menolak tunduk pada kekuatan Mongol. Meskipun saat itu Mongol dengan penguasa Kubilai Khan adalah kekuatan adikuasa dan adidaya. Seluruh daratan Asia hampir dikuasai Mongol. Tapi demi harga diri dan kedaulatan Singhasari, Kertanegara berani memutus telinga utusan Mongol sebagai wujud perlawanan.
Dari keruntuhan Singhasari kita bisa belajar, tentang pentingnya bermusyawarah. Pentingnya berdialektika, bertukarpikiran antar kepala dengan kepala lainnya. Karena kebenaran ojektif merupakan titik akumulasi dari kebenaran-kebenaran subjektif.
Sahabat, mari Kita refleksikan Indonesiaku, Indonesiamu, dan Indonesia kita!!!
Pustaka
Purwadi. 2006. Prabu Brawijaya. Raja Agung Binathara Ambeg Adil Paramarta. Yogyakarta: Tugu Publisher.
Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Thomas Stamford Raffles. 2008. The History of Java (terj.). Yogyakarta: Penerbit Narasi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Singhasari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kertanegara
http://id.wikipedia.org/wiki/Ken_Arok
[1] Dalam konsep kenegaraan Jawa di abad ke-13 hingga ke-15, raja adalah “Raja-Dewa”: raja yang memerintah adalah juga penjelmaan dewa. Karena itu, daerah kekuasaannya memancarkan konsep kekuasaan seorang dewa. Kerajaan Majapahit dapat dipakai sebagai teladan. Negara dibagi menjadi tiga bagian wilayah: Negara Agung, mancanegara, dan nusantara. Negara Agung merupakan daerah sekeliling ibukota kerajaan tempat raja memerintah. Mancanegara adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitar yang budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di “daerah perbatasan”. Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Bali adalah daerah “mancanegara”. Lampung dan juga Palembang juga dianggap daerah “mancanegara”. Nusantara adalah daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan: para penguasanya harus membayar upeti.
Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah-wilayah “Nusantara”, yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuna nusa (”pulau”) dan antara (lain/seberang).
[2] Sumpah Palapa “Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.
[3] Menurut naskah Pararaton, Ken Arok adalah putra Dewa Brahma hasil berselingkuh dengan seorang wanita desa Pangkur bernama Ken Ndok. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong. Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri & gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi pula yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan. Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan. Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng. Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung. Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.
Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan), yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh. Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok sendiri.
Kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencana liciknya. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.
Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan. Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung. (http://id.wikipedia.org/wiki/Ken_Arok)
[4] Kitab ini menguraikan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Ia bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Bagian terpenting teks ini tentu saja menguraikan daerah-daerah “wilayah” kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti.
Naskah kakawin ini terdiri dari 98 pupuh.[1] Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan sangat rapi. Pupuh 1 sampai dengan pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh 8 sampai 16 menguraikan tentang kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17 sampai 39 menguraikan perjalanan keliling ke Lumajang. Pupuh 40 sampai 49 menguraikan silsilah Raja Hayam Wuruk, dengan rincian lebih detailnya pupuh 40 sampai 44 tentang sejarah raja-raja Singasari, pupuh 45 sampai 49 tentang sejarah raja-raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Pupuh 1 - 49 merupakan bagian pertama dari naskah ini.
Bagian kedua dari naskah kakawin ini yang juga terdiri dari 49 pupuh, terbagi dalam uraian sebagai berikut: Pupuh 50 sampai 54 menguraikan kisah raja Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan Nandawa. Pupuh 55 sampai 59 menguraikan kisah perjalanan pulang ke Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-oleh yang dibawa pulang dari pelbagai daerah yang dikunjungi. Pupuh 61 sampai 70 menguraikan perhatian Raja Hayam Wuruk kepada leluhurnya berupa pesta srada dan ziarah ke makam candi. Pupuh 71 sampai 72 menguraikan tentang berita kematian Patih Gadjah Mada. Pupuh 73 sampai 82 menguraikan tentang bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali. Pupuh 83 sampai 91 menguraikan tentang upacara berkala yang berulang kembali setiap tahun di Majapahit, yakni musyawarah, kirap, dan pesta tahunan. Pupuh 92 sampai 94 tentang pujian para pujangga termasuk prapanca kepada Raja Hayam Wuruk. Sedangkan pupuh ke 95 sampai 98 khusus menguraikan tentang pujangga prapanca yang menulis naskah tersebut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Nagarakretagama)
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Singhasari
[6] Lihat DR. Purwadi, M.Hum. , Prabu Brawijaya ; Raja Agung Binathara Ambeg Adil Paramarta, hal. 12
[7] Disadur dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kertanegara
Safar Daweedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar