Indikasi dari adanya keterlibatan dan intervensi Amerika Serikat di Irian Barat itu sendiri memiliki permasalahan yang cukup signifikan. Hal ini diawali dari adanya kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di berbagai negara di Asia, temasuk Indonesia. Kemudian dengan adanya kemampuan dari Amerika Serikat dalam hal militer dan juga perekonomian itu sendiri memberikan kekuasaan terhadap negara-negara yang dianggapnya dapat diperoleh kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral. Berbagai hubungan Amerika Serikat-Indonesia yang pada mulanya dilakukan oleh Amerika Serikat berawal dari adanya insiden antara awak kapal perang Potomac dengan penduduk Kuala Batu di Aceh.[1] Kemudian berlanjut menjadi adanya indikasi keterlibatan Amerika Serikat dalam operasi Trikora yang menurut Amerika Serikat itu sendiri adalah upaya pribadi Soekarno yang merusak tatanan perdamaian dan kesejahteraan dunia yang kemudian dibentuknya opini dunia oleh Amerika Serikat itu sendiri.[2]
Kesinambungan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan masalah-masalah keamanan yang dilakukannya tersebut memiliki ciri yang bertentangan. Ciri khas politik Amerika Serikat itu sendiri memiliki kolaborasi yang seimbang antara memeilihara, melindungi, dan memperluas kepentingan Amerika Serikat itu sendiri di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tetapi peran politik yang paling penting dan realistik dalam kancahnya di Irian Barat adalah politik intervensionis.[3] Di mana pada masa pasca Perang Dunia II, permasalahan Irian Barat itu sendiri diintervensi oleh Amerika Serikat melalui pemerintahan kepresidenan Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John Fitzgerald Kennedy dan sebagainya yang terpengaruh oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang terpengaruh dari pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam suatu pemerintahan liberal maupun kebijakan luar negeri yang dijalankan Amerika Serikat, terdapat peran kaum neokonservatif yang melakukan rekayasa sosial. Rekayasa sosial terbentuk dari sebuah gerakan dengan visi tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi perubahan sosial, tetapi dalam konteks social engineering (rekayasa sosial) yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat, adalah dengan melakukan penyebaran demokrasi terhadap negara-negara yang masih diktator.[4] Dalam hal ini Soekarno dianggap sebagai seorang diktator yang menghalangi kepentingan Amerika Serikat di Indonesia khususnya Irian Barat pada masa pasca Perang Dingin tersebut.
Keterlibatan Amerika Serikat itu sendiri tidak terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia yang baru merdeka pada tahun 1945. Pengaruh-pengaruh Blok Timur di Indonesia mulai dikesampingkan oleh presiden Amerika Serikat pada saat itu yaitu Harry S. Truman di mana konflik kependudukan dan geografi Irian Barat itu sendiri berakar dari adanya kepentingan Amerika Serikat untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai bagian dari negara-negara penganut Blok Barat, tetapi dengan adanya peran Soekarno yang bersikap tegas dan tidak mudah untuk diatur, Amerika Serikat menggunakan kesempatan tersebut di mana pada saat itu Indonesia sedang melakukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan terhadap Belanda untuk membantu Belanda mengklaim Irian Barat sebagai daerah yang diklaim Belanda dalam jajahannya agara Indonesia tetap condong ke Blok Barat di bawah pengaruh Belanda.
Bentuk lain dari Doktrin Truman yang berlaku di Eropa juga diaplikasikan dalam penolakan bantuan militer terhadap Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal ini dikarenakan sikap Soekarno yang juga mendukung komunisme dalam masa Perang Dingin sehingga adanya indikasi bahwa tidak percayanya Amerika Serikat terhadap Indonesia untuk terus berada di Blok Barat. Sedangkan mempertahankan Irian Barat dianggap sebagai suatu sikap atau bentuk perlawanan terhadap imperialisme yang berkepanjangan antara negara-negara Blok Barat tersebut. Kembali ke pemikiran-pemikiran neokonservatif yang dimiliki oleh institusi-institusi Amerika Serikat itu sendiri, perlu diketahui bahwa demokrasi yang menjadi objek penyebaran pemerintah Amerika Serikat, dipercaya menjadi jawaban bagi keinginan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik, dan demokrasi dipercaya oleh kaum neokonservatif sebagai hak-hak dasar manusia walaupun kaum neokonservatif sendiri mengabaikan nilai-nilai fungsi sipil yang kritis. Demokrasi juga disalahpahami sebagai suatu sistem yang menguntungkan sebuah negara karena dibebaskannya negara tersebut dari kediktatoran.[5] Hal yang ingin ditekankan adalah kasus Irian Barat dalam pandangan Truman merupakan suatu bentuk kesempatan ataupun eksperimen untuk mempersatukan serta mengayomi pihak militer Indonesia untuk melepaskan diri dari pihak Indonesia.
Berlanjut pada masa pemerintahan Dwight D. Eisenhower di mana adanya keterlibatan seorang agen CIA bernama Allen Pope yang dianggap memiliki peran penting dalam proses intervensi pemerintahan AS di Indonesia dan membuka peluang penting dalam menyibak kabut keterlibatan AS di Irian Barat. Pada tahun 1950 juga bentuk politik Amerika Serikat terhadap Indonesia memiliki beberapa faktor yang relevan dengan adanya permasalah baik di internal maupun eksternal Indonesia dan Amerika Serikat itu sendiri. Seperti tindakan-tindakan sensitive yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat karena adanya gerakan-gerakan yang menjurus kea rah komunisme Blok Timur, lalu pada waktu itu pemerintah Indonesia memperoleh dukungan yang luas dari rakyat beserta instrument-instrumen kenegaraannya yang luas sehingga adanya kecenderungan munculnya pengaruh yang memecah belah, lalu metode politik Indonesia yang tidak sesuai dengan demokrasi Amerika Serikat itu sendiri juga menjadi permasalahan lain dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Indonesia sendiri, kemudian adanya ketidaksenangan pihak Amerika Serikat karena akan adanya gerakan politik yang memperjuangkan Irian Barat (yang pada saat itu masih dijajah Belanda).[6] Sehingga bantuan luar negeri yang Amerika Serikat berikan, tersangkut oleh adanya faktor-faktor tersebut.
Lalu kemudian cara persuasif yang lebih halus dan tanpa penekanan dilakukan oleh John F. Kennedy dalam masa pemerintahannya terhadap Soekarno. Adanya pengeluaran biaya dalam pembelian alat-alat militer dan bantuan secara militer ditawarkan oleh Kennedy untuk aksi-aksi pembebasan Irian Barat dan berbagai permasalahan lainnya di Indonesia terhadap Soekarno. Hal ini memberikan jalan lain setelah terkuaknya kasus dugaan percobaan pembunuhan Soekarno, 3 Juni 1965.[7] Setelah adanya pembebasan Allen Pope itu sendiri yang dimuat di New York Times, 23 Agustus 1962
“Indonesia Bebaskan Penerbang Amerika
Orang yang dihukum seumur hidup dikembalikan ke Amerika Serikat secara rahasia
Oleh Robert F. Whitney
Khusus untuk New York Times
WASHINGTON, 22 Agustus – Allen Lawrence Pope, penerbang Amerika Serikat yang menjalani hukuman seumur hidup dalam penjara di Indonesia, dibebaskan pada tanggal 2 Juli dan selama beberapa minggu sudah berada di Amerika Serikat….Menurut Reap, pilot itu dibebaskan sebagai bagian dari amnesti umum dan Amerika Serikat tidak memberikan konsesi untuk memperoleh pembebasannya….”[8]
Hal ini memberikan adanya perubahan pandangan pembebasan warga negara Amerika Serikat yang sebelumnya mendapatkan sanksi hukuman seumur hidup menjadi bebas tanpa syarat dan dikembalikan ke negaranya. Keterlibatan Amerika Serikat dalam berbagai perjuangan politik Indonesia pun terkuat melalui penangkapan Allen Pope sebagai agen CIA yang menyamar tersebut.
Dalam Operasi Trikora yang disebut juga sebagai upaya yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Irian Barat. Hal ini terjadi terkait dengan nasionalisme yang ditekankan pada masa pemerintahan Soekarno sehingga pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta.[9] Pembentukan berbagai komando dan penyelenggaraan operasi-operasi militer juga diberlakukan Soekarno dalam penanggulangan permasalahan di Irian Barat tersebut.
Kepentingan awal yang mengakar pada masa Perang Dingin tersebut adalah adanya penyebaran demokrasi, Dari kasus-kasus yang sudah terjadi, kesuksesan penyebaran demokrasi memiliki tiga kerakteristik yang bisa dijadikan sebagai pembanding, yaitu:
1. Adanya inisiatif yang datang dari masyarakat yang bersangkutan.
2. Bentuk dukungan eksternal hanya bekerja di rezim semi-otoriter yang memerlukan tahap pemilihan serta adanya kebebasan bagi kelompok masyarakat sipil untuk berorganisasi.
3. Daya penerimaan kekuatan pro-demokrasi dari negara luar, sangat bergantung kepada sejarah spesifik masyarakat dan jenis dari nasionalisme penduduk setempat yang ada.[10]
Peran Amerika Serikat dalam penyebaran demokrasi yang terjadi melalui dan melewati konflik yang terjadi di Irian Barat tersebut berkelanjutan dengan adanya desakan-desakan Amerika Serikat terhadap Belanda untuk terus melakukan perundingan-perundingan dengan pihak Indonesia. Sehingga untuk menghindari konfrontasi yang lebih lanjut, diadakanlah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda di New York, yang dikenal dengan nama Perjanjian New York.[11] Dalam hal inilah peran aktif dan langsung yang dimiliki oleh Amerika Serikat terhadap permasalahan Irian Barat terlihat jelas.
Keterlibatan maupun intervensi Amerika Serikat dalam permasalahan Irian Barat tersebut tidak terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai presiden yang memimpin pada masa perjuangan Irian Barat tersebut. Kemudian keterlibatan-keterlibatan Amerika Serikat terlihat jelas melalui adanya peran-peran CIA dan organisasi lainnya dalam proses intervensi politik Indonesia oleh Amerika Serikat sendiri termasuk permasalahan Irian Barat, serta berujung kepada permohonan pembebasan Allan Pope untuk kembali ke Amerika Serikat. Ketakutan Amerika Serikat terlihat di dalam cara penanganan-penanganan permasalahan Irian Barat yang memerlukan rekayasa-rekayasa sosial dalam hal militer dan juga ekonomi, walaupun mendapat perlawanan dari Soekarno itu sendiri. Permasalahan Irian Barat pun dianggap sebagai suatu kesempatan untuk memecah Indonesia untuk kembali di bawah jajahan Belanda sebagai bagian dari Blok Barat di masa Perang Dingin tersebut, di mana kebijakan presiden Amerika Serikat juga berperan di dalamnya pada masa itu.
[1] William L. Bradley & Mochtar Lubis (Eds.), Dokumen-Dokumen Pilihan Tentang Politik Luar Negeri Amerika Serikat dan Asia (Edisi ke-1, cetakan ke-1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. xv.
[2] Sutamto Dirdjosuparto, Sukarno Membangun Bangsa dalam Kemelut Perang Dingin Sampai Trikora (Badan Kerja Sama Yayasan Pembina dan Universitas 17 Agustus 1945 se-Indonesia, 1998), h. 285.
[3] William L Bradley & Mochtar Lubis, op. cit., h. xvii.
[4] Francis Fukuyama, America at the Crossroads: Democracy, Power, and the Neoconservative Legacy, (New Haven: Yale University Press, 2006), h. 121.
[5] Francis Fukuyama, op. cit., h. 232
[6] William L Bradley & Mochtar Lubis, op. cit., h. 167-168.
[7] William L Bradley & Mochtar Lubis, op. cit., h. 173.
[8] New York Times, 23 Agustus 1962, h. 3, dalam William L. Bradley & Mochtar Lubis (Eds.), Dokumen-Dokumen Pilihan Tentang Politik Luar Negeri Amerika Serikat dan Asia (Edisi ke-1, cetakan ke-1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 189-190.
[9] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (Edisi ke-4, cetakan ke-8, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1993), h. 334.
[10] Francis Fukuyama, op. cit., h. 211.
[11] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosutanto, op. cit., h. 335.
Teuku Reza Fadhli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar