Dalam perjalanan sejarah, wanita pernah menjadi aktor yang vokal ditengah
gelanggang politik dan sekaligus menjadi ibu dan istri yang “baik” selama
perjuangan anti kolonial. Dua peranan ini dapat berpadu dalam praktiknya, karena
wanita harus memainkan peranan politik justru agar supaya menjadi ibu yang baik
(dari rakyat dan bangsa Indonesia), dan istri yang baik (sebagai pembantu laki-
laki dalam perjuangannya). Hubungan politik antara wanita dan laki-laki menjadi
berubah secara mendasar ketika Indonesia telah merdeka. Hal itu antara lain
karena tidak adanya lagi musuh bersama, sehingga laki-laki cenderung mengklaim
bidang politik sebagai bidang mereka sendiri, dan wanita lebih diposisikan untuk
berperan di bidang sosial.Berikut ini akan dibahas perkembangan pergerakan
wanita di Indonesia, terutama peranan politik mereka dalam menghadapi kekuatan
kolonial dan menegakkan kedaulatan negara Republik Indonesia sebagai negara
merdeka:
Dalam sejarah Indonesia, perjuangan wanita sudah muncul sejak abad ke –
19, seiring dengan berkembangnya gerakan-gerakan politik masyarakat dalam
menghadapi kekangan kolonial. Sebut saja dalam gerakan itu seperti Christina
Martha Tiahahu dari Maluku pada tahun 1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa
Tengah pada sekitar pertengahan abad XIX; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di
dalam perang Aceh tahun 1873-1904; dan juga RA Kartini tahun 1879-1904;
Dewi Sartika 1884-1947; Maria Walenda Maramis tahun 1872-1924, Nyi Ahmad
Dahlan tahun 1872-1936, Rasuna Said 1901-1965.
RA. Kartini umumnya disebut-sebut sebagai salah seorang di antara tokoh-
tokoh terkemuka wanita feminis dari zamannya, dan ia memang tokoh feminis
dari masa awal yang paling terkenal. Kartini (1879-1904) adalah anak kedua
(wanita) dari Bupati Jepara, sebuah daerah di pantai utara Jawa. Ayahnya seorang
yang berpikiran maju, karenanya mengizinkan anak-anak wanitanya mengikuti
pendidikan sekolah dasar bersama-sama dengan kakak-kakak mereka. Suatu hal
yang luar biasa untuk zaman itu. Walaupun Kartini sangat ingin meneruskan
sekolahnya sesudah memasuki masa remajanya, seperti halnya kakak-kakaknya,
yang salah seorang di antaranya bahkan belajar di Universitas Leiden, Negeri
menyebut istana ayahnya di dalam salah satu suratnya. Begitulah adat-istiadat
bagi gadis-gadis bangsawan zaman itu. Di dalam pingitan itu, sambil menunggu
saat dikawinkan dengan laki-laki yang mungkin belum pernah dilihat
sebelumnya.Kartini memulai surat-menyuratnya yang luar biasa dengan beberapa
tokoh, termasuk seorang feminis Belanda yaitu Stella Zeehandelaar. Di dalam
surat-suratnya ini yang sering merupakan luapan amarah terhadap segala keadaan
yang mengungkung kebebasan geraknya, dan yang menghalangi dirinya dari
perjuangan sepenuhnya untuk kepentingan dan emansipasi rakyat Jawa pada
umumnya, dan wanita Jawa pada khususnya. Bahkan dari surat-suratnya dapat
diketahui bahwa ia pernah berangan-angan untuk tidak kawin, mandiri, dan ingin
meruntuhkan tembok feodalisme. Ia merumuskan gagasan-gagasannya, yang
unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut: ia memandang pendidikan bagi
kaum wanita sebagai salah satu syarat penting untuk memajukan rakyatnya.
Dalam pandangannya, ibu yang terpelajar bisa diharapkan kemampuannya dalam
mendidik anak-anak lebih baik, tidak hanya wanita kalangan miskin, wanita
kalangan atas pun harus diberi kesempatan menjadi pencari nafkah sendiri, dan
mencari pekerjaan yang cocok bagi mereka, misalnya menjadi perawat, bidan, dan guru. Poligami harus dihapuskan karena merendahkan martabat kaum wanita.
Buah pikiran Kartini sangat terkenal juga di luar negeri. “Van Duisternis tot
Licht” (Habis Gelap terbitlah Terang) memuat surat-surat Kartini yang berisi cita-
citanya untuk kemajuan dan memajukan kaumnya. Kartini berpendapat bahwa
untuk mengatasi keterbelakangan kaum wanita terutama ialah melalui jalur
pendidikan, karena hal itu memungkinkan tumbuhnya kesadaran masyarakat akan
adanya ketimpangan-ketimpangan, keterbelakangan, ketidakadilan dan
penghisapan. Pendidikan yang diberikan kepada kaum wanita pada waktu itu
cukup pengetahuan dasar berhitung, baca-tulis, ketrampilan kerumahtanggaan dan
pendidikan guru. Pendidikan bagi pribumi mengakibatkan terbukanya fikiran dan
wawasan yang menumbuhkan kesadaran untuk makin maju, dan dengan demikian
mendorong untuk bergerak berjuang demi kemajuan kaum dan bangsanya.
Kartini bukanlah satu-satunya wanita yang berjuang untuk pendidikan
kaum wanita pada zamannya. Beberapa butir dari cita-cita wanita yang dinamis,
dan dalam banyak hal juga berjiwa pemberontak ini, diikuti oleh tokoh-tokoh
wanita lainnya, terutama cita-citanya tentang pendidikan bagi kaum wanita.
Minangkabau, Sumatra Barat, Rohana Kudus berbuat serupa pula. Meskipun
demikian Kartini yang menjadi simbol gerakan wanita Indonesia. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Kartini merupakan tokoh perintis pergerakan nasional. Dapat
dilihat dalam banyak suratnya kepada para sahabatnya, ia berkali-kali mengajak
. seluruh bangsa bumiputera untuk bangun dan memasuki “jaman baru”. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika hari lahirnya, 21 April, selalu dirayakan oleh
organisasi-organisasi wanita dewasa ini. Adanya kaum wanita di sekolah-sekolah,
universitas-universitas, atau angkatan bersenjata, biasanya disebut-sebut sebagai
bukti tentang taraf emansipasi yang telah dicapai oleh wanita Indonesia. Pada
tahun 1964 Kartini dinyatakan sebagai “Pahlawan Nasional”. Dalam
kenyataannya kepahlawanan Kartini tersebut juga diakui oleh bangsa-bangsa
lain.Para tokoh Perintis gerakan wanita belum mempunyai perkumpulan atau
organisasi wanita, dengan kata lain berjuang orang perorangan; tetapi dalam
kenyataan bahwa mereka mengangkat senjata bahu membahu dengan kaum laki-
laki melawan penjajah Belanda, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan
sumber inspirasi bagi generasi wanita berikutnya untuk berjuang melawan
penindasan dan ketidakadilan. Juga para tokoh Perintis dalam masa sesudah
diterapkannya Politik etis Belanda di Indonesia, memberikan teladan dan
dorongan kepada kaumnya untuk meneruskan jejak langkah mereka. Mereka
berjuang untuk emansipasi dan partisipasi untuk membangun kemandirian
kaumnya, kemajuan bangsa dan kemerdekaan tanah airnya.
Unsur lain gerakan wanita Indonesia yang sedang tumbuh ialah hasrat
untuk “emansipasi nasional.” Dalam pada itu pengaruh warisan cita-cita Kartini
untuk emansipasi wanita berkumandang menembus batas-batas kamar
pingitannya, dan perhatian kaumnya pada periode kebangkitan dan kesadaran
nasional ini mulai juga untuk meningkatkan perjuangan wanita.
Pada tahun 1912 muncul organisasi wanita yang pertama di Jakarta “Putri
Mardika” atas bantuan Budi Utomo. Kemudian di Jawa Tengah seperti
“Pawiyatan Wanito” di Magelang yang berdiri tahun 1915, “Wanito Hadi” di
Jepara tahun 1915, “Purborini” di Tegal tahun 1917, “Wanito Susilo” di Pemalang
tahun 1918, “Darmo Laksmi” di Salatiga, “Karti Woro” dan “Budi Wanito” di
Solo, “Wanito Kencono” di Banjarnegara, “Panti Krido Wanito” di Pekalongan,
dan “Kesumo Rini” di Kudus. Selain itu juga berdiri organisasi “Wanito Rukun
Santoso” di Malang, “Putri Budi Sejati” di Surabaya tahun 1919, “Wanito Mulyo”
di Yogyakarta tahun 1920, “Wanito Utomo” di Yogyakarta tahun 1921, “Wanita
Taman Siswa” tahun 1922, “Aisyiyah” di Yogyakarta tahun 1917, “Wanita
Katholik” di Yogyakarta tahun 1924, “Jong Islamiten Bond Dames Afdeeling” di
Jakarta tahun 1925. Di pulau Sumatera berdiri organisasi pergerakan wanita antara lain “KAS”
(Kerajinan Amai Setia) yang didirikan tahun 1914, “keutamaan Istri” di Medan,
“Istri Sumatera”, “PARMI” (Partai Muslimin Indonesia) Bagian Istri, “Persatuan
Istri Andalas”, dan sebagainya. Di Sulawesi berdiri organisasi-organisasi wanita
antara lain “PIKAT” (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) di Menado
tahun 1917, “Sarekat Rukun Istri” di Makasar, dan sebagainya. Di Kalimantan berdiri organisasi “Wanito Kencono”. Di Bali berdiri organisasi “Perukunan Istri
Den Pasar”.Kesemuanya, baik organisasi-organisasi bagian wanita dari organisasi
partai umum, maupun organisasi-organisasi lokal kesukuan/kedaerahan bertujuan
menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi wanita, dan perbaikan kedudukan
sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu
dan pemegang rumahtangga. Gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920
dapat dikatakan lamban. Sebab-sebabnya ialah sangat kurangnya sekolah-sekolah
untuk wanita pribumi, lagi pula kadang-kadang juga tiadanya izin dari orang tua
(dikalangan atas) atau diperlukan tenaga mereka untuk membantu orang tua
(dikalangan bawah). Disamping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan
wanita.
Sesudah tahun 1920 jumlah organisasi wanita bertambah banyak.
Kesediaan mereka untuk terlibat dalam kegiatan organisasi makin meningkat dan
kecakapan berorganisasipun bertambah maju. Hal ini disebabkan karena
kesempatan belajar makin meluas dan berkembang ke lapisan bawah. Dengan
demikian jumlah wanita yang mampu bergerak di bidang sosial politik juga
bertambah luas dan tidak lagi terbatas kepada lapisan atas saja. Oleh sebab
semuanya itu, maka sesudah tahun 1920 dapat dilihat jumlah perkumpulan wanita
bertambah banyak sekali, bahkan organisasi-organisasi sosial politik seperti
P.K.I., S.I., Muhammadiyah dan Sarekat Ambon mempunyai bagian wanita.
Bagian wanita tersebut dalam penyebaran cita-cita tentu saja mempertinggi hal-
Kemajuan gerakan wanita sesudah tahun 1920, terlihat juga dengan makin
banyaknya perkumpulan-perkumpulan wanita kecil-kecil yang berdiri sendiri.
Hampir di semua tempat terutama kota-kota terdapat perkumpulan wanita. Seperti
pada masa sebelum 1920, perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang
sama, ialah untuk belajar masalah kepandaian putri yang khusus dan berperan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang lebih pesat. Sikap
yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih
tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin tampak, terutama
yang menjadi bagian dari S.I. (Sarekat- Islam), P.K.I. (Partai Komunis Indonesia),
P.N.I. (Partai Nasional Indonesia) dan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia).
Walaupun masing-masing organisasi yang bersifat kedaerahan dan
keagamaan ini mempunyai masalah dan kegiatan sendiri-sendiri, juga ada
beberapa kesamaan kepentingan yang didukung kebanyakan organisasi. Peranan
seorang istri dan ibu “yang baik” sangat diutamakan, dan agar bisa mengemban
tugasnya dengan baik kaum wanita dianjurkan untuk memperoleh pendidikan
yang baik, dan mempelajari keterampilan yang sangat diperlukan seperti menjahit
pakaian dan mengasuh anak. Akan tetapi organisasi-organisasi wanita Kristen dan
“non-agama” di satu pihak, dan organisasi-organisasi wanita Islam di pihak lain,
dipisahkan sangat dalam dan menentukan oleh masalah sentral: poligami.
Organisasi wanita Kristen dan non-agama memandang poligami sebagai
penghinaan terhadap kaum wanita yang tidak bisa dimaafkan, dan justru karena
itulah mereka aktif berjuang melawannya, sementara organisasi-organisasi wanita
Islam hanya menginginkan perbaikan kondisi di dalam poligami, bukan
menghapuskan lembaga poligami itu sendiri.
Upaya-upaya untuk menyatukan
gerakan wanita pun dilakukan dan hal itu antara lain tercermin dari adanya
penyelenggaraan musyawarah, kongres, dan lain-lain.
Priya Purnama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar