Di suatu ruang di Istana Bogor 11 Maret, 46 tahun silam. Udara Bogor masih sangat segar waktu itu. Seorang Presiden yang juga Panglima Tertinggi Angkatan Darat menandatangai Surat Perintah Harian berisi pemberian tugas kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan terkait situasi politik saat itu. Tindakan dimaksud agar tetap terjaminnya kemananan, ketenangan serta kestabilan roda pemerintahan dan jalannya Revolusi. Tak lama usai Soekarno menandatangani surat itu, tak disangka cuaca politik Indonesia berubah seketika. Kurang dari 24 jam, Letjen. Soeharto yang menerima surat tugas, langsung sigap bekerja. Ia membubarkan PKI, menangkap menteri-menteri, serta menyingkirkan orang-orang yang dianggap sejalan dengan Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno. Ini yang oleh para ahli dianggap sebagai langkah ”cerdas” menjawab kekhawatiran munculnya usaha pendongkelan terkait keabsahan tindakannya tersebut. Meski, selalu saja akan ada ilalang yang tersisa.
Setahun setelah Supersemar lahir, Presiden Soekarno pun tersingkir. Sebagai penguasa ia terjungkir, secara politik ia terisolasi. Kalau sudah begini. Tepatkah bila lahirnya Supersemar dianggap sebagai ”kudeta terselubung”? Mengapa Supersemar dimanipulasi menjadi alat menggembosi kabinet? Apakah Supersemar sebagai surat pelimpahan kekuasaan atau cuma sejenis instrukti teknis? Ah, Supersemar itu ibarat benang kusut. Naskah aslinya yang konon ada tiga versi pun benar membuat rieut (pusing). Yang jelas, adanya Supersemar menjadi tanda perubahan penting haluan politik Indonesia di dalam dan ke luar negeri. Di dalam negeri, pascalahirnya Supersemar terjadi arus balik arah politik dari sipil ke militer, dari politik kerakyatan berbalik kiblat ke kaum elite. Terkait kebijakan luar negeri, orientasi yang semula bejabatan erat dengan kaum kiri berpaling muka ke arah kanan, dari yang semula antinekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) berubah drastis menjadi sangat promodal asing, kapitalis.
Itu Supersemar. Jelaga pekat yang melekat di candra Maret. Bagian dari peristiwa yang ada di catatan buku sejarah sekolah kita. Bagian dari masa lalu yang sedikit banyak bisa jadi cermin. Cermin kan gak mesti selalu jelas. Bagaimanapun sejarah tak mesti terulang. Hanya, kegagalan belajar dari sejarah yang biasanya terus terjadi. Wallahu a’lam.
rusata tang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar