Dari mana Berawalnya Tassawuf ?

Saya harus mengakui bahwa Al-Qur’an mengandung benih-benih nyata tentang mistisisme yang mampu untuk berkembang sendiri secara autonomi tanpa perlu dibantu oleh pengaruh-pengaruh asing” (Louis Massignon).

Kutipan di atas adalah dari seorang orientalis yang belakangan dikenali kerana telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk studi tasawuf. Ungkapan ini penting — selain untuk mengungkapkan tujuan yang hendak dicapai oleh bahagian ini — karena para orientalis adalah di antara kelompok yang menyatakan bahwa tasawuf pada dasarnya adalah pinjaman dari agama Kristiani.




Pada umumnya mereka berhujah bahwa Islam mengajarkan suatu monoteisme ringkas yang cocok dengan fikiran sederhana kaum Arab badui. Kenyataannya, seperti juga diungkapkan oleh Nicholson –lagi-lagi seorang orientalis ahli Tasawuf:


“Kendati Muhammad sistem dogma atau pun (semacam) teologi mistikal, Al-Qur’an jelas sekali mengandung bahan-bahan bagi keduanya. (Di dalam AlAl-Qur’an) Allah berfirman: ‘Allah cahaya langit dan bumi’ (24:35); Dialah Dzat yang Maha awal dan Maha akhir (57:3); Tidak ada Tuhan selain Dia. Segala sesuatu selain Dia bersifat sementara dan fana (28:88); Aku tiupkan ruh-Ku ke dalam (diri manusia) (15:29); Kami ciptakan jin dan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan jiwanya, sebab kami lebih dekat kepadanya ketimbang urat-lehernya sendiri (50:16);


Ke mana pun kamu berpaling di situlah wajah Allah (2: 115); Barang siapa tidak diberi petunjuk oleh Allah maka dia tak memperoleh cahaya barang sedikit pun (24: 40). Jelaslah bahwa benih-benih tasawuf tersemai di sini. Dan bagi kaum sufi awal, Al-Qur’an bukanlah sekadar kalam Allah, melainkan juga sarana mendekatkan diri kepadanya. Dengan merenungkan ayat-ayat Alquran pada umumnya dan ayat-ayat misterius tentang Mi’raj Nabi (17:1; 53:1-18) pada khususnya, kaum sufi berupaya keras untuk mendapatkan pengalaman spiritual Nabi tersebut.”


Ajaran tentang kesatuan spiritual yang boleh dicapai dengan suatu perjalanan spiritual (memang) tak ada dalam ayat apa pun di dalam Al-Qur’an. Tetapi secara jelas, hal itu diungkapkan dalam sebuah Hadis Qudsi — yang (oleh sekelompok orang yang tidak sejalan dengan pandangan tasawuf) diragukan kesahihannya:



”Seorang hamba terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah nawafil hingga ketika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dengannya ia mendengar, penglihatan yang dengan itu ia melihat, lidah yang dengannya ia berbicara, dan tangan yang dengannya ia memegang.”


Bahkan Ibn Khaldun, yang tidak pernah dikenal simpatinya terhadap masalah-masalah seperti ini, menyatakan bahwa pada awalnya, spiritualitas Islam bersifat terlalu umum untuk diberi nama, akan tetapi “ketika segalanya tentang dunia tersebar luas dan sebagian besar orang (kaum Muslim) tenggelam ke bawah permukaan mistikal, maka mistisisme Islam perlu diberi suatu nama yang khusus.”


Selanjutnya para pendukung tasawuf juga menyoroti nilai penting keberadaan Nabi SAW. Dalam tahannuts (pertapaan) ketika Jibril datang kepadanya pertama kali untuk membawakan wahyu Allah sebagai indikasi ajaran khalwat sebagai salah satu aspek penting tasawuf. Hal ini kiranya diperkuat pula oleh ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bukan hanya tekanan amat besar yang terkandung dalam ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada Nabi, melainkan juga kekuatan spiritual Nabi ketika menerimanya:


“Kalau saja kami turunkan Al-Qur’an ini ke atas gunung, kau akan melihatnya merendah, pecah berantakan kerana takutnya kepada Allah.” Persis seperti kejadiannya dengan Nabi Musa ketika — atas permintaan Musa yang berkehendak melihat Allah — Allah mengungkapkan diri (tidak secara langsung, melainkan) melalui sebuah gunung dan berakhir dengan meledak berkeping-kepingnya gunung itu dan pengsannya Musa.



Jika kita lanjutkan pengkajian kita atas ayat-ayat yang paling awal ini kita akan mendapati bahawa, meski sudah begitu agung kekuatan spiritual Nabi (“Sesungguhnya,” kata Al-Qur’an, “engkau –Muhammad– memiliki watak yang agung”), sirahnya menunjukkan betapa kekuatan ayat-ayat Allah itu telah menimpakan beban yang amat berat atasnya. Di kisahkan bahawa Nabi meminta kepada Khadijah untuk menumpukkan beberapa selimut sekaligus untuk menutupi tubuhnya yang menggigil hebat.


Belakangan, nilai penting peristiwa ini dipertegaskan dengan turunnya wahyu lanjutan: “Wahai yang berselubung selimut, berjagalah dalam sebahagian besar malammu kecuali sedikit, atau setengah dari (malam), atau sebagian darinya atau tambahkan atasnya dan bacalah Al-Qur’an dengan bacaan yang benar.”


Kenyataannya, Al-Qur’an secara spesifik menunjukkan adanya sekelompok orang dari kaum Muslimin yang — oleh para pendukung tasawuf — menampilkan potret para sufi yang sesungguhnya seumpama firman Allah swt: “Sesungguhnya Rabbmu mengetahui engkau berjaga selama dua per tiga malam, atau setengah dari itu. Engkau dan sekelompok orang yang bersamamu.”



Selanjutnya lanjutan ayat itu mengajarkan: “Dan sebutkan dalam dzikir nama Tuhanmu serta beribadahlah kamu kepada-Nya dengan ibadah yang sebenar-benarnya.” Akhirnya rangkaian ayat-ayat ini berakhir dengan: “Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka ada jalan kepada Rabb bagi siapa yang mau.” Tasawuf, menurut para pendukungnya, tak lain dan tak bukan adalah jalan itu. Dan mengenai jalan inilah, di tempat lain Allah berfirman: “Dan barang siapa yang berjihad (bersungguh-sungguh) dalam (mencari) Kami, maka pasti akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami.”


Selain dalam berbagai ayat Alquran, yang sebahagiannya telah dikutip di atas, kaum sufi merasa mendapatkan kekuatan atas faham mereka dari berbagai Hadis Qudsi. Selain yang dikutip oleh Nicholson di atas — dan hampir selalu dikutip dalam buku-buku sufi — di kalangan mereka ini amat popular Hadis berikut ini: “Langit dan bumi tak dapat menampung-Ku. Hanya hati seorang Mukmin yang cukup luas untuk menampungku.”


Hati yang cukup luas untuk menampung Allah, inilah hati yang telah dibersihkan dari berbagai kotoran akibat kecintaan kepada dunia, akibat ketaklukan kepada nafsu yang terus mendorong-dorong untuk berbuat maksiat (al-nafs al-’ammarah bi al-su’). Kerana, setiap seorang Mukmin berbuat maksiat seperti ingat Nabi, maka akan muncullah sebuah noktah hitam yang mengotorinya. Makin banyak ia berbuat maksiat, makin banyak noktah hitam yang menutupi hatinya. Inilah tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Allah dan rasulnya sendiri.



Akhirnya, saya akan mengakhiri tulisan ringkas ini dengan sebuah catatan. Segala argumentasi bagi para pendukung tasawuf ini hanyalah semata-mata untuk memaparkan apa-apa yang mereka fahami sebagai ajaran-ajaran Islam kepada sebuah faham semacam tasawuf itu. Bukannya bermaksud untuk membenarkan semua pandangan mereka. Karena, persis seperti dalam disiplin-disiplin keagamaan lainnya (fiqih, tafsir dan sebagainya) para penganut atau bahkan ahlinya boleh dibenarkan atau boleh salah di dalam memahami ajaran-ajaran Islam sepanjang disiplin yang digelutinya.


Kalau argumentasi para pendukung tasawuf ini boleh dibenarkan, ia hanya berarti bahwa (tak seperti dinyatakan para penentangnya) memang ada benih-benih bagi tasawuf di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Wa Allah A’lam bi al- Shawab.

Dr. Haidar Bagir*

*Pengajar Islamic Mysticism The Islamic College (ICAS) Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar