Multatuli (Eduard Douwes Dekker) Seorang Freemason Dan Pejuang Kemanusiaan

13329235141272022367

Pernah melihat film Max Havelaar, film yang sarat dengan persoalan sosial dan masalah kemanusiaan ? Jika belum, anda bisa melihatnya dalam thrailernya disini :

http://www.youtube.com/watch?v=hu-t-VALMig

.Pada dasarnya bercerita tentang seorang ambtenaar Belanda Max Havelaar, yang mendapatkan tugas di Lebak, Jawa Barat (tempat dimana Eduard Douwes Dekker bekerja). Max Havelaar menghadapi situasi yang justru sangat berlawanan dengan nuraninya, yaitu kesewenangan para pamong, ketiranian, kejahatan yang dilakukan sekelompok masyarakat yang menteror warga, dan seterusnya. Upaya untuk memperbaiki situasi tidak mendapatkan dukungan baik dari atasannya maupun dari pemerintah.

Dengan nama samaran Multatuli, Eduard Douwes Dekker, membuat karya buku-buku roman humanisme hingga belasan jumlahnya. Ia menyusun buku roman itu bukan tidak dengan maksud. Bukan hanya untuk menghibur pembaca dengan cerita fiktif. Ia mempunyai tujuan untuk mengetuk hati pembaca dan menyerang pemerintah yang tidak mau mendengarkan usulannya agar pemerintah turut bertanggung jawab memperbaiki moral bangsa pribumi yang jauh dari humanisme. Pemerasan kepada rakyat dan perbudakan yang justru dilakukan oleh para pamong desa tidak mendapatkan perhatian apalagi hukuman. Justru seringkali mendapatkan perlindungan, yang penting uang pajak bisa masuk. Padahal disana terjadi korupsi besar-besaran dalam pengumpulan uang pajak yang dilakukan oleh para demang. Penekanan dan teror terhadap petani miskin yang tidak bisa membayar pajak.

Eduard Douwes Dekker menulis bukunya sebagian di Lebak dan sebagian lagi di Belanda. Draftnya ia bawa kepada para brothernya (brother sebutan bagi sesama anggota organisasi Freemason) dalam Lodge Freemason di Amsterdam dimana ia sejak lama menjadi anggotanya di sana. Draft itu kemudian secara bersama-sama disempurnakan agar bisa lebih membidik pada opini publik, untuk kemudian baru diterbitkan. Buku yang penuh dengan nuansa kekerasan terhadap kemanusiaan, dan protesnya terhadap pemerintahan, jelas telah membuat marah pemerintah.


1332923561375657261

Karya-karyanya mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat luas bahkan dari masyarakat negara-negara Eropa lainnya. Tetapi Eduard Douwes Dekker menghentikan kariernya sebagai seorang ambtenaar. Padahal pendukung pemikirannya sangat banyak, dan diperkirakan kariernya akan terus menanjak sampai menjadi menteri sekalipun. Douwes Dekker oleh beberapa kalangan dianggap terlalu impulsif dan mudah marah terhadap keadaan yang dianggapnya sangat lambat berubah. Hati kemanusiaannya lebih menariknya ia menjadi redaktur sebuah majalah yang menyajikan tentang humanisme dan berkebabasan berpikir (freethinkers).


Kini buku-buku yang sudah berusia lebih dari 100 tahun itu menjadi salah satu buku karya literatur sastra yang mengandung nilai-nilai humanisme. Buku-bukunya merupakan buku roman terbaik yang pernah ditulis orang di Belanda sepanjang sejarah yang ada. Bukunya kemudian diterjemahkan dalam banyak bahasa dan menjadi terkenal secara internasional. Saidja dan Adinda kemudian menjadi ikon kesewenagan pamong dan penindasan pada rakyat kecil. Multatuli pun menjadi pahlawan bagi kemanusiaan yang telah merubah cara pandang manusia di bumi ini agar memerangi ketiranian dan kesewenang-wenangan, serta mengutamakan kemanusiaan. Di Indonesia juga, ia adalah pahlawan kemanusiaan. Tetapi sadarkah kita jika apa yang dikerjakan adalah tugasnya sebagai seorang Mason yang yang mempunyai misi meletakkan visi baru dalam etika, moral, dan dasar-dasar humanisme dalam kehidupan bermasyarakat?

http://www.onanslemming.nl/?cat=47

http://nl.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker

http://www.vrijmetselarij.nl/lavertu/Vrijmetselarij/Bekendevrijmetselaren/tabid/4422/Default.aspx

http://www.athenaeum.nl/boek-van-de-nacht/ik-heb-u-den-havelaar-niet-verkocht

http://lit4lib.sky7.us/dekker.html

http://www.iisg.nl/bwsa/bios/douwes-dekker.html

http://www.presseurop.eu/nl/content/article/161181-max-havelaar-een-onbegrepen-held

Julia martia van tiel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar