Sejarah Bangsawan Lampung

Asal Muasal Sejarah tentang bangsawan di Lampung sebuah hasil penelitian dari seorang yang bernama Effendi. Tulisan ini saya temukan di ruang tesis dan disertasi perpustakaan UGM dengan judul Pialang Adat di Bumi Ruwa Jurai Penyimbang di Karesidenan Lampung 1928-1942. Jika di pulau Jawa dan daerah lainnya menyebut istilah bangsawan dengan cepat pikiran kita tertuju pada Keraton, Sri Sultan HB X, Paku Alam, raja gowa, atau masih banyak lagi, lalu kalau di Lampung bangsawannya seperti apa?


Bagi masyarakat Lampung, para bangsawan di kalangan mereka disebut dengan Punyimbang. Kata punyimbang berasal dari kata Pun yang artinya orang yang dihormati, dan nyimbang artinya orang yang mewarisi. Menurut Hilman Hadikusuma, para punyimbang memiliki peran penting dalam segala aspek kehidupan masyarakat Lampung. Ia merupakan lembaga kepemimpinan masyarakat adat yang dipimpinnya. Dengan adanya para punyimbang ini, maka masyarakat lampung mulai dari suatu keluarga rumah tangga sampai kerabat besar. Buai, suku, tiuh dan marga mempunyai pemimpin menurut garis keturunan laki-laki. Jadi kalau perempuan seperti saya bisa saja, asal memang tidak ada satu pun keturunan laki-laki yang bisa dijadikan punyimbang.



Para punyimbang adat masyarakat Lampung berasal dari anak tertua laki-laki keturunan tertua yang berhak menggantikan kedudukan dan jabatan serta tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, kerabat, adat, dan pemerintahan (adat) dari ayahnya. Tanpa ada punyimbang, maka kerabat masyarakat adat akan tak menentu arahnya, karena tidak ada tempat pemusatan kekuasaan keluarga atau kerabat, dan tidak ada yang mengatur atau tidak ada yang dituakan dalam perwatin adat untuk menyelesaikan berbagai persoalan atau peristiwa-peristiwa kekerabatan pada umumnya.


Pada tahun 1857 pemerintahan di Lampung dikepalai oleh seorang residen yang dibantu oleh seorang sekretaris dan tujuh orang controleur yang kesemuanya terdiri dari orang Belanda. Mereka berusaha menerapkan sistem pemerintahan sentralisasi seperti di Jawa tetapi mendapat tantangan dari penguasa-penguasa lokal karena dianggap tidak sesuai dengan sistem yang ada di Lampung, yaitu sistem kebuaian/ marga yang berdasarkan desentralisasi. Dengan sistem sentralisasi yang dijalankan oleh pemerintah kolonial, pernah terjadi kegoncangan dalam masyarakat yaitu ketika sistem kebuaian/ marga dengan hak-haknya seolah tidak dihormati. Maka pada tahun 1857-1859 orang-orang Rebang dari daerah Sumatera Selatan menggunakan kesepakatan untuk pindah ke selatan dan orang-orang Abung mendesak ke arah timur wilayah kebuaian/ marga lainnya. Sistem kebuaian/ marga ini merupakan sistem pemerintahan asli di daerah Lampung yang sudah berkembang sejak lama, terutama di Lampung Utara. Sistem ini menitikberatkan musyawarah-mufakat antar punyimbang adat yang dikaitkan juga dengan hal otonom genealogis.


Di lampung, belum ada suatu sistem pemerintahan pusat yang dipimpin oleh orang-orang Lampung sendiri dan yang berkuasa atas suku-suku penduduk asli Lampung. Pemerintahan penduduk asli sejak dahulu adalah pemerintahan yang dipegang oleh kepala-kepala suku yang bersangkutan (punyimbang). Mereka satu dan yang lain bersaing, sehingga diantara mereka tidak pernah ada kata sepakat untuk mengangkat salah seorang menjadi pembesar distrik ataupun pembesar di atas kepala marga/ suku/ buai. Keadaan ini member kesempatan kepada petualang-petualang dari luar untuk memperoleh pengaruh kekuasaan dengan mudah di Lampung. Oleh karenanya mudah bagi pihak luar khususnya dalam hal ini adalah pemerintah kolonial untuk menanamkan pengaruhnya di Lampung.


Pada waktu pemerintah kolonial menguasai Lampung, pemerintahan dengan sistem kebuaian/ suku/ marga inilah nantinya yang akan menjadi sistem pemerintahan marga (marga stelsel) di Lampung yang ditetapkan melalui Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB) pada tahun 1928. Pada tahun itu para punyimbang/ buai/ marga di Lampung menuntut agar hukum adat Lampung diakui berikut hak ulayatnya. Walau berhasil diakui, tetapi dalam pelaksanaanya sangat dibatasi, dimana hak ulayatnya itu hanya tinggal berupa wewenang mengurus tanah oleh marga atas nama pemerintah Kolonial. Kemudian pemerintah marga dijadikan sebagai pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan kolonial di Lampung, sebagaimana telah dilaksanakan sebelumnya di daerah Palembang, Sumatera Selatan.


Peraturan secara lengkap administrasi pemerintahan di Lampung terjadi pada tahun 1929 melalui Staatsblad 1929 No.362, tertanggal 20 september 1929 yang berisi, Lampung dijadikan satu afdeeling yang dikepalai oleh seorang residen. Afdeeling Lampung terbagi menjadi 5 onder-afdeeling yang masing-masing dikepalai oleh seorang controleur yang dipegang oleh pemerintah kolonial. Residen berkedudukan di Teloek Betoeng, Kota Agoeng, Soekadana, Kotaboemi dan Menggala.


Selanjutnya tiap-tiap onder-afdeeling dibagi dalam distrik-distrik yang dikepalai oleh seorang demang. Tiap-tiap distrik dibagi lagi dalam onder-district yang dikepalai oleh seorang asisten demang. Bagi daerah kolonialisasi yang penduduknya bukan asli Lampung (transmigrasi dari Lampung dan daerah lainnya), onder-district ini dikepalai oleh asisten wedana. Jabatan demang, asisten demang ataupun asisten wedana dipegang oleh seorang pribumi Indonesia baik dari etnis lampung atau non-Lampung.



Kemudian, pada tingkat paling bawah, oleh pemerintah kolonial diakui eksistensi sistem pemerintahan marga yang dikepalai oleh seorang punyimbang marga yang bergelar Pasirah. Pasiran-pasirah ini mengepalai kepala-kepala kampung dan kepala-kepala suku. Dengan mengakui eksistensi pemerintahan marga/ kebuaian di Lampung pada tahun 1928, pemerintah kolonial tampaknya bermaksud ingin mempertahankan dan tetap memfungsikan tokoh primus-interpares yang memadukan antara sistem berdasarkan geneologis dan demokratis (melalui pemilihan) diantara para punyimbang yang bersifat geneologis. Penerapan marga stelsel pada tahun 1928 di Lampung yang merupakan birokrasi buatan pemerintah kolonial yang berlaku hingga akhir pemerintahan kolonial di tahun 1942. Intervensi ini berpengaruh besar terhadap kehidupan bangsawan Lampung yang terkenal dengan sebutan Punyimbang ini, baik politik, sosial, budaya dan agama dalam kedudukan dan fungsinya pada masyarakat adat Lampung.


Tulisan ini hanya sebagai pengantar, untuk bisa kita pahami lebih lanjut. Masih banyak yang terserak dan lain waktu saya kumpulkan dan share lagi.

*teruntuk Ajjongku, Puniakan Dalom Panji imba Kesuma M. Syupi.

** meluruhkan kejenuhan di perpus.

Selvi Diana Meilinda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar