KHALIF-KHALIF ABBBASYAH DAN KEBUDAYAAN PERSIA

Sebelum membahas lebih jauh langkah-langkah awal Abbasiyah dalam membangun pemerintahan yang kuat dan didukung oleh tatanan masyarakat madani atau civil society yang kuat pula, akan dikemukakan senarai khalif Daulah Abbasyah pada periode awal hingga puncak kejayaannya pada abad ke-10 M. Secara rinci khalif-khalif dari daulah yang berusia lama ini ialah sebagai berikut:



1. Abdullah al-Saffah (750 – 754 M) ibukota kekhalifatan Kufa, Iraq.


2. Al-Mansur (754 – 775 M) ibukota Hasimiyah dan Baghdad


3. Al-Mahdi (775-785 M)


4. Hadi (785-786 M)


5. Harun al-Rasyid (786-809 M)


6. Amin (809-813 M)


7. Makmun (813-833 M)


8. Mu`tasim (833-842 M)


9. Al-Wathiq (842-847 M)


10. Mutammakil (847-861 M)


11. Musta`in (862-866)


12. Muntasir (861-862 M)


13. Mu;taz (966-869 M)


14. Mu`tamid (870-892 M)


15. Mu`tadid (892-902 M)


16. Muktafi (902-908 M)


17. Muqtadir (908-918 M)


18. Al-Qahir (932-934 M)


19. Al-Radi (934-940 M)



Reformasi dan Kebudayaan Persia


Pada awalnya, khususnya pada waktu khalif pertama al-Saffah (750-754) dan saudaranya al-Mansur (754-775) memegang tampuk pemerintahan, persoalan-persoalan yang dihadapi sedemikian banyak dan kompleks. Namun secara perlahan dan pasti, berbagai persoalan yang dihadapi itu dapat diatasi. Misalnya upaya perebutan kekuasaan oleh kerabat dekat Abbasiyah sendiri di wilayah Palestina dan Syria, pemberontakan golongan Rawandiyah, sebuah sekte keagamaan yang bertentangan dengan Islam. Begitu pula gejolak yang timbul disebabkan hukuman yang ditimpakan khalif al-Mansur kepada Imam Abu Hanifa, ulama dan fuqaha pendiri madzab fiqih Hanafi.


Di bawah pemerintahan khalif ketiga al-Mahdi (775-785) dan Hadi (785-6) tanda-tanda stabilitas telah mulai nampak. Stablitas kian kokoh pada waktu khalifah Harun al-Rasyid memegang tampuk pemerintahan. Khalifah Harun al-Rasyid membangun ibukota Baghdad, sebuah kota metropilitan yang megah dan direncanakan secara matang.


Salah satu persoalan penting yang dihadapi khalifah Abbasiyah yang awal, selain pemberontakan dari kelompok-kelompok ghulat atau sekte keagamaan yang ekstrim seperti Rawandiyah ialah bagaimana menghimpun dukungan dari kelompok-kelompok utama dalam upaya menjalankan roda pemerintahan. Pilihan jatuh pada golongan kuttab (sekretaris administrasi). Para kuttab merupakan golongan elit terpelajar yang telah muncul pada zaman Daulah Umayyah, tetapi tidak mendapat tempat selayaknya dalam pemerintahan. Daulah Abbasiyah melihat potensi ini dan segera mengkonsolidasikan mereka Pilihan itu ternyata tepat, karena memang dapat diandalkan untuk mengatur administrasi negara dan ekonomi yang sedang morat marit.


Kebanyakan para kuttab ini adalah orang Persia dan Nabatea (Aramea). Mereka berasal dari keluarga tuan tanah yang mapan, dan muncul sebagai kelompok tersendiri yang kuat pada zaman Umayyah. Merekalah yang memimpin gerakan Syu`ubiyah, yang identik dengan kebangunan kebudayaan Persia. Di antara para kuttab ini adalah keluarga Yahya Barmaki yang paling terkemuka. Di bawah pimpinan keluarga ini para kuttab muncul sebagai golongan terpelajar terkmuka.Perana mereka dalam pemerintahan mulai menonjol pada masa khalifah al-Mahdi memegang tampuk pemerintahan. Pengaruh mereka kian besar semenjak pemerintahan Harun al-Rasyid.


Kontribusi para kuttab sangat besar bagi perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, falsafah dan sastra. Mereka bukan hanya para budayawan dan sastrawan, tetapi juga pelindung kebudayaan Persia. Karena pengaruh golongan inilah maka kebudayaan Persia memberi pengaruh besar pada perkembangan kebudayaan Islam dalam zaman pemerintahan Abbasiyah.


Walaupun mereka menulis karya-karya ilmiah dan sastra dalam bahasa Arab, namun kerinduan mereka akan kejayaan Persia Lama mendorong mereka bekerja keras membangkitkan lagi bahasa dan kesusasteraan Persia. Baghdad sebagai pusat kebudayaan lantas tumbuh dalam suasana baru. Bahkan pusat-pusat kebudayaan Islam lain seperti Kufa, Basra dan Hejaz meniru perkembangan di Baghdad, sehingga lama kelamaan pengaruh Persia kian meluas ke seluruh wilayah kekhalifatan Baghdad.


Persoalan penting lain berhubungan dengan cepatnya pertumbuhan ekonomi dan naiknya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran warga Baghdad. Fenomena ini melahirkan golongan orang kaya yang serba berkecukupan, yang memperoleh kekayaan dari kegiatan perdagangan dan perusahaan. Walaupun di antara mereka tidak jarang yang tenggelam dalam kehidupan hedonisme yang merugikan, namun terdapat banyak di antara mereka yang tertarik pada ilmu-ilmu al-Qur`an, Hadis dan Sejarah. Kebijakan khalifah Harun al-Rasyid mendirikan lembaga ilmu pengetahuan dan pendidikan yang memadai, dan perhatiannya yang besar bagi perkembangan ilmu, mendapat sambutan dari golongan saudagar kaya yang juga sangat haus akan perkembangan ilmu pengetahuan.


Di antara saudagar kaya yang terkemuka pada akhir abad ke-8 M ialah al-Tabari. Ia adalah seorang tuan tanah yang kaya di Iraq Utara, dan karena tertarik pada sejarah dia pun mempelajari sejarah dengan tekunnya. Pada tahun 913 dia menulis kitab sejarah dunia yang masyhur. Tabari mendermakan sebagian kekayaannya untuk pendidikan dan kebudayaan. Ia banyak berjasa bagi perkembangan intelektual di Baghdad.



Periode Stabilitas


Periode stabilitas dan perkembangan yang mantap, baik dalam kehidupan politik maupun ekonomi dan kebudayaan, berlaku pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan menampakkan tanda kemerosotan pada masa khalifah al-Wathiq. Sebab-sebab kemerosotan itu antara lain ialah perang saudara berkepanjangan setelah wafatnya Harun al-Rasyid pada tahun 809. Baginda digantikan oleh al-Amin, putranya dari seorang istri keturunan Arab, walaupun putranya yang lain dari istri keturunan Persia, al-Makmun, lebih mampu memegang tampuk pemerintahan. Pada waktu itu al-Makmun menjabat gubernur di Khurasan, Persia Utara, sebuah propinsi yang makmur dan penuh kaum intelektual. Sejak abad ke-8 M Khurasan telah merupakan pusat gerakan intelektual terkemuka.


Orang-orang Khurasan sangat besar andlnya bagi perjuangan Abbasiyah dalam peperangan melawan Daulah Umayyah. Karena jasanya keturunan mereka mendapat gelar abna’ al-dawlah (putra-putra Daulah Abbasiyah). Walaupun mereka tinggal lama di Iraq, namun mereka membayar pajak di Khurasan tempat keluarga mereka berasal. Ini disetujui oleh khalifah Harun al-Rasyid. Karena itu baginda menempatkan putranya Makmun sebagai gubernur di Khurasan.


Setelah wafatnya Harun al-Rasyid persetutjuan itu dibatalkan oleh al-Amin, penggantinya. Pada tahun 809 al-Amin bersama tentaranya menyerbu Khurasan. Namun berkat dukungan dan kepemimpinan Tahir al-Husayn tentara al-Makmun dapat menerobos pertahanan tentara al-Amin dan menduduki wilayah barat laut Iraq yang strategis dan beberapa tahun kemudian menduduki Baghdad.


Di bawah pemerintahan khalifah al-Makmun keamanan pulih kembali. Al-Makmun juga berhasil melakukan reformasi. Berkat reformasi inilah stabilitas dan kehidupan politik berjalan kembali dengan baik. Reformasi ini disempurnakan oleh penggantinya, khalifah al-Mu`tasim. Beberapa reformasi yang dilakukan ialah:



1. Pemusatan administrasi dan keuangan dengan pengawasan yang ketat, terutama terhadap hasil pungutan pajak di berbagai provinsi.


2. Penataan kembali angkatan tentara. Tentara baru banyak direkrut dari orang-orang Turki yang telah memeluk agama Islam dan berbahasa Arab, serrta mahir mengendarai kuda. Tentara-tentara dari kabilah-kabilah Arab yang dahulu mendukung Daulah Umayyah, tidak dipakai lagi.


3. Untuk menghindari friksi antara tentara baru dan orang-orang Khurasan di Baghdad, khalifah al-Mu`tasim membangun ibukota baru di Samarra, delapan mil sebelah utara Baghdad. Dengan demikian dia menjauhkan pusat kegiatan militer dari pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi.


4. Khalifah al-Mu`tasim memilih ideologi Mu`tazilah sebagai asas pemerintahannya. Mu`tazila berpendapat bahwa al-Qur`an sewaktu-waktu dapat ditafsir kembali sesuai perkembangan zaman dengan pendekatan dan pemahaman baru. Tidak mengherankan jika para ulama Mu`tazila banyak yang menempati kedudukan penting. Walaupun menimbulkan kegelisahan ulama Sunni, yang dahulunya mendukung Abbasiyah, justru di bawah pengaruh golongan Mu`tazila ilmu pengetahuan dan filsafat berkembang. Sebagai reaksi terhadap perkembangan ini, muncul minat pada ilmu Hadis di kalangan ulama. Ini dimaksudkan untuk mempertahankan pandangan keagamaan mereka dari kecaman Mu`tazila atau aliran Samarra. Pelopor gerakan anti Samarra ialah Ahmad bin Hanbal. Gerakan inilah yang membuat mazhab fiqih Sunnah wak Jamaah tumbuh dan mencapai bentuknya pada abad ke-10 M. Mazhab ini diasaskan berdasarkan faham fiqih empat imam yaitu Hanbali, Maliki, Syafii dan Hanafi.




Akibat Kebijakan Baru


Walaupun dalam beberapa segi reformasi dan kebijakan baru yang diterapkan oleh khalifah al-Mu`tasim memberikan pengaruh positif, namun muncul juga akibat-akibat yang merugikan pemerintahan Abbasiyah. Di antara pengaruh yang merugikan ialah:


1. Pemusatan administrasi keuangan di tangan pemerintah pusat menimbulkan ketakpuasan daerah atau propinsi-propinsi di luar Baghdad. Secara bertahap daerah-daerah berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat dan menghendaki otonomi luas. Tampilnya dinasti-dinasti baru pada abad ke-9 M. yang berasal dari keluarga-keluarga keturunan Persia, Turki dan lain-lain, berpangkal dari keinginan melepaskan diri dan tuntutan otonomi luas.


2. Penetaan militer dengan menempatkan orang-orang Turki sebagai anggota pasukan Islam membuat mereka semakin kuat di bidang kemiliteran. Dari kalangan mereka tumbuh jenderal-jenderal yang kemudian memberontak dan mengambil alih kekuasaan.


3. Pemindahan pusat pemerintahan ke Samarra tidak efektif mengawasi perkembangan politik dan ekonomi, yang berpusat di Baghdad.


4. Pemilihan aliran Mu`tazila sebagai ideologi agama resmi menyebabkan kuatnya reaksi ulama Sunni. Mereka kemudian mengembangkan ideologi agama sendiri dan pada saatnya kelak menyingkirkan dominasi pemikiran golongan Mu`tazila.



Tidak mengeherankan apabila rezim Samarra berumur pendek. Serdadu-serdadu


asing yang dipakai oleh al-Mu`tasim merasa tidak mendapat jaminan politik, sebab sewaktu-waktu kebijakan politik dapat berobah. Ini terbukti setelah meninggalnya al-Mu`tasim. Penggantinya Mutawakkil dibunuh oleh tentara Turki yang bertugas sebagai pengawalnya. Selama sepuluh tahun setelah pembunuhan itu Samarra mengalami anarki. Pendukung al-kuttab dan saingan mereka para serdadu Turki terlibat dalam perang yang memakan banyak korban. Perang itu terjadi dalam upaya masing-masing untuk memilih khalifah baru. Pada masa inilah disintegrasi mulai terjadi dalam kekhalifatan Abbasiyah.


Anarki dapat diatasi pada masa pemerintahan al-Mu`tamid pada tahun 870 M. Ini berkat turun tangannya saudara khalifah Abu Ahmad, bergelar al-Muwaffaq. Bagindalah yang berhasil menghimpun kembali pasukan Abbasiyah yang setia kepada pemerintahan pusat. Tetapi sayang, bersamaan dengan itu beberapa penguasa wilayah telah mengobarkan api pemberontakan. Ahmad Tulun, seorang jenderal Turki, yang ditempatkan sebagai panglima militer di Mesir, pada tahun 869 berhasil melepaskan Mesir dari kekuasaan Baghdad. Jenderal Turki lain, panglima perang di Sistan, Yakub bin Laytsal Saffar, menyerang Baghdad tidak lama kemudian. Pasukannya menduduki Iraq dan Syria, di mana dia mendirikan Dinasti Saffariyah.


Pemberontakan-pemberontakan dua jenderal Turki itu dapat diatasi tidak berapa lama kemudian. Pada tahun 902 khalifah al-Muktafi dapat merebut kembali Mesir dan memulihkan kedaulatan Daulah Abbasiyah di sana. Tetapi kekhalifatan Baghdad menjadi lemah kembali pada masa pemerintahan al-Muqtadir (908-932) dan penggantinya al-Qahir (932-4).


Yang terakhir ini naik tahta dalam usia muda dan belum cukup berpengalaman dalam politik. Sebagai khalifah muda ia dibantu oleh seorang wasir yang pandai menjilat dan banyak melakukan penyelewengan. Ditambah lagi dengan adanya perpecahan di kalangan orang istana dan militer, menyebabkan pemerintahan tidak stabil dan krisis kian menjadi-jadi. Tetapi sebab paling dasar dari merosotnya Daulah Abbasiyah ialah kemunduran ekonomi disebabkan terbengkalainya pertanian akibat perang saudara yang panjang. Krisis ekonomi disusul dengan krisis keuangan. Kas istana semakin tipis. Khalifah tidak mampu lagi membayar gaji tentara. Maka sebagai gantinya ia menyerahkan penguasaan tanah (iqta`) kepada beberapa panglima perang.


Malahan pada tahun 936 khalifah al-Radi terpaksa memanggil seorang panglima perang bernama Ibn Ra`iq memasuki kota Baghdad dan memberi gelar amir al-umara` (amir segala amir). Jenderal Ra`iq mengambil sepenuhnya kontrol terhadap militer dan masalah politik serta keuangan. Sejakl itu khalifah hanya simbol belaka. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan jenderal-jenderal atau penguasa wilayah. Keadaan ini berlangsung terus sampai timbulnya dinasti-dinasti kecil Persia dan Turk, yang silih berganti memerintah wilayah-wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan khalifah Abbasiyah.



Dinasti-dinasti Turk dan Persia


Telah dijelaskan dalam kuliah minggu lalu bahwa semenjak awal abad ke-9 M telah muncul dinasti-dinasti kecil dan besar, berasal dari keluarga Persia dan Turk, yang memerintah di wilayah yang berbeda-beda. Dinasti yang paling awal ialah Tahiriyah (822-872), yang didirikan oleh Tahir seorang jenderal Turki yang ditunjuk menjadi gubernur Khurasan dan berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Daulah Abbasiyah di Baghdad. Dinasti berikutnya yang menggantikan Tahiriyah ialah Bani Safariyah (872-902 M). Dinasti Safariyah menguasai sebagian besar wilayah Persia.


Di Transoxania, Asia Tengah, wilayah kekhalifatan Baghdad di utara, muncul Dinasti Sammaniyah (874-999) yang didirikan oleh Ismail. Mula-mula menguasai Transoxania saja, namun pada paruh pertama abad ke-10 menguasai hampir seluruh Persia. Pada masa pemerintahan sultan-sultan Bani Sammaniyah, bahasa dan kesusastraan Persia mulai bangkit. Pada masa ini muncul sastrawan Persia terkemuka seperti Rudagi, Dakiki dan Firdawsi. Di bawah perlindungan sultan Sammaniyah inilah pada akhir abad ke-10 Firdawsi menulis karya agungnya, sebuah epik yang masyhur, Shah Namah(Kitab Raja-raja Persia). Pada masa itu seorang sejarawan terkemuka Ba`lami menulis kitab Sejarah Dunia, yang menjadi rujukan sampai kini. Juga hidup sejumlah ilmuwan dan filosof besar seperti Ibn Sina, al-Razi dan al-Biruni.


Dinasti Buwayh (931-1033) pada masa yang hampir sama menguasai Iran Barat dan menjadikan khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai boneka. Dinasti ini didirikan oleh Abu Suja` al-Buwayh, seorang penganut Syiah. Di Afghanistan dan India bagian barat muncul Dinasti Ghaznawi (976-1186), keturunan budak-budak Turki yang berhasil membawa naik kebudayaan dan perkembangan Islam di wilayah Hindustan. Sultannya yang terkenal ialah Sultan Mahmud.


Di Syria muncul pula Dinasti Hamdaniyah (929-1003). Tetapi dinasti yang menonjol ialah Dinasti Fatimiyah (909-1171) yang menguasai wilayah Mesir, sebagian Syria, Tunisia dan Libya. Dinasti ini didirikan oleh Mahdi `Ubaydullah, seorang pemimpin Syiah Imam Tujuh atau Ismailiyah, yang mengaku cicit Imam Syiah ke-7, Ismail.


Fatimiyah memulai gerakan politiknya di Tunisia. Setelah memperoleh kemenangan dinasti ini mendirikan ibukota baru Mahdiyyah, dekat Thapsus. Pada tahun 969-970 Fatimiyah berhasil menaklukkan Mesir dan Syria, lalu melepaskan wilayah itu dari kekuasaan Abbasiyah. Fatimiyah mendirikan ibukota Kairo. Sultan-sultan dinasti ini adalah pencinta ilmu pengetahuan. Di ibukota Kairo sebuah perpustakaan besar didirikan dan merupakan perpustakaan terbesar kedua setelah perpustakaan Baghdad. Pada tahun 1171 Fatimiyah ditaklukkan oleh pasukan Sultan Salahuddin al-Ayyubi, pahlawan Perang Salib yang berhasil merebut Yerusalem dari tangan pasukan Nasrani. Di bawah pemerintahan Salahuddin mazhab Sunni dipulihkan kembali di Syria, Mesir, Libya dan Tunusia. Ayyubi banyak membangun sekolah teologi.


Dinasti yang didirikan oleh jenderal keturunan Turk dan memerintah lama ialah Dinasti Saljug (1037-1300). Pendirinya Saljugg bin Tuqaq adalah pemimpin suku Turkoman, sebuah suku terkemuka di kalangan bangsa Turki yang mahir dalam ilmu peperangan. Saljug berhasil menyatukan kembali wilayah Islam Asia mulai dari Afghanistan sampai Timur Tengah. Mula-mula dinasti ini menguasai Transoxiana, lalu membangun benteng di Bukhara. Di Bukhara inilah Saljug bersama orang-orang Turkoman memeluk agama Islam. Pemimpin Saljug yang terkenal ialah Sultan Maliksyah pada akhir abad ke-11. Maliksyah memegang tampuk pemerintahan didampingi wasir atau perdana menterinya yang terkenal Nizam al-Mulk. Pada masa baginda hidup tokoh terkemuka seperti Imam al-Ghazali, Omar Khayyam dan Hasan al-Sabah. Yang terakhir ini, walaupun bersahabat karib dengan Omar Khayam dan Nizam al-Mulk, adalah pemimpin kaum Assasin yang banyak membuat onar.


Maliksyah membangun beberapa observatorium dan dua universitas terkenal, yaitu Universitas Nizamiyah. Satu di Baghdad dan satunya lagi di Nisyapur. Ketika Baghdad ditaklukkan oleh orang-orang Mongol pada tahun 1256, kekuasaan Dinasti Saljug mengecil, hanya meliputi sebagian Turki dan Syria.



Abdul Hadi W. M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar