Al-Quran: Urgensi Sejarah bagi Umat Dunia[1]
(Diskusi Komunitas PASTI / Paguyuban Alumni Salaf Tebuireng bersama KH. A. Mustain Syafi’i sebagai Respon Positif terhadap Penafsiran KH. Fahmi Basya tentang Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman AS)
Al-Faqîr: Fathurrahman Karyadi[2]Prolog
Al-Quran diturunkan kepada umat manusia sebagai way of life. Al-Quran tidak dikhususkan teruntuk budaya, sejarah, politik, pendidikan, kesehatan dan sebagainya, namun universal meliputi semua aspek kehidupan. Para sejarahwan meyakini bahwa Al-Quran adalah kitab sejarah, begitu pula para budayawan percaya bahwa Al-Quran adalah kitab sastra paling agung. Tak hanya itu, para pakar kedokteran, matematika, astronom, ekonom, arkeolog, psikolog, menjadikan Al-Quran sebagai referensi utama dalam eksperimen mereka. Itulah Al-Quran yang bergelar ”al-Tibyân”, sebagaimana firman-Nya ”Tibyânan likulli Syai`”.
Jumlah surat dalam al-Quran sebanyak 114 surat dan jumlah ayatnya 6.247 ayat.[3] Isi pesan al-Qur’an sangat komplek, keimanan, ibadah, akhlaq, sosial, alam semesta, pendidikan, keilmuan, ekonomi, politik dll. Kisah yang ulang-ulang justeru menyita hampir dua pertiga, sementara ayat-ayat hukum cuma 150-450 ayat. Begitu paparan Ibn al-Arabi. Sedangkan selebihnya adalah qashsas atau kisah-kisah, nasehat. Kisah bisa juga dibilang sebagai sejarah. Ia bukan sekedar back priview belaka, akan tetapi kisah-kisah dalam Al-Quran mengandung hikmah serta sebagai bukti otentik dokumen peradaban manusia.
Sejarah dan Kisah
Syaikh Muhyiddin al-Khayyath menerangkan bahwa sejarah (Târikh) adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa umat dan suku masa lalu dan masa depan. Adapun mempelajarinya sangat penting sekali bagi setiap generasi peradaban manusia. Sejarah dapat ditelusuri dengan tiga pendekatan yaitu (1) Al-âtsâr al-madhbûthah berupa peninggalan masa lalu berbentuk manuskrip, buku, diwan. (2) Al-âtsâr al-manqûlah yaitu cerita atau legenda dari para leluhur. Dan (3) Al-âtsâr al-qadîmah seperti puing-puing kerajaan, keramik guci, batu berukir, uang logam dengan angka tahun dan prasasti. [5]
Kisah bisa dikategorikan sebagai sejarah jika kisah itu nyata dan telah terjadi. Syaikh Manna’ Kholil Qatthan menjelaskan bahwa yang dimaksud qisshah dalam al-Quran ialah penjelasan Allah Swt terkait peristiwa dan tragedi yang telah terjadi pada masa umat terdahulu dan para tokoh nabi dan rasul sebelum Rasulullah Saw serta kejadian yang baru terjadi. Qisshah dalam al-Quran terbagi tiga. (1) Kisah para umat dan tokoh tempo dahulu seperti cerita Luqman bersama putranya, Dzul Qarnain, tentang Bani Israil dan sebagainya. (2) Kisah para Nabi terdahulu seperti cerita Nabi Musa As dan Fir’aun, cerita Nabi Ibrahim As hendak menyembelih putranya dan masaih banyak lagi. Dan (3) Kisah yang baru saja terjadi, periode ini ketika yang dialami Rasulullah Saw bersama para sahabat yang kemudian direkam oleh al-Quran.[6]
Cuplikan sejarah dalam Al-Quran banyak ragamnya. Ada yang termuat beberapa ayat di setiap surat, seperti kisah Nabi Adam As (al-Baqarah), kisah Dzul Qarnain (QS. al-Kahfi 83). Juga ada satu surat menceritakan kisah secara utuh, seperti surat Yusuf yang merekam otobiografi Nabiyullah Yusuf As. Tak sedikit pula, nama-nama surat dalam Al-Quran yang di-blow up dari key word sejarah itu sendiri, seperti al-Baqarah (kisah sapi Bani Israil), al-Rum (kisah negeri Romawi), Luqman (tokoh sentral bangsa hitam) dan sebagainya.
Hampir seluruh sejarah itu subyektif. Karena itu al-Quran hadir bicara sejarah se-subyektif mungkin dan terbukti serta disinggung secara realiti. Kita ingat bahwa deskriminasi sejarah yang tertinggi justru orang Eropa. Dalam bahasa Inggis, sejarah adalah Historis. Ia miliknya “his”. Sehingga semua pelaku sejarah adalah laki-laki tidak ada yang perempuan. Orang Eropa sangat deskriminasi terhadap perempuan. Islam justru mengangkat dan melindunginya. Mana ada kitab samawi atau karya orang Barat yang mengangkat derajat perempuan? Al-Quran menyebutnya Qishah atau Qashash yang artinya al-tatabbu’ bisa dilacak. Fartaddâ ‘alâ âtsârihimâ qashashâ. Bahwa sejarah dalam al-Quran itu terbuka untuk diteliti.Kisah al-Quran adalah nyata, sehingga al-Quran terbuka dan siap dievaluasi. Al-Quran tidak melakukan kebohongan publik dan tidak mengajarkan umat pandai berkhayal dan berandai-andai. Kisahnya yang nyata adalah ajaran agar manusuia bersikap realistik dan berbuat nyata. Al-Quran tidak membutuhkan jasa khayalan, meski untuk tujuan baik. Hal itu karena al-Quran sangat mampu menghadirkan yang nyata sebagai suri tauladan dan bisa menampilkan yang benar sebagai pesan kebenaran. Tidak sama dengan cerita khayal karya para novelis yang ahli khayal. Mereka menulis lamunan tanpa perlu pembuktian dan menulis khayalan tanpa pertanggung jawaban.[7]
Sejarah Tiga Zaman
Di antara kemukjizatan al-Quran dapat dibuktikan kapan saja dan di mana saja (Yashluhu fî kulli zamân wa makân). Al-Quran tidak khusus diturunkan kepada bangsa Arab semata. Tentang mengapa al-Quran berbahasa Arab itu karena saat itu kelompok manusia terbesar berada di Jazirah Arab dan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi Internasional. Maka dengan bahasa Arab semua kalangan di belahan dunia bisa dengan mudah menerimanya. Ada yang menyebutkan karena bahasa Arab adalah bahasa tertua yang dimiliki dunia sejak nabi Adam sebagai manusia pertama, disamping bahasa Arab memiliki kosakata yang amat luas.
Penulis memiliki pandangan bahwa sejarah yang dibicarakan Al-Quran terbagi menjadi tiga. Pertama, sejarah masa lalu. Sebagaimana penuturan di atas yang mengacu pada al-qisshah al-ghâbirah.
Kedua, sejarah masa sekarang. Dalam QS. al-Takwir Allah berfirman فأين تذهبون (Maka ke manakah kamu akan pergi). Jika kita perhatian sebenarnya al-Quran bertanya kepada kita setiap hari tentang ”sejarah”, apa yang akan kita perbuat? Sebab sesuatu yang kita lakukan sekarang sangat berpengaruh di masa depan. Sebagaimana kata (alm) KH. A. Wahid Hasyim “Membaca sejarah sangat penting, tetapi membuat sejarah lebih penting.”
Ketiga, sejarah masa depan. Seperti peristiwa runtuhnya gedung WTC pada 11 September. Ternyata ini sudah termaktub dalam Al-Quran dalam juz 11 QS. al-Taubah (9) ayat 109 (109 sesuai tinggi gedung WTC)[8]. Juga ayat yang menerangkan jasad Fir’aun ditemukan, Al-Quran menulis bukti otentik itu pada QS. Yunus ayat 92. Juga ada yang meramalkan usia dunia dari lafadz “Baghtah” (بغتة) yang disebut Al-Quran sebanyak 4 kali.[9]
Last Gon Be By Gone
Al-Quran menghadirkan kisah bersifat plur (biasa) berupa singgungan-singgungan bukan kisahnya itu utuh. Maka disebutkan bahwa qishah dalam Quran ada yang ghâbirah atau lampau dan ada yang hâdirah ketika al-Quran turun. Di antara sejarah mustaqbal yang ada di al-Quran adalah surat al-Rum. Saat itu—ketika al-Quran masih eksis turun—Negara Romawi kalah. Tapi oleh al-Quran diramal menang. Wa hum min ghalabihim sayaghlibûn fî bidh’i sinîn. Dalam bahasa Arab bidh’i berarti bilangan 3 sampai 9. Maka benar bahwa bangsa Romawi menang Abad ke-7 sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Abbas sebagai mukjizat al-Quran yang futuristik.
Ada yang meyakini al-Quran mencatat persitiwa WTC di Amerika. Kelemahan tafsir ilmi seperti ini terletak pada nomor surat yang disamakan (dibuat-buat). Padahal nomor surat bukanlah wahyu. Itu merupakan kreasi dalam pembukuan. Ketika pembukuan sudah lama kemudian diurutkan nomornya. Maka tafsir ilmi beresiko berat. Diantaranya, bahwa wahyu adalah kebenaran mutlak sedangkan tafsir ilmi itu kreasi berkembang. Tafsir al-Manar ketika menafsirkan sab’a samâwât sebagai tujuh planet karena waktu itu tatasurya baru tujuh belum sepuluh. Nah, sekarang buyar bukan hanya sepuluh tapi sangat banyak. Jika al-Quran dipatenkan dengan ilmu sekarang jawabannya mau tidak mau harus ”wallâhu a’lam” karena tidak menutup kemungkinan akan ada perkembangan selanjutnya. Ilmu sangat dihargai oleh al-Quran. Tetapi klaim kebenaran al-Quran itu hanya ilmu ini dan itu tidak real karena terus berkembang. Klaimnya tidak boleh.
Seorang sejarahwan yang juga seorang peneliti pernah mengeritik kelemahan umat Islam. Ada dua, yang pertama ialah romantisme historis. Kita sering mengagungkan orang-orang dulu, apalagi jika itu lelehur kita. Nah inilah yang dimanfaat Belanda agar orang-orang Indonesia itu tertidur dalam romantis sejarah. Orang-orang pintar Belanda menysun buku-buku kisah kehebatan ulama Islam tempo dahulu sehingga warga pribumi merasa damai menyimak dan membacanya. Dengan begitu mereka lupa dengan Belanda yang menjajahnya. Kedua, dogmatik antropomorfik artinya kebesaran sosok seseorang itu menjadi dogma. Jadi jika seorang tokoh yang berkata maka semua akan patuh dan takut. Bahasanya yaitu unzhur man qâla wa lâ tanzhur maqâlah (Pandanglah yang menagtakan jangan lihat apa yang dikatakan).
Al-Quran memang merekam banyak kisah keberhasilan tokoh terdahulu, para nabi dan rasul. Akan tetapi dengan bijaksananya al-Quran menutupnya dengan statement ”Tilka ummatun qad khalat” (Sudahlah mereka sudah berlalu). Ini sebagai upaya menghentikan romantisme historis dan dogmatik antropomorfik. Lahâ mâ kasabat wa lakum mâ kasabtum. Dimana prestasimu?
Ketika al-Quran menyebutkan sejarah atau kisah maka kemudian ditutup dengan ayat yang bukan hanya menganjurkan membaca sejarah tetapi memetik dan mampu membuat sejarah.
Mu’jizat Angka
Urutan nomor ayat setiap surat (tartîb al-ayat) di al-Quran itu tauqîfî (ketetapan) dari Rasul. Seperti al-Fâtihah tujuh ayat. Sedangkan tartîb al-suwar tentang urutan al-Quran mengapa al-Fâtihah dulu kemudian al-Baqarah itu khilaf cukup panjang di kalangan ulama. Jumlah ayat yang sering disebut-sebut berjumlah 6.666 ternyata tidak nominatif dan tidak ada di kitab Ulumûl Quran, terlalu banyak. Adapun jumlahnya hanya enam ribu lebih dua ratus sekian. Penomoran ayat di al-Quran yang disebutkan hanyalah surat al-Fâtihah saja, sab’an minal matsânî sedangan yang lainnya tidak. Nah, semua sepakat bahwa al-Fâtihah itu tujuh ayat tetapi berbeda pendapat peletakannya seperti Imam Syafii yang menempatkan Basmalah sebagai awal surat al-Fâtihah. Sedangkan Imam Malik tidak menganggap Baslamah sebagai ayat dalam Fatihah dan beliau tetap setuju jumlah ayatnya tujuh.
Oleh karenanya, ta’yîn atau penetapan pada nomor ayat al-Quran adalah ijtihâdî bukan tauqîfî. Itu standar mushaf Ustmani, sedangkan selain Utsmani yang menggunkan tartîb al-nuzûl maka akan tidak beraturan lagi. Tak heran, jika nomor ayat kerap dijadikan mu’jizat oleh orang Jawa karena ada semboyan mereka mengatakan otak-atik matuk (diakali agar bisa nyambung).
Seorang peniliti di Timur Tengah telah berhasil mengungkap kemukjizatan al-Quran berdasarkan angka. Di dalam al-Quran ternyata lafadz “ lafadz “Syahr” (bulan) disebutkan 12 kali sesuai dengan jumlah bulan dalam setahun dan lafadz “yaum” (hari) sebanyak 365 kali sesuai dengan jumlah hari dalam setahun. Tak cukup hanya itu, kemu’jizatan lainnya:
1. Dunia disebutkan 115 kali. Akhirat disebutkan 115 kali.
2. Malaikat 88 kali, syaitan 88 kali.
3. Kehidupan 145 kali, kematian 145 kali.
4. Kebaikan/manfaat 50 kali, jahat 50 kali.
5. Orang2 50 kali, nabi 50 kali.
6. Iblis(raja syaitan) 11 kali, menyelamatkan diri dari iblis 11 kali.
7. Musibah (bencana) 75 kali, syukur 75 kali.
8. Shodaqoh 75 kali, kepuasan 75 kali.
9. Orang2 yg tersesat 17 kali, syuhada 17 kali.
10. Muslimin 41 kali, jihad 41 kali.
11. Emas 8 kali, kehidupan yg mudah 8 kali.
12. Sihir 60 kali, fitnah 60 kali.
13. Zakat 32 kali, barokah 32 kali.
14. Pikiran 39 kali, cahaya 39 kali.
15. Lidah 25 kali, khotbah 25 kali.
16. Harapan 8 kali, ketakutan/kecemasan 8 kali.
17. Berbicara di depan publik 18 kali, pempublikasian 18 kali.
18. Penderitaan 114 kali, kesabaran 114 kali.
19. Muhammad 4 kali, syari’ah (ajaran Rasulullah saw) 4 kali.
20. Laki2 24 kali, wanita 24 kali.
Tujuan dan Manfaat Kisah al-Quran
Tentang mengapa al-Quran memuat banyak sejarah, setidaknya ada tiga alasan besar:
- Sebagai tatbîts. Fakullan naqusshû alaika min nabair rasûli mâ nutsabbitu bihî fu’âdak. Itu adalah untuk hiburan pribadi Rasulullah Saw. Alasannya karena hampir seluruh dakwah beliau mewakili kisi-kisi umat terdahulu. Seperti perintah puasa, pada umumnya semua manuisia akan menganggap itu tantangan besar. Maka umat Muhammad tahu bukan hanya mereka yang diwajibkan puasa tetapi umat terdahulu pun berpuasa.
- Tashdîq. Pemberan cerita terdahulu, bahwa para nabi pernah melakukan sesuatu. Membenarkan pelaku masa lampau. Efeknya kalau Rasulullah mengulang kembali maka tertarik dengan tashdîq-nya Nabi bahwa beliau tidak pernah berbohong.
- Izhâr. Yaitu mu’jizat al-Quran yang adakalanya ilmu dan lughâwi atau bahasa. Tampilan yang diungkap oleh al-Quran dalam kisah yang berulang-ulang itu indah dan harian. Di sinilah disebut i’jâz satu materi tapi eksposnya itu harian.
KH. A. Mustain Syafii menambahi, bahwa yang paling utama dinilai Tuhan itu kesalehan prilaku, di samping juga berprestasi menurut skill masing-masing. Mudahnya, kita dituntut bener dan pinter. Tapi bener lebih depan ketimbang pinter. Makanya, sifat wajib bagi Rasul yang pertama itu Shidq (bener), sedangkan Fathanah (pinter) nomor akhir. Keduanya erat tak terpisahkan.
Karena membentuk manusia shalih dan bertaqwa tinggi itu susah, maka dibutuhkan banyak piranti. Perlu sentuhan rohani, wejangan spiritual, bimbingan normatif, kontrol sosial, disiplin dll, sehingga ayat-ayat yang mengarah ke formasi ini perlu banyak. Dan kisah-kisah bermakna amatlah berperan dalam hal ini.
Anak kecil pastilah tertarik mendengarkan cerita, serius dan konsentrasi padahal akalnya belum lengkap dan nalar belum terbentuk. Mereka bisa menangkap pesan cerita ringan dan sekaligus bisa mengambil hikmah menurut daya fikirnya sendiri. Kisah itu tayangan yang menggambarkan peristiwa, di mana alur-alurnya bisa meresap ke dalam jiwa dan indra. Dengan kisah, seseorang lebih mudah melunak dan luluh, gampang terenyuh dan cepat sadar.
Tidak sama dengan wejangan, nasehat, doktrin apalagi dogma yang sifatnya normatif, hitam putih dan kaku. Di sinilah, mengapa kisah-kisah itu dipilih dan mendominasi. Meski diulang-ulang, tapi tidak membosankan. Hal itu karena gaya bahasanya tidak sama, sehingga angle yang digagas pada setiap kisah yang disajikan juga tidak sama. Tidak sama dengan wejangan doktriner yang cenderung membosankan bahkan bisa membuat audiens muak dan lari.
Kisah nabi terdahulu, umat masa lampau dan peristiwa masa silam sungguh sesuatu yang luar biasa dan amat menakjubkan sehingga membuat para ahli sejarah terdecak kagum. Tidak mungkin seorang yang baru kemarin lahir bisa mengatahui peristiwa jutaan tahun yang tak terdokumenkan, kecuali ada Maha Pembisik di belakangnya. Apalagi si penutur kisah, yakni Nabi Muhammad SAW diketahui tak perlah berguru, tak pernah ke luar negeri, bahkan tak bisa baca dan tak mengerti tulis. Tapi kok tahu ?. Itulah, maka kisah al-Qur’an termasuk elemen mukjizat.
George Zaidan menyebutkan bahwa diantara manfaat besar al-Quran mencantumkan sejarah adalah memberi semangat tinggi kepada ilmuan muslim untuk lebih prihatian tinggi terhadap sejarah. Ketika mereka membahas tafsir yang berkaitan tentang nama daerah atau wilayah mau tidak mau mereka harus meneliti lebih dalam bahkan menelusuri lansung situs sejarah tersebut. Tak heran dari kegandrungan itulah umat muslim dikenal sebagai umat penghasil buku sejarah terbesar di dunia. Cendikiawan muslim telah berhasil menyusun, sirah nabawaiyah, tarajum al-a’lam, thabaqat al-ulama’, mu’jam al-buldan, indeks, ensikopledia dan berbagai macam buku lainnya terkait sejarah.[10]
Beberapa kitab sejarah yang terkenal diantaranya Târîkh al-Baghdâd oleh Ahmad bin Thahir, Târîkh al-Thabârî oleh Imam Abu Ja’far al-Thabari, al-Bidâyah wa al-Nihâyah oleh Ibnu Katsir, Tarâjum al-Rijâl oleh Ibnu Ishaq, Sîrah al-Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam, Tafsîr al-Mufassirîn oleh Al-Dzahabi, Thabaqât al-Shahâbat oleh al-Waqidi, al-Ashâbah fî Tamyîz al-Shahâbah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahzdîb al-Asmâ’ oleh Imam Nawawi, Kasyf al-Dzunnûn oleh Syekh Hadji dan lain sebagainya.
Peradaban Isam dan Bangsa Arab
Islam bukan Arab, tetapi Islam tidak bisa dipisahkan dengan Arab. Statement ini dibuktikan oleh Prof. KH Said Aqil Siradj bahwa ternyata para penemu keilmuan penting dalam Islam 90% adalah orang Non Arab. Seperti Penggagas ilmu Nahwu Imam Ahmad bin Kholil al-Faroghidi, penemu ilmu Balaghah Imam Ibnu Ubaid, peletak ilmu Mustholah Hadits Syihabuddin al-Rofahini, penulis tafsir 30 juz sempurna pertama kali ialah Abu Ja’far Ibnu Jarir al-Thabari/Tobaristan, pencetus ilmu tajwib Abu Ubaid Qosim bin Salam, ilmu kalam oleh Washil bin Atho’, bahkan sepuluh Imam hadits terkemuka (Imam Bukhari, Muslim, Turmudzi,dst) tidak satupun orang Arab! [11]
Dunia mengenal bahwa banyak ulama besar yang ternyata lahir dari nusatara. Sebut saja seperi Syaikh Arsyad Banjarmasin, Syaikh Hamzah Fansuri Aceh, Syaikh Abdus Samad Palembang, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Abdul Hamid Kudus, Syaikh Yasin Padang dan masih banyak lagi. Jauh sebelum generasi tersebut, Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa telah membangun peradaban Islam yang luar biasa. Dari ranah budaya yang mereka sentuh lalu terciptalah banyak produk yang sebenarnya itu kearab-araban contoh kecil saja tembang berikut ini:
اسلك اسلك بطنك usluk, usluk bathnak
بطنك لا اله الا الله bathnuka laa ilaaha illallaah
سرما يصل sirru maa yashilu
لااله الاالله فيموت laa ilaaha illallaah fayamuutu
فجد د الليل لبه fajaddid allaila lubbah
Artinya: Jalankanlah, jalankanlah batinmu. Batinmu (melantunkan): laa ilaaha illallaah. Rahasia yang akan bertemu. (Mengucap) Laa ilaaha illallah kemudian (langsung) mati
Maka perbaruilah (imanmu dengan ucapan laa ilaaha illallaah) pada malam ini, yaitu pada tengah (malam)-nya.
Selebihnya (“wong mati ora obah / yen obah medeni bocah / yen urip goleko dhuwit”) memang sepenuhnya kalimat-kalimat Jawa (“orang mati tidak bergerak / kalau bergerak menakuti kanak-kanak / kalau hidup mencari duit”), merupakan penjelasan metaforis atas salah satu aforisma dalam kitab al-Hikam karya Asy Syaikh Muhammad ibn ‘Athoillah As Sakandari:
الاعمال صور قائمة وارواحها وجود سر الاخلاص فيها
(Amal itu [barulah] merupakan sosok yang siaga. Nyawanya adalah eksistensi rahasia ikhlas didalamnya)
Serta penamaan dalam wayang:
شمر خيرا فاترك بغـيا
Syammir (semar) khoiron (gareng) fatruk (petruk) baghyan (bagong)
Artinya: bersegeralah (kepada) kebaikan kemudian (segera) tinggalkanlah kebangsatan.[12]
Borobudur Sebagai Kerajaan Sulaiman
Baru-baru ini ada sebuah penemuan menarik terkait sejarah Borobudur. Selama ini kita mengenal bahwa Borobudur adalah bangunan Budhis yang dibangun pada masa dinasti Syailendra abad ke-7 M. Kini oleh KH. Fahmi Basya Borobudur diklaim peninggalan Nabi Sulaiman (hidup sekitar 1000 SM - 900 SM). Uniknya, dosen Matematika di UIN Jakarta itu mengemukakan pendapatnya dengan argumen ayat-ayat al-Quran.
KH. Fahmi Basya bersama tim saat ekspedisi ke Borobdur (kiri). Alur cerita pembuktian Borobudur sebagai peninggalan Nabi Sulaiman As dengan dalil alQuran (kanan).
Situs Wikipedia menyebutkan bahwa Candi Borobudur adalah salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang didirikan oleh penganut agama Budha Mahanaya pada masa Mataram Kuno dibawah pemerintahan Dinasti Syailendra. Berdasarkan tulisan yang terdapat pada “kaki” tertutup dari Candi Borobudur yang berbentuk huruf Jawa kuno yang berasal dari huruf pallawa, diperkirakan tahun berdirinya candi tersebut pada tahun 850 Masehi.
Candi Borobudur tidak asal bangun, akan tetapi menggunakan teknologi tinggi, arsitektur dan cita rasa seni begitu menawan. Ia lebih besar daripada Taj Mahal India, Eiffel Prancis atau Angkor Vat di Kamboja. Ia dibangun dengan menggunakan +/- 55.000 m3 batu setara dengan 2 juta bongkah batu. Jumlah relief sebanyak 1460 relief, jika dipanjangkan sekitar 3 kilometer. Tinggi bangunan ini sampai kepuncak adalah 42m, dengan lebar dasar 123 m. Umur Candi Borobudur ini telah mencapai 12 abad.
Ahli sejarah menyebutkan beberapa misteri yang menakjubkan di Borobudur pada angka-angkanya. Pertama, Patung Budha (Stupa) ada 72 buah, secara matematis = 23 x 32 x 7. Jika 72 stupa ditambah 1 stupa induk = 73. Jumlah ini sama dengan jumlah hari pasaran JAWA (Pahing Pon, Wage, Kliwon dan Legi). Jika 73 x 5 = 365 hari. Kedua, jumlah reliefnya ada 1460 merupakan hasil kali 4 x 365 artinya menunjukkan pengalaman hidup Sang Budha di dunia selama 4 tahun berturuit turut.[14]
Menurut KH. Fahmi Basya di Borobudur memang terdapat beberapa simbol dalam relief, yang mengesankan dan identik dengan kisah Sulaiman dan Ratu Saba, sebagaimana keterangan Alquran. Sehingga dari situlah beliau berani mengatakan bahwa Borobudur merupakan peninggalan Nabiyullah Sulaiman. Diantara alsan dan bukti-bukti lainnya sebagaimana berikut:
Kelemahan Teori Borobudur Sulaiman
Dalam diskusi yang diadakan oleh mahasiswa Ma’had Aly dan IKAHA (terhimpun dalam komunitas PASTI) bersama KH. A Mustain Syafi’i da 24 Oktober 2011 memang tidak dikhususkan membahas teori KH. Fahmi Basya. Akan tetapi pembahasan yang bertema “Sejarah dan Kisah dalam al-Quran” itu sedikit menyinggung teori ahli matematika Islam itu terkait Borobudur.
Semua yakin dan nyata bahwa al-Quran menyebut nama negeri Saba’. Namun dimanakah negeri subur itu berada? Semua mufassirin terdahulu menyebutkan bahwa Saba’ di Yaman Selatan sedangkan kerajaan Nabi Sulaiman di Palestina, seperti Abu Ja’far al-Thabari dan Ibnu Katsir. Bisa dibayangkan jika Saba’ diartikan Wonosobo, para mukhatab se-jazirah Arab akan heran dimana itu Wonosobo. Bisa jadi akan mengalami disconnec antara wahyu dan mukhatab. Ini dalam tinjauan ilmu komunikasi.
Situs sejarah kerajaan Nabi Sulaiman di Palestina dan Sidr Qalil kerajaan Ratu Bilqis di Yaman versi mufassir Timur Tengah dan dan ilmuan Barat
Situs sejarah kerajaan Nabi Sulaiman di Sleman Yogyakarta dan Sidr Qalil kerajaan Ratu Boko di Wonosobo versi KH. Fahmi Basya
Jarak kerajaan Saba’ di Yaman dengan kerajaan Nabi Sulaiman di Palestina itu 1.500 Km lebih. Perjalanan itu ditempuh burung Hud-Hud dengan membawa surat yang sudah didesaign dengan teknologi kertas dan pena yang bagus. Jika sekarang memang tampaknya mustahil karena jauhnya jarak yang ditempuh. Namun dulu bisa saja terjadi, ukuran burung yang besar dan memiliki energi super, WalLahu a’lam.
Peta yang menunjukkan kerajaan Ratu Bilqis di Yaman Selatan dekat Ma’rib dan kerajaan Nabi Sulaiman di Palestina daerah al-Quds
Sedangkan Arsy yang dimaksud dalam bahasa Arab itu cendrung bermakna kursi besar bukan Stupa. Seperti dalam kisah Imam Ibnu Taimiyah yang ditanya tentang tafsir al-Quran “Arrahmân ‘alal arsy stawâ?” maka dijawab “Ya seperti saya seperti ini duduk di kursi ini,” ucap beliau sembari menggoyangkan tubuhnya di atas kursi besar. Nah di sini tampaknya ada yang berbeda dalam penafsiran KH. Fahmi Basya, beliau mengatakan arsy Bilqis itu adalah stupa di Kerajaan Boko di Wonosobo bahkan terdapat sisa-sisanya yang terbut dari batu.
Seperti pendekatan tafsir al-Quran yang dilakukan Agus Mustofa. Beliau memakai fisika, bagus memang. Akan tetapi jika ilmu, teknologi, dunia dijadikan rumusan tafsir pasti beresiko. Seperti yang beliau dalam bukunya “Ternyata Akherat Tidak Kekal”. Buku yang berjumlah 200 halaman lebih sedangkan yang berbicara fokus tentang judul hanya beberapa lembar halaman saja tentang ayat ”Mâ dâmatis samâwâti wal ardl”. Kelemahan beliau dalam penafsirannya, bahwa menghitung akherat dengan menggunakan piranti-piranti planet padahal akherat bukan memakai waktu lagi melaikan abqa. Mulanya disebut al-âkhirah karena unlimited maka ukuran waktu tidak mampu menjangkau.
Jika kita kaji lagi tentang kemegahan dan kejayaan kerajaan masa lalu dengan teknologi sekarang maka tidak akan puas. Seperti bagaimana meletakkan batu paling pucuk pada Piramid Mesir. Bisa saja dengan ramuan seperti film Popeye yang lalu memiliki kemampuan super. Dan perlu diingat pada waktu itu apalagi masa Nabi Sulaiman As bahwa jin dan makhlus halus lainnya bisa diperintah. Bisa dipastikan kejaiban tempo dulu pasti memakai supra energi dan supra rasional. Jin ada yang ditugasi mencari mutiara di dasar laut, Wa minas syayâtina man yaghussûna lahû. Ada juga yang ditugasi menjadi arsitek. Ya’malûna lahû ma yasyâ’ min mahârib wa tamâtsîl[13] wa jifânin kal jawâb wa qudûrir râsiyât. Ada yang bertugas membuat kubah, patung, nampan besar dan guci-guci.
Untuk membandingkan—bukan membantah—teori KH. Fahmi yang kami tuturkan di atas hanya yang kami rangkum dari hasil diskusi. Sedangkan sangkalan dan kritik tajam yang banyak tersebar di Internet tidak kami muat. Seperti ada yang mengatakan kelemanhan teori beliau yang mengatakan bahwa Ratu Boko itu Ratu Bilqis padahal Ratu Boko adalah pria (Prabu Boko), tentang tahun berdirinya Borobudur sebagaimana yang tertera dalam buku sejarah Nasional yaitu abad ke-8 M atau 1.200 tahun silam sedangkan Nabi Sulaiman hidup pada abad ke-9 SM (989-931 SM) atau sekitar 3.000 tahun yang lalu. WaLlahu a’lam
Ketika makalah ini ditulis, perkembangan teori Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman terus seru berlanjut. KH. Fahmi Basya mengadakan acara talkshow di berbagai tempat termasuk bersama pakar sejarah Agus Aris Munandar. Pada hari Kamis 10 November 2011 penulis mendapat sms dari tim beliau. Isinya sebuah undangan untuk mengikuti ekspedisi KH. Fahmi Basya ke Jogja Magelang dalam rangka pembuktian Asy Saba (Borobudur) yang akan diadakan pada tanggal 19-20 November 2011.
Epilog
Demikian hasil diskusi yang kami lakukan. Makalah ini sekedar pembuka kepada para cendikiawan muda khususnya kepada para kaum pesantren. Bahwa di luar sana terdapat banyak penafsiran ayat terhadap fenomena-fenomena klasik maupun kemodernan. Mereka yang bukan ahlinya dengan mudah menghasilkan sebuah penafsiran yang bisa saja benar dan tidak menutup kemungkinan salah. Maka sebagai ahli agama, sudah sepantasnya para santri dan ustadz turut aktif menyumbangkan pemikiran dan kearifannya kepada publik, agar tidak terjadi kekosongan ilmiah dalam lingkup peradaban manusia sekarang ini.
Makalah ini juga me-review tentang kaidah-kaidah qishah dalam perspektif ulum al-Quran. Bagi yang telah mempelajarinya maka akan bisa mengingat kembali dan bagi yang baru mengetahuinya semoga dapat terangsang untuk memperdalam keilmuan tersebut. Semoga bermanfaat. Amin
WalLahu A’lam bis Shawab
[1] Makalah ini merupakan penjabaran dari makalah aslinya yang berjudul “Bagaimana Al-Quran Bicara Sejarah?”disampaikan dalam diskusi komunitas PASTI bersama KH. A. Musta’in Syafi’i pada 24 Oktober 2011 di Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Dihadiri oleh sekitar 60 peserta dari kalangan Mahasiswa dan santri.[2] Santri Pesantren Tebuireng, Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari jurusan Syariah.
[3] Dr. Sayid Khidr, al-Fawâshil al-Qur’aniyah (ArabSaudi: Riyadh)
[4] Keterangan KH. A. Musta’in Syafii dalam diskusi
[5] Syaikh Muhyiddin al-Khayyath Durûs al-Târikh al-Islâmy
[9] Lafadz ini dihitung dengan rumus Abajadun, maka totalnya “1802” dhitung sejak Rasululah Saw hijrah. (KH Mundzir Nadzir, Pakeming Tanah Jawi. Surabaya: 1956, hal.17)
[10] George Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-Arabiyah (Mesir: Hilal)
[11] Mauidzah Hasanah Prof. KH Said Aqil Siradj pada acara Haul ke-40 (alm) KH Abdul Wahab Hasbullah, Tambakberas, 8 Oktober 2011
[12] Diunduh dari situs www.teronggosong.com oleh KH Yahya Chalil Tsaquf pada 19 Maret 2011 jam 22:38
[13] Dalam lughat timtsâl itu seni dan shanam itu buat disembah.
[14] Posted 27 Februari 2009 by teguhhariawan in ARKEOLOGI & SEJARAH.
Fathurrahman Karyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar