Banyak orang mengidentikkan kalau ciri khas orang Ba
nten itu adalah seorang yang jago silat dan juga ahli agama. Sampai sekarang pun, banyak orang yang masih mengidentikkan orang Banten dengan kedua hal tersebut. Anggapan itu memang dirasa wajar, mengingat dulu pada saat kesultanan Banten didirikan, para leluhur Banten memang telah mendorong masyarakat Banten agar membangun identitas mereka berdasarkan iman Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin, dan keahlian silat sebagai penunjang dalam membela keimanan mereka. Dari situlah mulai terbangun identitas budaya masyarakat Banten yang luhur, semua itu dibangun dan diwujudkan dengan asumsi-asumsi persamaan dan perbedaan yang mesti dihormati, dan sama kedudukannya di mata hukum saat itu. Karena identitas itulah kesultanan Banten dikenal di dunia luar sebagai kesultanan yang besar, dimana semua masyarakatnya sangat berbudi pekerti dan mentoleransi akan perbedaan-perbedaan dengan bangsa lain ataupun umat agama lain. Tetapi itu dulu. Lain dulu, lain sekarang, jaman sudah berubah dan orang sudah tidak seperti dulu lagi. Semenjak bangsa Belanda mulai menjajah dan menghancurkan kesultanan Banten, masyarakat Banten yang semula berjiwa mandiri berubah menjadi berjiwa ketergantungan dengan pemikiran yang sempit. Penguasa lautan dengan perdagangan rempah-rempah sebagai perekonomian yang membesarkan kesultanan, gelar-gelar agung itu pernah dimiliki kesultanan Banten. Sekarang, semuanya tak ada lagi. Diperlukan orang yang sangat licik dan licin dengan kejahatan yang murni untuk memunculkan pemikiran sesat yang belum pernah orang Banten perkirakan sebelum-sebelumnya, guna mengubah mental orang Banten, dan menghancurkan identitas serta motivasi mereka.
Hanya orang Belanda saja yang sanggup melakukan itu terhadap orang Banten. Sebelum bangsa Belanda datang, Banten merupakan kerajaan yang besar, bukan kerajaan boneka pertanian dimana tiap penduduknya menjadi budak perkebunan di atas lahannya sendiri. Banten adalah kerajaan maritim, kerajaan dagang, dimana tiap penduduknya bebas untuk menentukan jalan hidupnya, apakah akan menjadi saudagar ataukah menjadi petani, itu terserah pada tiap individu dalam masyarakat kerajaan Banten. Semuanya sudah mapan sebelum Belanda datang menjajah, rakyat Banten punya Sultan, punya madrasah yang besar, dan memiliki pasar rempah-rempah yang terkenal di dunia internasional. Tetapi mengapakah kerajaan Banten bisa hancur, mengapakah Banten bisa dijajah Belanda? Baiklah saya akan mengatakannya menurut yang saya ketahui; Belanda bisa menjajah Banten karena mereka memiliki motivasi. Bangsa Belanda memiliki motivasi yang kuat. Motivasi itulah yang membuat mereka berambisi untuk menguasai Kerajaan Banten yang indah nan mempesona dengan segala cara. Karena orang Belanda adalah pedagang yang dzhalim, mereka berpikir keras untuk menemukan cara dalam mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari negeri ini, dan mereka pun mendapatkan suatu cara untuk menguasai Banten, mereka menguasai Banten dengan adu domba.
Tujuan apapun akan bisa dicapai jika dilandasi dengan motivasi yang kuat. Motivasi jahat seperti inilah yang membuat Belanda menjadi penguasa di Banten, satu motivasi dimana para pedagang perompak berusaha memperoleh keuntungan dengan cara mematikan motivasi rakyat Banten, menyeret dan menggiring seluruh rakyat Banten ke daerah pedalaman menjadi budak tanam paksa.
Sebagai bangsa yang pernah besar, yang pernah mendapatkan kebesaran dengan tidak merendahkan atau menindas bangsa lain, orang Banten juga tidak boleh kalah dengan bangsa Belanda, orang Banten juga harus memiliki motivasi seperti bangsa Belanda, tetapi motivasi yang mulia seperti yang ditanamkan para leluhur pendiri kesultanan, inilah yang membedakan orang Banten dengan bangsa Belanda. Orang Banten harus memiliki motivasi untuk bangkit, untuk berusaha dengan upaya sendiri. Hanya dengan motivasi yang mulialah orang Banten bisa maju, bisa menemukan kembali jati dirinya/identitas.
Semua ini tidak mustahil! Dengan motivasi, orang Banten pada akhirnya bisa mengusir Belanda, bisa mengusir Jepang dari bumi Banten. Juga dengan motivasi, orang Banten pun pernah menjadi penyelamat negeri ini ketika salah putra Banten yang bernama Prawiranegara menjadi presiden darurat Republik Indonesia. Bisa untuk dikatakan dengan penuh kebanggan bahwa motivasi tersebut adalah motivasi untuk memegang teguh prinsip kejujuran, kebenaran, dan iman. Hal ini seharusnya senantiasa diingat sebagai bagian penting dari sejarah Banten. Inilah modal orang Banten untuk merengkuh kehidupan masa depan, karena kita harus sadari bahwa Belanda pun bisa menguasai negeri ini hanya mengandalkan modal motivasi saja.
Mungkin, masih akan memerlukan waktu puluhan tahun lagi bagi masyarakat Banten dalam menemukan kembali identitasnya. Karena perlu diakui bahwa sudah ratusan tahun juga masyarakat Banten sudah dijajah dan dirubah mental berpikirnya. Apakah begitu Belanda sudah pulang ke negerinya, dan kita menjadi merdeka, orang Banten bisa merdeka sepenuhnya? Bahkan ketika sudah merdeka pun, orang Banten masih didzhalimi oleh bangsanya sendiri yang merupakan kader bentukan bangsa Belanda, tak lain adalah presiden Soeharto. Selama 32 tahun dari masa kepemimpinan Soeharto, semua rakyat Banten beserta para ulamanya dipaksa untuk memilih warna kuning dalam program Kuningisasi yang dilakukan rezim Orde Baru. Hilang lagi kesempatan bagi masyarakat Banten untuk menemukan jati dirinya.
Susah payah bangsa Belanda berusaha menghilangkan identitas sejati orang Banten, mereka sangat sadar kalau identitas adalah representasi diri melalui mana seseorang atau masyarakat melihat dirinya sendiri, dan bagaimana orang lain melihat mereka sebagai sebuah entitas sosial-budaya. Bangsa Belanda sangat khawatir kalau-kalau orang Banten akan menyadari posisinya sebagai sebagai makhluk budaya, yang dengan identitasnya, akan berusaha membangun kembali identitas mereka dalam relasi sosial dan kultural mereka, untuk menegaskan posisi individual dan sosial suatu komunitas di hadapan orang atau komunitas lain. Oleh karena itu, pihak penjajah Belanda berusaha keras untuk menutup akses orang Banten terhadap dunia luar, mulai dari; pembatasan kuota naik haji, pembatasan akses pendidikan Eropa, yang kemudian mencapai puncaknya ketika Belanda mengeluarkan kebijakan untuk menghapus kesultanan Banten pada era kepemimpinan Daendels.
Hingga saat ini, meski sudah diberlakukan otonomi daerah, tetap saja mental budak atau penguasa budak, masih tertanam di benak orang Banten atau pemimpin-pemimpinnya. Rasa curiga terhadap orang luar masih banyak dijumpai pada tiap individu warga Banten, juga jiwa berpetualang untuk menjelajahi dunia luar, dan berekspansi pun seakan sudah lenyap dari jiwa orang Banten. Pemikiran mereka masih berkutat pada hal-hal yang kecil dan sempit, sehingga tidaklah heran kalau propinsi Banten masih sangat tertinggal jauh akan kemajuannya bila dibandingkan dengan propinsi lain.
Sekarang, orang diluar Banten pun bisa melihat kalau perubahan budaya identitas orang Banten dari yang bernilai luhur dengan berasaskan iman Islam ke kebudayaan praktis bisnis dengan mengandalkan proyek-proyek APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) Banten sebagai lini utama tujuan usaha, berlangsung dramatis dan memprihatinkan. Perubahan ini memperlihatkan proses historis yang rumit dimana dalam proses ini berbagai nilai-nilai yang mulia nan agung, meski masih ada bisa kita temui pada wilayah-wilayah yang terpencil, sedikit demi sedikitnya mulai luluh lantak oleh modernisasi kapitalis yang salah kaprah.
Meski begitu, harapan masih ada. Apapun sikap negatif dan picik yang diperlihatkan oleh beberapa oknum orang Banten bermentalkan penjajah Belanda, dan apa pun pergantian perang dan politik kekuasaan internal yang pernah ada di Propinsi Banten dari masa ke masa, di sana ada interaksi budaya yang luar biasa antara Islam, Hindu, Budha, Kristen (Belanda), dan kemudian modernisasi politik etis, Jepang, kemerdekaan Indonesia, Komunisme, dan akhirnya otonomi daerah pada saat ini. Agak ironis bahwa dari kesemua interaksi tersebut, tak ada yang menghasilkan kemajuan pemikiran mental masyarakat Banten.
Dengan argumen itu, maka proyek identitas merupakan konsekuensi politik dan kultural dalam relasi sosial yang kompleks. Pembacaan yang kritis terhadap proyek identitas masyarakat Banten lebih merupakan usaha untuk menegaskan batas-batas kasahihan identitas masyarakat Banten itu sendiri, khususnya menyangkut pembuktian destabilisasi signifikasinya yang seringkali tidak disadari. Karena identitas tidak utuh, tidak tunggal, dan tidak final, maka proyek identitas adalah produk kebudayaan yang bersifat relatif dan temporer, sekaligus mengandaikan keberterimaan atas keberbagaian dalam percaturan relasi-ralasi sosial-budaya yang memang majemuk.
Rully Ferdiansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar