BENAR kata orang-orang hebat dalam “mencuri” inspirasi, saat ingin menulis atau menuangkan sesuatu yang terinspirasi itu harus segera ditulis atau dicatat. Karena setiap awal dari proses itu akan menjadikan sejarah tersendiri.
Memang tulisan kali ini, saya akui adalah sebuah inspirasi dari status Facebook Muda Bentara terkait dihampir seluruh media cetak atau elektronik diseluruh dunia meliput sebuah acara yang diberi tema “Pernikahan Abad Ini”, tentu saja Anda sudah tahu siapa yang dimaksud itu.
Tepatnya hari Jum’at (29/4), semua mata tertuju ke Inggris. Royal Wedding yang disajikan secara live diberbagai penjuru dunia yang menyita puluhan juta perhatian umat manusia. Namun, apa dikata di Aceh sana saat menjelang waktu Ashar gempa kembali terjadi yang membuat sebagian warga kembali panik.
Kembali pada hubungan mesra Aceh dan Inggris dulu, jauh pada abad ke-16 perjalanan panjang Aceh yang telah berdiri sendiri sebagai sebuah kerajaan dibawah kesultanan Alauddin Riayat Syah cukup memberikan dampak yang berarti dalam menjalin diplomasi dengan kerajaan Inggris serta dengan negara-negara Eropa lainnya.
Pada masa itu, kerajaan Inggris dipegang oleh tampuk kepemimpinan seorang ratu yang bernama Elizabeth I (1558 – 1603). Sang Ratu mengutus Sir James Lancaster dengan armadanya untuk menuju ke Aceh. Empat buah kapal bertolak ke Aceh pada saat itu, mereka tiba di bandar Aceh pada tanggal 29 Mei 1602 seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana dalam buku “Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara” (ada sebagian yang menulis pada tanggal 6 Juni 1602).
Rombongan pertama dari Inggris ini pun tidak lama tinggal di Aceh, Oktober 1602 mereka melanjutkan perjalanan ke Banten. Singkat cerita, selama keberadaan Sir James Lancaster di Aceh yang diutuskan oleh Ratu Elizabeth I ternyata dimanfaatkan untuk melakukan berbagai perjanjian dagang dengan Sultan pada waktu itu.
Selain ingin menyampaikan surat dari Ratu Elizabeth I, Sir James Lancaster pun mendapat julukan atau gelar sebagai “Orang Kaya Putih” disana. Keberadaan rombongan dari Inggris ini mendapat sambutan hangat dari sultan di Aceh, sampai-sampai dalam perjanjian perdagangan sultan Aceh mengeluarkan surat pernyataan yang berisi memberikan izin kepada kapal-kapal Inggris memasuki bandar Aceh.
Sultan juga memerintahkan agar orang-orang Aceh harus bersikap baik kepada anak buah kapal Inggris yang sedang berlabuh serta memberikan bantuan dengan seperlunya jika mereka membutuhkan.
Pada masa itu, Sultan Alauddin Riayat Syah menerima kedatangan Sir James Lancaster sebagai tamu agung. Sultan pun menyambut dengan pakaian kebesarannya, serta didampingin oleh pembesar kesultanan Aceh lainnya. Sedangkan Sir James Lancaster didampingi oleh dua orang tamu pengiring Belanda yang datang dengan kapal Witte dan Zwarte Arend.
Dalam rangkaian sambutan dan jamuan tersebut, setelah prosesi tari-tarian berlangsung yang kini menjadi adat peumulia jamee (memuliakan tamu) di Aceh. Sir James Lancaster mengeluarkan pernyataan berjanji akan mengusir orang-orang Portugis dari pantai Aceh, yang nanti suatu saat Sir James akan kembali dengan armada yang lebih kuat lengkap dengan persenjataannya untuk mengusir Portugis.
Patah arang, benih-benih persahabatan Aceh dan Portugis pun mengalami keretakan. Sementara dua tamu pendamping Belanda yang hadir pada jamuan tersebut juga menyetujui dengan pernyataan dari Sir James Lancaster.
Lagi-lagi, wanita Aceh yang menjadi kepercayaan Sultan, Laksamana Malahayati dengan jabatan Panglima Armada Inong Balee memberikan nasihat kepada Sultan. Agar empat buah kapal Inggris yang sedang berada di pelabuhan meninggalkan bandar pada malam hari. Karena keberadaan kapal Inggris tersebut telah diketahui oleh Portugis, Laksamana Malahayati pun memainkan perannya sebagai seorang diplomat, selain kiprahnya di medan perang laut yang telah diakui oleh bangsa Aceh.
Akhirnya kapal-kapal Portugis yang ingin merapat ke bandar Aceh ditahan oleh Laksamana, demi menjaga keselamatan kapal-kapal Inggris. Laksamana pun mengambil alasan kongkrit bagi kapal-kapal Portugis, bahwa mereka belum mendapat izin dari Sultan untuk bisa merapat ke pelabuhan, karena secara umum tujuan Portugis ke pelabuhan adalah ingin memborong rempah-rempah Aceh, termasuk salah satunya lada yang paling diminati.
Setelah berakhirnya Ratu Elizabeth I, hubungan kemesraan antara Aceh dan Inggris masih tetap berlanjut pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James pun pada waktu itu mengirim sebuah hadiah berupa meriam kepada Sultan Aceh. Menurut beberapa tulisan, meriam hadiah tersebut sampai saat ini masih terawat yang dikenal dengan sebutan “Meriam Raja James”.
Terlepas dari kenangan masa lalu Aceh dan Inggris, kini apa yang bisa kita lihat dari kemesraan masa lalu. Beberapa perjanjiaan Aceh dan Inggris banyak yang sudah “diingkari”, nafsu imperialisme kadang memperbudak sebuah bangsa untuk ingin menguasai sebagian yang lain.
Tepatnya sekitar abad ke-18, keretakan dan konflik antara Aceh dan Inggris serta Belanda memuncak. Satu-satu wilayah kekuasaan Aceh mulai hilang, salah satunya wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Bahkan perang Aceh dan Belanda yang meletus pada 26 Maret 1873, pihak Belanda mendapat restu dari Inggris, ouh sungguh terlalu.
Sejarah tinggallah sejarah, kini Inggris dengan Royal Wedding-nya yang baru saja berlalu antara Pangeran William dan Kate Middleton telah membuat sejarah baru disana. Namun, sadarkah kita (baca: generasi muda-mudi Aceh) dengan sejarah terdahulu para endatu ini? sejarah yang terjadi jauh sebelum kita lahir yang berpaut abad ke abad.[]
Semoga setiap jawaban ini bisa terjawab dari dalam hati masing-masing, hanya ini secuil kisah mesra Aceh dan Inggris dulu. Sudi kiranya ada manfaat, jika ada tambahan dengan sangat hormat saya harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar