Dalam tulisan sebelumnya dijelaskan, “injilisasi” terhadap Islam dilakukan secara halus. Bahkan sampai terhadap kamus-kamus –yang selama ini—menjadi pegangan para santri di pondok pesantren. Mengapa demikian? Apakah ada hubungannya dengan teks Bible sendiri?
Teka-teki Problem Bible
Sebagaimana diakui oleh umat Kristen sendiri bahwa Bible dijadikan sebagai Kitab Suci pasca-kematian Musa dan Yesus Kristus. Dengan begitu, Bible tidak terlepas dari berbagai interes manusia (penulisnya). Bahasa asli Bible (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) saja tidak mampu diselamatkan oleh orang Kristen sendiri. Maka wajar jika mereka mengakui “keagungan” Al-Quran yang secara keseluruhan merupakan wahyu Allah (Kalamullah). Ia bukan fifty-fifty (ucapan Allah sekaligus ucapan selain Allah) sebagaimana halnya Bible.
Michael Keene dalam bukunya The Bible mencatat bahwa kitab-kitab yang menyusun Kitab Suci Ibrani dan, dengan variasi-variasi kunci dalam susunannya, Perjanjian Lama disusun selama 900 tahun. (Michael Keene, Alkitab: Sejarah, Proses Terbentuk, dan Pengaruhnya, terj. Y. Dwi Koratno, Yogyarkarta: Kanisius, 2006, hlm. 68). Untuk menyususn Gospel (Injil, PB), umat Kristen membutuhkan empat tahap.
Pertama, surat-surat yang dikirim ke berbagai gereja pada pertengahan abad pertama oleh para rasul dikumpulkan dan diedarkan secara luas, sementara surat-surat Paulus diletakkan bersama dalam suatu kumpulan terpisah.
Surat kepada jemaah Efesus bisa jadi merupakan pendahuluan editorial pada kumpulan ini karena meringkaskan seluruh pewartaan Paulus yang paling penting.
Kedua, tradisi lisan tentang Yesus sungguh-sungguh bernilai tinggi dan, pada waktunya, banyak yang dimasukkan ke dalam empat Injil yang tertulis. Ketiga, Perjanjian Baru diterbitkan oleh Marcion, dikenal sebagai seorang bidah, tahun 140 M berisi Injil Lukas dan sepuluh surat Paulus, tidak seperti kitab yang sudah diedarkan secara luas dalam Gereja. Dan keempat, daftar kitab dalam Fragmen Muratorian (190 M) memasukkan keempat Injil, Kisah Para Rasul, 13 surat Paulus, surat Yohanes dan Yudas, dan Kitab Wahyu, tetapi menghilangkan surat Ibrani, Yakobus, dan dua surat Petrus. Klemens dari Aleksandria (… 215 M) memasukkan Ibrani, sedangkan Eusebius (… 340 M) meragukan nilai Kitab Wahyu. (ibid., hlm. 78 & 79). Masalah bahasa Bible pun menjadi problem.
Karena tidak bisa mempertahankan bahasa asli Bible (Ibrani dan Arami), umat Kristen terpaksa menjadikan bahasa Yunani sebagai lingua-franca kitab suci mereka. Keene mengakui hal ini dan menyatakan bahwa menjelang akhir abad ke-4 SM bahasa Yunani telah menjadi sarana komunikasi utama di banyak dunia yang telah dikenal.
Di kalangan masyarakat Yahudi yang secara luas tersebar melintasi Mediterania dan Timur Tengah hanya sedikit orang yang berbicara bahasa Ibrani, sehingga masyarakat secara keseluruhan tidak bisa membaca kitab suci mereka sendiri. Dalam suatu dunia yang didominasi oleh budaya dan bahasa Yunani, kebutuhan untuk menterjemahkan kitab suci Ibrani ke dalam bahasa Yunani mendesak dilakukan. Pekerjaan ini dimulai pada abad ke-3 SM. (ibid., hlm. 70).
Tidak sampi di situ, terjemahan itu pun menjadi masalah. Pasalnya, terjemahan tersebut tidak menjadi terjemahan “paten” dan “final”. Semuanya bersifat temporal. Karena Bible –disebabkan tidak memiliki bahasa aslinya lagi—harus disesuaikan dengan roda perkembangan zaman. Karena terjemahan Bible tidak bisa dilakukan “sekali” untuk selamanya. V. Indra Sanjaya Pr., seorang imam diosesan Keuskupan Agung, Semarang dalam bukunya Tentang Alkitab mengakui problem ini.
Dalam sub-judul “Sekali untuk Selamanya?” dia menjawab pertanyaan tersebut: “Pertanyaan di atas menyangkut ‘nasib’ terjemahan yang kita miliki. Apakah Alkitab yang kita miliki –yang merupakan terjemahan itu—bisa berlaku sepanjang segala abad sehingga tidak setiap saat kita harus ganti dan beli yang baru? Sayang sekali, jawabannya negatif. Alkitab kita tidak bisa berlaku untuk selama-lamanya. (Lihat: V. Indra Sanjaya Pr., Tentang Alkitab, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 41. Lihat juga: Christopher D. Hudson, Carol Smith dan Valerie Weidemann, Buku Pintar Alkitab: Cara Terlengkap, Termudah, dan Menyenangkan untuk Memahami Firman Allah, terj. Michael Wong, Jakarta: PT. Bethlehem Publisher, 2008).
Belum lagi Kristen Katolik dan Kristen berbeda pendapat tentang jumlah kitab suci. Sehingga muncullah istilah “Apokripa” (Injil-injil rahasia). (Lihat lebih detil: Deshi Ramadhani, sj, Menguak Injil-injil Rahasia, Yogyakarta: Kanisius, 2007). Maka wajar sekali jika mereka “stress” dan kecewa dengan Kitab Suci mereka sendiri. Sehingga, pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq, orientalis dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures)” (Lihat: Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: GIP, 2008, hlm. 3).
Mereka menyadari bahwa kitab suci mereka tidak lagi “asli”. Sehingga, atas dasar kebencian terhadap autentisitas dan orisinilitas Al-Quran mereka mencoba untuk meruntuhkan keagungannya lewat berbagai cara. (Lihat kajian kritis tentang usaha misionaris-orientalis dalam mengobok-obok Islam dan Al-Quran: Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, Jakarta: GIP, 2005).
Bahkan, untuk menolak kenabian (nubuwwah) Nabi Muhammad s.a.w. mereka berani melakukan manipulasi dan memutarbalikan ayat-ayat Bible yang meramalkan kehadirannya sebagai “nabi pamungkas”. (Lihat: Prof. David Benjamin Keldani (Abdul Ahad Dawud), Menguak Misteri Muhammad s.a.w., Jakarta: Sahara Intisains, 2006).
Bagaimanapun Al-Quran akan tetap “agung” dan “berdiri tegar” di depan para penghujat dan para musuhnya. Pintu tantangan dari Al-Quran masih terbuka lebar bagi siapa yang ingin ‘menguji’ kebenaran dan keabsahan The Last Testament ini. Allah pun telah berjanji untuk senantiasa menjaga dan memelihara wahyu terakhir-Nya ini,
“Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan al-Dzikra (Al-Quran) ini. Dan Kami pulalah yang memelihara (menjaga)nya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9). Inilah yang membuat mereka “putus asa” dari keagungan Islam. “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa untuk (mengalahkan) agama kalian. Sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3).
Meski demikian, upaya “injilisasi” secara halus terhadap umat Islam –baik terang-terangan atau rahasia— tidaklah sesuatu yang boleh diabaikan. Bahkan tetap harus diwaspadai. Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [Qosim Nursheha Dzulhadi, penulis adalah peminat Studi Al-Quran- Hadits dan Kristologi. Penulis tinggal di Medan/www.hidayatullah.com]–tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar