Kearifan Lokal Aceh Terkubur



Sjamsul Kahar/Dok KOMPAS

Peemtoh Teungku Adnan, Si Seribu Muka, dalam Pekan Kebudayaan Aceh, tahun 1988Kearifan lokal Aceh terkait persoalan kebencanaan, lingkungan, sosial, dan budaya, sebagian besar telah hilang bersama terkuburnya teks-teks kuno dan terpupusnya tradisi literasi di Tanah Serambi Mekkah sejak awal abad ke-20.







Sayangnya, naskah-naskah kuno itu tak lagi dilestarikan dan dipedulikan sehingga generasi masa kini seperti kehilangan pegangan mengenai apa saja sebenarnya kearifan lokal Aceh itu.

-- Tarmizi A Hamid


Tuntunan perihal kearifan lokal itu tercatat di manuskrip-manuskrip kuno Aceh yang kini sebagian besar kurang dilestarikan dan kurang diperhatikan keberadaannya.

Pada masa lalu, ulama dan kaum intelektual Aceh selalu membukukan kearifan-kearifan lokal ini. Di beberapa teks kuno yang masih tersisa, itu semuanya tercantum.

"Sayangnya, naskah-naskah kuno itu tak lagi dilestarikan dan dipedulikan sehingga generasi masa kini seperti kehilangan pegangan mengenai apa saja sebenarnya kearifan lokal Aceh itu," ujar pegiat dan pengkaji literatur kuno Banda Aceh, Tarmizi A Hamid, Senin (22/8/2011).

Kearifan lokal yang sebenarnya sudah berkembang pada masa sebelum abad ke-20 adalah mengenai kesiagaan bencana, khususnya menghadapi gempa dan tsunami. Menurut Tarmizi, dalam kitab tasawuf yang ditulis se orang ulama abad ke-18, tuntunan agar melihat gejala alam dengan baik saat usai terjadi gempa sudah ditulis dengan sangat jelas.

Saya sudah menemukan kitab itu. Sekarang sedang kami salin. Uniknya tuntunan kearifan lokal itu ada di teks tasawuf. Sepertinya penulisnya menyisipkan pesan kearifan menghadapi bencana itu dalam teks tasawuf guna menghemat kertas yang kali itu sangat mahal, kata Tarmizi.

Dalam teks itu dipaparkan, bahwa setelah terjadi gempa besar, biasanya akan diikuti dengan banyak burung-burung dan hewan-hewan dari laut yang bergerak ke darat. Tak ada tiupan angin dan suasana senyap. Itulah tanda-tanda tsunami akan terjadi. Sayangnya, pengetahuan tradisi seperti ini sudah tak diketahui generasi masa kini sehinggi gempa dan tsunami Aceh membawa korban jiwa yang besar.

Gempa dan tsunami bukan hanya pernah terjadi di tahun 2004. Pada abad ke-17 dan 18 diduga itu juga pernah terjadi. "Dari watermark tahun pada kertas penulisan teks itu terpampang periodisasi tuturan bencana itu yang artinya hal serupa pernah terjadi di masa lalu. Sayangnya, teks-teks seperti ini seperti dibiarkan dan tak dijelaskan," kata dia.

Jenis kearifan lokal lain yang juga termaktub dalam kitab Tajjul Muluk, yang bertutur mengenai tuntunan sejarah, perbintangan, pengobatan, larang menebang hutan, d an bahkan hukum.

Larangan menebang hutan, misalnya, disana dijelaskan, orang Aceh tak boleh menebang sebelum sebuah pohon sudah mengugurkan dahannya, yang artinya pohon tersebut sudah berusia tua. Kearifan seperti ini tak lagi dipahami generasi muda sehingga kini hutan Aceh sudah rusak.

Tradisi literasi nilai-nilai lokal ini tak berlanjut pada penyalinan ulang teks. Setelah masa Kerajaan Aceh runtuh, tradisi tersebut hancur. Bahkan, teks-teks hikayat kuno banyak yang hilang dan dilupakan. Aceh tak lagi memiliki sumber-sumber sejarah dan tradisi yang kuat.

Pada masa kemerdekaan, upaya penyalinan ulang ini, seiring mudahnya mendapatkan kertas sempat akan tumbuh. Namun, konflik berkepanjangan mulai tahun 1950-an, hingga berlanjut pada masa Gerakan Aceh Merdeka selama 30 tahun membuat upaya penyalinan ulang terabaikan.

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengungkapkan, ada ribuan manuskrip kuno yang saat ini sudah menghilang. Sekitar 5.000 di antaranya dibawa ke luar negeri, terutama oleh Malaysia.

"Ini yang kami prihatinkan. Karena itu, kedepan kami berencana mengumpulkan kembali manuskrip-manuskrip kuno yang masih ada," tandas dia.

Mohamad Burhanudin | Robert Adhi Kusumaputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar