Kisah Dahsyat Seorang Mujahid: Farrukh “Abu Abdirrahman”…

Rumah yang nyaman dengan segala kebutuhan hidup dan istri yang shalihah beserta akhlak dan kecantikan yang telah Allah karuniakan tak mampu meredam gejolak ­rin­dunya terhadap jihad fi sabilillah



Inilah saatnya kita berada di tahun 51 hijriyah. Tahun di mana kelompok-kelompok pasukan kaum muslimin memporak-po­ran­dakan sarang-sarang kekufuran di muka bumi, di Timur dan di Barat.



Saat di mana sahabat yang agung Ar-Rabi’, amir di Khurasan, pembuka pintu Sajistan dan panglima yang handal, tengah memimpin pasukan perangnya di jalan Allah, didampingi oleh seorang budaknya yang pemberani bernama Farrukh.





Setelah Allah SWT mengaruniakan kemenangan atas Sajistan dan beberapa daerah lainnya, Ar-Rabi’ bermaksud melengkapi keme­nangannya yang gemilang dengan melintasi sungai Seyhun untuk me­ngibarkan panji-panji tauhid di bukit-bukit yang disebut sebagai “Ne­geri di Belakang Sungai” itu.







Ar-Rabi’ mempersiapkan pasukan untuk menyongsong perang yang telah direncanakan itu, mengatur strategi dan mem­berikan pengarahan tentang saat yang tepat untuk menyerang, juga posisi mu­suh yang hendak diserangnya.





Tatkala perang benar-benar pecah, Ar-Rabi’ beserta pasukannya yang militan menampilkan kebolehannya yang selalu dikenang se­jarah dengan seruan tasbih dan pekikan takbir. Budaknya, Farrukh juga mem­per­lihatkan kegagahan dan ketangkasannya di medan pe­perangan hing­­ga bertambahlah kekaguman dan penghargaan Ar-Rabi’ terha­dap­nya.





Usailah peperangan, kemenangan jatuh di pihakpasukan kaum muslimin. Mereka telah menggoyahkan kaki-kaki musuh, mence­rai­beraikan barisannya. Setelah itu mereka menyeberangi sungai yang se­lama ini menjadi penghalang bagi penyebaran Islam di Turki dan negeri Cina yang jauh.





Selanjutnya, panglima besar memberikan hadiah kepada Farrukh atas andilnya yang besar dalam peperangan berupa kemerdekaan di­rinya. Farrukh juga mendapatkan bagian ghanimah yang banyak, ditambah lagi denganpemberian secara pribadi dari panglima Ar-Rabi’.







Tak berselang lama pasca hari-hari bahagia ini, ajal menjemput Ar-Rabi’, tepatnya dua tahun sesudah cita-ci­tanya yang agung terwujud, dia kembali ke sisi Allah SWT dengan penuh kerelaan.





Adapun Farrukh, si pemuda perkasa, dia kembali ke Madinah de­ngan membawa berbagai pemberian dari tuannya. Dia pulang me­nyan­dang tombak sekaligus membawa kemerdekaannya yang ber­harga, disamping kenangan indah tentang kejantanannya ketika ber­gumul dengan debu-debu jihad.





Farrukh sangat bersyukur atas karunia Allah yang memberinya ru­mah dan istri yang shalihah. Sekarang dia benar-benar bisa me­rasakan kenikmatan hidup didampingi istri yang mampu mengatur se­mua tatanan kehidupan, persis seperti yang diharapkan dan dicita-citakannya.





Namun rupanya rumah yang nyaman dengan segala kebutuhan hidup dan istri yang shalihah beserta akhlak dan kecantikan yang telah Allah karuniakan kepadanya tak mampu meredam gejolak ke­rin­duan­nya terhadap jihad fi sabilillah. Pahlawan mukmin ini ingin kembali me­­masuki medan tempur dengan membawa kerinduan akan suara den­tuman senjata dan dahsyatnya jihad fi sabilillah. Setiap kali men­dengar berita tentang kemajuan yang dicapai pasukan muslimin, makin bertambah kerinduannya untuk berjihad, makin dalam hasratnya untuk dapat mati syahid.





Hari Jum’at, khatib masjid Nabawi memberikan kabar gembira ten­­tang kemenangan kaum muslimin di berbagai medan perang. Kha­thib juga memberikan motivasi orang-orang untuk terus berjihad fi sabililah, menjelaskan kepada mereka akan keutamaan syahid demi me­ninggikan agama-Nya. Pulanglah Farrukh ke rumahnya sedang di hatinya telah bulat tekadnya untuk berjuang di bawah panji-panji kaum muslimin yang bertebaran di muka bumi. Kemudian beliau ceritakan tekadnya kepada istrinya, sehingga istrinya bertanya: “Wa­hai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau hendak menitipkan aku beserta janin dalam kandunganku ini, sedangkan engkau adalah orang asing yang tak punya sanak keluarga di kota ini?”







Farrukh berkata: “Aku titipkan engkau kepada Allah dan rasul-Nya. Kemudian aku tinggalkan untukmu uang 30.000 dinar, hasil yang kukumpulkan dari pembagian ghanimah peperangan. Pakailah se­cu­kupnya untuk keperluanmu dan keperluan bayi kita dengan sebaik-baik­nya sampai aku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, atau Allah SWT memberi aku rizki sebagai syuhada’ seperti yang saya dambakan.” Kemudian beliau pamit kepada istrinya, pergi memburu cita-citanya.





Beberapa bulan setelah keberangkatan Farrukh, istrinya yang bi­jak­sana itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang cakap dan ber­wajah tampan. Bayi laki-laki itu diberi nama Ar-Rabi’ah.



“Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan se­bagian dari dirinya kepadamu kecuali jika kamu memberikan se­lu­ruh jiwamu untuk mendapatkannya.”





Tanda-tanda ketangkasan dan kecerdasan Ar-Rabi’ah telah nampak dari perkataan dan ting­kah lakunya sejak kecil. Oleh ibunya, ia diserahkan kepada guru-guru agar mendapatkan pendidikan dengan layak.







Dalam waktu yang tidak begitu lama, kecerdasan Ar-Rabiah ber­kem­bang begitu pesat. Pada mulanya mahir baca tulis, lalu hafal Qur’an dan mampu membacanya dengan lantunan yang indah seperti tatka­la dibaca oleh para sahabat terdahulu. Sesudah itu beliau mendalami hadits-hadits Rasulullah SAW dari yang paling mudah, mempelajari bahasa Arab yang baik dan benar, juga mempelajari perkara-perkara agama yang wajib untuk diketahui.





Ibunda Ar-Rabi’ah memberikan imbalan yang cukup dan hadiah-hadiah yang berharga kepada para guru puteranya. Setiap kali nam­pak kemajuan pada diri Ar-Rabi’ah, dia tambahkan pemberiannya.





Dengan kesibukan tersebut sang ibu masih senantiasa menanti ke­da­tangan ayah puteranya yang pergi sudah begitu lama.Karena itulah dia berusaha keras mendidik puteranya agar kelak bisa menjadi pe­nyejuk pandangan baginya dan juga bagi suaminya…. jika sewaktu-waktu suami­nya datang.





Ketika Ar-Rabi’ah menginjak usia remaja danhampir baligh, orang-orang menasihati ibunya: “Sekarang Ar-Rabi’ah sudah dewasa. Se­baik­nya dia tidah usah lagi belajar membaca dan menulis.” Ada pulayang usul: “Dia sudah mampu menghafal Al-Qur’an dan meri­wa­yatkan hadits, lebih baik engkau suruh dia bekerja agar ia bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan juga dirimu.” Namun Ibunya ber­kata: “Aku memohon kepada Allah agar memilihkan baginya apa yang terbaik bagi dunia dan akhiratnya. Sesungguhnya Ar-Rabi’ah memilih untuk terus menuntut ilmu, dia bertekad senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya.”







Beliau terus belajar hingga larut malam,sampai lelah… Kawan-kawannya menasihati agar dia menjaga dan menyayangi dirinya sen­diri, namun dia berkata: “Aku mendengar dari orang-orang tua dan guru-guruku berkata: “Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan se­bagian dari dirinya kepadamu kecuali jika kamu memberikan se­lu­ruh jiwamu untukmendapatkannya.”





Tak heran bila sebentar kemudian namanya sudah menjadi seorang ulama yang tersohor, men­jadi tinggi pamornya, semakin banyak kawannya, dihargai oleh mu­rid-muridnya dan diunggulkan oleh kaumnya.



Kehidupan ulama Madinah ini begitu cemerlang,dibagilah hari-ha­rinya. Sebagian untuk keluarganya di rumah, sebagian lagi di masjid Nabawi menghadiri kajian ilmu dan halaqah-halaqah. Sampai suatu kali terjadi peristiwa yang sama sekali tak terduga dalam hidupnya…



Alhijrah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar