Analisis Tragedi Nasional G-30-S Berdasarkan Bukti Empiris

TULISAN Dr. Tjipta Lesmana berjudul “Sejarawan Kita Tidak Mampu Ungkap G-30-S” di harian Media Indonesia (30/9/’03). Menarik untuk ditanggapi.

Tjipta Lesmana menguraikan tentang banyak cerita / buku yang bermunculan mengenai tragedi nasional gerakan 30 September 1965, yang kontra terhadap rejim Orde Baru (Soeharto) pasca runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998. Serta mengkritik sebagian sejarawan kita dengan mengatakan: “Sejumlah sejarawan kita pun rupanya ikut terbawa arus. Bahkan ada salah satu sejarawan ternama ikut secara gigih memperjuangkan penghapusan Tap MPRS tentang larangan terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia) dan ajaran Komunisme / Lenin-isme / Marxisme.” Demikian Tjipta Lesmana mengatakan.

[1]
PELURUSAN sejarah memang penting dan urgen, karena sejarah sebagai bahan pelajaran / evaluasi generasi muda atau generasi penerus untuk menentukan sikap guna melanjutkan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka (berdaulat). Generasi muda mutlak harus diberikan kebenaran sejarah, agar supaya keputusannya nanti tidak salah untuk membangun bangsa dan negara yang maju dan kuat, tidak tergantung kepada negara manapun (mandiri).

[2]
Peristiwa gerakan 30 September 1965, adalah anti klimaks dari obsesi Presiden Bung Karno (Soekarno) untuk menjadikan Indonesia sebagai negara raksasa di Asia, guna untuk menyaingi dua negara raksasa waktu itu, yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Langkah awal untuk mewujutkan obsesinya Bung Karno mendekati ‘negara dunia ketiga’ (negara berkembang) khususnya negara Asia, untuk menggalang solidaritas, menyamakan persepsi, menyatukan visi, dan menyusun kekuatan guna untuk melawan negara ADI DAYA (Amerika Serikat) yang arogan. Kegigihan Bung Karno untuk menyusun kekuatan tersebut, bisa meyakinkan empat kepala negara / kepala pemerintahan, selanjutnya disebut lima serangkai, yaitu:
1. Ir. Soekarno Presiden Indonesia.
2. Josip Broz Tito Presiden Yugoslavia.
3. Gamal Abdul Nasser Presiden Mesir.
4. Pandit Jawaharlal Nehru PM. India.
5. Kwame Nkrumah dari Ghana.

Lima kepala negara / kepala pemerintahan tersebut yang memprakarsai berdirinya GNB (Negarakan Negara non Blok), sampai sekarang anggotanya mencapai ratusan negara.

[3]
Sepak terjang Bung Karno tersebut dipantau terus oleh PETINGGI-PETINGGI Amerika Serikat. Karena mereka pikir, apabila Bung Karno ini masih berkuasa di Indonesia, lama-lama Asia pasifik akan dikuasai oleh Bung Karno. Jadi eksistensi (keberadaan) nya sebagai negara ADI DAYA akan diusik Bung Karno. Oleh karena itu, sebelum Bung Karno punya kekuatan harus dijatuhkan.

[4]
Sudah lazim dilakukan, apabila ingin menjatuhkan pemimpin di salah satu negara, Amerika Serikat membangun konspirasi international. Biasanya Amerika Serikat memakai orang-orang di suatu negara yang pemimpinnya akan dijatuhkan, atau memprovokasi negara tetangganya. Salah satu cara untuk merekrut orang-orang tersebut, melalui bantuan pendidikan baik sipil maupun militer.

[5]
Pada waktu itu, Amerika Serikat memberikan bantuan pendidikan masyarakat Indonesia baik sipil maupun militer, agar supaya Indonesia mempunyai angkatan bersenjata yang profesional dan kuat (dalihnya). Sehingga dapat mengamankan serta mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Di Amerika Serikat, mereka dididik (di DOKTRIN) secara ideologis (hingga sampai sekarang, masyarakat Indonesia yang latar belakang pendidikannya dari Amerika Serikat cenderung berprilaku Amerika CENTRIS). Khusus perwira militernya diberikan pelajaran; bagaimana teknik merebut kekuasaan.

[6]
Setelah pulang ke Indonesia, yang sipil mendirikan lembaga kemasyarakatan dan lembaga keagamaan guna untuk melawan kebijakan (pemerintahan) Bung Karno. Sedangkan militernya menyusun strategi untuk merebut kekuasaan. Maka, terjadilah peristiwa Cikini (menghadang perjalanan Bung Karno menuju Istana lalu dilempar granat), konon kabarnya “AHN” terlibat, dan peristiwa Monas (Monumen Nasional) mengarahkan senjata ke Istana Merdeka yang siap tembak. Di samping itu, Amerika Serikat memprovokasi Malaysia melalui ‘tangan’ Inggris untuk mensengketakan Pulau Kalimantan yang notabene di dalam teritorial wilayah Indonesia. Yang tujuannya Malaysia disuruh memerangi Indonesia.
Maka, Bung Karno murka (marah besar).
Perjanjian Manila Accord:

“Persetujuan Manila, antara; Philipina, Federasi Malaya, dan Indonesia. Pada Th. 1961 Kalimantan dibagi menjadi 4 (empat) Administrasi. Kalimantan yang notabene Provinsi Indonesia. Di Utara adalah Kerajaan Brunai dan 2 (dua) Koloni Inggris, Serawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah, bagian dari Koloninya (Inggris) di Asia Tenggara. Inggris menggabungkan Koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya. Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.”

“Rencana ini ditentang oleh Bung Karno; “bahwa Malaysia hanya sebuah BONEKA Inggris, dan konsolidasi Malaysia akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini! Sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia..” Philipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Philipina melalui Kesultanan Sulu. Indonesia dan Philipina pada dasarnya setuju pembentukan Federasi Malaysia, apabila mayoritas memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisir oleh PBB. Tetapi pada 16 September 1961, sebelum hasil referendum dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri Malaysia, tanpa tempat untuk turut campur orang luar. Tetapi Bung Karno melihat hal ini sebagai PERJANJIAN MANILA ACCORD yang dilanggar, dan ini sebagai bukti Kolonialisme dan Imperialisme Inggris.”

Konfrontasi Indonesia~Malaysia, dimulai pada Tahun 1962-1966

“Sejak demontrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu Gedung KBRI merobek-robek Foto Bung Karno, dan membawa lambang negara, Garuda Pancasila ke-hadapan “TAR” PM. Malaysia saat itu, dan memaksanya untuk menginjak-injak Garuda Pancasila. Amarah Bung Karno terhadap Malaysia pun meledak.”

“Bung karno yang murka, melakukan balas dendam dengan meluncurkan geraka yang terkenal dengan nama: “GANYANG MALAYSIA” melalui pidato beliau yang amat bersejarah;

Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa

Namun kalau kita lapar atau malu itu
Karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan Pasukan ke Kalimantan
Hajar cecunguk Malayan itu!

Pukul dan sikat jangan sampai Tanah dan Udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot bangsa, sebagai martir bangsa, dan sebagai peluru bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya

Serukan! Serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo.. ayoo.. kita.. Ganyang..
Ganyang.. Malaysia
Ganyang.. Malaysia

Bulatkan tekad
Semangat kita baja
Peluru kita banyak
Nyawa kita banyak
Bila perlu satu–satu!

(Soekarno)

“Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963, Brunai menolak bergabung, dan Singapura keluar dikemudian hari.”

Akhir konfrontasi

“Menjelang akhir Tahun. 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasan di Indonesia. Setelah berlangsungnya G-30-S 1965. Keinginan Bung Karno untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang, dan peperangan pun mereda.

“Pada 28 Mei 1966, sebuah konferensi di Bangkok. Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia (Soeharto), mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditanda tangani pada 11 Agustus, dan diresmikan dua hari kemudian.”

[7]
Tidak/belum berhasil untuk menjatuhkan Bung Karno, pemimpin-pemimpin Amerika Serikat hampir frustasi. Karena ini merupakan salah satu yang sudah menjadi kewajiban Presiden Amerika Serikat, untuk menjalankan politik luar negerinya. Siapapun yang menjadi Presiden Amerika Serikat, baik dari kubu Partai Demokrat maupun dari Partai Republik, harus bisa menjalankan politik luar negerinya yang tertuang di dalam konstitusi Amerika Serikat. Kostitusi (Undang-Undang) tersebut yang intinya; Amerika Serikat harus bisa menguasai dunia (untuk ini, apabila ada orang yang mengatakan: bahwa Amerika Serikat adalah biang kerok dunia, tidak salah). Karena bisa dibuktikan secara autentik dan bisa dibuktikan secara empiris, yaitu kejadian-kejadian di negara-negara berkembang.

[8]
Maka, skenario selanjutnya diterjunkan intellejennya CIA (Central Intellegens Agence), tentunya tidak lupa untuk mengrekrut ‘intel-intel’ Indonesia. Lalu diajak mempelajari adat-istiadat / kebiasaan masyarakat Indonesia, dan mendapatkan kesimpulan; bahwa masyarakat Indonesia adalah mayoritas beragama Islam. Akan tetapi (maaf pen), sebagian umat Islam di Indonesia adalah umat Islam yang statis tradisional bukan umat yang dinamis rasional, adanya cuma fanatisme dan emosional, jadi mudah dipancing. Bagaimana cara memancing emosinya? Pakai Partai Komunis, di-issukan dulu, bahwa Komunis identik atheis, outomatis bertentangan dengan Islam. Dan yang paling prinsip bagi Amerika Seririkat adalah; ideologi sosialisme harus dilenyapkan dari muka bumi, karena ini bertentangan dengan ideologi Amerika Serikat yang Neo-Leberalisme dan Kapitalisme.

[9]
INDONESIA pada waktu itu ada tiga kekuatan yang akan merebut kekuasaan;
1. PKI (Partai Komunis Indonesia)
2. AD (Angkatan Darat)
3. AU (Angkatan Udara)
Oknum-oknum dari ketiga institusi tersebut diajak berkonspirasi untuk menjatuhkan Bung Karno. Dengan cara, oknum dari salah satu ketiga institusi tersebut disusupkan keinstitusi lainnya, begitu sebaliknya. Mereka diberi tugas memprovokasi atau memberi semangat untuk merebut kekuasaan, dan wajib melaporkan setiap perkembangan kepada para ‘DECITION MAKER’ di suatu tempat yang disebut KAWAH CHONDRO DIMUKO, di tempat inilah rapat-rapat untuk menyusun strategi merebut kekuasaan dilakukan secara MARATON.

[10]
Sebelum menentukan hari “H” pelaksanaannya, diadakan dulu rapat pembagian tugas (job discription), pihak Amerika Serikat menunjuk “AHN” sebagai komando (hanya sebagai komando strategi, tidak untuk menggantikan posisi Bung Karno sebagai Presiden). Sebab kalau “AHN” langsung naik untuk menggantikan Bung Karno sebagai Presiden, Bung Karno akan tahu, akibatnya gagal lagi untuk menjatuhkan Bung Karno. Namun demikian “AHN” diberikan kebebasan memilih anak buahnya untuk menggantikan Bung Karno sebagai Presiden, dan pilihannya jatuh kepada “S” sekaligus ditunjuk sebagai komando pelaksana lapangan.

[11]
Waktu rapat untuk menentukan hari “H” pelaksanaan, “S” diperintahkan untuk menghubung “U”, sekaligus menugaskan “U” untuk menculik beberapa jendral yang ‘dekat’ dengan Bung Karno, seraya “S” berkata; “kamu (”U”) yang berbuat nanti saya (”S”) yang mengamankan”. Dalam hal ini, mungkin pembaca bertanya: kalau memang “AHN” yang menjadi komando, kenapa dia akan dibunuh?! Inilah politik, di dalam teori politik kekuasaan tidak ada kawan maupun lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan pribadi (Pertama: latar belakang pendidikan perwira militer “AHN” dari Amerika Serikat, kedua: waktu pergantian anggota MPRS antar waktu, “AHN” menjadi Ketua MPRS), kemudian waktu sidang umum istimewa MPRS (22 Juni 1966) untuk meminta pertanggung jawaban Presiden Soekarno, yang berjudul “NAWAKSARA” langsung ditolak oleh Ketua MPRS “AHN.” Sebaliknya Ketua MPRS (”AHN”) memutuskan memberhentikan Bung Karno sebagai Presiden seumur-hidup (Tap MPRS No. IV Th 1960), dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai penggantinya.

[12]
Semua ini ada kaitannya dengan wawancara wartawan TVRI dengan Soeharato di dalam pesawat terbang tentang komunisme, sekembalinya Soeharto melawat kenegaraan dari Uni Sovyet. Soeharto berkata: “dulu saya dipaksa, setelah jadi begini saya dijatuhkan secara inkonstitusional, akan saya GEBUG.” Kalimat tersebut penulis tafsirkan ditujukan kepada “AHN” khususnya, sehingga dia (”AHN”) di-’CEKAL’ sampai akhir hayatnya, dan kepada masyarakat pada umumnya.

[13]
Peristiwa Gerakan 30 September 1965, dimanivestasikan dalam bentuk film dokumenter yang berjudul: “Penghianatan G-30-S / PKI.” Masyarakat yang pro maupun yang kontra terhadap Soeharto mengatakan: bahwa film tersebut adalah bagus, dalam kategori film dokumenter. Karena secara tersurat film tersebut mengangkat citra Soeharto, tetapi secara tersirat menunjukkan peristiwa yang sebenarnya. Paling tidak penulis menemukan tiga bukti kebenaran di dalam film tersebut.

1. Waktu Soeharto bertemu dengan
komandan Angkatan Udara,
Soeharto berkata: “kalau pasukanmu
nanti pukul 6 sore tidak kembali ke
Markas, berarti kamu berhadapan
dengan saya (maksudnya, oknum
pasukan dari salah satu institusi
yang disusupkan ke pasukan
Angkatan Udara, pukul 6 sore kalau
tidak kembali ke Markas asal
kesatuannya, berarti DESERSE).

2. Senjata dan Uniform Angkatan
Udara sebagai barang bukti yang
ditunjukkan kepada Bung Karno di
Istana Bogor (maksudnya,
melaporkan kepada Presiden,
bahwa yang berbuat adalah oknum
dari Angkatan Udara).

3. Peristiwa yang sebesar itu, anggota
Polisi bernama Sukitman yang
disandera di ‘hutan’ pinggiran Halim
Perdana Kusumah koq bisa lolos?!
(Sengaja diloloskan, sebagai saksi
untuk menunjukkan di mana tempat
lubang yang dibuat menimbun
ketujuh mayat Jendral tersebut),
karena skenario selanjutnya
LUBANG (BUAYA) tersebut akan
dijadikan Monumen Pacasiala Sakti,
yang setiap tahun akan diperingati,
untuk melanggengkan STIGMA
negatif masyarakat terhadap
kekejaman Komunis.

“Kemudian pada Nopember 1967, Korporasi Multinasional Perusahaan-Perusahaan Minyak dan Bank, mengadakan pertemuan di Jenewa Swiss. Diantaranya; General Motor, Imperial Chemical Industries, British American Tobacco, American Express, Siemens, Good Year, The International Paper Corporation, US-Steel, ICI, Leman Brothers. Asean Development Bank, dan Chase Manhattan Bank.”

“Sedangkan Tim Ekonomi Indonesia hanya menawarkan Buruh yang banyak dan murah, Cadangan Sumber Alam Melimpah dan Pangsa Pasar yang Besar.”

“Ini menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi, bagaikan pampasan perang oleh Perusahaan-Perusahaan Asing, pasca jatuhnya Bung Karno. Yang kemudian Freeport mendapat Gunung Emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan Ladang Minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan Ladang Gas di Natuna, dan Perusahaan-Perusahaan lain menjarah Hutan Tropis Indonesia. Kebijakan Ekonomi pro Neo-Leberalisme~Kapitalisme sejak saat itu ditetapkan.”

Bung Karno pernah mengatakan: “kalau kita belum mampu mengolah tambang sendiri, biarkan tersimpan di dalam perut bumi, biar nanti anak cucu kita yang mengolahnya.” Maka pada waktu Gus Dur (Abdurrahman Wahid) menjadi Presiden Indonesia (1999-2001) berniat untuk RENEGOSIASI Perusahaan-Perusahaan Asing tersebut.

[14]
KESIMPULAN
Peristiwa Gerakan 30 September 1965, adalah peristiwa KUDETA TERSELUBUNG,
Lempar batu sembunyi tangan / maling teriak maling (yang berbuat adalah oknum dari salah satu institusi mengatasnamakan komunis mengkambing hitamkan institusi lain), yang skenarionya dari Amerika Serikat.

Sepanjang penulis pelajari sejarah negara dunia ketiga (negara berkembang), sekali kudeta selamanya akan kudeta. Karena masyarakatnya hanya berkonsentrasi untuk merebut kekuasaan, bukan untuk membangun bangsa dan negaranya.

Contoh kongkrit yang masih aktual adalah kejadian di negara Irak dan negara Philipina. Di kedua negara tersebut sampai saat ini (01/10/’03) masih diacak-acak oleh Amerika Serikat.
(Sekarang negara Mesir, dan negara Libya). Inilah keinginan Amerika Serikat yang paling dicegah dan dibenci Bung Karno dulu.

Maka, kalau ingin negara kita cepat maju dan kuat, kita harus peka dan kritis terhadap fenomena-fenomena yang terjadi, dan segala aspek kehidupan jangan tergantung kepada Amerika Serikat.

Untuk melawan Amerika Serikat, penulis sependapat dengan Gus Dur yang mendekati Israil, karena kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang menentukan adalah keturunan Yahudi.
Dan keinginan Gus Dur untuk membentuk poros Beijing-New Delhi-Jakarta, andai tdk keburu dijatuhkan oleh ‘anthek-anthek’ Amerika Serikat, kalau ini terwujud, betul-betul dahsyat, dan Indonesia akan menjadi pemimpin dunia.

Kepada sejarawan kita, selamat untuk meluruskan sejarah (peristiwa G-30-S 1965, dokumen secara lengkap ada di Amerika Serikat). ***

Jakarta, 1 Oktober 2003

(Azis Bachtiar As)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar