Atlantis di Indonesia? Terus?

Daripada pusing mikirin Nyi Iteung istrinya yang belum mau balik ke rumah gara-gara Kabayan menjual TV bututnya yang sering ngadat, Kabayan memilih menghibur diri dengan mempersilakan mahasiswa yang sedang KKN di kampungnya untuk menggunakan rumahnya sebagai tempat rapat. Lumayan, dengan begitu, rumahnya jauh lebih rame, dan yang lebih lumayan, mahasiswinya pada masak, jadi Kabayan bisa numpang makan dan ngopi. Lebih menarik lagi karena obrolan mahasiswa itu ‘aneh-aneh’ menurut Kabayan. Yaah sambil menyelam minum air lah, sudah kebagian makan dan ngopi, dikit-dikit ia juga kecipratan ilmu dari anak-anak muda yang pinter-pinter itu.

Sore itu, diskusinya jadi lebih rame, soalnya Jang Edwin yang sedang cuti belum kembali ke tempat kerjanya, jadi bisa ikutan ngobrol dengan para mahasiswa itu. Kabayan suka sama Jang Edwin, sudah pinter, nggak sombong, baik hati pula, semua biaya diskusi sore itu ditanggung Jang Edwin.

Nggak tau darimana mulainya, diskusi mendadak belok ngomongin benua Atlantis yang diengarai berada di wilayah Indonesia sekarang. Jang Rendy, mahasiswa geologi yang paling semangat membahas masalah itu. “Semburan lumpur di Sidoarjo itu salah satu bukti yang mengarah ke sana. Menurut hasil uji remote sensing, ditemukan, ditemukan adanya kanalisasi di wilayah itu, yang kemungkinan bekas kanalisasi di masa lalu. Plato sendiri pernah menyatakan bahwa di Atlantis dulu, merupakan wilayah yang memiliki banyak gunung api dan sudah ada kanal-kanal yang dibangun mengelilingi kota…” kata mahasiswa ganteng dan kelihatannya pinter itu.

“Iya, tapi Plato kan nggak pernah nunjuk wilayah Indonesia sebagai wilayah Atlantis. Plato kan bilangnya Atlantis itu berada di samudera Atlantik. Nggak mungkin banget Plato bisa tau adanya Atlantis di Indonesia yang jaraknya ribuan kilometer, sementara zaman itu kan nggak ada teknologi informasi, peayaran keliling dunia aja belum dilakukan. Kalaupun Atlantis itu ada seperti yang dikatakan Plato, paling lokasinya nggak jauh-jauh dari Yunani, sekitar Pulau Creta lah.. di situ kan banyak juga gunung apinya!” sanggah Mizwar, yang katanya kuliah di fakutas hukum.

Meski menarik, Kabayan yang mendengarkan obrolan itu belum sepenuhnya paham. Ia mencoba menyimak saja, siapa tau nanti ngerti. Rendy kemudian menjawab argumen Mizwar. “Plato itu hanya mengira-ngira soal lokasi, tapi penelitian yang dilakukan Profesor Arysto Santos dari Brasil menunjukkan, semua ciri yang disebutkan Plato soal Atlantis itu ada di Indonesia. Inget, Plato waktu itu masih menganggap dunia ini datar dan dikelilingi oleh lautan. Terus anggapan Plato kalo Atlantis itu di samudera Atlantik tidak terbukti, militer Amerika pernah meneliti samudera Atlantik dan nggak menemukan apa-apa seperti yang dikatakan Plato!” kata Rendy lagi.

Neng Silvi, mahasiswi jurusan komunikasi ikutan nimbrung, “Eh iya loh, kemarin saya nonton film Journey-nya Dwayne Johnson, katanya Atlantis itu di sekitar-sekitar sini deh…” katanya. Neng Ifa, mahasiswi kesehatan masyarakat ikut nyela, “Tapi aku sih lebih percaya filmnya Atlantis yang dibuat BBC, soalnya pake riset, kalo yang Jouney kan lebih banyak fiksinya. Riset BBC yang difilmkan itu juga ngarahnya ke Pulau Kreta, Yunani, bukan ke Indonesia…” katanya

Rendy menimpali lagi, “Penelitian yang dilakukan ilmuwan Indonesia juga sudah menemukan ciri-ciri yang disebutkan Plato, misalnya soal lapisan tanah di Brebes, terus akibat letusan besar Krakatau Danau Toba, dan lain-lain…” tambahnya. “Aku sih nggak yakin tuh…” timpal Mizwar, “Atlantis itu mewariskan budaya besar yang berusia tua, setua atau lebih tua dari Yunani-Romawi, Mesir, atau Inca-Maya. Sementara kebudayaan kita masih sangat muda, itu juga lebih banyak pengaruh India-nya!” tambahnya.

Melihat diskusi yang kayaknya bakal berujung debat berkepanjangan itu, Jang Edwin yang lulusan ITB itu ikut nimbrung. “Di manapun Atlantis itu berada, bagi saya nggak begitu penting. Kalau Atlantis itu seperti yang dikatakan Plato –bukan di sini, kita harus belajar menghadapi kondisi alam kita yang mirip dengan gambaran Plato, supaya kita selalu belajar, menyesuaikan diri, dan bersahabat dengan alam, dan tentu saja penciptanya. Kalau Atlantis itu ternyata bener-bener dulunya di tempat yang kita tinggali sekarang, ya bagus, itu kebanggan buat kita. Tapi kita kan nggak bisa hanya berbangga dengan masa lalu. Mestinya kan yang kita banggakan adalah saat ini, bukan masa lalu. Pertanyaannya, apa yang bisa kita banggakan sekarang? Terus, apa kita juga siap menghadapi masa depan?” beber Jang Edwin panjang lebar.

Para mahasiswa itu terdiam sejenak, merenungi omongan Jang Edwin. Kabayan yang sebetulnya belum paham dengan topik itu, ikutan manggut-manggut. “Ya, tapi kalo Atlantis itu betul-betul dulunya di sini, kita bisa menggunakan sejarah kejayaannya sebagai modal untuk tampil percaya diri di kancah internasional, supaya suara kita didengarkan oleh dunia internasional!” kata Rendy lagi. “Soekarno sendiri berpesan, jangan sekali-kali melupakan sejarah!” tambahnya.

Jang Edwin tersenyum, “Ya, kita harus mempelajari dan menghargai sejarah. Tapi tujuannya bukan untuk terjebak dalam nostalgia sejarah, kan? Sejarah itu kita pelajari dan hormati, supaya kita belajar supaya bisa lebih baik. Kalau hanya bangga dengan sejarah, lihat Yunani, Mesir, Meksiko, yang punya masa lalu gemilang, tapi sekarang? Yunani krisis keuangan, Mesir krisis politik, Meksiko dan Amerika Tengah krisis identitas. Masa lalu mereka yang gemilang hanya jadi jualan wisata, tapi tidak menjadi pembelajaran yang sesungguhnya!” kata Jang Edwin lagi.

Rendy nggak ngomong lagi kali ini, yang lain juga. Mereka mungkin mencerna dengan baik maksud omongan Jang Edwin. Akhirnya, Neng Silvi nanya, “Terus kalau Atlantis bener-bener punya Indonesia, kita harus gimana Kang?” tanyanya pada Jang Edwin.

Tapi, sebelum Jang Edwin yang menjawab, Kabayan tiba-tiba nyeletuk, “Kalau bener-bener punya kita, harus dijaga dong, jangan sampe direbut sama Malaysia!” katanya dengan wajah tanpa ekspresi. Kayaknya Kabayan masih sebel sama Malaysia yang ‘merusak’ bahasa si Rudi sobatnya yang jadi TKI itu.

Jang Edwin dan para mahasiswa itu ngakak.

Jogja, 21 Pebruari 2012
Alip Yog Kunandar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar