Prasasti Cinta Sultan Yogyakarta

Sri Sultan Hamengkubuwono IX almarhum adalah pribadi yang cinta pada rakyatnya. Bukti-bukti cinta beliau terpampang di seluruh sudut Djogdjakarta dan dapat kita nikmati hingga saat ini. Di antaranya adalah kesediaan beliau bergabung dengan NKRI, penyusunan Serangan Umum 1 Maret 1049, pembuatan Selokan Mataram, hibah tanah untuk UGM, dan masih banyak lagi lainnya.

Dalam rangka menyongsong peringatan 100 tahun Sri Sultan HB IX yang akan jatuh pada bulan April tahun ini, menelusuri kembali cuplikan-cuplikan bukti cinta Sultan HB IX pada rakyat Djogdjakarta, NKRI, dan sesama umat manusia. Berikut sedikit yang bisa kami kumpulkan.

1. Selokan Mataram

Selokan Mataram adalah salah satu prasasti cinta Sultan pada rakyat Djogdjakarta.

Sekitar tahun 1943, penjajah Jepang sedang gencar mengadakan romusha untuk mengambil kekayaan alam Indonesia guna mendukung perang mereka melawan sekutu.

Raja Djogdjakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang mengetahui kekejaman tentara Jepang berpikir bagaimana menyelamatkan rakyat Djogdjakarta agar terhindar dari romusha.

Lalu kepada Jepang beliau mengatakan bahwa Djogdjakarta adalah daerah tandus tadah hujan dengan hasil bumi berupa ketela. Karena itu Sultan meminta Jepang agar menyuruh rakyat Djogdjakarta membangun selokan yang menghubungkan Kali Progo dengan Kali Opak. Sehingga nantinya di musim kemaraupun lahan pertanian di Djogdjakarta dapat menghasilkan padi dan bisa membantu kebutuhan tentara Jepang.

Ternyata Jepang mendengarkan sabda Sultan dan terbebaslah warga Djogdjakarta dari Romusha, diganti dengan membangun saluran air yang sebenarnya untuk kemakmuran warga juga.

Sejak adanya Selokan Mataram, kehidupan rakyat Djogdjakarta lebih makmur daripada sebelumnya. Selokan sepanjang 31 KM itu telah mengairi ribuan hektar lahan pertanian hingga saat ini.

Jika Anda tertarik, Anda bisa menelusuri Selokan Mataram hingga ke hulunya di sungai Progo. Semakin ke hulu, Anda akan disuguhi pemandangan alami pedesaan dan keramahan warga Djogdjakarta.


Cinta dan pengorbanan ibarat dua sisi mata uang. Begitu besar cinta Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada Republik Indonesia, maka ia relakan kedaulatan Keraton yang dipimpinnya menjadi bagian dan wilayah resmi pertama NKRI.

2. Keraton Djogdjakarta Bergabung dengan NKRI

Tahun 1945, sore hari setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan NKRI, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan bergabung dalam wilayah NKRI. Lalu beliau mengeluarkan maklumat yang kemudian terkenal sebagai Maklumat 5 September 1945.

Isi maklumat itu adalah pernyataan bahwa Keraton Djogdjakarta dan Paku Alam bergabung dengan NKRI. Padahal saat itu tidak ada satu kerajaan ataupun negara-negara bentukan Belanda yang menyatakan bergabung dengan NKRI sehingga Yogyakarta merupakan wilayah pertama di NKRI.

Menurut Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo, seperti dikutip Kompas.com, “Pernyataan bergabungnya Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI memiliki nilai strategis yang luar biasa karena saat itu, meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, namun kolonialis Belanda selalu menyatakan mana wilayahmu sebagai sebuah negara,” katanya.

“Dengan pernyataan bergabungnya wilayah Yogyakarta ke NKRI waktu itu, menjadikan negara yang baru merdeka tersebut memiliki wilayah kedaulatan, dan langkah ini pun kemudian diikuti wilayah-wilayah lain, termasuk negara-negara atau kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dibentuk Belanda,” katanya.

Pengorbanan lain Raja Djogdjakarta yang tidak kalah penting adalah ketika NKRI berdiri harus mencetak Oeang/uang Republik Indonesia (ORI) sehingga harus ada jaminan uang emas di Bank Indonesia. Saat itu pula, Sri Sultan HB IX menyerahkan emas batangan milik Keraton Djogdjakarta sebagai jaminan.

Menjabat sebagai Raja di Negara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tidak membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX semena-mena pada kepentingan rakyat banyak. Beliau memberikan sebagian ruangan dan tanah milik keraton demi berjuang membangun pendidikan di negeri ini.

3. Gedung Keraton untuk UGM

Agresi Militer Belanda ke Indonesia bulan Desember 1948 berdampak buruk pada rintisan pendidikan tinggi di Republik yang baru berdiri 3 tahun. Sejumlah perguruan tinggi di Solo, Klaten, dan Djogdjakarta terpaksa tutup karena prioritas saat itu adalah berjuang melawan penjajahan Belanda.

Tanggal 20 Mei 1949, sejumlah guru besar dan tokoh-tokoh pendidikan terkemuka saat itu bertemu di Pendopo Kepatihan, Keraton Djogdjakarta. Hasil pertemuan itu adalah mereka akan mendirikan kembali perguruan tinggi di wilayah republik Indonesia, yaitu Djogdjakarta.

Kesulitan utama yang dihadapi para Guru besar itu adalah tidak adanya ruang untuk kuliah. Dalam situasi yang penuh semangat perjuangan meningkatkan martabat manusia Indonesia dan melawan penjajahan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersedia meminjamkan kraton dan beberapa gedung milik kraton untuk digunakan sebagai ruangan kuliah dan perkantoran.

Kesulitan teratasi dan sejak November 1949, berdirilah Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada yang menyelenggarakan perkuliahannya di lingkungan Keraton Djogdjakarta.

Beroperasinya balai perguruan tinggi Gadjah Mada itu kemudian mendorong lahirnya Universitas Gadjah Mada. Maka pada tanggal 19 Desember 1949 Presiden Indonesia Ir. Soekarno, meresmikan berdirinya Universitas Gadjah Mada sebagai perjuangan sekaligus membuka mata dunia bahwa meski diserang habis-habisan oleh Belanda, Bangsa Indonesia tetap sanggup berdiri dengan tegak.
Msna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar